Recommended

Articles by Agustinus Wibowo

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

#1Pic1Day: Lenin di Balik Terali | Lenin Behind Bars (Kyrgyzstan, 2006)

Lenin Behind Bars (Kyrgyzstan, 2006) Since the fall of Soviet Union followed by the independence of the new republics in Central Asia, symbols of communism had been deliberately erased along with the wave of nationalism and awareness of being independent nations. The statues of Lenin in many cities were smacked down and replaced; the Russian-style street names were replaced with those of local heroes or local concepts. Kyrgyzstan was among the countries with strong Russian influence. The Lenin Street in Osh was politely moved to another street, and while not common, Toktogul still has Lenin statue, hidden behind bars in a lonely park. Lenin di Balik Terali (Kirgizstan, 2006) Sejak runtuhnya Uni Soviet dan merdekanya republik-republik baru di Asia Tengah, simbol-simbol komunisme dihapus dengan sengaja seiring dengan bangkitnya nasionalisme dan kesadaran sebagai negeri merdeka. Patung-patung Lenin dirobohkan, nama-nama jalan yang berbau Rusia diganti nama-nama lokal. Kirgizstan dan Kazakhstan adalah dua negara yang cukup kental pengaruh Rusianya. Jalan Lenin di Osh hanya dipindah lokasinya, dan patung Lenin di dusun Toktogul ini dipinggirkan ke balik terali di taman. [...]

February 24, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 86: Hari Massoud

Orang mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan perbatasan Iran dengan Afghanistan, karena pemeriksaan bisa sangat panjang. Ya, Iran selalu khawatir dengan tetangganya yang lucu ini, yang selalu dicurigai sebagai pemasok opium dan pengungsi. Tapi tidak demikian dengan sebaliknya bukan? Aku rasa, karena aku menyeberang dari Iran ke Afghanistan, seharusnya semua berjalan lancar. Benar saja. Semua lancar. Malah terlalu lancar. Aku tidak pernah melihat imigrasi perbatasan yang selonggar imigrasi Afghanistan ini. Aku sudah menyodorkan pasporku tepat di halaman visa, sehingga si petugas Afghan tinggal mengecap. Petugas itu langsung mengecap, tanpa menghabiskan sedetik pun untuk melihat visa itu, melihat halaman depannya, atau bahkan untuk melihat wajahku. Tanpa registrasi, tanpa wawancara, tanpa rewel. Proses imigrasi hanya memakan waktu 3 detik. Ini adalah proses yang paling cepat dan efisien yang kualami. Dan berita gembira lainnya, tidak ada pula pemeriksaan barang di bea cukai. Datang dari Iran, kita semua dianggap sebagai makhluk tak berdosa. Meninggalkan gerbang perbatasan Islam Qala, aku seperti masuk ke mesin waktu lagi, meloncati dimensi waktu dan mundur ke masa lalu, dari modernitas kembali ke realita negeri berselimut debu. Debu, dalam artian harfiah, lekat dengan kehidupan penduduk Herat. Di bagian timur kota ini, hingga ke perbatasan Iran, terbentang gurun pasir luas. Selama 120 [...]

February 24, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Boyongan | Moving Out (Tibet, 2005)

Moving Out (Tibet, 2005) The Tibetans who inhabit the steppes at the Roof of the World still maintain their animal herding tradition, and as nomads, moving is vital and integral part of their daily life. While horses and yaks used to be the main vehicles in moving their possessions, now motors and trucks and cars have replaced the function. Boyongan (Tibet, 2005) Bangsa Tibet yang mendiami padang rumput di pegunungan Atap Dunia masih mempertahankan tradisi penggembalaan, di mana perpindahan adalah bagian penting dalam hidup mereka. Kalau dulu mereka berpindah dengan bantuan kuda dan yak, saat ini kendaraan bermotor sudah membuat perpindahan lebih mudah dan cepat.   [...]

