agama
Gerakan politik di Iran selalu tidak terlepas dari seni. Demikian pula dengan gelombang protes besar-besaran yang mengguncang Iran berbulan-bulan pasca kematian Mahsa Amini, perempuan muda 22 tahun yang meninggal setelah ditangkap polisi moral, gara-gara hijab yang dianggap tidak sesuai aturan. Sebuah lagu dinobatkan sebagai “lagu kebangsaan” para demonstran dalam aksi protes menentang pemerintah. Para demonstran Iran serempak menyanyikan lagu ini, baik di Iran maupun di 200 kota di seluruh penjuru dunia, mulai dari London, Paris, Los Angeles, Toronto, Melbourne, hingga Tokyo. Lagu berjudul Baraye ini diciptakan musisi muda Iran, Shervin Hajipour (25). Dia mengumpulkan cuitan para netizen Iran di Twitter mengenai alasan mereka berdemonstrasi menentang pemerintah. Ini berarti, pencipta lagu ini sebenarnya adalah rakyat Iran sendiri. 28 baris dalam lagu ini semuanya diawali kata “baraye”, yang dalam bahasa Persia berarti “untuk” atau “karena”. Ini adalah 28 alasan mereka melakukan protes, kata-kata sederhana yang menggambarkan depresi, luka, dan kemarahan orang Iran. Hajipour menyanyikan sendiri lagu ini diiringi petikan gitarnya, memejamkan mata dan nada sendu yang mengguncang emosi. Dia mengunggah lagu ini di akun Instagram miliknya, langsung viral dengan 40 juta view. Dua hari kemudian, polisi Iran menangkapnya, dan lagu ini dihapus dari akun media sosialnya. Namun, penangkapan itu justru menjadikan Hajipour [...]
Pengaruh Hindu-Buddha dalam Kehidupan Beragama di Indonesia
Indonesia memang adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Tetapi, Islam baru menyebar luas di Nusantara sekitar lima atau enam abad terakhir, sedangkan selama ribuan tahun sebelumnya, agama yang dominan di kepulauan ini adalah Hinduisme, Buddhisme, dan agama-agama lokal. Karena itu, walaupun lebih dari 80 persen penduduk Indonesia kini beragama Islam dan sejumlah besar lainnya beragama Kristen, pengaruh Hindu-Buddha masih sangat kuat dalam kehidupan keagamaan di negeri ini, sering tanpa disadari sebagian besar orang. Dari sisi linguistik saja, banyak kosakata yang berhubungan dengan agama dalam bahasa Indonesia, sejatinya berasal dari tradisi Hindu-Buddha. Yang pertama adalah kata agama sendiri. Alih-alih kata din yang berasal dari bahasa Arab atau religio dari bahasa Latin, dalam bahasa Indonesia digunakan kata agama yang diserap dari bahasa Sanskerta dari India, negeri asal peradaban Hindu-Buddha. Dalam masyarakat Hindu di India, agama adalah sekumpulan tulisan pasca-Weda yang menjelaskan pengetahuan ritual, filosofi, dan spiritual yang digunakan sebagai pegangan bagi para umat Hindu. Agama berhubungan dengan cara menyembah dewa, cara pembangunan kuil dan patung, cara menyelenggarakan festival dan hari raya. Agama juga berhubungan dengan mantra, yoga, meditasi, doktrin filosofis, dan disiplin mental untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kata agama kemudian digunakan pula di Jawa. Ada sebuah naskah [...]
Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan
Harian Kompas, 26 Agustus 2021 Oleh AGUSTINUS WIBOWO ”Di sini semua mahal. Yang murah hanya satu: nyawa manusia.” Begitu seorang warga Afghanistan pernah berkata kepada saya tentang situasi negaranya. Sebagai jurnalis yang pernah bekerja di Afghanistan dari 2007 hingga 2009, saya pernah mengalaminya sendiri. Di Kabul, bom meledak setidaknya sekali dalam dua hari. Orang-orang pun senantiasa dicekam teror berupa hujan roket, perampokan, penculikan, dan pembunuhan. Kenangan itu seperti diputar kembali. Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, 15 Agustus 2021, peristiwa mengejutkan sekaligus menakutkan bagi banyak orang Afghanistan. Ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak, berbondong menuju bandara Kabul, satu-satunya jalur tersisa untuk melarikan diri. Isak tangis dan teriakan bertalu-talu dari lautan manusia. Mayat bergelimpangan di bandara, mungkin terinjak-injak atau tertembak tentara. Para lelaki berusaha bergelantungan pada badan pesawat militer AS yang hendak lepas landas. Beberapa dari mereka terjatuh dari pesawat yang mengangkasa. Begitu takut dan putus asanya mereka, hingga nekat melakukan apa pun. Apa pun. Beberapa kawan jurnalis di Kabul dan Mazar-i-Sharif mengatakan, mereka beberapa hari ini belum berani ke luar sama sekali. Mereka khawatir anggota Taliban akan melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah, membunuhi siapa pun yang dianggap musuh. Apakah kemenangan Taliban bisa dianggap kemenangan rakyat Afghanistan mengusir penjajah AS? Atau [...]
Penulis Indonesia Meriset tentang Islam dan Jawanisme di Kalangan Orang Jawa
Wawancara dengan surat kabar Suriname, De Ware Tijd (DWT) mengenai riset saya tentang agama-agama Islam dan Jawanisme (Kejawen) di kalangan diaspora Jawa di Suriname. Orang Jawa Muslim Suriname terdiri atas dua golongan utama, yaitu yang salatnya menghadap ke barat (Islam madep ngulon) dan yang menghadap ke timur (Islam madep ngetan atau ngiblat). Dalam beberapa dekade terakhir, muncul agama baru di tengah konflik antara dua golongan Muslim ini, yaitu agama Jawanisme. Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Belanda. Teks Charles Chang De Ware Tijd (Suriname), Rabu 21 Juni 2017 Dia telah menulis tiga buku, dan buku ketiganya akan difilmkan di Indonesia. Topik-topik tulisan Agustinus utamanya adalah tentang kehidupan di daerah perbatasan negara dan bagaimana orang-orang hidup dengan garis batas. Pencariannya untuk jawaban bagi buku keempat membawanya ke Belanda, di mana sebagai seorang Indonesia dia otomatis berhubungan dengan diaspora Jawa Suriname. Ketika dia mendengar tentang Islam-hadap-barat dan Islam-hadap-timur di Suriname, dan juga tentang makna Jawanisme (agama Jawa), dia menjadi sangat tertarik. Selama dua bulan risetnya di Suriname, dia telah membuat sejumlah penemuan yang menakjubkan. “Itulah indahnya menjadi seorang penulis perjalanan, karena pekerjaan ini membuat kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita,” kata Wibowo (35) tentang pekerjaannya. Sebagai seorang sarjana ilmu komputer, ini adalah [...]
[Detik.com] Penulis Perjalanan Berkisah Agama Kejawen di Benua Amerika
https://travel.detik.com/travel-news/d-5024142/penulis-perjalanan-berkisah-agama-kejawen-di-benua-amerika Jumat, 22 Mei 2020 05:32 WIB Femi Diah, detikTravel Jakarta – Travel writer Agustinus Wibowo mengisahkan perjalanan ke Suriname di Amerika Selatan. Dia menceritakan kepercayaan di Jawa yang menjadi agama resmi di sana: kejawen. Agustinus mengungkapkan lewat IG Live bersama bukugpu tengah pekan lalu. Dia bilang saat melakukan perjalanan ke Suriname, sebuah negara bekas jajahan Belanda dengan salah satu komunitas penghuninya adalah orang Jawa, menemukan bahasa Jawa masih digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari di negara tersebut. “Saat saya melakukan perjalanan ke Suriname, bukan hanya komunitas Jawa yang saya temukan, namun saya bisa menjadi bangga sekali menjadi orang Jawa, yang dibesarkan di Jawa dan bisa berbahasa Jawa. Di sana bahasa Jawa sangat terpakai dan memudahkan saya melakukan riset,” kata Agustinus. Bukan cuma itu, bahkan penulis buku Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol itu menceritakan tentang Islam Timur, Islam Barat, dan agama Kejawen di Suriname. Seperti apa? “Umat Islam Jawa terbagi menjadi dua, sholat kiblat ke barat dan sholat kiblat ke timur. Mereka saling bermusuhan, tidak saling menyapa, tidak saling menghadiri acara satu sama lain,” kata Agustinus. “Saya masuk ke masjid-masjid yang menghadapi kiblat ke barat dan ke timur untuk memahami sudut pandang masing-masing dan sisi [...]
