Articles by Agustinus Wibowo
Samera dan bayinya (AGUSTINUS WIBOWO) Cahaya remang-remang bohlam mungil mengaburkan raut wajah para penghuni rumah. Tetapi tawa riang tak pernah berhenti membawa kesegaran di sini. Yang saya ingat dari Samera, kakak Hafizah yang berusia 25 tahun ini, adalah seorang wanita berkulit gelap yang menangisi kepergian ayahnya, almarhum Haji Sahab. Di bawah rintik hujan, suara Samera meraung memilukan. Liang kubur ayahnya baru saja ditutup ketika ia menginjakkan kaki di tanah Noraseri yang becek. “Mengapa tidak ada foto Bapak?” kata Samera kecewa, memencet-mencet tombol kamera digital saya. Saya memang tidak mengambil foto jenazah Pak Haji karena takut melanggar norma masyarakat setempat. “Saya tidak sempat melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya, tetapi kamu malah tidak memotretnya,” keluh Samera lagi, air matanya menetes membasahi pipi. Tetapi Samera hari ini, tiga minggu lebih setelah kepergian ayahandanya, sudah berubah menjadi perempuan yang ceria. Ia tertawa lepas ketika melemparkan bayinya yang baru enam bulan tinggi-tinggi, dan kemudian memeluk si bayi erat-erat. Bayi laki-laki itu sama sekali tidak menjerit atau menangis. “Anakku ini bocah pemberani,” katanya sambil mengusap-usapkan kepalanya di atas kepala si bayi. Bayi itu hanya tersenyum kecil. Samera kemudian mengangkat bayinya tinggi-tinggi, memutar makhluk malang itu seperti kincir angin. Si bayi tertawa lepas. Samera lebih bangga [...]
Titik Nol 158: Keluarga Haji Sahab
Keluarga Haji Sahab (AGUSTINUS WIBOWO) Masih ingat Pak Haji, atau Haji Sahab, yang meninggal di hari kedatangan saya di Noraseri? Rumah duka itu kini sudah mulai menampakkan keceriaan di tengah masa perkabungan. Terlahir sebagai Sayyid Karim Haider Shah Kazmi, almarhum Pak Haji pernah tinggal selama 38 tahun di Saudi Arabia. Ia bekerja, menetap, dan menikah di sana. Istrinya orang Arab. Selama di tanah suci, Karim Haider sudah menunaikan ibadah haji tujuh kali. Karena itu begitu pulang, ia dikenal oleh penduduk kampung Noraseri sebagai Haji Sahab. Orang desa menyebut keluarga ini sebagai Arabwallah, orang Arab. Pak Haji punya delapan anak. “Sebenarnya waktu itu kami sudah punya satu anak laki-laki,” kata Bu Haji, “tetapi Haji Sahab ingin satu putra lagi. Tetapi Allah berkehendak lain. Anak-anak berikutnya, sampai anak kedelapan, semua perempuan.” Bu Haji, atau Bari Amma (nenek besar) berusia lima puluhan, berkulit gelap seperti orang dari propinsi Baluchistan di selatan sana. Raut mukanya tenang, tak banyak bicara. Pakaiannya adalah shalwar kamiz sederhana dengan dupata yang berfungsi sebagai kerudung sekaligus penutup dada. Saya sempat tak percaya bahwa Bari Amma ini orang asing. Ketika baru datang dari tanah Arab dulu, bahasa Urdunya katanya tak jauh berbeda dengan bahasa Urdu saya yang amburadul, tetapi sekarang [...]
Titik Nol 157: Majlis di Noraseri
Majlis di atap rumah (AGUSTINUS WIBOWO) Ternyata bukan hanya di Muzaffarabad saja Chehlum diperingati. Bahkan di desa terpencil Noraseri, di atap rumah yang hampir ambruk, di hadapan gunung agung Nanga Parbat, orang-orang dengan takzim mendengar ceramah suri tauladan Imam Hussain. Farman Shah, seorang penduduk desa terpandang, mengundang saya untuk mengikuti peringatan Chehlum yang diadakan di rumahnya, tepat pukul 1 siang. Seorang lelaki bernama Tajjamal khusus diutus untuk menemani saya yang masih di Muzaffarabad. Pria ini berkumis, berjenggot, dan bercambang lebat. Sebenarnya masih muda, tetapi karena rambut-rambut di wajahnya, jadi kelihatan tua sekali. Perjalanan ke Noraseri dengan angkutan umum ternyata tidak mudah. Kami berdua sempat ganti kendaraan tiga kali. Yang pertama saya harus berdiri bergelantungan di luar mobil Suzuki, dengan kedua tangan memegang erat-erat tiang besi supaya tidak jatuh. Ini sebenarnya sudah lazim kalau berjalan-jalan di Pakistan. Tetapi jalanan Kashmir bergunung-gunung, berlubang dan bergerunjal. Berapa kali saya terlompat, belum lagi wajah saya diraupi debu jalan. Sungguh tidak nyaman. Saya bertanya kepada Tajjamal tentang Aliwallah yang merayakan Ashura dan Chehlum. “Hai. Saya juga Aliwallah, karena saya juga cinta Ali. Bukan hanya orang Syiah saja yang Aliwallah. Semua orang yang mencintai Ali, termasuk Sunni, juga disebut Aliwallah.” Tajjamal, sebagaimana kebanyakan orang Sunni di [...]