February 21, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 85: Saudara Sebangsa

Termometer digital di dalam truk menunjukkan suhu 48 derajat Celcius. Itu suhu di luar sana. Di dalam truk ini sopir dan aku duduk nyaman berkat sejuknya AC. Aku menumpang truk menuju Zahedan, ibu kota provinsi Baluchistan di tenggara Iran. Ini adalah nama yang seram bagi banyak orang Iran. Mereka menganggap, Baluchistan terlalu berbahaya, karena banyak orang Baluchi, Sunni, penculik, penyelundup, dan Afghan. “Jangan mudah percaya dengan orang Baluchi,” kata Aziz, sopir truk asal Tabriz di Iran barat laut saat mengemudikan kendaraan besarnya, ”Mereka itu adalah pembohong dan pengkhianat. Mereka juga pencuri, perampok, bajingan.” Di luar truk terhampar padang pasir Dasht-e-Lut yang kering kerontang, hanya ditumbuhi belukar. ”Lihatlah, betapa kering dan miskinnya tempat ini. Di sini tak ada apa-apa. Rakyat lapar. Tak ada yang bisa dimakan, sehingga mereka terpaksa mencuri.” Ancaman keamanan lain di Baluchistan adalah separatisme. Seiring bergulirnya roda zaman, negara-negara baru akan terus bermunculan, suku-suku mencuat kepribadian dan kebanggaannya, sementara negeri-negeri kuno berjuang mempertahankan eksistensi mereka. Selain itu, karena begitu dekat dari Afghanistan, Baluchistan banyak dipenuhi oleh para pengungsi Afghan. Dari Zahedan, empat jam perjalanan bus ke utara, adalah kota perbatasan Zabol yang berhadapan langsung dengan gerbang Afghanistan. Apa yang kau harapkan dari kota perbatasan Afghanistan? Imigran gelap? Perkampungan [...]

February 21, 2014 // 2 Comments

#1Pic1Day: Tertinggi di Dunia | Highest in the World (Everest, Tibet, 2005)

Highest in the World (Tibet, 2005) Rows of snowcapped mountains surrounding the highest point of Everest are seen from behind the cloud. There is also politics behind the naming of the world’s highest peak. The countries where Everest is located refuse to use the name of the British scientist Sir George Everest as the name of the mountain. The Tibetans call Everest as Qomolangma, “The Holy Mother”. The Chinese also preserve the name, spelled in Chinese as Zhumulangma, and never use Everest in their English-language legal documents. Later, the Nepalis also rename the peak as Sagarmatha. Tertinggi di Dunia (Tibet, 2005) Barisan pegunungan di samping puncak Everest, menyembul dari balik pelukan awan tebal. Di balik penamaan ini juga ada politik. Negara-negara yang menjadi tuan rumah gunung tertinggi di dunia ini menolak untuk menggunakan nama ilmuwan Inggris Sir George Everest sebagai nama dari puncak gunung ini. Orang Tibet menyebut Everest sebagai Qomolangma, “Ibunda Suci”. China juga mempertahankan nama itu, dalam bahasa China ditulis sebagai Zhumulangma, dan tidak pernah menggunakan nama Everest dalam dokumen resmi mereka dalam bahasa Inggris. Kemudian, Nepal juga menamai puncak itu sebagai Sagarmatha. [...]

February 20, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 84: Menjadi Afghan

