Titik Nol 153: Keresahan yang Terpendam
Terpenjara [ilustrasi] (AGUSTINUS WIBOWO) Di balik terali besi pintu gerbang penjara kota Gilgit, saya berjumpa dengan kedua gadis Indonesia yang terpenjara. Dua gadis itu bertubuh pendek. Berkaus lengan panjang dan mengenakan celana training. Warna kerudung mereka mencolok, menyembulkan rambut hitam di dahi. “Mas dari Indonesia ya?” sapa gadis kedua yang baru datang. Suaranya lembut. Ramah sekali. “Sendirian ke sini? Kenapa ke sini?” Saya bercerita tentang Rajja Sadafar dari kantor District Commissioner di Gilgit. Si gadis mengangguk-angguk, mengucapkan terima kasih. Gadis yang satu lagi, yang semula berteriak-teriak mengusir saya, kini datang mendekat dan bergabung dalam percakapan. Tetapi, belum sempat kami bercakap-cakap banyak, dan masih cuma taraf basa-basi, tiba-tiba terdengar suara menggelegar. “Jao!Tum jao! Pergi! Pergi kamu!” Seorang sipir berlari sambil membentak, membuat gerakan seperti mengusir ayam. Tak pernah saya diperlakukan seperti ini selama berada di Pakistan, yang orang-orangnya ramah dan lembut. “Jao!” teriaknya lagi. Kini sudah hampir menyeret saya menjauh. Di kejauhan, Mariam dan Christina sayup-sayup memandang. Saya tak tahu apa yang mereka pikirkan. Pertemuan ini sangat mengecewakan. Sudah sekian lama saya memimpikan untuk bertemu dengan kedua gadis ini. Sebenarnya saya sudah mendengar kisah mereka sejak dua bulan silam, dari gosip-gosip yang beredar di Gilgit. Adalah Rajja Sadafar yang membuat saya [...]