Articles by Agustinus Wibowo
Lebih dari lima jam untuk memperbaiki truk yang rusak. Lihatlah Jaffar dan sang kenek yang sudah hitam legam. Mereka marah, terus menggerutu menyumpahi truk bobrok yang harus mereka bawa sampai ke Cheghcheran. Tapi ternyata tak sampai empat puluh menit kami berjalan, mobil yang kutumpangi mogok lagi. Ah, kali ini rusaknya lebih parah. Mesin mobil sampai mengeluarkan asap. Parahnya, tempat mogok kali ini adalah di lembah sempit antara dua gunung. Bayang-bayang gunung menghalangi jatuhnya sinar mentari. Angin pun bertiup kencang menerpa wajah. Satu jam… dua jam…. Di sini waktu tak ada harganya, berlalu begitu saja bersama angin gunung. Tak ada kawan bicara, aku hanya mengamati truk lekat-lekat dan mendapatkan pengetahuan yang berharga, misalnya truk ini adalah Toyota buatan Jepang dengan mesin dari Jerman, plat nomornya sudah copot. Ada dua roda depannya dan delapan roda belakangnya. Satu roda buatan Iran, tujuh India, dan dua Thailand. Kendaraan ini diimpor dari pasar barang bekas Dubai dan didatangkan ke Kabul oleh sebuah perusahaan yang stikernya tertera di kaca depan. Hmmm… barang bekas dengan kombinasi komponen dari berbagai negara. Truk ini sudah mati. Kondensornya rusak. Mesin tak lagi bisa memutar roda-roda besarnya. Tak ada harapan. Langit pun beranjak gelap. “Tak ada cara lain,” kata Jaffar, “kamu [...]
#1Pic1Day: The Love We Share #5 (Afghanistan, 2008)
The Love We Share #5 (Afghanistan, 2008) Father’s Face—a young girl of an Uzbek nomadic shepherd is gazing at her father in the steppes of Badakshan, Northern Afghanistan. Wajah Ayah—seorang gadis dari keluarga gembala nomaden Uzbek menatap wajah ayahnya di tengah padang rumput Badakhshan, Afghanistan utara. [...]
Selimut Debu 95: Apanya yang Cantik?
Aku menggigil. Sekarang masih pukul tiga dini hari namun semua orang sudah bergegas berangkat. Subuh di pegunungan Ghor menyakitkan dinginnya. Tanganku, yang semula masih bergetar, sekarang sudah kaku tak bisa digerakkan sama sekali. Ujung-ujung jari kaki pun begitu berat, untuk berjalan pun sakit sekali. Aku bahkan tak sanggup melompat ke badan truk dan harus didorong oleh si kenek Hazara untuk naik. Mungkin karena mendaki puncak Gazzak kemarin, truk ini sekarang bagaikan penderita TBC akut yang sudah ringkih. Jalannya tersendat-sendat. Mendaki sedikit saja, asap hitam langsung mencoreti angkasa. Tak sampai tiga jam, ketika matahari baru saja mulai terbit menghapus gelap, truk Jepang yang kutumpangi mogok total. Sopir meloncat turun. Mesin rusak. Roda rusak. Aku rasa, semuanya pun bakalan rusak sebelum kami sampai di Cheghcheran. Kami mengumpulkan semak belukar untuk membuat api. Suara api bergemeretak, membakar tumpukan rumput dan batang kering. Sedikit energi hangat menjalar. “Demi Nabi! Truk sekarat ini rusak lagi!” umpat Jaffar keras. Ini kedua kalinya truk mogok, padahal kami baru berjalan dua jam. Tampaknya truk-truk ini memang sudah waktunya pensiun. Kali ini rusaknya serius. Mekanik truk, yang disebut masteri, sudah coreng-moreng wajahnya. Sedari tadi ia berbaring di bawah mesin dengan segala macam perkakas. Hasilnya, nihil. Satu jam, dua jam, [...]
