Articles by Agustinus Wibowo
Sebuah catatan dari Visiting Program for Young Sinologists, 7-24 Juli 2015 Ibn Battuta pernah menyusuri Jalur Sutra Laut dari Arab sampai ke Quanzhou di China Orang sering mengaitkan Jalur Sutra dengan peradaban China. Pemerintah China di abad ke-21 ini juga menggalakkan pembangunan “Jalur Sutra Baru”. Tetapi, menurut pakar sejarah Prof. Ge Jianxiong dari Universitas Fudan, dalam sejarahnya China justru lebih banyak mengabaikan Jalur Sutra. Istilah “Jalur Sutra” sendiri tidak pernah ditemukan dalam catatan sejarah China. Istilah ini pertama kali digunakan oleh ahli geografi Jerman pada akhir abad ke-19, Ferdinand von Richtofen, yang menyebut jalur perdagangan sepanjang 6.000 kilometer dari China sampai ke negeri Romawi itu sebagai “Seidenstraße” atau “Jalan Sutra”. Dalam bahasa Indonesia, kita menyebutnya sebagai “jalur” bukan “jalan”, karena lintasan ini bukan hanya berupa satu jalan melainkan beratus lintasan yang bercabang-cabang. Selain itu, lintasan bukan berupa jalan besar, tetapi kebanyakan berwujud hanya jalan setapak bagi karavan. Setelah orang Barat dan Jepang banyak meneliti sejarah Dunhuang dan daerah-daerah di China Barat yang dilintasi Jalur Sutra, barulah China mulai menaruh perhatian pada Jalur Sutra. Mengapa demikian? Prof. Ge Jianxiong dalam presentasinya kepada kami pada pertemuan Sinologis Muda di Beijing ini menjawab dengan tegas, “Karena di mata China, Jalur Sutra itu tidak [...]
London Book Fair 15 April 2015: Penulis di Tengah Pameran Buku
Saya mendapat kehormatan menjadi salah satu penulis yang dikirim untuk berbicara di stand Indonesia pada forum London Book Fair 2015, yang diselenggarakan pada 14-16 April 2015 di Olympia, Kensington, kawasan barat London. Pameran ini diikuti 25.000 pelaku industri dari 124 negara, termasuk Indonesia yang membawa 200an judul pilihan dari berbagai penerbit. Indonesia, dalam partisipasi perdananya di ajang ini, menempati stan 5B140, yang berukuran hanya 20 meter, terletak jauh di ujung belakang Hall B yang berjarak sekitar 20 menit berjalan kaki dari pintu utama. Praktis, di tengah lautan puluhan ribu penerbit, stan Indonesia sangat tersembunyi dan nyaris tenggelam. Sementara di sekeliling stan Indonesia adalah stan dari negara-negara lain yang tidak kalah sepi, seperti dari Abu Dhabi, Slowakia, Al Ain, Dubai. Berbeda dengan pameran buku yang pernah saya hadiri, London Book Fair murni bisnis, bukan ajang jumpa pembaca atau penikmatan sastra. Para pengunjung adalah para pemain industri seperti penerbit, pedagang hak cipta, agen literasi. Kelompok pengunjung lainnya adalah para pekerjanya seperti penulis, penerjemah, desainer, jurnalis. Pengalaman pertama menghadiri pameran buku seraksasa ini sangat mengobrak-abrik pemikiran saya. Di balairung utama Grand Hal, berjajar stan-stan dari penerbit besar dunia: Penguins, Harper Collins, Oxford, juga negara-negara Eropa seperti Prancis, Skandinavia, Jerman. Ini adalah zona yang [...]