Melihatnya dari Sisi Berbeda
Agustus 2019, Katedral Norwich menjadi kontroversi di seluruh Inggris. Di ruang altar utama Katedral, mereka memasang mainan perosotan yang disewa dari sebuah sirkus. Norwich adalah kota di Inggris dengan jumlah gereja terbanyak, tetapi sekaligus yang paling ateis. Apa yang menyebabkan orang Inggris enggan ke gereja? Dan apakah masa depan dari gereja?
Penodaan Agama: Menista Agama atau Menista Ego?
Pengalaman pertama saya bersinggungan dengan isu penodaan agama adalah pada tahun 2006, ketika saya berada di tengah ribuan demonstran di kota Lahore, yang memprotes pemuatan karikatur yang menghina Nabi Muhammad S.A.W oleh sebuah koran Denmark. “Ini adalah wujud cinta pada Rasul” tertulis di salah satu poster yang dibawa demonstran. Seorang pemuda yang membawa pentungan berkata pada saya, “Kami mencintai Nabi kami, lebih daripada kami mencintai anak dan orangtua kami sendiri.” Para demonstran menuntut pembuat karikatur dijatuhi hukuman mati, sebagaimana berlaku dalam hukum Pakistan terhadap penghujat Nabi. Semua demonstran yang saya wawancarai mengaku tidak pernah melihat sendiri karikatur itu, tetapi amarah mereka meledak setelah mendengar dari ulama mereka di masjid. Selepas siang, demonstrasi yang dilandasi cinta itu berubah menjadi amuk massa dahsyat. Orang-orang membakar mobil dan sepeda motor di sepanjang jalan. Mereka juga menjarah dan membakar restoran, kantor, toko, dan bank, diiringi seruan memanggil Tuhan Yang Maha Besar. Lebih dari seratus bangunan dan empat ratus kendaraan hancur. Kerusuhan meluas ke kota-kota lain di seluruh negeri. Massa juga membakar gereja, sekolah-sekolah dan rumah-rumah milik warga Kristen di berbagai lokasi di Pakistan, sebagai balasan untuk “penodaan” karikatur Denmark itu. Masih pada saat saya berada di Pakistan, pada akhir 2005, kasus lain yang menggemparkan [...]
Matinya Agama Tua
Perempuan tua itu seperti pengantin yang ketiduran. Bajunya merah menyala bersulam benang emas. Kedua pergelangan tangannya dilingkari gelang kebesaran peninggalan ratusan tahun, berupa piringan emas selebar kepala manusia, cemerlang bagai matahari di saat fajar. Warna-warna penuh gairah membalut sekujur tubuhnya, dari kepala hingga ujung kaki. Tetapi tubuh itu tak akan pernah bergerak lagi. Matanya yang terpejam itu juga tidak akan pernah membuka lagi. Perempuan tua 90 tahun itu, sejak tiga hari lalu, mati. Seorang anak perempuan dari nenek itu, alih-alih berduka bersimbah air mata, tersenyum mengundang saya masuk, “Mari. Mari makan bersama Nenek.” Saya susah payah memanjat dan merangkak memasuki pintu yang berupa lubang jendela selebar pinggang. Di dalam ruangan rumah kayu yang sempit beraroma sejarah itu, para kerabat duduk berdesakan di sekeliling mayat duduk sang nenek. Anehnya, sama sekali tidak terlihat air mata. Mereka, sambil menyantap nasi jagung yang keras dan hambar, berulang kali memandangi mayat yang wajahnya mulai mengembang itu, berujar, “Nenek sungguh cantik. Sungguh cantik.” Beberapa kerabat juga mengambil gambar dengan telepon genggam, dari diri mereka yang berdiri berdampingan atau bahkan sambil memeluk mayat itu. Bagi pemeluk agama tua Toraja di pegunungan terpencil di pedalaman Sulawesi, putusnya napas belum otomatis berarti mati. Hingga kemarin, sang nenek dianggap [...]
