Selimut Debu 69: Terkunci Waktu
Waktu berjalan sekehendaknya, kadang cepat, kadang lambat. Musim panas, musim dingin datang silih berganti. Dan tak ada yang peduli. Coba tanyakan kepada orang-orang dari Dusun Kret ini, berapa musim panas yang telah berlalu dalam hidup mereka. Tak banyak yang tahu jawabnya. Si bocah pemungut kotoran kambing dengan bangga berkata umurnya sudah tiga setengah tahun. Anaknya tangkas, sudah bisa memanjat pohon dan meloncati batu di tepi jurang. Di mataku setidaknya ia pasti sudah berumur sepuluh tahun. Rajabmat mengaku 95 tahun. Kepalanya sudah ditumbuhi rambut-rambut putih. Bahkan daun telinganya pun berbulu putih. Dengan angka 95 itu, ia sudah menjadi orang yang paling tua yang pernah kutemui di desa ini. Tetapi angka itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Siapa yang percaya? Orang bilang, Tila Khan adalah kakek paling tua di seluruh desa. Tetapi Tila Khan bilang “baru” berumur 80 tahun. Bagaimana membuktikannya? Akte kelahiran? Ah, itu barang dari dunia lain. Lembah ini hidup dalam dimensi waktunya sendiri. Sehari. Seminggu. Sebulan. Setahun. Sepuluh tahun. Tak ada bedanya. Masih musim panas yang itu-itu juga. Masih musim dingin yang sama menggigitnya. Waktu seakan tak pernah menggeser kehidupan di sini. Terperangkap. Terlupakan. Krek… krek… krek…. Derik bergema dalam kamar batu gelap. Zaman yang mana lagi ini, pikirku. [...]