Recommended

keamanan

Titik Nol (161): Pak Dokter yang Bukan Dokter

Karena alasan keamanan, keluarga di Kashmir menyimpan senjata api (AGUSTINUS WIBOWO) Orang-orang Noraseri menyebut pria berjenggot putih yang murah senyum ini sebagai Doctor Sahab, Pak Dokter. Saya pun mengamininya sebagai dokter, setelah mendengar ceramahnya tentang obat-obatan anti diare. “Hah, kau kira Dokter Sahab itu benar-benar dokter?” Hafizah, putri Haji Sahab yang juga bekerja di rumah sakit tertawa tergelak-gelak, “Bukan. Dia sama sekali bukan dokter. Tak tahu mengapa semua orang sini memanggilnya Pak Dokter.” Pak Dokter yang satu ini, saudara kandung Basyir Sahab yang menjaga keamanan tenda kami, hampir setiap sore bertandang ke perkemahan kami. Orangnya humoris dan tak pernah kehabisan bahan lelucon. Walaupun sudah tua, Pak Dokter suka sekali bermain dengan kami yang muda-muda, mulai dari kartu sampai kriket, semua dia jagonya. “Saya dulu satu sekolah dengan Presiden Sukarno,” saya teringat salah satu bualan Pak Dokter yang paling dahsyat, “jadi jangan lupa kirim peci dari Indonesia, paling sedikit 50 biji. Nanti penduduk desa Noraseri semua akan jadi seperti Presiden Sukarno, sahabat karibku itu.” Di kesempatan lain, Pak Dokter menyuruh saya cepat-cepat menikah. “Kalau kamu tidak menikah, nanti kamu tidak bisa dapat bahan bangunan rumah!” Organisasi kami memang punya ketentuan, hanya mendistribusikan bahan bangunan shelter permanen kepada keluarga. “Tak peduli betapa [...]

April 6, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 73: Bom

Ledakan dahsyat di Paharganj meluluhlantakkan pasar yang selalu ramai ini. (AGUSTINUS WIBOWO) New Delhi berguncang. Bom meledak nyaris berbarengan di berbagai penjuru kota. Keramaian pasar Paharganj yang dibanjiri ribuan orang berbelanja menjelang hari raya Diwali dan Idul Fitri tiba-tiba terkoyak oleh aliran darah. Paharganj, distrik kumuh di dekat stasiun kereta api New Delhi, adalah salah satu pusat perbelanjaan murah di ibu kota.. Toko pakaian grosir berbaris sepanjang jalan sempit. Losmen murah, wisma, toko buku, warung internet dan telepon, melengkapi keriuhan pasar ini, membuat tempat ini menjadi pilihan utama backpacker miskin.. Jalan bolong-bolong, sapi yang melenggang santai, bajaj butut dan mobil tua meraung-raung menyumpahi kemacetan di jalan kecil. Belum lagi orang-orang yang memenuhi jalan mencari barang-barang murah. Paharganj adalah sebuah dunia tersendiri. Hari ini, 29 Oktober 2005, dua hari menjelang hari raya Diwali – hari besar terpenting umat Hindu – dan empat hari menjelang Idul Fitri, kesibukan di Paharganj menjadi-jadi. Ribuan orang, umat Muslim dan Hindu, datang memborong barang belanjaan untuk persiapan perayaan. Saking penuhnya, jalan pun susah. Sore hari, pukul 5:40, kerumunan manusia ini semakin semburat. Ledakan bom dahsyat melemparkan kengerian dan histeria. Darah mengalir di mana-mana. Begitu mendengar berita ini, saya yang semula sedang berbuka bersama di Kedutaan Besar [...]

September 3, 2014 // 0 Comments

Port Moresby 15 Agustus 2014: Sebuah Akhir Pekan di Permukiman

Perkampungan di atas air dan sampah Port Moresby, metropolitan terbesar di Pasifik Selatan, bisa jadi kota yang menegangkan dan mengintimidasi. Untuk merasakan kehidupan Port Moresby, tidak mungkin bagi saya untuk mengelana sendirian ke daerah permukiman mereka. Saya perlu pintu masuk. Melalui beberapa kontak dari Kedutaan, saya mendapat kesempatan menginap dengan sebuah keluarga di Koki, sebuah kampung atas air. Saya dan perempuan bertubuh tambun bernama Rawa yang bekerja di kediaman duta besar RI, berjalan bersama melintasi pasar dan jalan kampung sebelum kami mencapai perkampungan di atas air itu. Sore hari, jalanan begitu ramai oleh manusia. Berbeda dengan jalanan di Jakarta di mana orang-orang berjalan menuju suatu tempat, di sini orang-orang hanya memenuhi jalanan dan berjalan seperti tanpa arah. Saya tidak pernah melihat jalanan beraspal nyaris tanpa mobil tetapi begitu ramai oleh manusia berserakan yang bergeming atau bergerak secara acak. Para lelaki duduk melingkar di lapangan sambil bermain judi kartu dengan uang receh dan mengunyah pinang, lalu meludahkannya dan meninggalkan bercak-bercak seperti darah di mana-mana. Banyak pula dari mereka yang duduk di samping rongsokan mobil menghabiskan waktu. Para perempuan duduk di pinggir jalan merumpi dan tertawa-tawa. Anak-anak, yang mendominasi pemandangan, hampir delapan puluh persen dari manusia yang terlihat di sini dan banyak [...]