Tarakbits 26 Oktober 2014: Gereja dan Budaya
Selama perjalanan saya di Papua Nugini, saya menemukan bahwa kehidupan di negeri ini sangat berbeda dengan apa yang saya bayangkan. Sebelum datang ke sini, imajinasi saya terbentuk oleh gambar-gambar kuno tahun 1970an: orang-orang primitif dari dalam rimba yang bertelanjang baik laki-laki maupun perempuan. Kenyataannya, mereka sudah sangat “modern”. Tidak ada lagi koteka yang menutup kemaluan para lelaki, dan dada telanjang perempuan hampir tidak terlihat sama sekali (kecuali kalau mereka sedang menyusui, atau benar-benar sedang tidak ada baju yang bisa dipakai). Penyebab utama di balik perubahan yang sangat drastis ini adalah agama. Empat dasawarsa lalu, mayoritas penduduk Papua Nugini masih belum mengenal agama (Kristen), dan hidup dengan tradisi suku-suku asli di dalam hutan. Sejak tahun 1970an, Kristenisasi sangat gencar dilakukan di seluruh Papua Nugini, dan membawa perubahan gaya hidup drastis terhadap suku-suku asli itu. Bersamaan itu pula, tradisi suku asli Papua perlahan memudar dan sirna, karena gereja melarang segala sesuatu yang dianggap bertentangan dengan iman gereja. Di sepanjang pesisir selatan Western Province, maupun perjalanan menyusuri Sungai Fly, saya menyaksikan sebagian besar tradisi asli sudah mati. Pada peringatan hari kemerdekaan Papua Nugini 16 September lalu, penduduk daerah Suki merayakannya hanya dengan bermain basket, voli, dan kriket. Sejumlah pendeta yang saya temui mengatakan, [...]
Tarakbits 25 Oktober 2014: Manusia Diciptakan di Sini
Hampir semua suku di Papua Nugini mengklaim dirinya sebagai “pusat dunia”, dan mereka masing-masing punya cerita leluhur yang luar biasa berlebihannya. Di Tarakbits, ada klaim bahwa manusia pertama, Adam, diciptakan Tuhan di desa ini. Saya ingin mengetahui lebih dalam tentang cerita itu. Karena itu saya bertanya kepada seorang tetua desa tentang kisah itu. Dia berjanji akan menceritai saya pukul tiga sore di sebuah ruang kelas di sekolah. Saya terkejut, karena yang datang bukan satu orang, melainkan enam orang tua sekaligus. Di ruangan itu, mereka duduk tersebar di bangku-bangku kecil (tubuh mereka juga kecil) seperti pelajar sekolah, dan saya adalah gurunya. Saya mulai menanyai nama mereka satu-satu, dan mengajukan pertanyaan. “Jadi bagaimana kisah penciptaan manusia itu di Tarakbits?” “Nama tempat terlarang itu adalah Dukbitawonkobon,” kata Francis Maiweng, lelaki bertopi bisbol, berumur 50 tahun dan yang paling muda di antara mereka semua, “Tempat suci itu hanya diketahui oleh para tetua desa. Jadi biar Papa Mikes yang cerita, dia sudah umur 60 tahun.” Lelaki tua yang berwajah panjang itu berkata, “Bukan, aku bukan yang paling tua. Linus lebih tua.” Linus Kiamen, kakek mungil berkepala botak dan bertelanjang kaki duduk di bangku paling belakang, umurnya 70 tahun lebih. Saya bertanya padanya, “Jadi bagaimana manusia [...]
