Recommended

Bamiyan

Titik Nol 87: Hidup Menurut Buku Panduan

Sarapan pagi pun saya membaca Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengapa hidup kita harus selalu dituntun oleh buku panduan? Tidakkah kita memiliki hasrat lebih besar untuk melakukan pengembaraan, menemukan rahasia alam yang tak terduga? Terilhami dari perang omelet di Jodhpur, saya jadi berpikir sejauh mana buku panduan macam Lonely Planet sudah memengaruhi cara orang menjelajah dunia. Coba perhatikan, berapa banyak turis yang berkeliaran di India yang yang tidak membawa-bawa buku suci tebal berjudul Lonely Planet, atau buku panduan wisata lainnya? Semua orang membawa buku yang sama, pergi ke tempat yang sama seperti yang ditulis dalam buku, menginap di hotel-hotel yang sama, sampai makan omelet pun di tempat yang sama. Turis-turis ini hanya melakukan perjalanan napak tilas seperti yang dituntunkan oleh buku. Bahkan beberapa edisi terbaru Lonely Planet sudah mencantumkan rute pilihan penulis. Apa jadinya? ‘Petualang’ atau bahasa kerennya traveler zaman sekarang, sudah jauh berbeda dengan para pengelana dunia pada zaman dahulu, bahkan tak bisa dibandingkan dengan para hippie yang menapaki hippie trail dari Istanbul sampai Kathmandu pada era 70-an. Perjalanan backpacker zaman sekarang terlalu terikat dengan petuah dan petunjuk Lonely Planet. Semua pergi ke tempat yang sama, semua mencicip makanan di restoran yang sama, dan menyelami pengalaman perjalanan yang sama. Apa [...]

September 23, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 104: Antara Kepercayaan dan Realita

Tidak semua orang Hazara mendukung tradisi menceburkan diri ke danau untuk memperoleh kesembuhan. ”Orang-orang bodoh ini,” kata Anwar, seorang pengunjung Hazara dari Bamiyan, ”mereka benar-benar percaya bahwa danau ini dibuat dengan mukjizat Imam Ali.” Anwar, seperti halnya mayoritas orang Hazara, juga pemeluk Syiah. Tetapi ia pernah belajar ilmu agama di Iran, dan ia lebih logis. ”Sebenarnya, memercayakan kesembuhan dari danau dan mukjizat tempat suci, sama sekali bukan ajaran Islam. Kita seharusnya hanya mengandalkan pertolongan Tuhan. Tetapi penduduk sini tak berpendidikan, mereka memegang teguh tradisi secara membabi buta dan percaya bahwa tradisi itu adalah agama.” Danau ini bukan hanya menjadi tempat ziarah, tetapi juga menjadi tempat piknik penting. Yang berkunjung mulai dari penduduk, kaum ekspatriat, pekerja sosial, sampai tentara Selandia Baru di bawah komando ISAF yang tak segan-segan berpiknik membawa senjata mesin dalam posisi siaga, potret sana, potret sini, dengan latar pengunjung Afghan yang mengarungi danau dengan perahu kayuh. Kendaraan umum pun banyak, hampir setiap hari berangkat dari pasar Bamiyan. Kali ini aku datang dengan berjalan kaki menyusuri gunung cadas, melintasi satu per satu keenam danau yang diciptakan oleh mukjizat Ali. Aku tak berani membayangkan perjalanan seperti ini tiga tahun lalu, ketika daerah sekitar danau ini masih dipenuhi ranjau. Kala itu, [...]

March 20, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 103: Danau Mukjizat

Alkisah, keenam danau yang terletak di antara Yakawlang dengan kota Bamiyan tercipta berkat mukjizat Hazrat Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, yang makamnya menjadi ziarah penting di Mazar-e-Sharif. Ia diagungkan umat Syiah Afghanistan sebagai figur mistik dengan segala kekuatan magis yang tiada bandingan, menciptakan berbagai keajaiban di muka bumi. Konon, Lembah Bamiyan dikuasai Barbar, raja zalim yang suka menyiksa dan membunuh rakyatnya. Hazrat Ali datang untuk memberi pelajaran pada Barbar, menyamar sebagai budak. Barbar memerintahkan budak ini membendung aliran sungai yang mengamuk sekaligus membunuh naga yang senantiasa memangsa penduduk Bamiyan. Dengan kekuatan sihirnya, dalam sekejap enam bendungan raksasa tiba-tiba berdiri di tengah kepungan gunung cadas. Itulah keenam danau Band-e-Amir yang kini menghidupi seluruh Lembah Bamiyan. Ali pun melayang menuju pegunungan lainnya, menemui naga raksasa yang bersembunyi di Lembah Ajdahar. Dengan sekali sabet menggunakan pedang sakti bernama Zulfiqar, ibu naga dan anaknya langsung mati, membatu, dan mengeluarkan air mineral yang dipercaya sebagai tangisan mereka. Barbar tercekat dengan kekuatan Ali, langsung memeluk agama Islam, diikuti oleh segenap penduduk Lembah Bamiyan. Bagi para peziarah Syiah Hazara yang mengunjungi Band-e-Amir, kisah naga, mukjizat danau, dan Hazrat Ali bukan legenda kosong. Seperti halnya di makam suci Ali di Mazar, mereka rela menempuh perjalanan berat dan [...]

