Titik Nol 33: Pagi di Kathmandu
Nepal, Never Ending Peace And Love, kerajaan mungil yang terjepit di antara dua raksasa dunia, dikelilingi pegunungan tinggi atap dunia, dan hidup dalam mistisme tanpa akhir.
Sebuah hari yang baru di Kathmandu selalu dimulai dengan kegaduhan. Sebaris umat Hindu berkeliling menyusuri jalan-jalan kota, memainkan musik dan memanjatkan mantra. Ada drum, seruling, kendang, dan lonceng, mengingatkan umat untuk bersembahyang memuja dewa-dewi di kuil yang bertaburan di seluruh kota.
Pusat kota Kathmandu adalah lapangan di istana kerajaan kuno, Lapangan Durbar. Di luar pagar istana, di sekeliling portal Hanuman Dhoka, banyak sekali kuil dan patung. Pagi hari, yang paling ramai adalah patung seram Kala Bhairab.
Kala, artinya hitam. Patung ini pun berwarna hitam. Wajahnya seperti buto dalam tradisi Jawa, lengkap dengan kalung tengkorak manusia. Tangannya ada enam, tubuh besarnya menginjak sesosok tubuh. Di hadapannya, puluhan umat Hindu berbaris untuk menghaturkan sesajian.
Kala Bhairab, mungkin adalah manifestasi dari Dewi Durga, sang Dewi Perang yang dipuja. Durga adalah pendamping Dewa Shiwa, dewa yang paling banyak pemujanya di antara ketiga dewa utama agama Hindu. Patung Kala Bhairab dipercaya punya kekuatan gaib. Siapa yang berbohong di hadapannya, langsung mati. Zaman dahulu, mereka yang punya perselisihan menyelesaikan masalah mereka di hadapan patung ini, karena tak seorang pun bisa berdusta.
Lilin, barisan lampu mentega, mantra yang bergema, denting lonceng, adalah kesibukan pagi hari di sekitar Hanuman Dhoka. Peramal dan pertapa Brahmin dikelilingi umat yang berdoa. Sang Brahmana komat-kamit lalu menorehkan serbuk bunga merah di dahi umat yang berdoa. Saya baru tahu bahwa tika, warna merah di dahi orang India yang sering saya lihat di film, adalah pemberkatan setelah umat Hindu melaksanakan ibadah puja.
Orang suci atau sadhu berjalan berkeliling lapangan, memberi pemberkatan pada umat yang membawa sedekah. Dengan semaraknya turisme di Nepal sejak dari zaman hipi dulu, orang suci pun sudah tahu bahwa mereka bisa memperoleh dolar dari jepretan kamera.
Tersebar, menjalar ke segala penjuru dari Lapangan Durbar, adalah kota kuno Kathmandu yang tersohor. Kota ini seperti terbungkus dalam mesin waktu. Gang-gang sempit berkelok-kelok seperti benang kusut. Kuil-kuil kuno bertaburan di mana-mana, bahkan hingga ke gang Bangunan-bangunan tua berjajar sepanjang jalan, menyebar dari persimpangan chowk.
Di Nepal, chowk dan kuil adalah penunjuk jalan yang paling utama. Jalan-jalan di sini tak punya nama. Kalau mencari alamat, orang mesti berpatokan pada chowk. Misalnya, si Ram Krishna, rumahnya di dekat Indra Chowk, atau si Pushp rumahnya di dekat Tole Chowk. Tentu saja, ketika kotanya semakin berkembang dengan penduduk yang terus bertambah padat, mencari alamat dengan cara ini tidak mudah. Ada berapa Ram Krishna di dekat Indra Chowk, dan di dalam radius lima puluh meter sekitar Tole Chowk ada berapa rumah dan gang yang tersembunyi? Karena ketiadaan alamat yang valid, orang Kathmandu biasanya menyewa kotak pos di kantor pos untuk menerima surat-surat. Saya yang semula mencari sahabat pena saya waktu zaman masih SMP dulu, sekarang harus kecewa karena mencari alamat di Kathmandu sungguh susah.
Pagi hari juga waktunya para kuli bekerja, mengangkut barang yang beratnya sampai puluhan kilogram. Yang membedakan kuli Nepal dengan di negara-negara lainnya adalah, di sini orang mengangkut beban berat dengan memanggul di punggung, diikat dengan tali, dan bertumpu pada kepala. Tentunya kepala mereka sangat kuat, bahkan hingga sanggup menahan beban lemari es dua pintu.
Penarik rickshaw sudah berkeliling gang-gang kecil, mencari penumpang. Sungguh menakjubkan, gang kota kuno Kathmandu yang tak lebih dari empat meter lebarnya ini, masih penuh dengan manusia, sepeda, motor, bahkan mobil. Walaupun semua kendaraan yang masuk dalam kekusutan kota ini harus berjalan merayap karena campur aduk dengan manusia, anjing, jalan becek, dan proyek kabel listrik, tetap saja kota kuno ini menjadi lintasan wajib segala jenis kendaraan.
Zaman terus berputar. Modernitas dunia berpadu dengan tradisi-tradisi kuno yang terus hidup di Kathmandu. Di samping gadis-gadisnya yang nampak ayu dibalut sari warna-warni, anak muda Kathmandu sekarang sudah trendi dengan T-shirt dan celana jeans. Apalagi kota ini banjir turis mancanegara, mode fashion apa pun sudah menjadi biasa.
Yang paling populer saat ini adalah kaos dengan tulisan-tulisan aneh seperti “I’m Sorry” atau “I sleep only with the best”. Entah mengapa pemuda di sini, mulai dari tukang kue, penjaga toko, sampai penarik rickshaw suka memakai kaos ini. Beberapa pesan di atas kaos juga mengundang gelak tawa, semisal, “No money? No problem! No car? No problem! Guess What? No Date!!!”
Pagi-pagi begini, tak ada yang lebih nikmat daripada secangkir teh susu panas di pinggir lapangan. Roti paratha sungguh lezat dipadu dengan segarnya teh susu. Saya sangat suka makanan tradisional Nepal. Selain nasi dhal bat, bakmi goreng daging kerbau juga mirip makanan Indonesia.
Umat Hindu dan Budha masih terus berdatangan ke lapangan. Bau dupa dan harum bunga semerbak mengisi pagi. Denting lonceng dan mantra mengingatkan akan ritual yang tak pernah berakhir di negeri penuh cinta kasih ini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 17 September 2008
kala bairab: sangar medeni. itu merah darah (hewan/korban) sesajen kah?
Ini buku bgs bgt! Juara