Lewada 12 September 2015: Antara Cerita dan Sejarah
Di utara Lewada, di mulut anak sungai Bituri, tinggallah buaya yang terkenal itu. Sang Buaya Lewada. Seorang pendeta yang beberapa bulan lalu mendayung kano untuk memeriksa jaring yang dipasangnya di tengah sungai untuk menangkap ikan. Itu adalah kano kecil yang hanya muat satu orang. Tiba-tiba, dari belakang, buaya itu melibas punggung si pendeta dengan ekornya yang tajam. Si pendeta jatuh terguling dari kano, tercebur ke sungai. Buaya itu menggigit pendeta pada mata kakinya, menyeretnya lebih dalam ke dalam air. Buaya itu kemudian membawa pendeta itu kembali ke permukaan air, mungkin supaya lebih leluasa memangsa manusia ini. Pada saat itulah pendeta menarik kakinya dari mulut buaya. Kakinya patah, tetapi dia hanya bisa berusaha berenang secepat-cepatnya. Beruntung, ada akar bakau. Dia memanjat sampai ke puncak pohon, bergelayutan di sana, berteriak minta tolong. Buaya itu kemudian pergi. Kejadian lain adalah seorang anak muda yang juga mendayung kano untuk memeriksa jaring. Pemuda itu ingin mencuci kakinya, menurunkan kedua kakinya ke sungai. Sialnya, kedua kaki itu mendarat ke dalam mulut buaya yang sudah menganga di bawah air. Dia langsung tenggelam. Si buaya itu berusaha merobek tubuhnya dengan cakarnya, pemuda itu terluka dari bahu sampai paha. Pada saat itu ada kano lain melintas, pemuda itu selamat. [...]
Doumori 10 September 2014: Surga Berlumpur (2)
Mama Ruth menyebut desa yang ditinggalinya ini “surga”. Tetapi di mata saya yang pendatang ini, Doumori sama sekali bukan tempat yang layak ditinggali. Pemandangan Doumori memang indah. Pohon kelapa berjajar di tepi sungai, dengan rerumputan yang menghijau menandai betapa suburnya tanah ini. Tetapi selama seminggu setiap bulannya Doumori dilanda banjir besar sehingga mereka terisolasi di rumah dan bepergian ke mana-mana dengan perahu dayung, termasuk ke rumah tetangga. Dan setelah itu, desa ini menjadi lautan lumpur, yang mengandung zat-zat beracun sehingga penduduk mengalami penyakit kulit parah. Tetapi bencana terbesar di Doumori adalah sungai. Sungai Fly yang menjadi sumber kehidupan mereka, kini telah rusak parah oleh aktivitas pertambangan emas dan tembaga Ok Tedi yang berada di hulu sana. Doumori termasuk daerah muara Sungai Fly. Di pagi hari, air sungai surut sehingga mengering. Dari tepi sungai yang kini menjadi tebing tegak lurus setinggi dua meter karena dilanda erosi, kita bisa meloncat ke dasar sungai dan berjalan-jalan di atas hamparan pasir yang begitu luas. Hamparan pasir ini terbentuk karena sedimen dari limbah pertambangan yang dibuang langsung ke sungai Fly. Hamparan pasir ini begitu luas, kita merasa seperti sedang berada di pantai. Apalagi Sungai Fly pada bagian muara ini juga begitu lebar seperti sebuah selat, [...]
Titik Nol 201: Di Atas Charpoi
Pria penduduk dusun Safed Sang (AGUSTINUS WIBOWO) Malam bertabur bintang. Kami duduk di atas charpoi di pekarangan rumah kerabat Ziarat Gul dari Safed Sang. Dalam remang-remang lampu petromaks, saya memandangi wajah kawan-kawan baru saya. Rumah ini bukan rumah Ziarat, melainkan rumah seorang kawannya. Rumah ini tertutup rapat dari luar, seperti halnya kultur Muslim Pakistan yang ketat yang tak mengizinkan perempuan anggota keluarga sampai terlihat orang lain. Tetapi di balik tembok padat yang melingkar, ada halaman luas terhampar. Musim panas Peshawar memang tanpa ampun, tetapi malam yang sejuk sungguh nikmat menikmati angin sepoi-sepoi di halaman rumah. Kami duduk di atas charpoi – kasur tradisional Asia Selatan berukuran memanjang, dengan empat kaki dari kayu, dan jalinan tali tambang sebagai tempat tidur. Satu charpoi cukup untuk satu orang tidur, tetapi bisa juga diduduki tiga orang. Duduk di atas charpoi di bawah tudung langit malam yang cerah adalah kenikmatan tak terhingga setelah hari panas yang melelahkan berakhir. Di hadapan saya banyak sekali kawan baru. Satu per satu diperkenalkan, tetapi saya tak ingat semua nama mereka. Seorang pria berusia 38 tahun adalah kakak yang paling tua. Adiknya yang gemuk berumur 25 tahun adalah teman Ziarat. Ada dua adik lagi, umurnya 12 dan 10 tahun, yang [...]