March 19, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 102: Lalmi

Tidak semua daerah di Afghanistan seberuntung Yakawlang. Walaupun sebagian besar penduduk negeri ini hidup dari pertanian, Afghanistan bukanlah negara agraris yang makmur. Sekitar 75 persen dari wilayah Afghanistan adalah pegunungan, terbentang dari batas utara hingga ke selatan negeri. Sisanya adalah gurun pasir luas. Dari lahan yang ada, tak banyak pula yang ideal untuk diolah menjadi lahan pertanian. Air langka, cuaca ekstrem. Karena musim dingin sama sekali tak mungkin bercocok tanam, dalam satu tahun hanya sekali musim panen, padahal lebih dari 25 juta penduduk Afghan butuh gandum dan beras setiap hari. Panen sering gagal, apalagi ketika kekeringan melanda, hujan tak turun, tanah retak, ladang gandum ”hangus”, kambing kurus kering, bayi-bayi mati kelaparan. Ghor, salah satu provinsi termiksin di Afghanistan, sering dihantam kekeringan. Di sini, air adalah masalah utama. Tak jarang perempuan desa harus berjalan berjam-jam melintasi padang tandus untuk mencari air. Gandum yang seharusnya tumbuh sepinggang, di sini tumbuhnya sering kali tak sampai selutut, berpencaran, lunglai. Bulirnya teramat kecil, tak layak dikonsumsi. Namun kenyataan bahwa orang masih bisa bertahan hidup dalam kondisi alam yang tak bersahabat ini patut mengundang decak kagum. Siapa sangka, gunung-gunung gundul yang dilapisi debu ini ternyata masih bisa menyokong hidup. Di sini, tak ada irigasi, tak ada [...]

March 18, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 101: Yakawlang

Sejak berangkat dari Herat, uangku cuma tiga puluh dolar. Sekarang tinggal separuh, entah apakah sanggup mencapai Kabul dengan dompet setipis ini. Belum lagi makan, tiga hari saja kalau setiap hari tinggal di kedai seperti ini uang pasti tak cukup. Dalam kondisi begini, pengeluaran harus dihitung cermat, setiap sen begitu berarti. Tapi aku percaya, Khoda negahdar, Allah Maha Pelindung. Daripada stres, aku menggelar matras di sudut warung. Tidur. Belum lagi aku terlelap, bocah pegawai di warung ini berteriak. ”Bangun! Bangun! Ada kendaraan mau ke Yakawlang! Cepat! Mereka berangkat sekarang juga!” Aku terlompat. Di depan warung ada Falang Coach. Di dalamnya ada dua lelaki, beberapa perempuan dan anak-anak. Mereka semua Hazara. Perempuannya tidak memakai burqa, tetapi menutup wajah mereka dengan kerudung warna-warni. “Cepat naik! Cepat!” kata lelaki gemuk beserban. Matanya memicing, jenggotnya kriwil-kriwil. Wajahnya tampak bersahabat. ”Sebentar lagi hujan! Kalau kita tidak bisa melewati gunung itu, kita tak bisa sampai di Yakawlang.” Angkutan ini tidak gratis, tetapi juga tidak mahal. Rombongan keluarga ini adalah peziarah Syiah yang hendak bersembahyang di danau suci dekat Yakawlang. Aku diangkut, karena setidaknya bisa sedikit membantu mereka meringankan ongkos sewa mobil. Dari Panjao menuju Yakawlang, jalanan sempit dengan batu-batu besar. Itu pun harus mendaki. Tak heran sopir [...]