#1Pic1Day: The Love We Share #4 (Afghanistan, 2008)
The Love We Share #4 (Afghanistan, 2008) Mom’s Burqa—A young boy is hiding behind his mother’s burqa veil during food distribution by a missionary charity organization, in Kabul. Burqa Ibu—seorang bocah bersembunyi di balik burqa ibunya pada saat pembagian makanan dari sebuah organisasi misionaris kemanusiaan di Kabul. [...]
Selimut Debu 94: Parade Gunung-Gunung
Seperti keledai tua dengan bawaan berat di punggungnya yang terengah-engah, truk Kamaz perlahan mendaki pinggang gunung. Truk merayap perlahan menyusuri tebing curam. Jalan berbelok ke kanan, naik sedikit, balik ke kiri, naik sedikit lagi, berbelok ke kanan lagi. Setiap belokan truk harus berhenti. Perjuangannya sungguh tak mudah. Matahari membakar, debu halus membungkus rapat-rapat. Bahkan di dalam badan mobil pun aku merasakan mesin truk sudah begitu panas, seperti hampir meledak. Keringat menetes di pelipis Jaffar. Gas sudah ditekan keras-keras, Kamaz tak mau juga merangkak naik. Kendaraan ini mengeluarkan bunyi keras menjengkelkan. Semburan asap hitam bercampur dengan debu halus beterbangan. Sekarang jalan pun tak terlihat, tertutup rapat oleh selimut debu dan gas beracun. Kenek berlari ke arah kepulan debu. Dengan gerakan tangannya, ia menunjukkan ke mana truk harus membelok. Jalanan ini sangat curam sehingga Kamaz harus berhati-hati mendaki. Sedikit halangan saja, kendaraan raksasa ini bisa meluncur kembali ke bawah. Di dalam badan truk, kami gerah. Mesin truk ini sudah luar biasa panas sehingga udara pegunungan yang sejuk pun terasa begitu membakar. Setiap tikungan truk harus berhenti beberapa menit, mendinginkan mesin, persiapan untuk tanjakan berikutnya. Setapak, setapak, setapak… pendakian ke puncak Gazzak seperti tak kunjung berakhir. Jaffar berjingkrak kegirangan, dua jam kemudian. Emosinya [...]
#1Pic1Day: The Love We Share #3 (Afghanistan, 2008)
The Love We Share #3 (Afghanistan, 2008) Father’s Dream—a father brings his sick son from a village hundreds of kilometers away and stay over a chilling night in the holy shrine in Mazar-e-Sharif at the Eve of Naoruz New Year, so they can touch the holy flag and wish for a miracle for the son’s recovery. Impian Ayah—seorang ayah membawa anaknya yang sakit dari desa yang ratusan kilometer jauhnya dan melewatkan malam yang dingin di makam suci Mazar-e-Sharif sebelum tahun baru Naoruz, sehingga mereka bisa menyentuh bendera suci dan mengharapkan mukjizat bagi kesembuhan si anak. [...]
Selimut Debu 93: Jangan Baca Buku
”Jalan Lintas Tengah” bagaikan parade bukit-bukit debu yang membentang antara Herat sampai ke Kabul, melintasi daerah kekuasaan dinasti kuno Ghorid yang tenggelam oleh ratusan pegunungan. Hanya mereka yang tangguh mampu bertahan di sini. Garmao terletak di tengah jalan utama antara menuju Cheghcheran, ibu kota provinsi Ghor. Tetapi jangan bayangkan ”jalan utama” ini adalah jalan raya yang ramai dilewati segala macam angkutan. Sama sekali tidak. Ini adalah jalan sempit berdebu. Lumpur di sana-sini. Yang banyak melintas adalah keledai, kawanan domba, dan gembala padang. Tengah hari, aku mulai bosan menghitung keledai lewat. Baru ketika aku berbalik ke arah warung, dari kejauhan terlihat debu mengepul. “Truk datang! Truk datang!” bocah-bocah berlarian, berteriak kegirangan, seolah disiram debu yang beterbangan tergilas roda truk adalah hiburan di tengah kebosanan dusun sepi ini. Aku pun sama riangnya dengan mereka. Aku memanggil pemilik warung untuk berbincang dengan sopir truk. Ini adalah barisan dua truk. Sopir dan keneknya meloncat turun untuk makan siang di warung seberang jalan. Kakek pemilik warung bermata satu juga bergegas menghampiri mereka, membujuk sopir untuk mengangkutku sampai Cheghcheran. “Empat ratus Afghani!” kata sopir tegas. Delapan dolar. Sama sekali tak murah. Dia beralasan risiko mengangkutku yang orang asing ini begitu besar, ada Taliban yang mengincar orang [...]