August 15, 2014 // 39 Comments

Port Moresby 9 Agustus 2014 Hari Belanja

Hari belanja Bagi banyak ekspatriat, Port Moresby adalah kumpulan dari banyak “pulau”: tempat bekerja, rumah, tempat makan, tempat ibadah, dan—yang paling penting—tempat belanja. Karena alasan keamanan, orang asing sangat tidak dianjurkan untuk bepergian di Port Moresby dengan berjalan kaki di jalanan. Karena itu, mereka mengemudikan mobil untuk berpindah dari “pulau” yang satu ke “pulau” yang lain. Dan di setiap “pulau” itulah baru orang asing bisa menikmati sedikit kebebasan temporer tanpa kekhawatiran bertemu dengan raskol (perampok). Di gereja Katolik Don Bosco saya berkenalan dengan Pastor Peter asal Jakarta yang sudah delapan tahun bertugas di Papua Nugini. Daerah tugasnya adalah Kerema, di Provinsi Central, yang dihubungkan dengan jalan raya langsung dengan Port Moresby. Kemudahan transportasi itulah yang membuat Pastor Peter sering datang ke Port Moresby hanya untuk berbelanja. Dia datang dengan truk kosong, memborong barang kebutuhan sekolah dan gereja lalu memuati truknya hingga penuh, dan kembali ke Kerema. Pastor Peter mengatakan, belakangan ini berbelanja di Port Moresby jauh lebih mudah dan murah, berkat banyaknya pedagang asal China Daratan yang membuka toko-toko kecil. Dengan mobil gereja (walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di sini, Pastor tetap tidak merekomendasikan saya berjalan kaki), kami bersama menyusuri jalanan Port Moresby menuju toko-toko orang China. Xiao Yan melayani pembeli [...]

August 11, 2014 // 18 Comments

Titik Nol 43: Demokrasi

Polisi beresenjata mengawasi jalannya demonstrasi akbar di dekat Ratna Park. (AGUSTINUS WIBOWO) Sudah dua minggu terakhir ini Kathmandu dilanda demonstrasi besar-besaran anti pemerintah dan kerajaan. Jalan macet di mana-mana. Polisi berpatroli ketat. Tetapi turis pun masih ribuan yang menikmati liburannya di ibu kota kuno. Kathmandu adalah sebuah kota di mana dunia dan zaman berbeda bisa hidup bersama. Ketika berada di tengah Hanuman Dhoka, atau di tengah ribetnya gang-gang kuno yang menyebar dari pusat-pusat bazaar, kita seperti terjebak dalam dunia masa lalu yang kacau balau tetapi damai, dalam dunia yang penuh asap dupa dan lantunan doa, berseling dengan klakson motor dan bel sepeda. Begitu keluar dari keruwetan rumah kuno dan gang sempit, kita sampai di jalan raya Rani Pokhari, di mana sebuah dunia lain terpampang. Jalan beraspal dua jalur lurus membentang, macet oleh segala jenis kendaraan bermotor. Kita kembali ke dunia modern di mana ada keteraturan dalam hiruk pikuk mobil, asam knalpot, sepeda motor yang berzig-zag, dan sambaran klakson. Belakangan ini, kontras semakin terasa, ketika segala jenis mobil, mulai dari taksi, auto rickshaw, sampai sedan berbaris tak bergerak. Ratusan sepeda motor mengisi semua rongga yang tersisa. Demonstrasi bergejolak di beberapa titik di kota modern, menyebabkan polisi terpaksa menghentikan lalu lintas selama [...]

July 1, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 32: Thamel

Thamel meriah menyambut Hari Turisme Dunia. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya datang ke Nepal dirundung kegalauan. Kamera saya, tumpuan harapan saya satu-satunya untuk mengabadikan perjalanan ini, rusak. Masih bisa memotret, tetapi tidak lagi bekerja sempurna. Tak biasanya, kali ini saya tak menumpang bus murah dari perbatasan Kodari menuju ibu kota, tetapi nekad membayar taksi yang harganya lebih mahal tiga kali lipat. Hati saya gundah gara-gara kamera rusak. Tujuan saya hanya ingin cepat-cepat sampai di Kathmandu. Pemandangan sejak dari Tibet berubah drastis. Klakson bus bertalu-talu, bagaikan nada yang mengisi aliran lalu lintas di jalanan sempit berkelok-kelok, di tepi bukit hijau dan hamparan sawah. Pemandangan di sini sungguh mirip di Jawa, sawah, bukit, rumput, pohon, semuanya hijau. Jalan yang sempit dan bolong-bolong, gubuk di pinggir jalan, dan semrawutnya lalu lintas, benar-benar mirip. Tetapi yang membedakan, di sini banyak pos pemeriksaan polisi. Keamanan Nepal terus memburuk sejak gerilyawan Maois semakin menunjukkan pengaruhnya. Setiap mobil yang melintas harus berhenti, para penumpangnya menunjukkan dokumen, dan berjalan kaki melintasi pos. Orang asing boleh tetap tinggal di mobil, karena yang diincar polisi adalah gerilyawan Maois yang menyelundup. Begitu sampai di Kathmandu, saya langsung menuju Thamel, pusat berkumpulnya backpacker, setara dengan Jalan Jaksa di Jakarta atau Khaosan di Bangkok. Setelah [...]