Titik Nol 199: Perempuan Pakistan di Mata Seorang Perempuan Malaysia
Lollywood – Hollywood dan Bollywood versi Lahore (AGUSTINUS WIBOWO) Masih ingat Lam Li, gadis Malaysia yang berkeliling dunia seorang diri? Setelah berkeliling negeri sendiri-sendiri, sekarang kami berjumpa lagi di Peshawar, dan saling berbagi pengalaman dari Pakistan. Sebelum masuk Pakistan Lam Li sudah dipenuhi oleh ketakutan tentang betapa seramnya kelakuan laki-laki Paksitan terhadap perempuan. Banyak cerita backpacker perempuan yang mengalami pelecehan seksual selama di Pakistan, mulai dari gerombolan laki-laki yang tak pernah puas memandangi tubuh wanita dari ujung kepala sampai ujung kaki, hingga kategori lelaki jalanan yang menjamah dan meremas. Jangankan perempuan, sebagai laki-laki asing pun saya sering mengalami pelecehan. Tetapi ternyata sudah hampir dua bulan Lam Li di sini, sama sekali ia tak mengalami pengalaman tak mengenakkan macam itu. Malah ia sempat terharu oleh keramahtamahan orang Pakistan. Ketika ia baru menyeberang dari India, di Lahore ia langsung diundang menginap di rumah keluarga tukang rikshaw. Abang si tukang rickshaw adalah resepsionis hotel. Bersama orang tua, istri-istri, dan anak-anak, tiga generasi keluarga besar ini tinggal bersama. Dari rumah mungil inilah, ia mulai mereka-reka serpihan Pakistan. “Menjadi perempuan asing itu berarti punya identitas ganda,” kata Lam Li. Ia bebas makan dan ngobrol bersama kaum pria di keluarga itu. Di lain waktu, Lam Li [...]
Titik Nol 198: Karachi
Mausoleum Mohammad Ali Jinnah, Bapa Pendiri Pakistan, adalah lanmark Karachi (AGUSTINUS WIBOWO) Karachi, inilah kota terbesar di Pakistan. Inilah salah satu urutan atas kota terbesar di muka bumi. Di sinilah belasan juta manusia Pakistan tumpah ruah, segala macam etnis dan agama campur aduk. Di sinilah segala kebanggaan bangsa, gemilang sejarah, bercampur dengan bau busuk gunung sampah dan sungai tercemar. Perjalanan dengan bus melintasi gurun pasir membawa saya kembali dari dunia Thar ke alam Pakistan. Begitu meninggalkan Umerkot, bus tak henti memutar acara khotbah pengajian dan lantunan syair maatam yang membawa suasana kesedihan Ashura. Penumpang bus, kebanyakan perempuan Hindu dengan sari dan kalung hidung ukuran besar, sama sekali tidak ada yang protes. Karachi, walaupun sudah bukan ibu kota Pakistan lagi, masih memegang kendali sebagai pusat perekonomian negeri ini. Kota pelabuhan ini masih menjadi hub perdagangan internasional dan gerbang utama masuknya komoditi ke seluruh Pakistan. Siapa yang tak terkesima oleh ukuran kota yang sudah masuk kategori megapolitan ini? Siapa yang tak takjub melihat modernitas arsitektur kuburan Muhammad Ali Jinnah – sang Bapak Pendiri Pakistan, sang Quaid-e-Azam (Pemimpin Yang Agung)? Di mana lagi di Pakistan kita bisa melihat hiruk pikuk orang seramai di kota ini, dengan luas sebesar ini, dengan gedung tinggi dan [...]