“Aneh. Kalau di Afghanistan, kami tidak lebih dari sekadar Hazara. Tetapi di sini, kami jadi Afghan,” kata Sadeq. Dia adalah seorang pekerja Hazara yang kini tinggal di kota tua Yazd di Iran tengah. Keluarga Sadeq sudah lama tinggal di Yazd, bertahun-tahun. Ia termasuk pekerja resmi, punya kartu penduduk Iran, dan anaknya boleh pergi sekolah. Kampung halamannya ada di Ghazni, di selatan Kabul. Di Ghazni, mayoritas penduduknya adalah Pashtun, tetapi banyak juga terdapat kampung yang menjadi kantong etnis Hazara. Seperti halnya kebanyakan orang Hazara dan suku-suku minoritas di Afghanistan, Sadeq semula tidak merasa dirinya sebagai bagian dari ”Afghan”, yang lebih identik dengan bangsa mayoritas Pashtun. ”Dulu, nama Afghanistan adalah Ariana,” jelas Sadeq, ”Ariana adalah negeri bagi kita semua. Sedangkan, Afghanistan berarti tanah bangsa Afghan, hanya milik orang Pashtun.” Ariana adalah nama kuno yang sudah ada lebih dari tiga ribu tahun silam, termaktub dalam kitab suci umat Zoroaster. Ariana, atau Aryana, tanah bangsa Arya, oleh kaum nasionalis Afghanistan sering digunakan untuk merujuk pada Afghanistan modern dengan masa lalunya sebagai tempat hidup bangsa Arya, bangsa yang selalu bangga akan superioritas dan kesempurnaannya. Kulit mereka putih bersih, menambah keindahan raut wajah mereka dengan garis-garis yang tegas dan kuat. Hidung menjulang tinggi, mengimbangi sepasang mata [...]

February 20, 2014 // 7 Comments

#1Pic1Day: The Journey to the Everest (Tibet, 2005)

The Journey to the Everest (Tibet, 2005) A little village on the way to Everest. To visit Everest, foreign visitors have to obtain special permit. I came by motorcycle and pretending to be a Tibetan, so managed to sneak to the Everest Base Camp without going through checkpoints. Menuju Everest (Tibet, 2005) Sebuah desa kecil terletak dalam perjalanan menuju Everest. Untuk mengunjungi Everest, pengunjung asing memerlukan surat izin khusus/permit. Saya datang dengan menumpang sepeda motor dan menyamar sebagai orang Tibet, sehingga bisa tiba di kaki Everest tanpa melalui pemeriksaan. [...]

February 19, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 83: Pakaian

Gerbang perbatasan ini memisahkan kehidupan sampai seratus tahun. Tidak peduli dari negara mana pun, bepergian menuju atau dari Afghanistan sama seperti melewati mesin waktu. Kendaraan mobil Iran ini melaju menuju Mashhad di atas jalan beraspal mulus. Tak ada lagi penderitaan gurun berdebu dan menelan pasir sepanjang hari. Tak ada lagi keledai dan barisan domba yang bersaing ruas jalan dengan mobil dan motor. Tak ada lagi perempuan anonim di balik burqa. Tak ada jubah, serban, gubuk reyot, ranjau darat, bom, perang, dan kelaparan. Iran adalah negara modern. Toko-toko berjajar rapi. Makanan yang populer di sini adalah burger dan sandwich, dijual dengan minuman bersoda produksi dalam negeri. Blokade ekonomi menyebabkan negeri ini mandiri, hampir semua barang adalah produksi dalam negeri. Mobil kuno Paykan melaju di jalan, menyemburkan asap hitam. Terminal bus Mashhad adalah bangunan besar yang bersih, dengan berbagai perusahaan angkutan yang kantornya sudah setara dengan biro travel maskapai udara di Indonesia. Karcis bus dicetak rapi dengan komputer, dengan kertas dan penampilan mirip tiket pesawat, padahal harganya teramat murah—60.000 Rial (saat ini setara dengan Rp 60.000) untuk perjalanan seribu kilometer sampai ke Teheran. Bus berjajar rapi menunggu jam keberangkatan. Tak ada tanah yang lengket karena oli bocor atau sampah bertebaran. Semua begitu [...]

February 19, 2014 // 4 Comments

#1Pic1Day: 108 Kelokan | 108 Turns (Tibet, 2005)

108 Turns (Tibet, 2005) Turning and winding road up and down hills you have to go through in the journey to the Everest. They say, there are 108 turns in total. I have lost count, though. 108 Kelokan (Tibet, 2005) Jalan yang berkelok-kelok mendaki dan menuruni bukit dalam perjalanan menuju Everest, konon totalnya berjumlah 108 kelokan. Saya sendiri sempat kehilangan hitungan saking banyaknya kelokan di sini. [...]