Titik Nol (156): Mandi Darah
Zanjir terayun (AGUSTINUS WIBOWO) Darah segar mengaliri punggung bocah-bocah kecil belasan tahun ini. Beberapa tetes terciprat ke wajah dan pakaian saya. Semua orang hanyut dalam nuansa perkabungan, peringatan empat puluh hari wafatnya Imam Hussain dalam perang Karbala. Sepuluh Muharram tahun 61 Hijriyah, atau 680 Masehi, Hussain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad S.A.W, gugur dalam pertempuran di perang Karbala melawan khalifah Yazid. Lebih dari 1300 tahun berselang, umat Syiah di Pakistan memperingati peristiwa itu dengan bermandi darah. Saya didampingi seorang pria tua berjenggot lebat yang mengaku sebagai petugas lapangan acara peringatan Chehlum hari ini. Pak tua bukan hanya memberi tahu saya harus ke mana dan meliput apa, malah masih membantu saya memanjat tembok dan pagar untuk mendapatkan angle yang bagus untuk liputan prosesi akbar ini. Pelataran masjid Syiah Muzaffarabad dipenuhi oleh pria yang berbaris bersaf-saf, berhadap-hadapan. Mereka semua bertelanjang dada atau berkaus kutang putih. Bersamaan, mereka mengayunkan lengan kanan tinggi-tinggi, kemudian dilecutkan ke dada masing-masing dengan keras. Plak..! Kemudian lengan kiri diangkat, dipukulkan dengan kencang ke dada. Plak…! Berulang-ulang, bertalu-talu. Gemuruh pukulan serempak di dada ratusan orang berhamoni bak musik pengiring. Kadang lembut dan lambat, kadang cepat dan penuh histeria. Orang-orang ini seakan tersihir dalam maatam, memukuli dada [...]
Titik Nol 155: Para Pengikut Ali
Mengikatkan bendera (AGUSTINUS WIBOWO) Suasana kesedihan menggelayut di Muzaffarabad. Para pria serempak memukuli dadanya. Anak-anak menyambitkan pisau tajam. Darah di mana-mana. Empat puluh hari yang lalu, 10 Muharram, adalah hari yang paling sedih sepanjang tahun. Ratusan orang berkumpul di lapangan, menangis bersama-sama, memukuli diri, dan menyambitkan rantai pisau sambil meratap. Darah segar mengalir, tetapi sama sekali tidak menghalangi jalannya upacara. Bulan Muharram adalah bulan penuh kesedihan. Warna hitam bertabur di seluruh pelosok kota. Lengang, karena tidak ada yang menyalakan musik lagu-lagu Hollywood. Yang terdengar sekarang adalah lantunan irama maatam, tangan yang menepuk dada berirama sebagai lambang berkambung, dan lagu-lagu yang mengalir melankolis, meratapi kematian Hussain dan kejamnya perang Qarbala. Hari ini, 20 Safar, adalah berakhirnya masa perkabungan yang empat puluh hari itu. Orang Pakistan menyebutnya sebagai Hari Chehlum, dari bahasa Farsi yang artinya ‘hari ke-40’. Bagi umat Syiah, memperingati Chehlum hampir sama pentingnya dengan memperingati Ashura. Walaupun mayoritas penduduk Pakistan menganut sekte Sunni, Chehlum juga diperingati sebagai hari libur nasional. Saya mengunjungi sebuah masjid umat Syiah di pusat kota Muzaffarabad, tidak jauh dari bazaar utama. “Kamu Muslim?” tanya Hamdani, seorang pria tiga puluhan mengenakan shalwar kamiz hitam-hitam, warna perkabungan. Hamdani mengaku sebagai penjaga keamanan upacara peringatan [...]