#1Pic1Day: The Love We Share #2 (Afghanistan, 2008)
The Love We Share #2 (Afghanistan, 2008) Mom’s Hug—a young girl of a shepherd family is hiding her face in her mom’s hug, in Pamir, Northern Afghanistan Pelukan ibu—seorang gadis keluarga penggembala menyembunyikan wajahnya di balik pelukan ibu, di Pamir, Afghanistan utara. [...]
Selimut Debu 92: Peradaban yang Hilang
Hidup itu ada naik turunnya. Begitu Nassir Ahmad menyimpulkan perjalanan panjang dirinya. Demikian pula perjalanan peradaban bangsa Afghan. Sebuah negeri megah pernah berdiri di puncak kejayaannya, dan kini yang tersisa adalah debu-debu tanpa makna. Terpana. Nyaris aku tak percaya menyaksikan ini. Di tengah kepungan gunung-gunung cadas dan tandus, tiba-tiba muncul sebuah menara menakjubkan—kemegahan yang muncul dalam kekosongan. Badannya kurus, menjulang setinggi 65 meter. Bentuknya yang tinggi ramping, sedikit doyong, namun justru memancarkan aura karena daya tahannya melintasi zaman ratusan tahun di tengah bebatuan cadas yang mengurungnya. Menara itu muncul tiba-tiba, tak terduga, tepat ketika Nassir Ahmad membelokkan mobilnya ke arah lembah. Siapa sangka di tempat terpencil seperti ini ada bangunan kuno yang berdiri dengan anggun? Siapa sangka setelah perang puluhan tahun yang menghancurkan Buddha raksasa Bamiyan dan gua-gua Buddha di seluruh penjuru negeri, minaret ini masih tegak tak terjamah? Minaret Jam, dindingnya diselimuti ukiran ayat-ayat Al Quran dan puja-puji terhadap Sultan Ghiyasuddin, sang raja Dinasti Ghorid, yang menaklukkan kekuasaan Ghaznavi dan pada saat bersamaan mendirikan masjid kuno di Herat yang masih gemerlap dan agung hingga hari ini. Lalu mengapa menara ini berdiri merana, sendirian di tempat sunyi ini? Di sekitarnya tak ada reruntuhan bangunan yang menemani. Kalau ia menara masjid, [...]