February 18, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 82: Beringas

Eksodus. Orang-orang Afghan ini seperti kesetanan, begitu buru-buru hendak meninggalkan negerinya sendiri, menuju Iran di balik gerbang sana. Aku tercekat melihat barisan panjang ini. Barisan pria-pria berjubah shalwar qamiz menenteng barang bawaan berkarung-karung. Mereka marah, berteriak penuh emosi, seakan semakin keras berteriak dan semakin garang kepalan tangannya akan semakin cepat mereka sampai ke pos pemeriksaan paspor. Aku melangkah gontai masuk ke barisan. Melihat bahwa panjang barisan ini sudah lima puluh meter dan nyaris tak bergerak maju, entah sampai kapan kami akan menginjakkan kaki di Iran. Matahari panas menyengat. Keringat mengucur deras. Orang-orang mengomel karena tidak efisiennya pos imigrasi Afghan. Sebenarnya kalau bukan karena lusinan polisi Afghan berseragam hijau abu-abu yang berkeliling dengan pentungan, pasti sudah sejak tadi para pelintas batas ini akan menyerbu loket imigrasi dengan beringas. Tiba-tiba ada tangan besar mencengkeramku keluar dari barisan. ”Khareji! Orang asing!” Polisi menggeretku ke arah polisi yang menjaga pintu kantor imigrasi. Sebagai orang asing, ternyata ada fasilitas yang boleh kunikmati dan harus kusyukuri: aku bisa langsung memotong antrean panjang warga Afghan. Untuk menyeberang ke Iran, warga Afghan harus melewati banyak pemeriksaan. Barang mereka digeledah dengan teliti. Opium termasuk komoditi yang sering diselundupkan lewat perbatasan ini. Tak heran, dengan lebih dari seribu orang pelintas [...]

February 18, 2014 // 2 Comments

#1Pic1Day: Biksu Muda | Young Monk (Tibet, 2005)

Young Monk (Tibet, 2005) A young monk of Yellow Hat Sect (Gelugpa Sect) is preparing for chanting session in Tashilhunpo Monastery in Shigatse, Tibet. The Tashilhunpo Monastery is the traditional seat of Panchen Lama, the second highest rank after the Dalai Lama in Gelugpa Tibetan Buddhism. Biksu Muda (Tibet, 2005) Seorang biksu muda dari Sekte Topi Kuning (Gelugpa) bersiap beribadah di kuil Tashilhunpo, di kota Shigatse. Kuil Tashilhunpo dalam tradisinya adalah tempat kedudukan Panchen Lama, orang kedua terpenting sesudah Dalai Lama dalam agama Buddha Tibet. [...]

February 17, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 81: Visa Iran

Besok adalah hari kemerdekaan Indonesia, dan dari Herat sini kedutaan Indonesia yang paling dekat adalah di Teheran. Aku sungguh ingin melewatkan Agustusan tahun ini dengan teman-teman sebangsa. Mungkin karena hidup terlalu lama di jalan membuat rasa kebangsaanku sekarang jadi menggebu-gebu. Teheran terletak di Iran. Itu sudah negara lain. Menurut informasi terbaru, Iran sudah memberikan fasilitas bebas visa untuk WNI yang berkunjung kurang dari dua minggu. Tapi kedutaan dan konsulat Iran memberikan informasi yang saling berlawanan tentang hal ini. Konsulat Iran di Peshawar, Pakistan mengatakan bahwa fasilitas bebas visa berlaku untuk semua perbatasan darat. Sedangkan kedutaan di Tashkent juga setuju, namun katanya cuma untuk satu minggu. Sedangkan kedutaan Iran di Jakarta tidak pasti tentang perbatasan darat dan menganjurkan aku untuk terbang ke Iran. Sedangkan kedutaan Iran di Kabul mengatakan aku memerlukan visa untuk berkunjung ke Iran dalam keadaan apa pun. Semakin bertanya, justru aku semakin pusing. Konsulat Iran di Herat sudah penuh dengan ratusan pemohon visa yang berbaris mengular sampai 200 meter, bahkan pada pukul 8 ketika aku datang. Katanya orang Afghan sudah mulai mengantre sejak pukul 4, padahal konsulat baru buka pukul 7. Sepertinya tidak ada kesempatan untukku jika aku mengantre sekarang. Bisa sampai di Teheran besok? Lupakan saja! Untunglah [...]