Titik Nol 154: Rumah Baru, Harapan Baru
Rumah baru, harapan baru (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan kembali ke Noraseri rasanya seperti pulang ke kampung halaman. Saya mulai merasa bahwa dusun di pegunungan ini adalah suratan takdir saya, tempat saya menemukan orang-orang dan ratusan kisah yang mengubah hati saya. Salah satunya adalah keluarga Basyir Sahab. Dulu saya hanya mengenal Pak Basyir sebagai petugas keamanan kamp kami. Orangnya kurus, berkumis lebat, tetapi senantiasa ramah dengan senyumnya. Selalu berjubah shalwar kamiz ke mana-mana. Kalau perkemahan kami sedang kosong ketika para pekerja sosial turun ke lapangan, Pak Basyir lah yang menjaga keamanan barang-barang kami. Pak Basyir juga membantu memasak, menyediakan perlengkapan, dan membantu kami boyongan. Lebih dari itu, saya tak tahu banyak karena Pak Basyir sendiri tak banyak bicara. Hingga akhirnya saya berkenalan dengan Mubasshar, putra tertua Basyir Sahab yang berumur 22 tahun. Mubasshar berjenggot lebat sehingga kawan-kawannya di Noraseri menjulukinya sebagai Sufi, ahli mistis. Sejak bencana gempa itu, Mubasshar tak pernah mencukur jenggotnya lagi, mungkin sebagai nasar. “Waktu gempa itu aku sedang bekerja di Muzaffarabad,” kata Mubasshar, “dan jalan menuju Noraseri sama sekali terputus.” Muzaffarabad hancur lebur, ribuan orang tewas. Mubasshar lebih kuatir keluarganya yang masih tinggal di lereng pegunungan Noraseri. Tanpa pikir panjang, di tengah alam yang masih sesekali mengamuk dan [...]
Titik Nol 153: Keresahan yang Terpendam
Terpenjara [ilustrasi] (AGUSTINUS WIBOWO) Di balik terali besi pintu gerbang penjara kota Gilgit, saya berjumpa dengan kedua gadis Indonesia yang terpenjara. Dua gadis itu bertubuh pendek. Berkaus lengan panjang dan mengenakan celana training. Warna kerudung mereka mencolok, menyembulkan rambut hitam di dahi. “Mas dari Indonesia ya?” sapa gadis kedua yang baru datang. Suaranya lembut. Ramah sekali. “Sendirian ke sini? Kenapa ke sini?” Saya bercerita tentang Rajja Sadafar dari kantor District Commissioner di Gilgit. Si gadis mengangguk-angguk, mengucapkan terima kasih. Gadis yang satu lagi, yang semula berteriak-teriak mengusir saya, kini datang mendekat dan bergabung dalam percakapan. Tetapi, belum sempat kami bercakap-cakap banyak, dan masih cuma taraf basa-basi, tiba-tiba terdengar suara menggelegar. “Jao!Tum jao! Pergi! Pergi kamu!” Seorang sipir berlari sambil membentak, membuat gerakan seperti mengusir ayam. Tak pernah saya diperlakukan seperti ini selama berada di Pakistan, yang orang-orangnya ramah dan lembut. “Jao!” teriaknya lagi. Kini sudah hampir menyeret saya menjauh. Di kejauhan, Mariam dan Christina sayup-sayup memandang. Saya tak tahu apa yang mereka pikirkan. Pertemuan ini sangat mengecewakan. Sudah sekian lama saya memimpikan untuk bertemu dengan kedua gadis ini. Sebenarnya saya sudah mendengar kisah mereka sejak dua bulan silam, dari gosip-gosip yang beredar di Gilgit. Adalah Rajja Sadafar yang membuat saya [...]