Agama, Nasionalisme dan Kemanusiaan di Mata Agustinus Wibowo
Senin, 03 Maret 2014 13:31 WIB ( 570 Views ) http://islamindonesia.co.id/detail/1485-Agama-Nasionalisme-dan-Kemanusiaan-di-Mata-Agustinus-Wibowo#sthash.vTZddrUA.dpuf Penulis : Lina Agustinus Wibowo saat mengisi workshop di Kantor Mizan Pustaka, Bandung pada Sabtu, (01/03/14). Perjalanan adalah jembatan antara nilai-nilai universal yang menyangkut agama, nasionalime, dan kemanusiaan. Nama Agustinus Wibowo mulai mendapat tempat di hati para traveler Nusantara dengan tiga buku best-sellernya, yakni Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol. Bukan hanya karena kisah perjalanannya yang unik dan penuh tualang, tapi juga karena paradigma baru yang berhasil ia tawarkan pada para pembaca. Sebuah paradigma yang mampu menyentuh hati—tentang bagaimana memaknai tiap langkah manusia, hingga mampu mengubah pola pikir yang kadang, menjadi garis batas bagi dirinya sendiri—dengan agamanya—dengan etnisnya—dengan negaranya—yang sebetulnya mengkerangkeng nilai-nilai universal yang dimiliki setiap manusia. Ditemui di sela-sela mengisi Workshop di Kantor Mizan Pustaka, Bandung, lelaki kelahiran Lumajang, Jawa Timur ini bercerita panjang lebar tentang pengalamannya selama menjadi traveler—terkait agama, nasionalisme dan kemanusiaan. Berikut ini adalah petikan wawancara dengan Agustinus Wibowo; Latarbelakang keagamaan Anda? Orangtua saya Budhis, tapi saya disekolahkan di sekolah Kristen. Jadi, saya juga ke sekolah Minggu, juga ke Vihara. Saya dibesarkan dalam kultur dua agama [...]
#1Pic1Day: The Love We Share #1 (Afghanistan, 2008)
The Love We Share #1 (Afghanistan, 2008) Father’s Hand—a young girl of a farmer is hiding behind her father, in Cheghcheran, Central Afghanistan Tangan Ayah—seorang anak petani bersembunyi di balik tubuh ayahnya, di Cheghcheran, Afghanistan [...]
Selimut Debu 91: Bukan Saat Berkeluh Kesah
Barangku yang hilang telah menghebohkan seluruh warung. “Peida misha. Peida misha. Pasti ketemu…” begitu kata mereka berulang kali untuk menenangkanku. Tanpa sepengetahuanku, pemilik warung kembali lagi ke ruangan. ”Saudara-saudara! Barang yang hilang itu besar sekali artinya bagi si orang asing itu. Siapa yang melihat, tolong kembalikan!” Semuanya ikut mencari, tanpa tahu apa yang mesti dicari. Pemilik warung melangkah lebih jauh. Ia meminta semua penumpang yang menginap di warungnya untuk berbaris membawa barang masing-masing. Semua akan digeledah untuk memastikan tidak ada yang mencuri barangku. Sepuluh menit berlalu. Keringat terus bercucuran walaupun udara begitu dingin. Sopir kembali lagi memeriksa ke dalam mobilnya. Ia keluar dengan senyuman. Hard disk-ku ada di tangan kanannya. “Barangmu sudah ketemu!” Kecerobohanku sudah mengobrak-abrik kedamaian malam di Garmao. Hard disk itu rupanya jatuh dari kantong waktu aku berdesak-desakan di dalam Falang Coach, terguncang-guncang melewati jalanan penuh lubang. Pemilik warung membisikiku, sebenarnya ada penumpang yang mencuri dari kantongku dan menyembunyikan di dalam mobil. Entahlah, aku tak peduli. Yang jelas setelah mendapatkan kembali barang berharga ini, hatiku dipenuhi bunga-bunga. Suasana di dalam warung pun penuh kebahagiaan. Dua puluhan penginap bertepuk tangan dan merangkulku, penuh haru. Seheboh itukah? Sopir Falang Coach sangat khawatir kalau aku harus tidur di dalam penginapan ini [...]
