MyTrip (2013): Titik Nol, Apakah Makna Perjalanan ini Bagimu?
MyTrip Vol12/2013
Book review
Teks: Mayawati Nur Halim Foto: Hartadi, Dok.Pribadi Agustinus Wibowo
Perjalanan keliling adalah lingkaran sempurna: awal adalah akhir, tiada awal tiada akhir. Aku kembali ke titik nol.
Judul: Titik Nol
Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit:Gramedia
Pustaka Utama Isi: 552 halaman + 40 halaman foto Harga: Rp 98.000
AGUSTINUS WIBOWO
Sebelumnya ia telah melahirkan dua buku dengan genre sama yakni Selimut Debu dan Garis Batas. Merupakan kisah petualangannya di Afghanistan dan negeri-negeri Stan di Asia Tengah. Awalnya pemuda Lumajang, Jatim, yang pernah bekerja sebagai jurnalis di Beijing dan Afghanistan ini dikenal publik lewat rubrik “Petualang” di Kompas Cyber Media. Kini ia menetap di Jakarta.
SAFARNAMA NAMANYA
Judul bukunya memang Titik Nol, tapi Agus menamai catatan pengembaraannya ini dengan Safarnama. Sebuah istilah dari Bahasa Persia yang artinya “catatan perjalanan”. Safarnama inilah yang menjadi inti buku ini, yang diceritakan pada sang bunda yang tengah meregang nyawa di ranjang rumah sakit di Surabaya. Ada 6 subbagian:
• Senandung Pengembara tentang Tibet.
• Surga Himalaya tentang Nepal.
• Kitab Tanpa Aksara tentang India.
• Mengejar Batas Cakrawala tentang Pakistan.
• Dalam Nama Tuhan masih tentang Pakistan.
• Di Balik Selimut Debu tentu tentang Afghanistan.
Bagian awal dan akhir buku: Penantian dan Pulang, meski hanya beberapa halaman, tapi justru sanggup mengiris-ngiris perasaan siapa pun yang membacanya. Hati-hati nangis ya!
Foto-foto hasil jepretan penulis di setiap negara yang diblusuki juga diselipi di tiap bagian.
DUA KISAH
Gaya penulisan yang memparalelkan dua kisah berbeda namun tetap terjalin benang merahnya merupakan gaya baru made in Agustinus Wibowo. Ia menuturkan kehidupan pribadinya terutama yang berkaitan dengan orangtuanya selip-menyelip dengan kisah perjalanannya. Setiap ujung penggalan cerita menyisakan rasa penasaran, yang membuat kita berat untuk menutup bukunya. Di sinilah terlihat kepiawaian penulis melakukan pemenggalan di bagian yang akan membuat kita memburu “what’s next?”
Sama seperti kedua bukunya terdahulu, pemilihan katanya amat kaya, gaya bertuturnya nggak monoton, mengalir sangat lancar; kadang kita sebagai pembaca seolah diajak berbincangnya langsung. Di beberapa bagian ia sangat puitis merangkai kata, tapi di bagian lain sangat praktis meramu kata yang menggelitik tawa. Misalnya saja: dekat di mata tapi jauh di kaki, gertakan sambal terasi, negeri jam karet elastis, attitude sickness, massa pasukan mau tahu, negeri megatoilet, negeri Abang Sam (bukan Paman Sam), traveler mengintil angin, membuat lelucon dari bahan baku derita. Juga penggambaran Tibet sebagai Disneyland dengan wahana utama: Buddhism Adventure.
SETELAH MEMBACA….
Mayoritas pembaca yang sudah melahap buku pertama dan keduanya, setelah membaca buku ini niscaya merasa makin mengenal penulis lebih dalam, lebih dekat, lebih karib. Agus begitu jujur dan berani membeberkan seluruh kepelikan hidup keluarganya, tentang ibunya yang merasa kurang dicintai suaminya, tentang perang pengaruh saudara-saudara ibunya terhadap keyakinan sang bunda; hal lain, juga tentang perasaan terdalamnya pada Lam Li, kawan seperjalanan asal Malaysia yang banyak mengajarkan makna perjalanan padanya. Rasa penasaran para penggemar Agustinus terjawab sudah.
Benar juga apa kata Lam Li dalam pengantar di buku ini kalau di dahi seorang Agustinus seolah tertulis “rob me, rape me, rescue me!” —”rampok aku, perkosa aku, tolong aku!” Simak aja halaman 408, bagaimana Agus diselamatkan orang asing dalam kerusuhan panas di Lahore, Pakistan. By the way, pengantar yang ditulis oleh Lam Li bener-bener nendang! Kelihatan nyata kedekatan mereka dan pemahaman Lam Li tentang pribadi Agus.
QUOTE PERJALANAN
Perjalanan sebenarnya adalah proses menumbukkan fantasi dengan realita, sering kali diiringi kecewa ketika fantasi demi fantasi rontok berguguran. (103)
Perjalanan bisa jadi pelarian dari rasa takut, bisa pula pencarian untuk menemukan cara membunuh takut. (139)
Perjalanan bukan hanya berpindah, tapi juga untuk berhenti. (316)
Perjalanan mengajarkan musafir bersyukur untuk setiap tetes embun dan embusan napas, untuk setiap berkas sinar dan desau angin, ledakan tawa dan persahabatan. (324)
Perjalanan membuatku menikmati kebahagiaan, yang hanya sendiri aku rasakan, dan mungkin justru menyisakan kesedihan dan kerinduan pada setiap orang yang kutinggalkan. (338)
Di awal perjalanan, kisah berpusat pada “aku” dan selalu “aku”, namun perlahan-lahan si “aku” meredup, berganti dengan “mereka”. (414)
Perjalanan adalah sebuah point of no return. Tak ada istilah kembali ke sedia kala. Setelah melewati perjalanan panjang ini, segala sesuatunya tak akan pernah sama lagi. (480)
Perjalanan adalah melihat rumah sendiri layaknya pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, adalah menemukan diri sendiri dari sudut yang selalu baru, adalah menyadari bahwa Titik Nol bukan berarti berhenti di situ. (547)
Leave a comment