Titik Nol 152: Terpenjara
Terpenjara [ilustrasi] (AGUSTINUS WIBOWO) Di kota Gilgit, ada dua kawan kita yang terkucil dalam penjara. “Kasihan sekali,” kata Rajja Sadafar, seorang pegawai pemerintahan di kantor Deputy Commissioner, “mereka sendirian di sini. Tak ada yang mengunjungi. Tak ada kawan, tak ada keluarga.” Matanya berkaca-kaca ketika berkisah tentang dua gadis Indonesia yang terpenjara di Gilgit. Rajja, pria berusia empat puluhan ini, begitu senang bertemu saya yang kebetulan sedang memperpanjang visa di kantor DC. “Jarang ada orang Indonesia bisa sampai ke sini. Sebagai kawan senegara, kamu mesti menengok mereka. Bawalah buah, mereka pasti senang sekali.” Rajja kemudian menulis dalam buku catatan saya, ‘Maryam dan Christina’, nama kedua gadis itu. Di kota Gilgit, rumor bertebaran tentang kedua gadis misterius ini. Khalayak ramai seakan tahu segala-galanya tentang mereka. Kasusnya pernah merebak, menjadi buah bibir di kota. Maryam dan Christina ditangkap petugas perbatasan Pakistan ketika mencoba menyelundupkan empat kilogram heroin ke negeri Tiongkok, melalui perbatasan Karakoram Highway. “Mereka gadis lugu,” kata Yaqub, pemilik penginapan yang katanya pernah diinapi oleh Maryam dan Christina sebelum ditangkap, “masih sangat muda belia. Wajah mereka mungil dan tubuhnya pun kecil. Ada seorang pria Pakistan bersama mereka. Kasihan, gadis-gadis itu diperalat karena keluguannya.” Heroin itu konon disimpan di dasar tas ransel mereka. [...]
Titik Nol 151: Terjebak Birokrasi Pakistan (2)
Dari Islamabad… (AGUSTINUS WIBOWO) Perpanjangan visa Pakistan membuat saya merasa seperti bola pingpong yang dilempar dari satu kantor ke kantor lain. Kementrian Dalam Negeri letaknya jauh sekali dari Kantor Paspor. Islamabad adalah kota modern yang didesain oleh orang Eropa tetapi dimanajemen oleh orang Pakistan. Akibatnya adalah perencanaan tata kota yang matang yang berbaur dengan morat-maritnya dunia ketiga. Jalan lurus dan panjang, taman-taman yang teratur rapi, di sebuah kota kosong di mana kantor-kantor pemerintah bertebaran di segala penjuru. Saya dan dr. Zahid menunggu di depan bangunan Visa Section di kompleks Kementrian Dalam Negeri. Ada dua pintu. Yang satu khusus untuk warga Afghan, keturunan Afghan, dan jurnalis – kelompok rawan. Pintu lainnya untuk orang asing, turis, dan NGO. Jam kerja kantor ini dari pukul 11 hingga 12 siang – benar-benar jam kerja yang ideal. Pengumuman yang tertempel di depan pintu mengatakan bahwa pukul 10:45 akan dibagikan nomor urut bagi para pengantre. Tetapi tidak ada antrian di sini. Semua orang bergerombol di depan pintu yang masih tertutup. Kami hanya menantikan detik-detik pintu kayu yang agung itu akan terbuka, sebagai jalan emas menuju visa Pakistan. Bukan Pakistan namanya kalau tidak terlambat. Pukul 11:15, pintu itu baru terbuka. Seorang petugas membawa setumpuk kartu kecil. Bukannya [...]
Titik Nol 150: Terjebak Birokrasi Pakistan (1)
Sok kenal sok dekat. Dengan berbekal foto bersama kepala inspektur polisi ini saya berharap semua urusan akan berjalan mulus (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin memang takdir saya untuk selalu dipusingkan masalah visa. Saya teringat betapa saya harus beradu mulut untuk mendapatkan visa India di Nepal, bersusah payah dengan setumpuk beban mental untuk mendapat visa Pakistan di India, dan kini, saya akan mengalami serentetan perjuangan panjang dalam semrawutnya birokrasi Pakistan. Salah satu masalah bagi tenaga sukarelawan asing adalah visa. Tak terasa, visa tiga bulan yang diberikan Kedutaan Pakistan akan segera habis dalam beberapa hari ini. Sebelumnya, Rashid dari Danish Muslim Aid selalu berusaha meyakinkan saya, “Jangan kuatir untuk urusan visa. Saya akan membantumu. Semuanya pasti beres, Insya Allah!” Saya pun menaruh harapan besar padanya, apalagi katanya Rashid kenal banyak orang penting di Muzaffarabad. Di Pakistan, semuanya bisa jalan dengan koneksi. Kenal seorang tetangga dari ipar dari sepupu dari nenek dari ayah dari teman dari bibi dari ibu Anda bisa mengantar Anda ke puncak dunia, atau kalau salah orang, ke penjara. Sering kita melihat hubungan kekerabatan yang ruwet dalam film-film Bollywood. Sekarang, semuanya itu menjadi dunia nyata yang sedang saya jalani. Hubungan koneksi yang panjang mengantar saya dan Rashid duduk di hadapan Senior Superintendent [...]