February 17, 2014 // 2 Comments

#1Pic1Day: Awas Nabrak/Awas Ketabrak? | Curious Traffic Sign (Mongolia, 2009)

Curious Sign (Mongolia, 2009) What is intended by this curious traffic sign in Erdenet, Mongolia? That driving is forbidden, or playing football? Awas Nabrak/Awas Ketabrak? (Mongolia, 2009) Sebuah rambu lalu lintas yang membingungkan di Erdenet, Mongolia. Entah mana yang dilarang, mobil lewat atau main bola di jalan.   [...]

February 14, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 80: Malaria?

Aku masih belum sepenuhnya sadar ketika terduduk dalam Falang Coach tua menuju Herat. Aku masih seperti orang mabuk yang separuh memejamkan mata. Pengalaman traumatis dengan bachabazi masih menghantui pikiran. Begitu Falang Coach ini menggetarkan mesinnya, sudah tak mungkin lagi aku tidur. Delapan belas penumpang dijejalkan ke dalam mobil butut ini. Bangkunya rendah, tak mungkin menyandarkan kepala ke belakang. Ke samping kiri tak mungkin, ada penumpang. Ke jendela di kanan tak mungkin, karena tepat setinggi pipiku teronggok sebatang besi panjang melintang. Ditambah lagi dua buah paku berujung bundar di dinding mobil, tingginya pas dengan pelipis. Siapa sih yang pasang paku di tempat seperti ini? Kepalaku sampai benjol dan berdenyut karena empat kali ditempeleng besi, dua kali ditabok paku. Pegunungan tandus, jalan bergerunjal, dan bukit pasir, sudah menjadi rutinitas dalam monotonnya perjalanan di barat laut Afghanistan. Penderitaan ditambah lagi dengan pos pemeriksaan yang tidak ada habisnya. Setiap satu jam perjalanan, mobil kami dihentikan polisi. Semua penumpang disuruh turun, diperiksa bawaannya, diraba-raba badannya, sama sekali tidak asyik. Aku ragu apakah pos-pos ini efektif. Di satu pos, polisi begitu sibuk memeriksa plat nomor mobil dengan obeng, takut kalau ada opium yang disembunyikan di baliknya. Tetapi setelah itu ia kehabisan energi untuk memeriksa tumpukan karung [...]

February 14, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Antre Air | Line for Water (Mongolia, 2009)

Line for Water (Mongolia, 2009) The dwellers of the village of Tsengel in westernmost corner of Mongolia are queuing for water from a communal pipe in the middle of the village. This is a daily routine in most rural areas of Mongolia, due to unavailability of water system. Tsengel is last village in western Mongolia, neighboring with China and not far away from Kazakhstan, inhabited by predominantly Muslim Kazakh minority ethnic group. A big number of Kazakhs from Western Mongolia have migrated to Kazakhstan. Antre Air (Mongolia, 2009) Para penduduk dusun Tsengel di ujung paling barat Mongolia sedang mengantre air dari pipa komunal di tengah dusun. Ini adalah aktivitas harian di daerah pinggiran Mongolia, yang masih belum memiliki sistem pipa air. Tsengel adalah dusun paling ujung di Mongolia, berbatasan dengan China dan paling dekat dari Kazakhstan, dihuni oleh minoritas Kazakh yang beragama Islam. Sejumlah besar penduduk Kazakh di Mongolia Barat telah bermigrasi ke Kazakhstan. [...]