March 17, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 38: Latif Si Pencuri Ulung

Belajar dari kebijaksanaan keledai (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah padang sunyi, kami meneruskan penantian. Satu mobil lain melintas, dilanjutkan yang lain, dilanjutkan yang lain lagi. Tampaknya sedang ada acara pernikahan di Bamiyan. Tetapi semua penuh diisi penumpang perempuan. Tentu saja mereka tak mungkin mengangkut dokter Kabul yang laki-laki ini. Adat melarang perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim untuk duduk bersebelahan. Baru dengan mobil kelima, setelah setengah jam menunggu sang dokter kawan kami akhirnya bisa berangkat balik ke Bamiyan. Dari sini ke Bamiyan butuh waktu satu jam. Pergi pulang paling cepat dua jam. Belum lagi masih harus mencari sopir dan kendaraan, bisa-bisa habis waktu sepanjang hari. Semangatku semakin redup. Aku mengeluarkan buku yang teronggok di dalam tasku. Judulnya Afghan Caravan. Karavan Afghanistan. Negeri ini adalah perlintasan karavan para musafir, melintasi gunung dan padang. Perjalanan adalah jiwa sejarah negeri ini, semua termaktub dalam buku kompilasi berisi kumpulan kisah-kisah legendaris dari Afghanistan, mulai dari dongeng, humor, sampai resep masakan. Satu cerita yang tepat sekali kubaca di tengah kegelisahan ini adalah kumpulan petualangan lucu Latif si Pencuri Ulung. Sungguh bodoh orang yang menangisi kesialan dan tak mau belajar dari pengalaman. Demikian ajaran Latif si Pencuri Ulung yang begitu menohokku saat ini. Seperti halnya kisah-kisah Mullah [...]

December 18, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 37: Kesialan Mendatangkan Kesialan

Meninggalkan Bamiyan dalam kemelut (AGUSTINUS WIBOWO) “Jadi kamu pikir kami ini orang jahat?” Raut muka lelaki Hazara yang menginap di sini tiba-tiba berubah jadi serius. Mata sipitnya memicing. “Ayatullah orang jahat? Aku jahat? Dia jahat? Atau dia jahat?” Ia mengarahkan jari telunjuknya pada semua orang yang duduk di ruangan ini, berurutan dari Ayatullah sampai ke Qurban. Ayatullah dan teman-temannya memulai pagi ini dengan mengolok-olokku, lagi-lagi membuat lelucon bodoh mengenai jijig. Aku sama sekali tidak bernafsu dengan humor porno saat ini. Ayatullah menuang teh hijau ke dalam cawan-cawan, menghirup asap teh yang harum dalam-dalam. Tak-tak-tak-tak. Tangannya terus memutar tasbih. Mereka melanjutkan ritual menertawakan orang Tajik yang bermental pencuri. Aku menyanggah. “Orang Tajik itu tidak jahat. Mereka malah menawariku ongkos pulang.” Aku tidak berniat membandingkan dengan orang-orang Hazara di hadapanku yang tidak berusaha membantu apa-apa tapi sibuk menertawakanku ini. Tapi kalimatku tadi sudah membuat seorang dari mereka terluka, marah. Lelaki yang duduk di samping Ayatullah itu tidak terima, ia menyergapku dengan sederet kalimat pedas bernada rasis. Ayatullah tertawa terkekeh. “Kamu tidak perlu khawatir. Bukankah masih ada seratus dolar di dompetmu?” Aku tidak punya uang sebanyak itu. Hanya ada selembar lima dolar dan beberapa uang receh Afghani. Ongkos paling murah ke Kabul 300 [...]

December 17, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 36: Kegelapan Sempurna

Andaikan aku punya uang sebanyak ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah kekalutan dan kegelapan sempurna seperti ini, langkahku terhenti oleh tentara yang mencurigaiku sebagai teroris. Keamanan di Bamiyan termasuk sangat bagus, tapi malam-malam begini jalan sunyi senyap. Siapa pula orang yang berkeliaran di jalanan pada saat seperti ini? Malam adalah waktu untuk meringkuk di rumah. Seperti sejak zaman invasi Soviet, jam malam masih berlaku di Bamiyan. Setelah matahari terbenam, jangan berada di mana-mana selain di dalam rumah. Tentara itu, yang kulihat hanya bayang-bayang gelap mengeluarkan suara, mulai menanyaiku ini dan itu. Aku cuma ingin segera pergi dari hadapannya. Aku berada dalam kondisi mental di mana ratusan kata-kata mengalir begitu saja dari mulutku. Semua dalam bahasa Inggris. Tanpa logika. Bahkan aku pun tak tahu bicara apa. ”I have no money… you know, someone stole my money. I don’t know how to survive… I don’t know what to do… I have to return to Kabul, but how can I go there? I… I… You know what you are doing? You just add my problem. I am afraid, I am angry, how can I survive in Afghanistan? Help me… help me… Sir, let me go. I go… I now…” Tentara itu mungkin terkejut mendengar [...]