Titik Nol 149: Jalan Persahabatan, Gang Martabat
Rumah permanen yang dibangun oleh Sabit Merah Turki (AGUSTINUS WIBOWO) Gempa bumi Kashmir bukan hanya menyisakan penderitaan dan tragedi. Ada pula mukjizat dan harapan baru yang muncul dari tumpukan puing-puing reruntuhan. Sebuah mazar, makam orang suci Muslim, terletak di dekat kawasan Sekretariat. Pada hari terjadi gempa, beberapa umat bersembahyang dalam mazar. Entah apa yang terjadi, orang-orang ini khusyuk dalam ibadah mereka, sama sekali tak merasakan goncangan dashyat yang menghancurkan Kashmir. Betapa terkejutnya ketika mereka meninggalkan mazar, menyaksikan lingkungan Muzaffarabad yang tiba-tiba hancur lebur. Sedangkan mazar ini, bukan hanya masih berdiri, bahkan satu goresan pun tak ada. Kisah mukjizat ini yang kemudian menjadi buah bibir masyarakat Muzaffarabad. Di dekat mazar ada sebuah madrasah. Bocah laki-laki dan perempuan yang masih kecil-kecil bersama belajar membaca Al Qur’an di bawah bimbingan sang ustadz, seorang pria gemuk berjubah, berjenggot, dan berkopiah. Mereka belajar di halaman, karena gedung madrasah sudah retak dalam keadaan parah, sangat berbahaya kalau ada goncangan sedikit saja. “Kami datang untuk ikut merasakan air matamu,” demikian spanduk merah bertebaran di jalan utama Muzaffarabad. Spanduk ini dipasang oleh Insani Yardim Vakfi (IHH), sebuah organisasi kemanusiaan asal Turki yang sudah mengulurkan tangan di pelbagai daerah bencana di seluruh dunia. Di antara negeri-negeri Muslim, hanya Turkilah [...]
Titik Nol 148: Lautan Tenda
Lautan tenda pengungsi di Narol (AGUSTINUS WIBOWO) Jantung kota Muzaffarabad, ibu kota Azad Jammu dan Kashmir, terletak di persimpangan dua sungai paling penting di Pakistan, Neelum dan Jhelum. Perbukitan kota ini menjamin kesejukan udara setiap saat. Pemandangannya pun tentram. Kalau bukan karena menjadi sengketa antara India dan Pakistan, dan kalau tidak diluluhlantakkan oleh gempa dahsyat 8 Oktober 2005, kota ini pasti menjadi tujuan wisata favorit. Muzaffarabad bukan kota besar. Jalan raya menghubungkan distrik Chella Bandi di utara sampai ke Gedung Sekretariat di ujung selatan, panjangnya cuma empat kilometer. Karena berbukit-bukit, jalanan di sini juga naik turun, menyusuri lereng gunung. Beberapa lintasan sangat terjal, sehingga tak jarang mobil harus berputar-putar untuk naik. Pejalan kaki tak perlu repot karena pemerintah membangun undak-undak sepanjang jalan pintas. Jalan setapak merambah kota ini bak benang kusut, membuat Muzaffarabad semakin menantang untuk dijelajah sebagai labirin raksasa. Muzaffarabad punya kebanggaan sejarah. Benteng Merah, atau Lal Qila, dibangun pada pertengahan abad XVII oleh Sultan Muzaffar Khan, pendiri kota Muzaffarabad. Benteng ini rusak parah karena gempa. Beberapa bagian sudah tereduksi menjadi tumpukan batu. Landmark lainnya kota ini adalah sebuah hotel mewah bernama Neelum Valley Hotel, terletak di tebing menjorok ke Sungai Neelum. Pemiliknya adalah seorang menteri di Azad Kashmir, [...]