#1Pic1Day: Sayap Patah | Broken Wings (Kyrgyzstan, 2006)
Broken Wings (Kyrgyzstan, 2006) A Kyrgyzstan boy on a horse is showing a wounded bird he just found on the ground. The ancestors of the Kyrgyz were nomadic people, but most of them are not anymore, or at least semi-nomadic. During the Soviet era, nomadism was regarded backward, so the Russians deliberately moved the nomads to apartment blocks. Some Kyrgyz people still preserve their nomadic culture, staying inside yurts in the steppes during the summer months, then move to their concrete houses in winter. The capability of horse riding, which used to be in their blood, now is also relatively decreasing. Sayap Patah (Kirgizstan, 2006) Seorang bocah berkuda di Kirgizstan menunjukkan seekor burung terluka yang ditemukannya. Nenek moyang bangsa Kirgiz adalah bangsa nomaden, tetapi sekarang mereka sudah semi-nomaden, terlebih lagi sejak datangnya orang Rusia yang menganggap nomadisme adalah keterbelakangan, dan memindahkan para penggembala ke blok-blok apartemen. Beberapa orang Kirgiz yang masih melestarikan gaya hidup semi-nomadisme, tinggal di padang rumput pada musim panas, dan kembali ke rumah bangunan di musim dingin. Kemahiran dalam berkuda, yang semula adalah kultur yang mendarah daging, kini juga semakin berkurang. [...]
Selimut Debu 90: Pasti Ketemu
Kerusakan yang dialami truk Kalandar kali ini teramat parah. Sekarang, giliranku untuk berjuang sendirian. “Tak ada harapan,” kata Kalandar, ”Maaf, kami tak bisa membawamu lebih jauh lagi. Malam ini kami pun terpaksa tidur di sini. Kamu cari kendaraan lain saja. Kamu sebaiknya berhenti sampai Garmao, bukan di Kamenj. Kalau tidak ada kendaraan, berhenti saja di desa berikut.” Aku melangkah gontai menuruni bukit. Hati kosong. Bagaimana kalau mesti terjebak di jalan pegunungan ini? Tak ada listrik yang menerangi kegelapan malam, tak tahu harus melangkah ke mana. Bagaimana kalau desa berikut penduduknya tak ramah? Bagaimana kalau diserang perampok atau serigala di tengah jalan? Bagaimana kalau terpaksa tidur di jalan? Dinginnya malam pegunungan sungguh tak terbayang, apalagi aku tak punya cukup baju hangat. Setengah jam berjalan, tiba-tiba sebuah Falang Coach melintas. Berlalu begitu saja. Lalu sepeda motor, juga tak menghiraukanku yang berjalan sendirian. Aku terus berjalan menuruni bukit. Aku melihat bayangan mobil berhenti di tepi sungai di bawah sana. Ah, pertanda baik. Sekarang waktu salat Magrib, dan orang Afghanistan tidak akan mau terlambat barang semenit pun untuk mendirikan salat. Aku bergegas ke arah mobil yang sekitar setengah kilometer di bawah. Semoga mereka belum berangkat. “Tolong… aku orang asing,” aku merengek memelas di hadapan [...]
#1Pic1Day: Jam Istirahat | Rest Hour (Kyrgyzstan, 2006)
Rest Hour (Kyrgyzstan, 2006) School boys in Toktogul, a small town in Kyrgyzstan, are playing in the school playground during rest hour. Ex-Soviet countries generally have high coverage of education. Even the poorest nations have illiteracy rate next to zero. The rural school in Toktogul have somehow adopted international system, receive Peace Corps volunteers and aid from Soros Foundation from the States, and their students also often win national-level awards. Jam Istirahat (Kirgizstan, 2006) Bocah-bocah sekolah di Toktogul, sebuah kota kecil di Kirgizstan, sedang bermain di halaman sekolah pada saat jam istirahat. Negara-negara pecahan Uni Soviet umumnya memiliki pendidikan yang merata, bahkan untuk negara yang paling miskin pun hampir tidak ada penduduk yang tidak bisa baca tulis. Sekolah desa di Toktogul ini bahkan mengadopsi sistem pendidikan internasional dan para siswanya sering meraih penghargaan di tingkat nasional. [...]