Pos Sore (2015): Agustinus Wibowo Berbagi Ilmu ‘Travel Writing’
http://possore.com/2015/09/27/agustinus-wibowo-berbagi-ilmu-travelling-writing/ SMESCO Art Fest & Netizen Vaganza 2015 Minggu, 27 Sep 2015 MENUANGKAN perjalanan kita dalam bentuk tulisan? Mengapa tidak. Jangan biarkan travelling berkesan kita berlalu begitu saja hanya dalam penggalan foto demi foto, lalu dishare di media sosial atau di blog. “Menuliskan perjalanan adalah juga suatu perjalanan,” begitu kata Agustinus Wibowo, seorang penulis dan fotografer perjalanan kepada peserta workshop ‘Travelling Writing’ di gedung Smesco UKM/RumahKU (Rumahnya Koperasi dan UKM), Minggu (27/9). Pria asal Jawa Timur itu sengaja diundang Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (LLP-KUKM) Kemenkop dan UKM yang dipimpin Ahmad Zabadi itu untuk mengisi acara SMESCO Art Fest dan Netizen Vaganza 2015 pada 26-27 September 2915. Kegiatan itu berisikan berbagai workshop, antara lain ‘Travelling Writing’. Mengapa workshop bertema ini diangkat? Karena ternyata, sebagaimana diutarakan Ahmad Zabadi, menuliskan travelling dalam sisi yang lain seperti yang dilakoni Agustinus Wibowo, bisa menghasilkan uang. Selain tulisan dapat dinikmati oleh diri sendiri, juga bisa dipublikasikan di media, yang tentunya akan mendapatkan honor penulisan. Dan, kalau beruntung, penerbit akan membukukan jurnal perjalanan tersebut. Karya ini pun akan mendatangkan pundi-pundi uang dan juga kepuasan batin. Di hadapan para peserta workshop yang sebagian besar blogger, sarjana ilmu komputer di [...]
Doumori 10 September 2014: Surga Berlumpur (2)
Mama Ruth menyebut desa yang ditinggalinya ini “surga”. Tetapi di mata saya yang pendatang ini, Doumori sama sekali bukan tempat yang layak ditinggali. Pemandangan Doumori memang indah. Pohon kelapa berjajar di tepi sungai, dengan rerumputan yang menghijau menandai betapa suburnya tanah ini. Tetapi selama seminggu setiap bulannya Doumori dilanda banjir besar sehingga mereka terisolasi di rumah dan bepergian ke mana-mana dengan perahu dayung, termasuk ke rumah tetangga. Dan setelah itu, desa ini menjadi lautan lumpur, yang mengandung zat-zat beracun sehingga penduduk mengalami penyakit kulit parah. Tetapi bencana terbesar di Doumori adalah sungai. Sungai Fly yang menjadi sumber kehidupan mereka, kini telah rusak parah oleh aktivitas pertambangan emas dan tembaga Ok Tedi yang berada di hulu sana. Doumori termasuk daerah muara Sungai Fly. Di pagi hari, air sungai surut sehingga mengering. Dari tepi sungai yang kini menjadi tebing tegak lurus setinggi dua meter karena dilanda erosi, kita bisa meloncat ke dasar sungai dan berjalan-jalan di atas hamparan pasir yang begitu luas. Hamparan pasir ini terbentuk karena sedimen dari limbah pertambangan yang dibuang langsung ke sungai Fly. Hamparan pasir ini begitu luas, kita merasa seperti sedang berada di pantai. Apalagi Sungai Fly pada bagian muara ini juga begitu lebar seperti sebuah selat, [...]
Doumori 10 September 2014: Surga Berlumpur (1)
Kano kayu menuju Sungai Fly terayun-ayun di atas laut yang tenang. Sesekali angin semilir berhembus, membuat kami para penumpang tertidur di papan datar di atas kano. Berbeda dengan speedboat yang membuat posisi duduk para penumpang berada di bawah permukaan air laut, kano pesisir Papua selatan ini tinggi dan besar, dan papan tempat kami duduk sekitar dua meter tingginya dari permukaan air, sehingga kami tidak perlu terlalu khawatir basah oleh gelombang. Penumpang kano ini terdiri dari dua belas orang, merupakan keluarga besar dari Mama Ruth yang datang dari desa Doumori di mulut Sungai Fly ke Daru untuk menjual sagu dan ikan. Mayoritas penumpang adalah anak-anak dan bayi. Para bayi itu tidak pernah melihat orang berkulit putih dalam hidup mereka, sehingga selalu menangis keras-keras ketika berada di dekat saya. Panjang papan kayu di atas perahu ini mencapai 8 meter, dan lebarnya 2 meter ditambah bilah-bilah penyeimbang di sisi kanan perahu yang lebarnya mencapai 5 meter. Saking besarnya para ibu bisa memasak di atas perahu selama berlayar. Perjalanan ini jauh lebih menyenangkan daripada perjalanan sebelumnya menyusuri pesisir selatan Papua. Walaupun ini masih laut yang sama, tetapi karena muara Sungai Fly yang begitu besar menyebabkan gelombang laut di timur Daru tidak sedahsyat di bagian [...]