February 13, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 79: Main Bocah

Maimana juga adalah kota pasar. Ada beberapa baris kios di tengah pasar. Mereka menjual segala macam barang, namun kebanyakan toko kain dan permadani. Seorang pedagang etnis Uzbek malah bisa berbahasa Rusia dengan sangat fasih, katanya pernah tinggal enam tahun di Ukraina. ”Di seluruh kota ini, atau malah mungkin di seluruh provinsi ini, cuma aku yang bisa bahasa Rusia,” katanya bangga. Jarang sekali ada orang asing yang datang ke sini. Aku langsung dikerubuti puluhan bocah, digeret ke sana ke sini. Semua pemilik toko minta dipotret. Hampir semuanya seakan berebut untuk berbincang denganku atau menjamah tubuhku. Di antara kerumunan di pasar, terselip Mahmud. Usianya 18 tahun, dahinya lebar dan tubuhnya kekar. Ia mengenakan pakaian shalwar qamiz putih bersih tanpa noda, sungguh langka di tempat penuh debu seperti ini. Mahmud punya kios kecil yang menjual telepon genggam. Katanya dia punya dua puluhan toko di seluruh Maimana. “Menginaplah di rumahku,” ia langsung menawari, ”Karena I like you very much. Kamu bisa makan yang enak-enak. Nasi palao dengan daging sisa pesta. Aku juga punya softdrink. Berapa kaleng pun kamu mau, silakan saja. Kamu juga bisa mandi. Aku suka sekali denganmu.” Aku mengangguk senang. Aku tak pernah melewatkan kesempatan menginap di rumah penduduk, karena ini adalah [...]

February 13, 2014 // 7 Comments

#1Pic1Day: A Kazakh Muslim Wedding (Mongolia, 2009)

Muslim Wedding (Mongolia, 2009) A Muslim Kazakh bride in westernmost corner of Mongolia is preparing for nikah, legalization of marriage held by Muslim religious leader. The Kazakhs are predominantly Muslim minority groups inhabiting western Mongolia, especially in the province of Bayan Olgii. Most of the wedding ceremonies here are held in Western (Russian) way, as it comes simpler and cheaper. In Kazakh wedding in Mongolia, vodka is always present. The father of this bride even held a cup of vodka in his hand, praying by reading Bismillah (in the name of Allah) to all guests. The mother of the bride then stood up, saying gratitude to all guests while wailing and weeping, and finished the vodka all at once. Pernikahan Muslim (Mongolia, 2009) Seorang pengantin Muslim Kazakh di ujung paling barat Mongolia sedang bersiap melangsungkan akad nikah. Pernikahan di sini lebih sering dilangsungkan dalam cara barat atau Rusia daripada cara tradisional (yang lebih rumit dan mahal). Dalam pernikahan Kazakh di Mongolia, vodka tidak boleh absen. Ayah pengantin perempuan ini bahkan sempat mengangkat secawan vodka, mengucap Bismillah irrahman irrahim, dan berterima kasih kepada semua tamu yang hadir. Disambung dengan ibunya yang berdiri, berterima kasih sampai menangis-nangis, dan menenggak habis satu cawan [...]