December 16, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 35: Mendadak Miskin

Mendadak miskin di tempat segersang ini (AGUSTINUS WIBOWO) Aku terpaksa harus meninggalkan Bamiyan tanpa uang sepeser pun. Semula aku sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Di benakku sudah terbayang petualangan dahsyat Afghanistan yang menanti. Danau-danau biru magis laksana kristal di Band-e-Amir. Jalanan berdebu menuju pedalaman Bamiyan. Atau menumpang truk melintasi daerah-daerah peninggalan sejarah dan peradaban kuno. Aku begitu bersemangat. Sampai di titik ini. Ketika sebuah insiden menjungkirbalikkan semua perasaan, menghablurkan semua harapan. Kemarin, tepat sebelum tidur, aku menghitung semua uangku. Aku menaruh uangku bersama paspor di dalam sebuah amplop, kuletakkan dalam saku beritsleting di rompiku. Uang dan paspor itu selalu terbungkus amplop, dan aku punya kebiasaan selalu menghitung uang yang tersisa selang dua hari sekali. Aku menginap di kantor LSM milik Akbar Danish. Sekitar pukul 7 malam, di ruangan ini ada aku bersama Ayatullah, seorang lelaki tua yang menjadi guru agama dan punya program siaran keagamaan di Radio Bamiyan. Seperti halnya diriku, Ayatullah juga tamu yang menginap di kantor ini. Masih ada dua lelaki Hazara lain, dan seorang pembantu lelaki. Aku sedang mendengarkan lagu dangdut dari MP3 ketika berusaha mengeluarkan uang dari amplop untuk dihitung. Yang meloncat pertama adalah paspor. Kemudian aku menunggu keluarnya uang afghani pecahan besar. Kejutan! Tidak ada [...]

December 13, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 34: Para Penjinak Ranjau

Menyisir ladang ranjau secara manual. (AGUSTINUS WIBOWO) Setiap hari mereka bergelut di garis batas antara hidup dan mati. Tapi mereka tetap berusaha menikmati rutinitas berbahaya ini. Wais semula memang tidak mengizinkanku memotret para pembersih ranjau. Tetapi akhirnya dia membolehkan, asalkan para “model” sudah memakai jaket dan helm sesuai yang diwajibkan organisasi. Kalau tidak, pelanggaran keamanan ini bisa diketahui atasan, dan mereka semua akan dapat masalah. Tidak ada yang dapat menjamin pulang dengan selamat kalau mengerjakan pekerjaan ini. Bahkan anjing yang mempunyai penciuman sensitif pun sering kali menjadi korban. Saat menemukan ada logam yang dipendam di lokasi, para anjing seharusnya duduk satu meter jauhnya dari benda yang dicurigai itu. Tapi kenyataannya, cukup banyak anjing yang tergoda untuk menggali “barang menarik” itu. Kejadian berikutnya bisa ditebak: si anjing meledak berkeping-keping ke angkasa, lalu ke tanah (deskripsi yang disebut oleh Jamil dan Sabur sebagai “pemandangan luar biasa” atau “pemandangan cantik”). Jam kerja para penjinak ranjau sebenarnya dipengaruhi oleh cara kerja anjing. Anjing adalah binatang rewel, mereka hanya bekerja pada temperatur tertentu. Para petugas penjinak ranjau harus memulai pekerjaan mereka pagi-pagi sekali, yaitu sekitar setengah enam ketika langit baru saja terang, dan mengakhiri kerja mereka sebelum hari mulai panas, sekitar pukul 11:00. Lain dari [...]