Selimut Debu 89: Kebakaran
Kalandar adalah jenis orang yang kucari-cari sejak tiga hari terakhir—sopir truk. Dia sedang sibuk memperbaiki truknya yang rusak. Truk miliknya itu adalah jagoan, Kamaz, truk berbodi hijau buatan Rusia yang terkenal ketangguhannya di medan berat, sangat cocok untuk jalanan Afghanistan yang bergerunjal di lintasan pegunungan. Entah sudah berapa puluh tahun umur kendaraan ini. “Jangan khawatir,” katanya, ”kamu boleh menumpang.” Ia hanya meminta ongkos seratus Afghani untuk membawaku sampai ke Kamenj. Bukan basa-basi, semoga. Sejam berikutnya, aku sudah duduk di badan truk di samping sopir dan rekan-rekannya. Ini adalah tempat kehormatan karena para penumpang lain harus duduk di bak terbuka bersama tumpukan barang yang berkarung-karung. Kalandar orang Tajik. Ia membawa tiga awak. Yang satu mekanik, dalam bahasa Dari disebut masteri, tetapi semua orang di sini memanggilnya dengan lafal Misteri. Namanya sudah tenggelam oleh profesinya. Masteri kami adalah orang Tajik, bertubuh tambun dan berjenggot kriwil-kriwil. Kalau mobil rusak di jalan, ia bertanggung jawab memperbaiki karena dia yang paling mengerti soal mesin. Dua awak lainnya adalah kenek, asisten sopir. Kenek bertugas mengangkut atau menurunkan barang, membantu sopir dan mekanik kalau ada kerusakan, memasak makanan, menunjukkan jalan waktu menyeberang sungai atau mendaki tebing terjal, dan segala pekerjaan tetek-bengek lainnya. Umumnya mereka masih muda dan [...]
#1Pic1Day: Bahasa Inggris di Dusun | Rural English (Kyrgyzstan, 2006)
Rural English (Kyrgyzstan, 2006) Satina is an English teacher in Toktogul, a very small town (in Kyrgyzstan standard) in central part of the country. The country is one among few Central Asian countries which accept Peace Corps volunteers from the States. Most of the volunteers were English teachers. Kyrgyzstan also received aid for education sector from the Soros Foundation. Every year or two, Toktogul receives one or two English teacher volunteers from the States, who then work together with local teachers like Satina. Their teaching material was imported directly from the States, full of up to date information and cultural background. America is no more too far away for them, even for those who live in forgotten rural villages like this one. Bahasa Inggris di Dusun (Kirgizstan, 2006) Satina adalah seorang guru bahasa Inggris di kota kecil Kirgizstan, Toktogul. Kirgizstan adalah salah satu negara di Asia Tengah yang menerima kedatangan relawan Peace Corps dari Amerika Serikat, mayoritas sebagai guru bahasa Inggris, dan menerima banyak bantuan pendidikan dari Soros Foundation. Setiap tahun, Toktogul menerima satu atau dua relawan pengajar dari Amerika, bekerja sama dengan guru lokal seperti Satina. Bahan materi pelajaran mereka berasal dari Amerika Serikat, lengkap dengan penjelasan budaya yang [...]
Selimut Debu 88: Belajar Membaca
”Lima ratus Afghani!” kata sopir beserban yang baru saja datang dengan truk barangnya. Ia datang dari Herat menuju Cheghcheran di timur. Semula aku bersorak gembira ketika akhirnya debu mengepul dari arah barat dan truk besar ini singgah di restoran Kakek Iqbal. Itu harga yang terlalu mahal. Kakek Iqbal ikut marah. ”Jangan zalim! Dia ini tamu di negara kita. Mana boleh kamu menarik ongkos begitu mahal dengan truk bobrokmu itu?” “Truk ini sudah penuh,” sanggahnya, ”Tidak ada lagi tempat buat penumpang. Lihat sendiri, ada dua perempuan yang duduk di badan mobil. Kalau mau sih orang asing ini bisa duduk di bagian truk terbuka dengan barang-barang.” Aku tak keberatan. Kakek Iqbal membantu menawar sampai 150 Afghani. Sudah dua hari aku menunggu kendaraan lewat di Chisht, yang kuinginkan sekarang cuma cepat-cepat meninggalkan desa ini dan melanjutkan perjalanan. ”Kalau begitu, besok pagi kau harus siap jam delapan. Kita berangkat,” kata sopir. Sopir ini membawa konvoi tiga truk. Semuanya penuh barang yang berkarung-karung. Bersama konvoi ini sudah ada belasan orang yang ikut menumpang ke arah barat. Di jalur tengah Afghanistan, di mana tak ada jalan raya dan angkutan umum sangat mahal, truk adalah satu-satunya pilihan bagi kebanyakan orang. Malam hari, Kakek Iqbal menikmati panen. Dengan [...]
