Titik Nol 83: Pak Kumis
Kartik Purnima, bulan purnama terbit di antara puncak-puncak kuil Rangji. (AGUSTINUS WIBOWO) Bunyi terompet dan tetabuhan bersahut-sahutan, seolah memaksa pinggul untuk bergoyang mengikutinya. Padang pasir yang muram, setahun sekali berubah menjadi pasar raksasa yang gegap gempita. Pushkar larut dalam kemeriahan festival. Inilah hari yang telah lama ditunggu-tunggu – Kartik Purnima, puncak dari semua hiruk pikuk di Pushkar sejak dua minggu terakhir. Lagu Bollywood berdentum-dentum dari pengeras suara. Nyaring, sumbang, memekakkan telinga. Sekelompok pria dan wanita berdiri di depan sebuah kotak mungil. Di dalam kotak itu ada panggung, beberapa deret bangku panjang, dan seorang penari berjoged, berlenggak-lenggok mengikuti dentuman lagu Aashiq Banaya – lagu film India yang sedang hits di negeri ini. Pinggul sang penari berguncang dahsyat. Penonton di luar pagar hanya berdiri, tertegun, menenggak ludah. Tak sampai tiga menit, tiba-tiba layar merah menutup panggung. Penonton yang di luar pagar hanya bisa mendengus kecewa. Lagu romantis Aashiq Banaya terus menggelegar, dan seorang pria berhalo-halo dengan mikrofon, “Saksikanlah! Saksikanlah pertunjukan istimewa ini!” Pertunjukan akan diadakan nanti sore. Karcisnya cuma 5 Rupee. Yang perempuan melenggak-lenggok selama tiga menit tadi cuma trailer, siaran ekstra yang akan bisa ditonton dalam pertunjukan akbar di dalam kotak mungil itu. Bukankah inovatif cara mereka mencari uang? Sore hari, [...]