Titik Nol 147: Turun Gunung
Kota Muzaffarabad pasca gempa (AGUSTINUS WIBOWO) Setiap seminggu atau sepuluh hari, kami mendapat giliran sekali ‘turun gunung’ ke Muzaffarabad. Sebuah kesempatan untuk melepaskan kejenuhan bekerja di pedalaman. Juga kesempatan untuk berhubungan dengan dunia luar, atau setidaknya bertelepon ria dengan sanak saudara di luar sana. Perjalanan dengan jip dari Noraseri tidak selalu lancar. Jalan sempit menukik lancip di pinggang gunung seringkali tertimbun batu dan pasir dari longsoran, gara-gara hujan lebat semalam. Mobil kami berlari sambil melompat, sementara di bawah sana jurang menganga dalam. “Ayo, sekarang kamu hapalkan puisi ini,” kata Aslam, “Puisi ini wajib hukumnya di Kashmir. Namanya Qaumi Tarana, Syair Kebangsaan.” Walaupun berkibar bersama bendera Pakistan, Azad Kashmir bukan Pakistan. Selain punya bendera, lagu kebangsaan, sendiri, ternyata ada puisi kebangsaannya juga. Baris-barisnya mudah diingat, sajaknya cantik, dan maknanya sederhana. Baghon aur baharonwalla (taman dan musim semi) Daryaon aur kohsaronwalla (sungai dan pegunungan) Jannat ki nazaronwalla (pemandangan surgawi) Jammu Kashmir hamara (Jammu dan Kashmir milik kita) Watan hamara, Azad Kashmir, Azad Kashmir, Azad Kashmir! (Tanah air kita, Kashmir merdeka!) Jalan utama Muzaffarabad yang tetap ramai (AGUSTINUS WIBOWO) Syair ini menyebut keindahan negeri Kashmir – taman, musim semi, sungai, gunung, dan pemandangan surgawi. Saya masih bersusah payah menghafal larik-larik syair itu. Di [...]
Titik Nol 146: Di Bawah Temaram Lampu Minyak
Gembira menerima sheet CGI (AGUSTINUS WIBOWO) Sekali perjalanan naik turun gunung, mengumpulkan data puluhan keluarga korban gempa dalam sehari, rasanya sudah membuat remuk tulang punggung. Tetapi saya tersentuh oleh keramahan setiap keluarga miskin yang selalu menawarkan secangkir teh panas. Dalam kesengsaraan, mereka masih ingat berbagi kebahagiaan. Hari ini kami mengunjungi lima desa. Tiga di atas, dua di bawah. Ijaz mengajari saya, kalau berpapasan dengan perempuan, kita tak boleh memandang wajah mereka atau berkontak mata, harus cepat-cepat menunduk dan mengalihkan pandangan. Umumnya penduduk desa menantikan kedatangan kami, menyampaikan keluh kesah jumlah CGI sheet yang tak cukup, atau menyampaikan keberhasilan rumah baru mereka yang mungil namun nyaman. Untuk setiap penerima bahan bantuan, kami mencatat nama kepala keluarga dan nama ayah. Hanya mereka yang sudah berkeluarga saja yang berhak menerima. Banyak orang yang punya nama sama di Pakistan. Hampir semua orang namanya berasal dari Al Qur’an. Karena itu pulalah, nama ayah juga perlu dicatat untuk menjadi pembeda. Tetapi ada pula kasus di mana dua orang bisa punya nama sendiri dan nama ayahnya yang sama persis. Untuk kasus begini, yang paling berfungsi adalah nomor KTP. Setiap korban gempa yang menerima bahan bangunan harus menunjukkan dokumen. Mengerjakan laporan di kemah menjelang tidur (AGUSTINUS WIBOWO) Senja [...]
Titik Nol 145: Belajar di Atas Puing-Puing
Sekolah tenda (AGUSTINUS WIBOWO) Kemah biru besar terletak di bukit di atas perkemahan tim sukarelawan kami. Pagi hari, ketika kabut masih menyelimuti badan gunung, saya masih terbungkus selimut tebal mengusir dingin, bocah-bocah di luar sana sudah bernyanyi lagu kebangsaan. Di tenda biru itu mereka sekolah, belajar di atas puing-puing gedung sekolah yang sudah ambruk. Tenda ini sumbangan China. Tertulis huruf Mandarin besar – Jiu Zai – Pertolongan Bencana. Saya dulu pernah melihat ratusan tenda serupa di Aceh sehabis tsunami. Sekarang, tenda China ini juga populer di daerah gempa Pegunungan Kashmir. Hari ini, semangat anak-anak sekolah yang belajar di pagi yang masih dingin menggigit, turut membakar tekad saya untuk bekerja lebih giat. Walaupun medan sangat berat, saya membulatkan tekad untuk terus berjalan bersama Ijaz Gillani dan Manzur, dua sukarelawan asal Islamabad. Mereka orang kaya, tetapi tak segan bekerja di desa seperti ini. Tugas kami hari ini adalah mendata keluarga yang menerima sumbangan bahan bangunan rumah. Beberapa hari ini, NGO kami membagikan sheet CGI untuk atap rumah, yang katanya lebih tahan gempa dan sejuk di musim panas. Sekarang, beberapa keluarga sudah menyelesaikan pembangunan rumah mereka, dan tugas kami adalah mendokumentasikan aktivitas mereka. Total ada 500 rumah permanen yang dibangun di pegunungan ini, [...]