Daru 8 September 2014: Petualangan Menyusuri Sungai Liar
Setelah menyusuri pesisir pantai selatan Papua Nugini di Western Province yang paling terisolasi, saya masih menginginkan sebuah petualangan yang lebih gila. Sebuah petualangan yang bahkan para penduduk pun mengatakan mustahil: Menyusuri Sungai Fly. Sekadar menyusuri Sungai Fly saja sebenarnya tidak mustahil. Dari Daru menuju kota Kiunga (pusat pemerintahan Western Province) di hulu sana, yang sejauh 400an kilometer, sebenarnya ada kapal penumpang yang dioperasikan perusahaan pertambangan Ok Tedi setidaknya sebulan sekali, yang harga karcisnya sekitar 2 juta rupiah. Bagi saya, itu tidak menarik, karena saya tidak akan bisa melihat apa-apa selain Kiunga, dan hanya menyaksikan sungai ini seperti pengunjung museum tanpa bisa melebur ke dalam kehidupannya. Lagi pula, saya tidak tahu pasti kapan perahu itu akan datang. Sedangkan untuk menuju Kiunga, alternatif lainnya adalah terbang, dengan frekuensi penerbangan hanya sekali seminggu yang harganya 1500 kina. Tujuh ratus dolar! Hanya untuk perjalanan di dalam satu provinsi yang tidak sampai satu jam penerbangan. Biaya transportasi memang sangat gila di Papua Nugini. Sungai Fly menarik bagi saya, karena sungai sepanjang seribu kilometer ini adalah sungai terpanjang kedua di Papua Nugini setelah Sungai Sepik, namun jauh lebih sulit dijangkau. Sungai ini pertama kali ditemukan tahun 1842 oleh Francis Blackwood yang mengemudikan kapal korvet HMS Fly [...]
Daru September 6, 2014: Jesus is a Black Man
Papua is the center of the world, the God’s sacred and chosen nation. The day will come, when the black people no longer be the slaves, and the whites in turn will be the slaves of the blacks. That’s how Dogen Molang sees the future of the earth, based on the ancient story he believes. He is now conducting a secret yet important research. That is, to prove that Jesus was a black Papuan man. Mr. Molang is an enthusiastic man in his forties, a respected English teacher in the Daru High School—the only high school on the tiny island of Daru, the former capital of the isolated Western Province of Papua New Guinea. The first time I met him, he came with thick photocopy thesis of an Australian researcher about the border area of Papua New Guinea. In one chapter of his thesis, Kevin Murphy the researcher described the folktales of different tribes in the area on how the universe was created. The stories captivated Molang very much, and made him jump to the conclusion: that Jesus were born here, in the land of the Papuans. “We believe that the creation story is our story,” he said, “But our [...]
Grand Overland Voyage
Exactly ten years ago, I started my four-year overland journey. I started from Beijing with $2000, dreaming to reach South Africa. From an illegal visitor to Tibet until a journalist in the war ridden Afghanistan, this journey has changed my whole life. Today, I’m back to Beijing, my point zero. But journey is a point of no return; I’m not the same person anymore and my point zero is not the same either. That’s indeed a journey of life. [...]
[Outdoor Exploration户外探险]:旅行就是回家
Interview with a Chinese Magazine, “Outdoor Exploration” (户外探险) on traveling and travel philosophy. 旅行就是回家 Agustinus Wibowo 印尼华人,旅行作家,2002年开始背包旅行,曾三次进入阿富汗,在那里生活了将近三年,并曾深入阿富汗最人迹罕至的瓦罕走廊地带,寻找电视新闻以外的阿富汗;也曾游历中亚五国所有的边境地区。每次的旅行,他都选择最艰苦的方式,搭车、住最廉价的旅馆。在旅行中,他全部的兴趣都在人的身上,已经出版两本旅行文学畅销书《A Blanket of Dust: Dreams and Pride from the War-torn Afghanistan》《Borderlands: A Journey to Central Asia》《Ground Zero: When the Journey Takes You Home》,最近还将余华的小说《活着》首次翻译成印尼文版本。 只有在旅行中才没有身份 [...]