#1Pic1Day: Peninggalan Jalur Sutra | Remnants of the Silk Road (Kyrgyzstan, 2006)
Remnants of the Silk Road (Kyrgyzstan, 2006) Kyrgyzstan was passed by the Silk Road, the medieval trading routes connecting China and Europe. Unlike its neighbor Uzbekistan, which was blessed by ancient cities and grandeur historical architectural heritages, Kyrgyzstan was the place of nomadic tribes and has not so much of that kind of heritages. One among few the country still has is the Minaret of Burana, remnants from the old city of Balasagun from the 9th century. This minaret was originally 45 meter high, but destroyed by an earthquake, only 25 meter left. Peninggalan Jalur Sutra (Kirgizstan, 2006) Kirgizstan juga termasuk daerah perlintasan Jalur Sutra, jalur perdagangan yang menghubungkan China dengan Eropa di Abad Pertengahan. Tidak seperti negara tetangganya, Uzbekistan yang dipenuhi kota-kota dengan bangunan megah peninggalan Jalur Sutra, Kirgizstan yang tempat tinggalnya bangsa nomaden tidak memiliki banyak peninggalan megah dari zaman itu. Salah satu yang masih berdiri hingga hari ini adalah Menara Burana, peninggalan dari kota kuno Balasagun pada abad ke-9. Menara ini semula tingginya 45 meter, tetapi hancur karena gempa dan tersisa hanya 25 meter. [...]
Selimut Debu 87: Petualangan Legendaris
Sekitar lima ratus tahun lalu, perjalanan yang kulalui ini adalah petualangan akbar dan legendaris dari seorang raja besar. Raja Babur adalah pendiri Dinasti Moghul, yang meninggalkan bangunan megah di Taj Mahal di India. Babur berasal dari daerah yang sekarang wilayah Uzbekistan, dikejar-kejar dan mau dibunuh sehingga lari ke Afghanistan. Di negeri ini, petualangannya dimulai dari Herat, tempat ia mencari perlindungan pada Sultan Baiqara. Herat kala itu sudah menjadi pusat peradaban, seperti halnya Bukhara dan Samarqand. Masjid agungnya bersinar, perdagangannya maju, dan militernya kuat. Tetapi Babur tak betah tinggal di kalangan keluarga istana yang penuh intrik politik. Bersama para pengikutnya yang setia, ia berangkat menuju ke Kabul. Ia tak memilih jalan lewat Kandahar yang lebih mudah. Ia justru memilih jalur Lintas Tengah Afghanistan, menembus pegunungan Ghor dan Bamiyan. Tapi ini malah menjadi perjalanan yang paling mematikan dalam hidup Babur. Aku pun akan melalui lintasan yang kira-kira sama dengan yang diambil Raja Babur. Abad milenium tentunya jauh berbeda dari abad pertengahan. Namun satu fakta yang tidak berubah, jalan ini tetap sulit dilewati, diperuntukkan hanya bagi mereka yang punya keteguhan baja dan tahan banting. Seorang kakek tua dengan sekarung gembolan di pundak, mirip Sinterklas, duduk di sampingku di dalam bus berkarat. Jenggotnya pun [...]