Titik Nol 196: Perjuangan Hidup
Di balik tirai benang-benang sulaman, penuh dengan harapan (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka memang hidup dari bulir-bulir pasir dan setetes air yang masam lagi pahit. Tetapi mereka pun punya mimpi dan cita-cita. Jamal adalah seorang guru di desa Muslim Ramsar. Muridnya ada 15 orang. Semua kerabatnya sendiri. Gajinya dari pemerintah Pakistan. Kecil sekali. Itu pun sering terlambat. Untuk menambah penghasilan, Jamal membuka toko, satu-satunya toko di desanya. Barangnya semua dari Umerkot. “Sekarang zaman sudah modern,” katanya, “saya tinggal telepon saja ke Umerkot dan barang diantar ke sini keesokan harinya dengan bus padang pasir.” Anda mungkin heran, bagaimana di gurun kering kerontang yang listrik dan air pun tak ada, malah ada telepon. Teknologi telepon nirkabel memang sebuah mukjizat yang tahu-tahu diturunkan kepada masyarakat di gurun pedalaman. Telepon made in China yang dipegang Jamal menyambungkan seluruh penduduk desa ke dunia luar. Gagang telepon ada di rumah Jamal, sedangkan mesin telepon ditinggal di Umerkot. Gagah sekali Jamal dengan gagang telepon itu, seperti punya telepon genggam saja. Gagang telepon yang satu ini, ramai-ramai dipakai penduduk desa sebagai telepon umum, dan Jamal pun dapat sumber pemasukan baru. Toko modern (AGUSTINUS WIBOWO) Di desa Ramsar Hindu juga ada toko kelontong yang persis sama, dengan persediaan barang remeh-temeh yang [...]
Titik Nol 192: Padang Pasir
Sebuah gubuk di tengah gurun (AGUSTINUS WIBOWO) Benteng kuno Umerkot membayangi seluruh penjuru kota kecil ini. Anggun dan gagah, walaupun sudah tak banyak sisanya. Kota kelahiran Akbar-e-Azam, raja terbesar dinasti Mughal, kini menjadi kota Hindu terpencil jauh di pedalaman Sindh di selatan Pakistan. Lebih tragis lagi, tempat kelahiran Akbar, kini ditandai dengan sebuah gedung prasasti kecil tak menarik, terlupakan di pinggiran Umerkot. “Dia memang raja besar, tetapi dia melupakan akarnya, tanah kelahirannya,” keluh seorang penduduk Umerkot. Sejarah masa lalu Umerkot memang pernah sangat gemilang. Raja besar dunia pernah lahir di sini, dan para penakluk perkasa pernah melintasi kota ini untuk menaklukan negeri di seberang beringasnya padang pasir Thar. Tetapi gurun ini tidak selalu ganas dan muram. Di siang hari, wajah kota ini menjadi semarak luar biasa dengan datangnya orang-orang dari pedalaman padang gurun Thar. Wanita-wanita dari gurun terkenal dengan pakaian yang berwarna-warni liar, seperti pemberontakan terhadap kering dan monotonnya padang pasir. Ada warna merah membara bergambar bunga-bunga, ada hijau yang memberi kesegaran, ungu yang sejuk, dan biru gelap seperti warna langit. Yang Hindu kebanyakan memakai choli dan polka, kaus ketat dan rok panjang sampai ke mata kaki. Wanita Muslim biasanya masih setia dengan shalwar kamiz, celana kombor dan jubah panjang. [...]
Titik Nol 191: Little India
Para pemuja dewa di Shiva Mandir (AGUSTINUS WIBOWO) Harum dupa semerbak mengisi ruangan. Mantra bermelodi terus mengalir dari mulut pandit, yang membawa nampan dan lilin. Tiga orang umat di belakangnya, ikut mengiringi mantra. Dentingan lonceng mungil bergemerincing, menambah daya magis lantunan mantra-mantra. Di hadapan mereka, sebuah patung biru berdiri gagah. Tangannya banyak, masing-masing memegang senjata dan menjambak kepala-kepala manusia. Di lehernya tergantung kalung dari untaian tengkorak. Lidahnya terjulur, merah membara. Tetapi di balik semua deskripsi seram itu, sepasang mata indah memancarkan kewelasasihan. Ini adalah patung Dewi Kali, pasangan Sang Dewa Syiwa. Mantra terus mengalir memanjatkan puja dan puji, ritual rutin setiap pagi di Shiv Mandir, Kuil Syiwa. Ini bukan India. Ini adalah Umerkot, kota terakhir Pakistan di tepian padang pasir Thar yang luas menghampar. Hiruk pikuknya Umerkot, dengan gang-gang sempit yang berkelok-kelok ruwet seperti benang kusut, diiringi dentuman lagu-lagu Bollywood yang menyalak tiada henti dari tape kuno, dihiasi warna-warni indah dari kuil-kuil Hindu yang bertebaran, dipenuhi percakapan yang tak lupa menyebut kebesaran Syiwa, Brahma, dan Wishnu, memang membuat saya sejenak merasa diterbangkan ke India. Umerkot adalah tempat yang unik di Pakistan. Mayoritas penduduknya Hindu, tersembunyi di pedalaman Republik Islam.. Kota ini didirikan oleh seorang Hindu, Amer Singh, yang menjadi ihwal [...]