December 12, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 33: Ranjau, Hidup dan Mati

Tim penjinak ranjau menggunakan anjing yang sudah terlatih untuk melacak ranjau. (AGUSTINUS WIBOWO) Sabur ternyata adalah pintu gerbangku untuk mengenal kehidupan para pembersih ranjau. Semula aku kurang bersimpati dengannya, gara-gara kebenciannya terhadap orang-orang Hazara hanya karena mereka Syiah. Sabur juga mencurigakan, karena topik pembicaraannya tidak jauh-jauh dari jijig (yang merupakan tiruan bunyi dari orang berhubungan seksual, kemungkinan dari pengaruh bahasa Rusia). Dia bilang, dia tidak pernah berhubungan seksual dengan bocah lelaki, tapi dia tahu bahwa Vaseline berguna dalam urusan itu. Humor-humor berbau homoseksual sangat populer di kalangan lelaki Afghan, bahkan mereka masih tetap menjentikkan untaian bulir tasbih saat bergurau tentang seks. Sehabis berbanjir peluh dari perjalanan ke Kakrak, Sabur membawaku ke tempat tinggalnya. Semula aku khawatir apabila humor-humor homoseksualnya bukan sekadar humor. Ternyata Sabur tinggal di asrama bersama para pembersih ranjau. Dia adalah sopir untuk organisasi Mine Dog Center (MDC). Sabur mempersilakan aku duduk, membuatkan jus mangga untukku. Bukan dengan mesin, harap dicatat. Dia cukup meremas mangga dengan kedua tangannya sampai buah malang itu melunak. Melihat ekspresi wajahku yang ngeri melihat cairan mangga itu merembes dari kulitnya melewati jari-jari Sabur hingga masuk ke cangkir, Jamil, teman Sabur yang orang Pashtun, menyiapkan segelas susu untukku. “Ya,” katanya, “besok kamu harus datang [...]

December 11, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 32: Legenda Masa Lalu

Ahmad Sabur di Kakrak (AGUSTINUS WIBOWO) Lembah ini bersimbah air mata. Ada sebuah legenda indah namun tragis tentang Bamiyan. Konon, di lembah Bamiyan pernah bertahta raja Jalaluddin. Raja memaksa putrinya menikah dengan seorang pangeran tampan dari Ghazni. Tapi hati sang putri bukanlah pada lelaki itu. Dia tidak rela dipaksa menikah oleh ayahnya. Dalam hatinya tumbuhlah dendam pada sang ayah. Pada saat itu, kabar mengenai keganasan bangsa Mongol sudah tersiar ke negeri-negeri tetangga. Pasukan Jenghis Khan membabi buta menerjang ke negeri-negeri Muslim, menghancurkan semua peradaban, membakar habis kota-kota, memerkosa dan membantai penduduk yang malang. Tidak lama lagi, pasukan Mongol itu akan tiba di negeri Bamiyan. Tebersit dalam benak sang putri, inilah saat  terbaik untuk menghukum ayahnya. Apabila kekuatan seorang wanita tidak sanggup menghukum lelaki jahanam itu, batinnya, bagaimana kalau dengan menggunakan tenaga para lelaki Mongol yang tidak pernah kenal belas kasihan? Hanya dengan kata-kata, sang putri yakin ayahnya akan hancur. Dia membocorkan rahasia benteng kerajaan ayahnya pada pasukan Mongol. Tidak perlu lama, tanpa bertele-tele, pasukan Mongol berhasil menundukkan benteng Jalaluddin berkat informasi rahasia dari sang putri. Jenghiz Khan terkenal sebagai kaisar berhati dingin. Di kebanyakan negeri yang dikalahkannya, semua makhluk dibantai habis. Lolongan ratapan berkumandang dari seluruh penjuru benteng itu. Pria, [...]

December 10, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 31: Perjalanan Hazara

Foto raksasa pahlawan Hazara dalam perang Mujahiddin menghiasi langit Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO) “Indonesia? Aku tahu Indonesia! Jawa, Bali, Roti!” seru lelaki Hazara di pondok kayu bobrok di pinggir pasar utama Bamiyan ini begitu aku menyebut asal negaraku. Ramazan mengejutkan aku dalam dua hal. Pertama, dia adalah lelaki yang berasal dari pedalaman Afghanistan di tengah pegunungan tinggi yang cukup terpencil. Tidak banyak orang Afghan yang benar-benar tahu apa atau siapa itu Indonesia. Sejumlah orang Afghan yang kutemui malah mengira Indonesia itu adalah kota kecil di dekat London. Atau negara pecahan Uni Soviet. Atau negara mungil lagi miskin di pedalaman Afrika. Kejutan kedua, Ramazan bahkan tahu tentang Roti, sebuah pulau kecil nun jauh di pelosok kepulauan Indonesia, yang tentunya banyak orang Indonesia sendiri pun tidak tahu pasti di mana itu letaknya. Ramazan ternyata bukan cuma tahu tentang Roti. Dia pernah tinggal di sana. Bukan sebagai pengunjung short time sepertiku di Afghanistan sekarang ini, Ramazan tinggal di Roti sampai 14 bulan dari tahun 2001 sampai 2002. Selain Roti, ternyata Ramazan pernah tinggal di Jakarta dan Bali. Ini bukan jalan-jalan piknik suka-suka. Perjalanan Ramazan adalah menembus gunung dan bukit-bukit berdebu, bersembunyi dari terjangan peluru dan kemelut perang, lalu menyelundup dari negeri yang satu ke [...]