【中国文化译研网】:我愿搭起一座桥梁——对话印度尼西亚作家、翻译家翁鸿鸣
http://www.cctss.org/portal.php?mod=view&aid=801 Interview during 2015 Sino-Foreign Audiovisual Translation and Dubbing Cooperation Symposium, in correlation with Shanghai International Film Festival 2015. 【影视】我愿搭起一座桥梁——对话印度尼西亚作家、翻译家翁鸿鸣 2015-07-22 14:45| Original author: 徐奕欣|Location: 中国文化译研网 Description: 有这样一位印尼华侨,他第一次将中国的文学作品直接翻译成印尼语,引入印度尼西亚;他又用自己的生花妙笔,写下他在寻根之旅的种种感悟,直接展示了一个印 尼华侨关于故乡和他乡的思考。他是翁鸿鸣(Agustinus Wibowo),印度尼西亚裔华人,双语作家,自由翻译者,同时也是将余华作品翻译引入印度尼西亚的第一人。 东南亚地区集中了大量的华人,他们侨居异地,但是仍然与中国血脉相连。对于他们中的有些人来说,中国是一个略微有些模糊的概念,因为在异国,除了长辈们的 口耳相传,他们并没有太多接触中国文化的途径。然而,有这样一位印尼华侨,他第一次将中国的文学作品直接翻译成印尼语,引入印度尼西亚;他又用自己的生花 [...]
[旅行家Traveler] :瓦罕走廊天堂何处
旅行家2015年4月期 阿富汗的风筝 说其遥远,其实并不准确。地图上,阿富汗甚至有一角领土与中国比邻,那一条狭长的通道就是本期专题的主打目的地——瓦罕走廊。 瓦罕走廊天堂何处 策划 | 本刊编辑部 执行 | 邓丽颖 程婉 特约撰稿人 | Agustinus Wibowo 翻译 | 黄文静 肖若琳 十多年前,我第一次去阿富汗旅行,在这个战争的伤疤无处不在的国度,一位旅行者告诉我,在阿富汗有一处“隐藏的天堂”。那是我第一次听到瓦罕走廊的名字。翻看地图,它像是海底深处一条狭长的裂隙,北抵塔吉克斯坦,南至巴基斯坦,东临中国。这是世界上最偏远国家之中的最偏远的地方之一。然而,在几世纪前,瓦罕走廊却是连通中国和西域各国,那条繁华的丝绸之路的一部分。 放眼望去,阿姆河看起来稀松平常。河水湍急有力,流过险峻的谷底时会发出隆隆的巨响。有时水面宽阔,甚至看不到对面的河岸。有时水面狭窄,可以毫不费力地将石子扔过20米宽的河面。无论阿姆河在100年内如何坚定地分开了两岸的时间维度,但事实上它流经了许多国家。 河的对面是塔吉克斯坦,这显而易见。倾斜的木制电线杆, [...]
Indonesian Youth Conference: Siap Bersinergi untuk ASEAN?
Indonesian Youth Conference (IYC) mengajak kamu hadir ke talkshow ‘Siap Bersinergi Untuk ASEAN?’ untuk membuka wawasan kita seputar Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan apa yang harus kita persiapkan langsung dari mereka yang pernah bersinergi dengan teman-teman dari negara ASEAN lainnya. Bersama: Chiki Fawzi (Seniman), Agustinus Wibowo (Penulis dan Traveler), dan Ilman Dzikri (President of ISAFIS). Sabtu, 27 Juni 2015 pukul 15.00-17.00 di Conclave, Jl. Wijaya 1 No. 5C, Jakarta Selatan. Daftarkan dirimu di bit.ly/IYCtalkshow segera! GRATIS Sampai jumpa hari Sabtu! Tempat terbatas. Narahubung Ryani [...]
