Titik Nol 9: Darchen
Cemas masih menggerayangi ketika mobil mulai oleng diterpa air sungai yang menderas. Kami tepat di tengah-tengah. Dua puluh meter ke belakang, dua puluh meter ke depan, untuk bisa keluar dari kubangan menyeramkan ini.
Sopir memilih mundur. Para penumpang sudah menjerit marah bercampur ketakutan. Beberapa lelaki Tibet turun, ikut mendorong mobil yang tertambat.
Tepat sepuluh menit berkubang, mobil kami akhirnya berhasil mencapai tepian. Para penumpang mendengus kesal. Barang bawaan mereka yang ditaruh bagasi belakang semua jadi hitam bercampur lumpur. Ibu polisi Tibet itu lebih sedih lagi, sekarung beras yang dibawanya juga jadi beras lumpur.
“Itulah pengabdian,” katanya sambil menghela nafas panjang, ketika kami melanjutkan perjalanan.
Saya tersentuh oleh pengabdian polisi senior ini. Gajinya cuma 2500 Yuan. Di Tibet, di tempat yang terpencil dengan semua harga barang melambung tinggi, gaji itu sama sekali tidak ada apa-apanya. Naik bus seperti ini sepuluh kali saja sudah habis. Untuk makan tiga orang aja selama satu bulan juga tidak cukup. Belum lagi untuk tabungan, biaya hidup anak dan keluarganya. Tetapi bu polisi tetap tegas menjalankan tugas, menegakkan hukum di pelosok terjauh Republik Rakyat China, tak peduli dengan rengekan orang asing yang melakukan perjalanan-perjalanan ilegal.
“Kalian mau ke Gunung Dewa kan?” bu polisi kembali mengakrabkan diri, “Gunung Dewa bagi kami orang Tibet besar sekali artinya. Kalau sudah sampai situ, kalian mesti melakukan kora – mengelilingi gunung satu putaran penuh.”
Bagi orang Tibet, kora adalah ibadah. Biksu Tibet bisa melakukan kora sampai ratusan kali dalam hidupnya. Bu polisi mengaku sudah mengitari Gunung Kailash tujuh kali.
“Jumlahnya harus ganjil. Kami bisa mengitari satu kali. Tetapi kalau sudah mengitari dua kali, harus cepat-cepat lanjutkan putaran ketiga. Tidak baik kalau angka putarannya genap.” Sekali putaran kora adalah perjuangan panjang naik turun gunung sejauh 54 kilometer. Ini adalah ziarah panjang yang penuh perjuangan.
Seperti seorang guide, ibu polisi yang saya takuti ini terus bercerita,
“Bagi orang Tibet, kora itu bukan sekadar ibadah. Itu juga melambangkan perjalanan manusia mencapai pencerahan. Perjalanan fisik adalah perlambang perjalanan batin mencari titik terang.”
Saya sudah tidak sabar untuk mencapai Kailash. Gunung suci itu sudah menampakkan dirinya di sisi kanan. Menjulang gagah. Bentuknya limas, ditudungi salju putih di puncaknya. Segurat garis vertikal membelah wajah depannya. Ada aura magis yang dipancarkan puncak ini.
Setiap tahun ribuan orang dengan penuh penyerahan jiwa menempuh perjalanan panjang penuh derita sampai ke tempat ini. Bagi orang Tibet, Kailash adalah tempat yang wajib dikunjungi seumur hidup. Neykhor, atau ziarah, bukan sekadar berkunjung ke tempat suci dan meminta berkah. Penduduk di pedalaman berjalan kaki atau merangkak dari kampungnya untuk mencapai istana Potala di Lhasa. Jarak ribuan kilometer untuk mencapai tempat suci bukanlah derita yang menyakitkan, melainkan jalan menuju terang yang digapai.
Setiap ziarah penuh dengan penderitaan, pencapaian pencerahan melalui liku-liku yang tak pernah mudah. Salah satu kekhasan orang Tibet berziarah adalah mengitari. Secara harafiah, ney berarti tempat suci, dan khor berarti mengitari. Kora mengelilingi Kailash juga termasuk neykhor. Untuk mencapainya, mendapat pencerahan di Kailash, rintangan dan kesusahan adalah bagian dari proses penggapaian itu.
Saya tidak tahu, apakah perjumpaan dengan ibu polisi ini sudah diguratkan dalam takdir perjalanan saya mencapai Kailash. Hati saya tak berhenti berdegup kencang. Sepanjang jalan saya menyamar sebagai seorang Guangdong yang dibesarkan di Asia Tenggara. Saya baru tahu, berbohong itu melelahkan.
“Selamat datang di Darchen,” senyum lebar ibu polisi itu tersenyum lebar saat melompat dari jip.
Kami tiba di dusun Darchen, tepat di kaki Kailash.
“Sekarang, kalian bertiga ikut saya. Kita urus pelanggaran-pelanggaran ini. Semua yang melanggar hukum harus didenda, tanpa terkecuali!”
Kami digiring ke pos polisi Darchen. Pintunya terkunci. Ibu polisi menggedor-gedor, tak ada jawaban.
Dia mengeluh, “Semua keluar karena ada acara di puncak gunung. Sudah, kalian cari losmen saja. Dua orang Korea ini harus menginap di hotel khusus yang boleh menerima tamu asing. Besok mereka pagi-pagi harus menghadap saya, untuk urusan pelanggaran yang belum selesai ini.”
Lalu di mana saya boleh menginap?
“Kalau kamu, di mana saja boleh, tidak ada masalah. Kamu kan orang sini. Di bawah, di warung sana, ada banyak penginapan murah.”
Ternyata penyamaran saya masih belum terbongkar. Sampai di bawah, pria pemilik warung menyambut saya dengan gembira.
“Kamu betul-betul beruntung. Hari ini juga menginap dua turis dari Guangdong. Nanti kalian bisa bercakap-cakap dalam bahasa daerah kalian! Senang sekali bukan?”
Saya mengangguk. Sudah terlanjur basah berbohong, kebohongan-kebohongan berikutnya tak bisa dihindari. Moga-moga saja di warung ini tidak ada mata-mata dari kantor polisi. Saya tidak ingin berjumpa dengan ibu polisi itu lagi.
(bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 14 Agustus 2008
Leave a comment