Garis Batas 3: Dushanbe, di Bawah Kemilau Somoni
Dushanbe, dalam bahasa Tajik berarti hari Senin. Dinamai demikian karena dulunya di kota ini, yang seratus tahun lalu masih berupa desa mungil, ada pasar mingguan setiap hari Senin. Untuk menghindari kerancuan, orang Tajik menambahkan kata ruz, artinya hari, di depan kata dushanbe, jadi ruzi dushanbe, untuk menyebut hari Senin.
Dushanbe menjadi ibu kota Tajikistan ketika negara bagian ini dibentuk pada tahun 1929, dipisahkan dari Uzbekistan. Kishlak, desa kecil itu, kini berubah menjadi kota yang rapi. Suasana Dushanbe hari ini masih sangat lekat dengan masa lalunya sebagai bagian dari kejayaan Uni Soviet.
Jalan utama kota ini hanya satu, Jalan Rudaki, diambil dari nama pujangga Persia yang lahir di Penjikent, sekarang menjadi bagian wilayah Tajikistan. Jalan Rudaki panjang dan teduh. Bagian tengah jalan ini adalah taman tempat orang berjalan-jalan, duduk, dan membaca. Gedung-gedungnya semua berbentuk sama, balok kotak-kotak berwarna jingga. Sebuah keseragaman dan kesamarasaan yang dibawa oleh Uni Soviet, mengharmonikan detak jantung dan denyut nadi orang-orang pegunungan ini dengan para pemimpin merah di Moskwa sana.
Jalan-jalan di sini nyaman sekali. Tidak banyak mobil lalu lalang. Orang pun tidak ramai seperti di Kabul sana. Semua berpakaian rapi dan trendy. Dibanding Afghanistan, kehidupan di Tajikistan seperti langit dan bumi. Perbedaannya sejauh Timur dari Barat.
Seragam sekolah murid Tajikistan, mulai dari sekolah dasar sampai mahasiswa universitas, sangat eksklusif, pakai dasi dan kemeja bak direktur. Gadis-gadis etnis Rusia yang tinggi-tinggi dengan rambut pirangnya tergerai, berjalan dengan sepatu boot hitam yang berirama tak tik tuk di atas trotoar.
Melihat kota Dushanbe ini, saya jadi susah percaya akan data yang saya baca tentang Tajikistan. Sembilan puluh tiga persen negara ini adalah gunung-gunung tinggi, yang artinya hanya tujuh persen wilayahnya yang bisa dibudidayakan. Setelah merdeka dari Uni Soviet, negeri ini langsung jatuh ke perang saudara, dari tahun 1992 hingga 1997. Dushanbe berdarah. Hingga sekarang ekonomi negara ini masih babak belur. Tajikistan adalah negara Asia Tengah dengan luas wilayah terkecil, sekaligus menjadi yang termiskin. Berdasarkan data tahun 2005, pendapatan penduduk rata-rata hanya dua puluh dolar per bulan, dan uang pensiun rata-rata hanya lima dolar per bulan. Sebagian besar penduduk tidak punya pekerjaan.
Tetapi semua ini tidak saya lihat di Dushanbe. Walaupun kota ini kecil dan tidak ada istimewanya apa-apa selain nyaman dan tenang, tidak juga nampak gurat-gurat penderitaan dan kemiskinan. Tidak ada bangunan-banguan rusak atau tembok bolong-bolong karena terjangan peluru seperti di Kabul. Tidak ada pengemis. Yang ada hanya taman hijau, air mancur yang menyegarkan, dan orang-orang yang sibuk menikmati kebab dan bir.
Walaupun sekarang bulan Ramadan dan orang Tajik mayoritas Muslim, pengaruh beberapa dekade di bawah panji-panji komunisme telah melunturkan nilai-nilai religius. Bahkan di siang hari bolong pun, banyak yang minum vodka di jalan.
Tajikistan juga mengembalikan memori saya akan sesuatu yang sudah lama sekali tidak pernah saya lihat. Patung. Di Pakistan saya sama sekali tidak ingat ada patung. Di Afghanistan saya juga tidak pernah lihat. Tetapi memasuki Tajikistan, semua pahlawan bangsa, dari raja hingga pujangga, diabadikan dalam bentuk patung. Di mana-mana. Di depan sekolah, di depan museum, di depan kantor. Yang paling besar tentunya patung Ismail Somoni, berdiri gagah membawa tongkat matahari. Orang Dushanbe bilang itu tongkat pengusir nyamuk. Tingginya 11 meter, dinaungi tudung raksasa dan mahkota dari emas. Patung ini dibangun untuk memperingati 1.100 tahun berdirinya dinasti Samani.
Inilah kejayaan masa lalu yang berusaha dilekatkan ke masa kini negeri kecil ini. Lambang negara Tajikistan menggunakan mahkota yang sama seperti punya Ismail Somoni. Mata uang Tajikistan pun dinamai Somoni, setelah mata uang Rubel Tajik terpuruk menjadi lembaran kertas tak berharga.
Saya berkenalan dengan Alyourov Bakhriddin, 20 tahun, seorang mahasiswa etnis Uzbek dari kota Istaravshan yang belajar kedokteran di Dushanbe, ketika dia sedang duduk membaca buku di sebuah gang kecil. Saya sangat mengagumi pakaiannya yang sangat rapi untuk ukuran mahasiswa. Kemeja putih bersih. Dasi biru donker. Jas hitam, celana panjang gelap pekat. Sepatu hitam mengkilat dengan ujung melengkung ke atas.
“Ini memang seragam sekolah,” kata Bakhriddin, “Penampilan memang penting di sini.”
Walaupun seragamnya memang jempolan, Bakhriddin pergi ke kampus tanpa membawa buku. Hanya sebuah tas kerja tipis, yang paling banyak muat tiga buku tulis. Pelajar-pelajar lain pun tidak ada yang berberat-berat membawa buku. Harga jas seragam Bakhriddin seratus dolar. Tetapi bukan berarti Bakhriddin orang kaya. Ini adalah seragam wajib yang harus dimiliki. Buku jadi kalah penting dibandingkan jas.
Bakhriddin mengundang saya menginap di kosnya. Dalam kamar sempit dan sederhana itu, empat orang tinggal bersama. Semuanya etnik Uzbek dan sebagian besar mahasiswa kedokteran. Sore hari, selepas dari kampus, Bakhriddin langsung pergi bekerja hingga keesokan paginya. Pendapatannya tak banyak. Tak cukup untuk membayar uang sekolah sebesar 500 dolar per tahun itu.
Saya sangat mengagumi semangatnya. Tajikistan memang bukan negara kaya. Orang-orang hidup tak berpunya. Tetapi tak ada pengemis di jalan. Orang punya harga diri yang tinggi untuk tidak meminta belas kasihan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 10 Maret 2008
“Tajikistan memang bukan negara kaya. Orang-orang hidup tak berpunya. Tetapi tak ada pengemis di jalan. Orang punya harga diri yang tinggi untuk tidak meminta belas kasihan”
membuat diri berpikir bagaimana dengan negara kita, negara kaya alamnya (gemah ripah loh jinawi) namun kemiskinan menjadi momok dan korbannya banyak dari anak-anak yg seharusnya bisa mengenyam pendidikan yg layak 🙁
bener bener kata kata bermakna : “Tajikistan memang bukan negara kaya. Orang-orang hidup tak berpunya. Tetapi tak ada pengemis di jalan. Orang punya harga diri yang tinggi untuk tidak meminta belas kasihan.”