Marukara 4 September 2014: A Dangerous Adventure with Indonesian Illegal Traders (2)
We were traveling in the southern coast of Papua New Guinea with a group of illegal buyers from Indonesia. As the buyers were fearing the assault from local criminals or being caught by PNG police patrol, we decided to stay overnight in the wilderness. The most sensible place for tonight was Marukara, an empty small island across the village of Mabudauan. But unfortunately, when we arrived in the darkness of night, we found that the island was anything but empty. There were many boats parked on the shore. Men were shouting at us. We recognized that they were shouting in Kiwai language, which nobody in our group understood. Sisi shout back in English, “We are not enemy, we are from Tais. Are you guys from Mabudauan? In the past, our ancestors also caught fish in this area. Our ancestors also worked together with your ancestors.” The men shouted back. “Yes! We are from Mabudauan. Welcome!” Suddenly from the island came out a dozen of young men, directing our boats to avoid the rocks surrounding the island. There were about 40 men, young and old. They were all from Mabadauan and came to this island just to catch fish. “Don’t worry,” [...]
Jawa Pos (2015): Traveling Gila tanpa Lewat Udara
Agustinus Wibowo, Traveler dan Travel Writer Muda Indonesia http://www.jawapos.com/baca/artikel/18472/agustinus-wibowo-traveler-dan-travel-writer-muda-indonesia Traveling Gila tanpa Lewat Udara 7/06/15, 05:00 WIB Hidup adalah perjalanan. Sebagai traveler sekaligus travel writer, Agustinus Wibowo tentu sudah akrab dengan jalanan. Stempel belasan negara telah melekat di paspor. Puluhan ribu kilo sudah ditempuh. Banyak cerita dan potret yang telah dihimpun dan dibagi. Apa lagi yang dia cari? MELIHAT sosok Agustinus Wibowo, orang tidak akan langsung percaya bahwa empunya nama pernah menjajal profesi pewarta foto di Afghanistan. Penampilan sederhana –kaus, celana selutut, serta sepatu olahraga serbagelap– dengan didukung wajahnya yang ramah senyum, pria asal Lumajang tersebut tampak innocent. Bahkan, mengutip traveler Malaysia Lam Li, Agus tampak seperti ’’anak lelaki lucu’’. ’’Jadi, traveler adalah salah satu impian masa kecil saya. Beginilah saya sekarang. Serba berpindah-pindah,’’ kata sulung dari dua bersaudara itu. Padahal, Agus kecil bukan anak yang pemberani. Untuk menempuh jarak ratusan meter, dia lebih memilih naik becak. Padahal, kota tempat dia tinggal, Lumajang, bukan kota yang besar dan ganas. Setiap hari lelaki pemalu itu memilih berdiam diri di rumah untuk membaca buku. Buku pintar, ensiklopedia, bahkan buku pelajaran menjadi makanan sehari-hari buat Agus. Hobi tersebut membawa berkah buatnya. Selama SD hingga SMA, dia tidak pernah luput dari [...]
Titik Nol 206: Afganistan, Saya Datang
Khyber Pass yang termashyur (AGUSTINUS WIBOWO) KOMPAS.com — Masuk ke mulut singa. Begitulah yang saya rasakan ketika akhirnya saya melihat papan besar, bertuliskan “FOREIGNERS ARE NOT ALLOWED BEYOND THIS POINT”. Inilah pintu gerbang Khyber Agency, salah satu dari tribal area yang tersohor itu, di mana orang asing tidak diperbolehkan masuk tanpa surat izin dari Political Agent di Peshawar. Gerbang ini adalah tempat dimulainya daerah tanpa hukum. Yang berlaku selepas ini adalah hukum adat Pashtun. Mata balas mata. Darah balas darah. Dari sekian banyak agency, unit wilayah tribal area di Pakistan, semuanya adalah sumber masalah bagi negara ini. Kata tribal sering diorientasikan dengan keterbelakangan, primitif, dan kekacauan. Dalam kasusnya di Pakistan, memang tidak ada berita bagus tentang tribal area. Taliban, opium, senjata ilegal, hashish, penculikan, perang, bom, tanpa hukum, pemberontakan. Semuanya kumpulan kosa kata berkonotasi negatif. Khyber agency, yang pintu gerbangnya ada di depan mata saya sekarang, adalah urat nadi utama yang menghubungkan Peshawar ke Kabul melintasi Celah Khyber. Nama Khyber sudah membangkitkan nostalgia masa lalu, celah di gunung-gunung yang dilewati para penakluk dunia, mulai dari Iskander Yang Agung, raja-raja Persia, Turki, Mongol, hingga pasukan kolonial Inggris. Sekarang, tempat ini juga sudah mulai dirambah Taliban, didukung Lashkar-i-Islami, pasukan suku setempat, yang [...]
