Garis Batas 76: Suatu Malam di Tashkent
Tak sangka, ketika hujan rintik-rintik mengguyur, di atas jalanan taman yang becek, saya mengalami kejadian paling mendebarkan selama tiga bulan saya tinggal di Uzbekistan.
Sudah cukup lama saya tinggal di apartemen Temur Mirzaev, seorang pelajar Bahasa Indonesia di Tashkent. Apartemennya terletak di barisan gedung-gedung perumahan tinggi di sebelah pasar Yunusobod. Pasar ini adalah tempat yang ceria di siang hari, dengan para pemilik warung yang berteriak berebut pembeli. Di waktu malam, daerah ini jadi gelap gulita, karena kurangnya lampu jalan.
Hari-hari pertama saya di rumah Temur dulu, saya selalu was-was kalau keluar rumah saat malam. Selalu ada yang mengantar saya, kalau bukan Temur sendiri ya sepupu-sepupunya. Tapi lama-kelamaan saya malah jadi terbiasa dan semakin berani keluar sendirian.
Sore itu, sepulangnya dari berinternet ria di warnet seberang jalan, saya melintasi taman di depan apartemen Temur. Sambil berjalan saya menelepon seorang kawan, membuat janji untuk makan malam di restoran. Saat itu, melintas empat orang pemuda Uzbek yang tinggi-tinggi. Mereka memandang saya lekat-lekat.
“Ah, paling orang-orang kurang kerjaan yang tidak pernah lihat orang asing,” pikir saya.
Puas menelepon, saya ke pasar dulu untuk beli bakmi goreng langganan saya. Di sini namanya kovurma laghman, rasanya tak jauh berbeda dengan yang dijual di warung-warung di Jawa, hanya lebih gemuk dan berminyak. Hari mulai gelap, dan hujan masih belum juga berhenti.
Di luar warung saya masih melihat keempat pemuda itu lagi. Salah seorang memakai kaos merah dipadu topi kopiah putih. Kopiah putih sudah termasuk langka di kota Tashkent yang teramat sangat sekuler, tetapi yang lebih langka lagi adalah keempat pemuda tinggi gagah itu berpayung bersama. Payungnya pun tidak kalah dahsyatnya, plastik transparan warna merah muda, seperti payungnya anak TK. Saya berandai-andai, alangkah lebih bagusnya kalau payung itu dipasangi kuping kelinci.
Puas ber-bakmi ria, saya kembali melintasi taman yang gelap gulita itu menuju ke apartemen Temur. Susah sekali berhujan-hujan malam begini. Jalan becek dan kotor. Hanya sekitar dua meter di depan pintu apartemen Temur, tiba-tiba langkah saya dihentikan teriakan orang.
“Bratishka! Bratishka! Adik kecil! Berhenti!” teriakan serak dalam bahasa Rusia itu memecah kesunyian. Malam-malam begini, saya tidak nafsu berbicara dengan orang asing. Saya mempercepat langkah.
Tiba-tiba, dua pasang tangan kuat menyeret saya ke koridor apartemen yang suram. Kuat sekali, saya tak kuasa berontak. Yang saya tahu, saya dalam bahaya.
Mereka adalah dua dari empat pemuda Uzbek yang tadi asyik berhujan-hujan ria di bawah payung merah jambu.
“DI MANA KAMU TINGGAL?” seseorang dari mereka berteriak. Dia mengenakan jaket putih dan topi musim dingin.
Saking ketakutannya, saya tidak tahu lagi harus menjawab apa.
Mereka mulai meminta uang. Perampokan? Semua orang normal pun tahu. Hanya saya yang terlalu bodoh yang menganggap ini adalah awal sebuah persahabatan indah.
“Saya tidak punya uang,” jawab saya lirih, mohon belas kasihan.
Saya melihat sekelebat tangan terkepal melayang di udara. Insting memaksa saya menjerit keras-keras.
“AAAAAAHHHH.” Saya kenal beberapa orang yang tinggal di koridor ini. Saya hanya berharap ibu-ibu yang sedang kursus memasak di lantai satu mendengar teriakan saya.
“AAAAAAHHHH.” Saya berteriak lagi. Sekarang sebuah lengan berusaha meraih saya.
“APA INI?” kata seorang berjaket putih menarik tali kalung ha pe saya.
Saya memang mengalungkan telepon ke mana-mana, tetapi di balik jaket saya ada saku berisleting, tempat saya menyimpan barang itu. Pemuda itu tidak mendapat apa-apa, karena telepon genggam saya masih terkunci dengan aman di dalam saku jaket.
Pemuda itu terkejut dengan kegagalannya. Dan saya masih terus berteriak. Saya mencoba meraih tangga apartemen, tetapi karena histeris kaki saya terasa lemah untuk menapaki anak tangga. Entah sudah berapa kali saya terpeleset. Saya juga merasa tangan-tangan para bajingan itu berusaha meraih saya. Dalam situasi begini, jeritan adalah senjata saya satu-satunya. Di apartemen yang padat berpenghuni ini, pasti banyak yang mendengar jeritan ketakutan saya.
Akhirnya mereka kabur.
Wajah saya pucat seperti mayat setelah dengan susah payah saya mencapai rumah Temur di lantai dua. Sepupunya yang membukakan pintu segera menenangkan saya. Jantung saya masih berdegup kencang, seperti atlet lari Olimpiade.
“Gus, saya sudah tidak tahu lagi mesti marah atau kasihan kepada kamu,” kata mbak Rosalina, staf KBRI yang langsung saya telepon, “tetapi kamu itu ya, ceroboh sekali. Kita sudah berulang kali dapat peringatan dari polisi Uzbek, ‘jangan sekali-sekali menelepon di jalan’. Ini Uzbekistan, Gus, bukan Indonesia …”
Mbak Rosalina selalu menjadi tumpahan permasalahan saya sejak saya tiba di Uzbek, dan memang entah mengapa, masalah aneh-aneh selalu datang bertubi-tubi. Ini adalah kecelakaan keempat yang saya alami di Uzbekistan. Dulu sudah uang kecurian, terus kamera rusak, terus HP dicolong orang di bus, belum lagi digiring ke kantor polisi di Ferghana. Cuma mbak Rosalina yang masih bersabar mendengar keluh kesah saya.
Belakangan saya tahu, keamanan di Tashkent, seperti halnya kota-kota besar Asia Tengah lainnya, memang sangat buruk. Ada seorang kawan Perancis yang bercerita bahwa temannya kerampokan di dalam apartemen. Laptop, TV, uang, semua benda berharga ludes disikat. Bukan pencurian biasa, tetapi perampokan dengan kekerasan.
Saya membaringkan diri di atas kursi empuk rumah Temur, masih berusaha meyakinkan otak saya yang bandel ini, bahwa yang saya alami tadi bukan lelucon belaka.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 19 Juni 2008
ati2 pakdhe 😀
Ceritanya seru Gus… Kapan Buku ke 4 keluar …?