Titik Nol 182: Pilar Dunia
Kota kuno Multan adalah salah satu dari tempat-tempat di negeri Pakistan yang pertama kali dirambah Islam dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Mohammad bin Qasim. Sekarang kota ini tetap menjadi kota penting di mana ribuan peziarah datang dari seluruh penjuru negeri ke puluhan makam suci yang bertaburan.
Syahdan, Multan adalah bagian sebuah kerajaan Brahmin yang beribukota di Brahmanabad (kota Brahmin), sekarang di wilayah propinsi Sindh. Yang memerintah adalah Raja Dahir, putra Chach. Walaupun yang memerintah adalah orang Hindu, tetapi penduduknya mayoritas beragama Budha. Orang Arab waktu itu melihat banyak patung pemujaan milik orang Budha, lalu mendapat kosa kata budd – dari nama Budha – untuk menyebut ‘patung’. Kata budd yang berarti patung ini masih dipakai dalam bahasa Urdu di Pakistan.
Pasukan Muhammad bin Qasim dari dinasti Ummayyah pertama-tama menaklukkan kota Daibul, kemudian ibu kota Brahmanabad, terus ke utara hingga Sukkur di perbatasan Sindh, masuk ke Punjab ke kota Multan – kota tertua dalam sejarah Asia Selatan. Waktu itu kota Multan dipenuhi berbagai kuil emas pemujaan dewa matahari Aditya.
Perlahan-lahan suku-suku Sindh dengan sukarela memeluk Islam. Walaupun dalam suasana perang dan masih pada zaman ribuan tahun silam, kebebasan beragama benar-benar dihormati. Orang Budha dan Brahmin yang tidak memeluk Islam dihormati dan diizinkan untuk melaksanakan
Selang dua ratus tahun kemudian, Multan berada di bawah bendera dinasti Fatimiyyun pemeluk Islam sekte Ismailiyah. Kala itu, di daerah ini masih banyak umat Hindu dan Budha, yang diperlakukan sebagai ahli kitab dan dilindungi sebagai dhimmi. Hingga pada akhirnya, datanglah sang penakluk Turki dari Ghazni (sekarang wilayah Afghanistan), Sultan Mahmud Ghaznavi, yang menghancurkan semua patung emas dan kuil pemujaan di Multan. Sultan Mahmud kemudian dikenal sebagai Sang Penghancur Berhala.
Seribu tahun lebih berlalu, tak nampak lagi peninggalan pra-Islam di Multan. Kota ini dipenuhi makam guru suci Sufi. Sufi merupakan ajaran yang diterima luas oleh masyarakat Hindu kala itu, sehingga pemeluk Islam berkembang pesat di Asia Selatan. Walaupun sekarang penduduk Multan semuanya Muslim, kebiasaan pra-Islam masih tumbuh subur di sini, di antaranya berkunjung ke makam dan meminta pemberkatan dari Pir – guru Sufi – yang sudah meninggal.
Baha-ud-din Zakaria adalah seorang guru Sufi dari abad 13 yang memperkenalkan tariqa Suhrawardiyah ke India. Hingga sekarang Bahauddin masih dikenang sebagai pahlawan Islam di Asia Tengah. Di Multan sebuah universitas diberi nama dengan namanya, dan jalur kereta api cepat Multan – Karachi juga bernama Bahauddin Zakariya Express.
Makam Sang Guru menjulang tinggi dikelilingi kerumunan bangunan kuno yang berwarna merah monoton. Mazar – gedung makam – Bahauddin ini sederhana tetapi anggun dengan kubah putihnya yang besar. Gaya arsitekturnya mengingatkan saya pada masjid dan madrasah di kota kuno Samarkand di Uzbekistan. Asap dupa mengepul di dalam gedung ini, di mana gundukan mirip peti mati bertahta huruf-huruf Arab berbaris rapi. Peziarah tak terlalu banyak. Tetapi seorang wanita tua berkerudung hijau sudah mengabdikan seumur hidupnya untuk membersihkan makam ini, mungkin bagian dari nazarnya.
Tak jauh dari makam Bahauddin, adalah makam Rukni Alam. Namanya berarti Pilar Dunia. Ia adalah putra dari Bahauddin Zakaria dan juga pemuka tariqa Suhrawardiyah. Makamnya, dibangun sekitar setengah abad setelah punya ayahandanya, arsitekturnya pun punya gaya yang sama – bangunan oktagonal dengan kubah raksasa yang konon adalah kubah terbesar kedua di dunia. Temboknya semua terbuat dari bata merah, tetapi tidak polos seperti pada mazar Bahauddin. Ada ornamen dari pualam berwarna biru mengkilap diterpa sinar, dengan detail miniatur dan mozaik gaya Persia.
Ada makam (goristan) pasti ada pengemis (garra). Tradisi Sufi yang nampak pada kebiasaan orang berkunjung ke makam orang-orang suci juga memunculkan kebiasaan untuk bersedekah kepada pengemis. Tak heran, di India dan Pakistan, makam suci, masjid, dan dargah biasanya penuh oleh kaum miskin papa yang menanti sedekah. Tak sedikit orang yang tidur terkapar di atas tanah, tanpa alas sama sekali.
Seorang lelaki tua mengumpulkan sedekah untuk mazar. Ia berkeliling membawa topi yang terlungkup terbalik, di dalamnya ada beberapa lembar uang 10 dan 20 Rupee. Tentunya orang tak sekaya itu untuk memberi sedekah hanya dengan nilai nominal yang besar. Uang pecahan 10 dan 20 Rupee itu untuk pembangkit motivasi orang yang mau beramal. Saya perhatikan, kalau ada peziarah yang melontarkan uang recehan, cepat-cepat si lelaki tua itu memasukkan ke dalam kantongnya, tak ingin nilai yang kecil ini menjadi contoh bagi penderma lainnya.
Terkadang penjaga mazar juga keterlaluan. Dua orang nenek tua yang datang dari jauh ditolak masuk karena tidak membawa sandal. Masuk ke mazar memang kita harus melepas alas kaki, dititipkan di luar dan membayar uang penitipan 2 Rupee. Berhubung si nenek tak bersandal, penjaga kuburan tak mendapat pemasukan, maka mereka dilarang masuk dan disuruh memutar lewat gerbang lain.
Baik Sunni dan Syiah datang berziarah ke makam ini. Di dalam gedung mazar Rukni Alam, peziarah perempuan dipisahkan di balik purdah. Para peziarah menyentuh gundukan makam, menciumi kain hijau yang membungkusnya, membaca doa, dan bahkan ada yang menangis histeris. Yang laki-laki di sisi satu, yang perempuan di sisi lainnya. Mereka mengharapkan mukjizat dan kesembuhan dari ibadah di makam-makam suci.
Sufisme, di mana nilai Islami berpadu dengan kultur Hindu, mengakar erat dalam kehidupan tradisional Muslim di tanah Punjab.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 16 April 2009
Photonya (y)
ritual2 mohon berkah dari makam, ternyata di sana juga ada ya bang? sama seperti di indonesia