December 9, 2013 // 8 Comments

Selimut Debu 30: Universitas Bernama Kedai Teh

Belajar bersama di universitas kehidupan. (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak semua hal yang buruk membawa kesialan. Justru karena aku didepak dari Radio Bamiyan tempat Hadi Ghafari itu, aku malah mendapat mendapat kesempatan untuk belajar langsung dari sebuah universitas kehidupan bernama “kedai teh”. Kedai teh, orang Afghan menyebutnya samovar, sedangkan buku panduan menyebutnya sebagai chaikhana (chai=teh, khana=rumah), bukan hanya sekadar tempat makan dan minum. Bagi orang Afghan di daerah pedesaan seperti ini, kedai teh adalah tempat untuk bercengkerama, berbagi cerita, dan mendengar tentang dunia. Para musafir (laki-laki, dan hanya ada laki-laki) bahkan menginap gratis di kedai teh, tidur di atas matras di ruang utama, berjajar-jajar tanpa sekat privasi, dan mensyukuri berkah karena masih ada tudung atap dan kehangatan untuk melewati malam yang dingin. Aku terpesona dengan kedai teh, ketika tiga tahun lalu aku berjumpa musafir Jepang yang sudah lusuh, tidur dari kedai teh satu ke kedai teh lain, berkeliling negeri Afghanistan dengan kemampuan bahasa Farsi yang mengagumkan. Sekarang, sepertinya aku sudah mengikuti jejaknya yang sama persis, tinggal di kedai teh dan mengamati kehidupan Afghanistan yang sesungguhnya. Aktivitas di kedai teh sudah bermula sejak pagi buta, kala orang-orang sudah sibuk mengambil wudu dan menunaikan ibadah. Alunan azan terdengar sayup-sayup, begitu lembut, dinyanyikan merdu dari [...]

December 6, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 29: Mengapa Harus Sembunyi?

Bamiyan yang sederhana ini sesungguhnya penuh lika-liku. (AGUSTINUS WIBOWO) Pertanyaannya, di mana Hadi Ghafari? Suasana di Radio Bamiyan begitu mencurigakan. Matahari sudah hampir gelap ketika kami sampai di kantor radio. Begitu kami tiba, Irfan si penyiar langsung berusaha mendorongku ke halaman, untuk menghalangiku agar tidak masuk ke kantor. Begitu ramah, berlebihan malah, dia menyambutku dengan kata berbunga-bunga, yang justru membuatku makin curiga. “Kantor dikunci, Hadi sudah berangkat ke Kabul, jadi kamu tidak bisa masuk,” begitu katanya berulang kali. Aku masuk ke ruang siaran radio. Aku mendengar suara siaran berita, dan jelas-jelas itu suara Hadi. Bukankah Hadi sudah ke Kabul? Bagaimana mungkin dia siaran? “Oh, itu rekaman kemarin,” kata Irfan. “Kalau kemarin, bukan berita lagi dong namanya, tapi sejarah,” sanggahku. Irfan manggut-manggut. Sementara Zaffar, bocah belasan tahun yang bekerja di radio, mengeluhkan betapa sulitnya hidup sepeninggal Hadi ke Kabul. Ruangan kantor Hadi ternyata memang tidak dikunci (seperti yang kuduga), tapi komputernya dikunci dengan password, sehingga tidak bisa digunakan. Tanpa ba-bi-bu bertele-tele, Akbar langsung menerjang masuk ke kantor. Dia tidak perlu menghadapi prosesi rumit dengan para bocah ini. Dia tak peduli. Dia bergegas masuk ke ruangan kecil di samping kantor, dan kudengar suara bercakap-cakap yang cukup keras. Suara Hadi! Tiba-tiba, bersama Akbar [...]