Indonesia: The Dollar Worshipers
I am Indonesian. I had to go abroad urgently. Thinking myself a nationalist, I automatically logged into the website of the national carrier—my pride—Garuda Indonesia. I did the e-booking for the international flight ticket. I was surprised that all prices were quoted in US Dollars, instead of in my own currency, Rupiah. I was confused, but I had to pay anyway. I got more confused that none of my national bank debit cards was accepted for the payment. Garuda only wanted Credit Card with the international logo of Visa or Mastercard. I was heartbroken. Our country’s national airline refused our own money and denied our own national banks. Alas. My Credit Card was over limit. I rushed to a private tour agent. I was relieved because they said they could help. But they quoted a price much more expensive than the one I saw earlier on the website. And yes, it was also in US dollars. I asked whether I could pay in rupiah, or use my debit cards. No, they said. Better bring us crispy US dollar bills, otherwise you have to agree with our unfavorable exchange rate. I ran to the nearby ATM, withdrew about a hundred pieces [...]
Titik Nol 205: Pasar Senjata
Pistol yang disamarkan dalam bentuk pena dijual bebas di Darra (AGUSTINUS WIBOWO) Hembusan ganas Afghanistan sudah terendus di Peshawar. Tak lebih dari 40 kilometer sebelah selatan Peshawar, di tengah jalan utama menuju Kohat, terletak desa Darra Adam Khel. Dari luar memang nampak seperti desa Pakistan biasa. Kumuh, semrawut, dan berdebu. Yang tak biasa adalah, desingan tembakan yang tiada henti. Ini adalah tempat di mana segala macam senjata dan bedil dibuat di balik tembok rumah-rumah, dan anak-anak bermain butir-butir peluru menggantikan kelereng. Tak banyak tempat yang benar-benar wild west seperti Darra Adam Khel. Orang-orang bebas membeli dan mencoba segala macam senapan di sini. Mulai dari Kalashnikov, M-16, hingga bolpoint dan tongkat yang bisa menembak. Kakek tua bersurban dan berjenggot putih, keluar dari sebuah toko dengan senyum. Kemudian dia menembakkan M-16 nya ke udara. Tiga tembakan. Nampaknya dia cukup puas dengan bedil barunya. Langit Darra dipenuhi suara-suara tembakan yang menyalak-nyalak tanpa henti. Saya dikejutkan lebih dari sepuluh kali ketika menyeruput segelas teh panas di kedai. Hati saya penuh tanda tanya, ke mana jatuhnya peluru yang ditembakkan tegak lurus ke atas? Sesuai prinsip gravitasi, peluru itu pasti akan jatuh lagi ke bumi. Adakah dia jatuh kembali kepada si penembaknya? Atau nyasar menembus atap [...]
Titik Nol 204: Kamp Pengungsi
Bocah pengungsi Afghan di kamp pengungsian Kacha Garhi, dalam kemonotonan warna kehidupan (AGUSTINUS WIBOWO) Pulang. Mengapa harus pulang? Rumah sudah menjadi puing-puing. Tidak ada pekerjaan. Tidak ada roti. Tidak ada impian. Tidak ada yang tertinggal lagi, kecuali selimut debu, kerumunan orang-orang lapar, hancurnya kebanggaan masa lalu yang dibungkus rapat-rapat oleh pasir gurun dan gunung gersang. Bazaar Khyber di jantung kota Peshawar adalah mesin waktu yang melempar saya ke zaman Seribu Satu Malam. Hanya satu warna yang ada: coklat kelabu. Pria-pria bersurban dan berjubah lalu lalang di jalan-jalan pasar Khyber yang berkelok-kelok bak rumah sesat. Di dunia yang hanya dikuasai laki-laki ini, wajah wanita nyaris tak terlihat sama sekali. Pasang-pasang mata besar dan garang mengintip dari balik kain hitam pekat. Itu pun jumlahnya masih bisa dihitung. Keledai dan kuda menarik berbagai macam barang dagangan. Ada bagian yang khusus menjual jubah. Ada yang khusus menjual barang elektronik dari China. Ada lagi bagian baju-baju bekas yang dijual nyaris gratis. Bahkan topi beruntai manikam dari Kandahar, topi pakkol dari Gilgit, hingga peci Melayu, semua ada di bazaar besar ini. Melayu memang pernah singgah di sini. Bukan hanya saya saja yang selalu berpeci untuk membawa identitas ke-Indonesia-an saya, yang hampir tak lagi dikenali lagi ketika [...]