Titik Nol 144: Kehidupan di Tenda
Mencukur jenggot pagi-pagi (AGUSTINUS WIBOWO) Sudah tiga puluh jam lebih hujan turun tanpa henti. Kalau Jakarta, pasti sudah banjir bandang. Di Kashmir, tanah melorot dari barisan gunung-gunung tinggi. Gemuruh longsor sambung menyambung tiada henti, menciutkan nyali. Pagi yang baru sudah diusung ke Pegunungan Kashmir. Langit masih gelap, dibungkus mendung. Dari barisan tenda yang sepi itu, satu demi satu tirai tersibak. Suara sandal yang diseret-seret memecah keheningan pagi. Laki-laki membawa pot berisi air panas, mengambil wudhu dan menggosok gigi. Anis Sahab duduk di dalam tenda, memegang cermin kecil, mencukur jenggotnya dan menyisakan kumis lebatnya. Aslam Sahab sudah keluar, selimut dan tikarnya sudah rapi. Di pagi yang dingin, berbungkus jaket tebal, para sukarelawan sudah rapi jali. Sedangkan saya, ah, menyentuh air pun tak berani. Hanya menggosok gigi saja, itu pun sehari sekali. Karena kemalasan yang tiada duanya ini, lima hari kemudian, wajah saya jadi hancur diselimuti jerawat gemuk. Kawan-kawan Pakistan ini tidak memakai sikat gigi dan odol untuk menggosok gigi. Cukup dengan potongan batang kayu yang disebut miswaak atau maswak. Panjangnya sekitar 15 cm, diameternya kecil. Disodokkan ke dalam mulut, digosok-gosok. Kelihatannya nyaman sekali, karena potongan kayu itu bisa nyangkut di mulut mereka sepanjang hari. Kalau iseng, digosok-gosok lagi. Pantas saja gigi [...]
Titik Nol 143: Perkabungan
Acara jenazah (AGUSTINUS WIBOWO) Hujan rintik-rintik masih mengguyur pegunungan Kashmir. Dingin menggigit. Di bawah selimut tebal yang hangat terasa sangat nyaman. Memang waktu terbaik untuk tidur. Tetapi tiba-tiba datanglah berita duka itu. Saya membuka mata dengan malas. Sesaat saya lupa sedang berada di mana. Malam pertama di Noraseri, dengan suara gemuruh tanah longsor yang sambung-menyambung, mengantarkan segala macam mimpi aneh dalam tidur saya. Orang-orang mulai ribut dalam kemah, bicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Anis, pria Kashmir empat puluh tahunan berkumis tebal ini menjelaskan dalam bahasa Urdu, “Ada banda (orang) yang barusan meninggal.” Bahasa Urdu saya masih pas-pasan sekali. Saya tidak menangkap maksudnya. “Apa? Ada bandar meninggal?” Para sukarelawan terpingkal-pingkal. “Bukan. Bukan bandar. Tetapi banda.” Belakangan saya tahu bandar artinya monyet. Sungguh kesalahpahaman yang tidak pada tempatnya, karena orang yang meninggal ini sangat dihormati di desa Noraseri. Suasana kembali serius. “Kemarin Haji Sahab, Pak Haji, masih ke sini. Dia masih segar bugar. Hari ini sudah meninggal?” Pak Anis masih tercengang dengan kabar yang disampaikan penduduk desa. “Sakit jantung! Memang sangat mendadak sekali!” “Kita mesti turun, ikut berbelasungkawa.” Para sukarelawan sibuk berdiskusi di kemah kami. Rashid menoleh ke arah saya. “Kamu ikut saja. Di sana kamu bisa potret-potret. Lumayan, baru [...]