December 5, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 28: Lika-Liku Laki-Laki

Kedai teh milik Gul Agha tempat aku menginap (AGUSTINUS WIBOWO)   Sebuah pagi dimulai dengan tergopoh-gopoh. Hadi Ghafari pagi-pagi tergopoh-gopoh membangunkanku. Napasnya masih terengah-engah. Dia bilang, istrinya barusan menelepon dari Kabul. Itu artinya, dia harus segera ke Kabul untuk melakukan “sesuatu” di rumahnya. Dari gerakan tangannya, dan senyum mesam-mesemnya, dia menunjukkan kalau istrinya sudah merindukan kehadirannya untuk mengisi malam-malam yang sepi, karena dia sudah 25 hari tidak pulang ke Kabul. “Berapa lama ke Kabul?” tanyaku. “Sepuluh hari,” jawabnya. Sepuluh hari! Itu artinya, tidak ada lagi tempat bagiku di sini. Kemarin, seseorang dari sebuah LSM di Bamiyan mengajakku untuk ikut ke desa-desa pedalaman, dan akan berangkat seminggu lagi. Aku bertanya pada Hadi apakah mungkin aku tinggal di kantornya selama aku menunggu hari keberangkatan. Dia berusaha meyakinkanku dengan segala cara bahwa kegiatan LSM itu sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaanku (bagaimana dia tahu?), tetapi kemudian dia bilang sama sekali tidak ada masalah karena kantor ini adalah rumahku juga (keramahtamahan yang luar biasa!). Tetapi dengan begitu tiba-tibanya, pagi-pagi begini, tergopoh-gopoh begini, dia bilang harus balik ke Kabul selama sepuluh hari, meninggalkan kantornya secara total, mengunci ruang berita, menutup kantor, … yang semua ini di mataku seperti cara halus untuk mengusirku pergi. Untunglah aku [...]

December 4, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 27: Hati-hati dengan Vaseline

  Para pekerja tim pembersih ranjau bekerja di bawah terik matahari (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka adalah para pekerja yang setiap harinya bergaul dengan maut. Maut justru begitu dekat di tempat sesejuk dan sedamai ini. Beberapa minggu lalu, kata pembersih ranjau, ada seorang penduduk yang rumahnya dekat dengan patung Buddha, terpaksa kakinya harus diamputasi karena menginjak ranjau yang terletak di antara patung Buddha Kecil dan patung Buddha Besar. Baru setelah kejadian itu, diketahui bahwa daerah sekitar patung Buddha beranjau. Bukan sekadar beranjau, tapi heavily mined. Ranjaunya super banyak! Dan ini pun hanya diketahui baru-baru ini saja. Segera, tim pembersih ranjau diberangkatkan ke sini dua minggu lalu, dan rencananya mereka akan bertugas di sini selama dua atau tiga bulan. Satu tim lain mengatakan, mereka mungkin akan meninggalkan Bamiyan besok, karena ada daerah lain yang juga beranjau di daerah utara ibukota Kabul, pembersihannya jauh lebih mendesak sehingga upaya pembersihan di Bamiyan harus dihentikan sementara. Manajemen yang kacau ini sangat lazim di negeri yang masih bergoyang seperti Afghanistan. Sedangkan daerah yang di puncak bukit patung Buddha, tempat dulu aku bermain perang-perangan dan mengumpulkan suvenir sisa perang, adalah daerah yang teramat-sangat-super-duper bahaya. Sekarang para pengunjung sudah tidak boleh ke sana. Semua orang cuma boleh mengikuti satu-satunya [...]

December 3, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 26: Buddha Bertabur Ranjau