Titik Nol 203: Romantisme
Gandengan tangan, berangkulan, berpelukan antara sesama pria adalah hal lazim (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin ini termasuk kotoran yang dipandang Wahid dengan tatap mata penuh jijik. Baru saja saya berhasil menghindar dari pria Pashtun yang mengaku dirinya sebagai Prince, pangeran – entah dari kerajaan mana lagi, yang menawarkan angkutan murah meriah menuju Afghanistan. Perjalanan menuju Afghanistan nantinya akan melewati daerah-daerah berbahaya. Pemerintah Pakistan mewajibkan orang asing yang akan melintas untuk dikawal tentara bersenjata. Orang asing juga tidak diijinkan untuk naik kendaraan umum, harus menyewa kendaraan sendiri. Bagi saya dengan kantong backpacker ini, biaya menyewa taksi yang bisa sampai seribu Rupee tentu saja membuat gundah. Prince, dengan aura kepangeranan yang terlalu dipaksakan, terus memantau kedatangan orang asing di Peshawar. Ia punya jaringan kuat dengan semua hotel di kota ini. Setiap ada backpacker yang datang, dengan sigap ia langsung nyanggong di hotel yang bersangkutan untuk bertemu dengan si turis. Lalu ia akan memamerkan foto-fotonya, tindakan amal apa saja yang pernah dia lakukan, gambar ratusan anak asuhnya, juga foto ribuan turis yang terpuaskan oleh layanan angkutan dan tour guide-nya. Ia memamerkan dua buku tebal testimonial para turis yang ditulis dalam pelbagai bahasa, mulai dari Inggris, Jepang, Perancis, hingga Mandarin. Para turis itu terpikat oleh aroma [...]
Titik Nol 202: Negeri Berselimut Debu
Dua pemuda ‘modern’ Afghan dari negeri berselimut debu (AGUSTINUS WIBOWO) “Apa yang kau cari di Afghanistan?” tanya pria muda ini, di sebuah sudut gelap ruang tunggu visa di kantor konsulat Afghanistan di Peshawar. Ruangan itu kotor. Selapis debu tebal menyelimuti lantai. Pemuda itu kemudian mencolekkan tangan kanannya di atas lantai. “Kamu mau melihat Afghanistan? Lihat saja tanganku. Kamu lihat debu ini? Kamu sudah melihat Afghanistan. Cukup. Di sana cuma ada debu!” Debu-debu beterbangan bersama hembusan napasnya. Saya terbatuk-batuk. Kantor konsulat Afghanistan dipenuhi orang Afghan. Mereka berpakaian mirip orang Pakistan, tetapi punya kebiasaan aneh suka menggigit syal yang melingkari leher. Tidak ada orang asing lainnya. Visa Afghan tidak sulit. Datang pagi hari, sore bisa diambil. Harganya cuma 1 dolar per hari. Mau enam bulan, satu tahun, berapa pun boleh, asal punya duitnya. Tetapi kemudahan visa ini tidak serta merta mendatangkan ribuan rombongan turis ke Afghanistan. Situasi keamanan sejak serangan Amerika di negara itu semakin lama semakin memburuk. Baru-baru ini ada kerusuhan besar di Kabul. Bom bunuh diri juga mulai marak. Semakin jarang petualang yang berani menjelajah negeri itu dalam kondisi seperti ini. Wahid, pemuda itu, berumur 25 tahun. Kulitnya putih bersih dan wajahnya tampan. Bahasa Inggrisnya sangat fasih, seperti belajar di [...]