Titik Nol 142: Sebuah Desa di Lereng Gunung
Barisan gunung salju terlihat dari Noraseri (AGUSTINUS WIBOWO) Tengoklah tanah Kashmir ini. Gunung-gunung hijau tinggi menggapai langit. Manusia, bak semut, bertaburan dari kaki, pinggang, hingga ke puncak gunung. Di kala malam, gunung-gunung itu seperti mengenakan pakaian berkelap-kelip. Indah sekali. “Tetapi bayangkan ketika gunung yang menggapai langit itu, tiba-tiba, ditumpahkan ke atas kepalamu,” kata Syed Abid Gilani, pemimpin LSM Danish Muslim Aid di Islamabad, “itulah yang terjadi di Kashmir.” Ia menitikkan air mata. Siapa yang tidak menangis meratapi bencana yang menimpa tanah Kashmir, surga di muka bumi? Bahkan setelah gempa bumi ini pun, tempat ini masih teramat indah. Muzaffarabad gemerlap di waktu malam. Bukit-bukit diselimuti rumah penduduk. Setiap rumah menyalakan lampu, menjadikan bukit ini tidak hanya berselimut gelap yang muram. Saya malah teringat Hong Kong. Walaupun tidak ada gedung tinggi di sini, Muzaffarabad tak kalah cantiknya. “Listrik, air, semua gratis untuk korban gempa selama enam bulan, 24 jam sehari,” kata Rashid. Tak heran semalam suntuk semua orang menyalakan lampu. Kota ini seperti lautan bintang yang berkelap-kelip, mendaki dari permukaan bumi, menyusuri lereng gunung, hingga ke langit tinggi bergabung dengan bintang yang sesungguhnya di batas cakrawala. Tetapi banyak di antar penduduk yang kurang beruntung. Bukannya menikmati fasilitas gratis ‘pelipur lara’ dari pemerintah, [...]
Titik Nol 141: Dari Reruntuhan
Bocah-bocah pengungsi (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini saya punya gelar baru – sukarelawan. Saya sudah berada dalam mobil milik Danish Muslim Aid, sebuah organisasi kemanusiaan, menuju ke Kashmir yang diluluhlantakkan oleh gempa bumi 8 Oktober 2005. Sudah lama sekali saya ingin ke Kashmir. Saya teringat betapa bulatnya tekad saya untuk menjadi sukarelawan gempa ketika memohon visa Pakistan di New Delhi, lima bulan silam. Tetapi setelah mendapatkan visa, saya malah menyempatkan berkeliling Rajasthan, dan akhirnya mendapat penyakit hepatitis. Mungkin Tuhan mengingatkan saya akan komitmen yang saya buat dahulu. Ada perasaan tertekan dan bersalah, ketika harus menghabiskan hari-hari dengan beristirahat di pegunungan Hunza untuk memulihkan diri dari sakit kuning. Perasaan bersalah akan pengingkaran janji. “Mana Agustinus yang dulu bercita-cita jadi sukarelawan? Mana semangat sosialnya yang menggebu-gebu? Sekarang mengapa malah jadi turis di Hunza?” demikian bunyi e-mail Lam Li yang langsung menampar saya tanpa basa-basi. Hari ini, saya sudah resmi jadi sukarelawan, walaupun terlambat. Seorang kawan di Islamabad menjadi kepala organisasi Danish Muslim Aid (DM-Aid) yang menghimpun dana bantuan dari Denmark. Saya diminta membantu mendokumentasikan kegiatan mereka di lapangan. Saya berada di dalam mobil organisasi bersama Rashid, seorang sukarelawan juga. Rashid masih berumur 25 tahun, tetapi kumis tebalnya membuatnya tampak jauh lebih tua [...]
Titik Nol 140: Kota Modern
Kota Islamabad yang modern (AGUSTINUS WIBOWO) “Yang istimewa dari Islamabad adalah,” kata Syed Khalid Raza, pemuda Islamabad, “ibu kota ini terletak sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan.” Berada di Islamabad, kita seakan sudah bukan lagi berada di Pakistan. Lupakan hiruk pikuknya Rawalpindi, benteng dan masjid kuno Lahore, gang sempit yang meliuk-liuk di tengah bazaar Anarkali, atau kereta keledai yang hilir mudik di jalanan kota Pakistan. Di sini bukannya tempat jalan bolong-bolong dan genangan air hitam berbau busuk, bukan pula tempat asap hitam kendaraan bermotor mengotori udara. Selamat datang di sebuah kota masa depan Pakistan, di mana gedung tinggi menjulang sepanjang jalan raya yang mulus, lurus dan lebar, di mana mobil mewah berseliweran, dan rakyat Pakistan meletakkan kebanggaannya. Sebelum tahun 1960, Islamabad bukan apa-apa. Ibu kota Pakistan sejak negeri ini terpisah dari India pada tahun 1947 adalah Karachi. Kota Karachi, jauh di ujung propinsi Sindh di selatan, di tepi Laut Arab, dianggap kurang strategis letaknya. Presiden Ayub Khan kemudian memindahkan ibu kota ke Rawalpindi pada tahun 1958 lalu pindah lagi ke Islamabad dua tahun kemudian. Ibu kota ini sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan, demikian gurauan penghuni Islamabad. Walaupun jaraknya hanya beberapa kilometer dari Rawalpindi – kota terdekat dan dinyatakan sebagai sister city [...]