  Yang tersisa dari peradaban kuno Buddhisme itu adalah rongga raksasa dan gua-gua kosong. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengunjungi Bamiyan bagaikan menyusuri lekuk-lekuk memori. Tiga tahun lalu, berdiri di hadapan patung-patung Buddha puncak peradaban ribuan tahun yang berubah menjadi tumpukan batu hanya dalam semalam, hatiku menangis. Hari ini, tumpukan-tumpukan batu di rongga gunung itu masih seperti dulu. Berbongkah-bongkah, tak beraturan, menjadi saksi kebodohan perang. Sepi, kosong, sementara angin berhembus sepoi-sepoi mengayun-ayunkan rerumputan di lembah hijau. Kesunyian yang berlebihan ini membuatku merinding. Sunyi sesunyi-sunyinya, karena anak-anak masih bersekolah dan para lelaki bekerja di ladang. Tidak ada orang lain di sini, dan aku satu-satunya “turis”. Kesunyian itu sesungguhnya tidaklah total. Semakin aku berjalan mendekat ke arah rongga Buddha raksasa, semakin terlihat banyak pekerja yang sedang sibuk. Para pekerja itu ada dua macam. Yang pertama adalah para pekerja berhelm kuning, seperti para pegawai konstruksi, sibuk hilir mudik di antara patung Buddha Besar (tingginya 55 meter) dan lebih jauh ke arah patung Buddha Kecil (tingginya 38 meter). Kedua gua Buddha raksasa itu (yang saking besarnya aku harus mendongak melihat atapnya) kini sudah dipagari, dan para turis diwajibkan membayar tiket. Aku sendiri kurang tahu soal tiket itu, karena sejauh ini tidak ada staf yang menagih tiket, kantor [...]

December 2, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 25: Bamiyan, Setelah Tiga Tahun

  Siaran berita Hadi Ghafari di Radio Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga tahun. Seiring dengan perputaran roda waktu, dusun kecil di lembah hijau ini pun turut menggeliat. Aku melangkah ke gedung Radio Bamiyan yang tersembunyi di gang kecil di balik jalan utama. Tiga tahun lalu, tidak ada stasiun radio di sini, tapi sekarang dusun kecil ini sudah punya stasiun radio, warung internet, dan segera memiliki stasiun televisi sendiri. Hadi Gafari yang bertanggung jawab sebagai pemimpin Radio Bamiyan ini mengatakan, teknologi sudah mulai terjangkau di sini. Internet mereka bersumber dari satelit yang berukuran besar di halaman belakang, mirip antena parabola, dan biayanya adalah US$ 600 per bulan. Bukan cuma teknologi, pasar Bamiyan pun tampak semakin sibuk. Jauh lebih ramai dibandingkan tiga tahun lalu. Barang yang dijual pun lebih bervariasi, mulai dari buah-buahan, gandum, sampai buku. Masyarakat yang dicekam ketakutan perang meletakkan buku pada prioritas terbawah dalam kebutuhan mereka, apalagi mayoritas warga Afghanistan buta huruf. Tetapi warga Bamiyan sekarang sudah mulai membaca buku! Bukankah ini sebuah kemajuan luar biasa? Begitu pun dalam hal penginapan. Dalam kunjungan pertamaku di Bamiyan, satu-satunya tempat menginap adalah Restoran Mama Najaf, yang harganya mahal, tamu hanya tidur di lantai di atas matras kumal, plus bonus kutu busuk dan [...]

November 29, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 24: Menuju Bamiyan

  Para penumpang di dalam Falangkoch yang bertuliskan huruf-huruf China. Di Pakistan dan Afghanistan, entah mengapa orang suka sekali mendekorasi mobil dengan huruf China. (AGUSTINUS WIBOWO) Aku pertama kali mengunjungi lembah Bamiyan pada bulan Juli 2003, sekitar tiga tahun silam. Sepanjang jalan, yang terlihat bangkai tank sisa perang yang mengingatkan semua pengunjung bahwa tanah ini telah dicabik-cabik oleh perang yang berkepanjangan. Kengerian dan kesedihan semakin dikuatkan oleh bangkai senjata dan penanda ranjau di sepanjang jalanan yang berdebu dan berbadai. Hari ini, aku datang kembali ke Bamiyan. Sendirian. Kendaraan umum, masih seperti tiga tahun lalu, juga berangkat saat pagi-pagi buta dari Kabul. Sulitnya bepergian dari Kabul adalah di ibukota Afghan ini terdapat terlalu banyak terminal bus, dan setiap terminal punya bus yang hanya pergi ke tujuan tertentu. Karena itu, penting untuk memastikan dari terminal mana bus kita akan berangkat. Kesulitan lainnya adalah waktu. Mayoritas bus berangkat pagi-pagi buta, dan sesudah pukul enam pagi sudah tidak ada lagi kendaraan, jadi para penumpang harus sudah siap berangkat sekitar pukul 4:00 atau 5:00 subuh. Masalahnya, terminal bus terletak jauh dari tempat permukiman di pusat kota, sehingga kita perlu naik taksi, yang mungkin sangat sulit ditemui pagi-pagi buta begitu. Kendaraan 4WD yang nyaman menuju Bamiyan [...]

November 28, 2013 // 3 Comments

1 2