February 12, 2014 // 8 Comments

Selimut Debu 78: Laila dan Majnun

Alunan musik lagu Uzbek mengalun dari tape di dalam mobil Tuneis yang kutumpangi, melintasi padang gurun yang menjadi latar belakang kisah Laila dan Majnun. Penumpang bertepuk tangan, mengiringi musik yang rancak. Sopir pun menyetir sambil berjoget, sambil berteriak. Sementara itu, jalan beraspal mulus sudah berganti dengan padang pasir yang membentang. Udara panas menyengat. Debu beterbangan. Serba salah. Jendela ditutup, kami semua bisa mati kepanasan. Angkutan umum di Afghanistan tidak ber-AC, sementara matahari gurun gersang jauh lebih terik daripada panasnya kota Mazar. Kalau jendela dibuka, angin sepoi-sepoi memang masuk, tetapi membawa pula siraman debu yang melapisi wajah. Untunglah, tepuk tangan para penumpang dan tarian sopir seakan menghapuskan kesusahan hidup di sini. Betapa pun beratnya, mereka selalu tahu cara untuk menikmatinya. Ternyata tidak semua mampu membangkitkan suka ria di tengah beratnya perjalanan. Duduk di belakangku adalah seorang perempuan yang terbungkus burqa. Ia memang tak perlu khawatir debu mengotori wajahnya. Tetapi pengap dan sesaknya kungkungan burqa membuatnya terus meratap, ”Tolong buka jendelanya. Tolong buka….” Begitu jendela kaca bergeser, angin sejuk menerpa wajah. ”Fiuhhh…. Fiuhhh….” suara perempuan dari balik burqa mengembus lega. Giliranku sekarang yang harus membungkus wajah dengan kain serban untuk menyelamatkan diri dari bulir pasir yang menerobos hingga ke rongga hidung. “Pasir [...]

February 12, 2014 // 1 Comment

#1Pic1Day: Makan-Makan | Time to Eat (Mongolia, 2009)

Time to Eat (Mongolia, 2009) Kazakh people of Bayan Olgii, Western Mongolia are having lunch with a pile of sheep meat. The Kazakhs are predominantly Muslim minority groups inhabiting the westernmost part of Mongolia, especially in the province of Bayan Olgii. While eating, each of them bring a knife to cut the big pieces of meat, and they all eat from the very same big plate. Makan-Makan (Mongolia, 2009) Para minoritas Muslim Kazakh di provinsi Bayan Olgii, Mongolia Barat sedang menikmati makan siang berupa sebongkah daging domba besar. Masing-masing mereka membawa pisau, dan makan langsung dari piring besar yang sama. [...]

February 11, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 77: Kematian di Kota Suci

Badanku rasanya sudah hampir menguap karena hari berziarah ini. Sudah lebih dari sepuluh makam yang kami kunjungi, dan Arvin masih bersemangat mengunjungi makam-makam yang lain. Kawan-kawannya tampaknya tidak sesemangat dia, dan berhasil membujuknya untuk mengunjungi jembatan kuno. Kami sampai di tepi sungai. Waktunya beristirahat sejenak dari ritual berkomat-kamit dan menangkupkan tangan pada wajah di pinggir puluhan makam. Kami memandang iri para pemuda desa yang berenang riang gembira di sungai yang mengalir deras. Banyak dari mereka yang berenang dengan pelampung. Sebagian bertelanjang dada, sebagian lagi berenang dengan shalwar qamiz lengkap. Karena shalwar adalah celana longgar yang lebar pinggangnya bisa mencapai dua meter, begitu masuk ke air langsung menggelembung seperti balon. Entah bagaimana mereka bisa berenang dengan celana seperti itu. Di kejauhan, aku melihat sosok mayat yang sudah membiru diarak oleh para pemuda. Matanya terpejam. Lelaki itu masih dua puluh tahunan. Badannya terbalut kaus jingga tanpa lengan dan celana pendek selutut, diangkut di atas pelampung menyeberangi sungai. Para pemuda desa langsung mengerubungi mayat itu. Kasihan sekali, pemuda ini dua jam yang lalu masih berenang bersama kawan-kawannya. Ini pertama kali ia berenang, namun langsung praktek di arus berbahaya seperti ini. Akibatnya maut. Sungai ini memang tampak sejuk, namun ada banyak jeram tersembunyi. Ia [...]

February 11, 2014 // 2 Comments

1 20 21 22 23 24 49