Titik Nol 189: Terkapar
Kaum perempuan keluarga Piragani (AGUSTINUS WIBOWO) Dari Punjab yang panas membakar lalu perjalanan panjang dan menyiksa dalam gerbong kereta api kelas ekonomi, akhirnya sampai juga saya ke jantung propinsi Sindh. Saya terseok-seok lemas melangkah, memulai perjalanan di tempat yang sama sekali asing ini. Tak sampai sepuluh menit saya singgah di Hyderabad. Kota ini dulunya terkenal sebagai Paris of India, karena konon jalanannya berbasuh harum wewangian. Sekarang di benak saya, yang tertinggal cuma jalan bolong-bolong, becek, kumuh, dan campur aduk. Bus mini berguncang-guncang. Saya pun ikut bergetar beraturan, berdesak-desakan dengan penumpang di bangku belakang. Tujuan saya adalah Umerkot, tersembunyi di ujung pelosok Sindh, di tepian padang pasir Thar Parkar, berhadapan dengan India di seberang. Karena cukup terpencil, kendaraan langsung sudah tak ada, saya harus ganti kendaraan dulu di kota Mirpur Khas. Pemandangan di luar sana sungguh kontras dengan hijaunya Punjab. Pasir kuning menghampar di mana-mana. Pohon padang pasir yang mirip nyiur berbaris renggang-renggang. Langit biru menudungi. Anehnya, walaupun gersang, saya tak merasa panas. Tak ada lagi sengatan mentari yang mematikan seperti di Punjab sana. Angin sejuk semilir membasuh muka saya dari kaca jendela bus. Dua jam perjalanan, saya tertidur pulas. Jalan raya berhenti di Umerkot, di ujung bumi Pakistan. Selepas ini [...]
Titik Nol 188: Bahauddin Zakariya Express
Bahauddin Zakariya Express (AGUSTINUS WIBOWO) Senja mulai merambah tanah Punjab. Stasiun kereta api Bahawalpur penuh dengan calon penumpang yang mulai resah karena kereta api Bahauddin Zakariya Express yang berangkat dari Multan menuju Karachi tak kunjung tiba. Multan hanya beberapa puluh kilometer jauhnya sebelum Bahawalpur, sekitar satu setengah jam perjalanan dengan kereta ‘ekspres’ ini. Tetapi baru menjelang tengah malam, kereta panjang berwarna kuning dan hijau ini merapat di stasiun. Yang tercipta pada detik berikutnya adalah kericuhan. Ratusan penumpang yang sudah tidak sabar lagi setelah penantian berjam-jam, segera menyerbu masuk ke dalam gerbong. Petugas pun tak kuasa menahan luapan manusia. Masing-masing penumpang membawa barang bawaan berkarung-karung. Saling dorong, maki, cakar. Suasana pertempuran dipindahkan ke dalam koridor gerbong sempit dan gelap ini. Saya meraba-raba di tengah dorongan dan teriakan beringas orang-orang yang tidak sabar. Nyaris saya menginjak seorang bayi yang teronggok di bawah kaki. Sementara dorongan orang-orang semakin kuat. Saya terjebak dalam histeria. Semua orang seperti sudah tak punya waktu tersisa untuk segera menaruh barang dan duduk di tempat yang paling nyaman. Setelah bercucur peluh saya akhirnya berhasil duduk. Sudah tidak ada tempat lagi untuk menaruh tas ransel, karena semua tempat sudah ditempati oleh karung dan tas penumpang lainnya. Bahkan tempat untuk menaruh [...]