June 16, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 14: Altar Mao Zedong

Mao Zedong dipuja bersama dewa-dewi Budha di altar sebuah rumah di pedalaman Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO) Potret pemimpin Partai Komunis China itu kini bersanding di altar, di samping gambar Boddhisatva Avalokiteshvara, Sang Dewi Kwan Im. Sesajian, lilin, bunga, dan lampu mentega menghiasi sudut rumah yang paling terhormat ini. Apakah Mao sudah menjadi dewa bagi orang Tibet? Dari Darchen ke arah selatan kendaraan sangat jarang. Tak banyak yang melintas dari sini ke arah Lhasa kecuali turis. Sehari mungkin hanya ada satu kendaraan, malah kadang tiga hari pun tak ada sama sekali. “Untung-untunganlah, lihat nasib,” kata Xiao Wang, pemilik warung Sichuan di Darchen. Saya pun mencoba peruntungan saya hari ini, berangkat dengan kaki yang masih pincang ke arah jalan umum tiga kilometer di selatan Darchen, mencegat truk yang lewat, naik bak terbuka, diaduk-aduk bersama kambing di atas jalan yang bergerunjal.. Seorang biksu, yang sama-sama menumpang truk itu bersama kawanan kambing, hanya memandang tanpa ekspresi. Suara motor truk berderu kencang, menenggelamkan semua bunyi di bak terbuka. Saya harus berteriak-teriak untuk bicara dengan biksu itu, yang kemudian dibalas dengan pandangan penuh tanda tanya karena tak mengerti bahasa Mandarin. Truk bergoyang hebat, menggoncang semua yang ada di atas bak terbuka seperti gempa bumi skala dahsyat. Kawanan [...]

May 20, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 106: Hari Kelam

Ini sungguh hari nahas. Aku dicurigai sebagai teroris dan aku lupa bawa dokumen apa pun untuk membuktikan siapa diriku. Biasanya aku bawa paspor, tapi hari ini aku sengaja meninggalkan di rumah karena takut hilang. Bahkan fotokopinya pun tertinggal. Sekarang aku adalah manusia tanpa identitas. Tapi itu bukan alasan untuk menampar dan memukuliku, bukan? Aku jadi pusat perhatian massa. Belasan orang yang mengerumuni dipenuhi rasa penasaran. Aku seperti maling yang tertangkap. Aku digelandang menuju ruang satpam di depan kementerian. Polisi yang menamparku tadi sudah pergi. Tentara ini masih bersama aku yang menjalani interogasi. “Aku mau menelepon kedutaan.” Aku mengeluarkan telepon genggam. Langsung dirampas oleh polisi. “Ini, ini kartu nama staf kedutaan. Tolong telepon mereka!” Kartu nama itu pun disita. Tanpa reaksi. “Apa sih maumu sekarang?” aku sudah tak kuasa menahan emosi. Sialnya, dalam keadaan panik ini, yang meluncur dari mulut bukan bahasa Inggris melainkan bahasa Urdu, bahasa nasional Pakistan. Mereka sudah curiga akan adanya pelaku pengeboman yang mengincar Kabul, dan  ini semakin menambah kecurigaan mereka bahwa aku teroris dari Pakistan. Mereka tak percaya aku orang Indonesia dan punya hubungan dengan kantor berita. “Hah… ketahuan kamu. Kamu dari Pakistan, kan? Kalau kamu orang asing, tunjukkan paspormu!” bentak tentara itu. Ia kemudian tertawa [...]

March 24, 2014 // 14 Comments

Selimut Debu 105: Bom

Tenteramnya Lembah Bamiyan sudah menjadi kenangan dunia lain ketika aku kembali menginjakkan kaki di Kabul. Di bulan Ramadan ini bukan kedamaian yang terasa, melainkan kengerian sebuah negeri perang. Bom meledak. Letaknya di seberang kantor berita Pajhwok, tempat aku biasa duduk dan menghabiskan waktu bersama para wartawan. Pukul delapan pagi, pegawai kantor Kementerian Dalam Negeri masuk kerja dan murid-murid masuk sekolah. Bus shuttle yang mengantar para pegawai kementerian berhenti di tepi jalan untuk menurunkan para penumpang. Pelaku peledakan melompat ke arah bus, dan meledakkan dirinya. Bersamanya, lima penumpang bus dikirim ke akhirat, juga anak-anak sekolah dan ibu tua. Tak ada api, tetapi ledakan dahsyat ini mematikan. Hingga tengah hari, jumlah korban sudah mencapai empat belas orang, belum lagi ditambah puluhan yang luka parah di rumah sakit. Para pelajar melihat potongan telinga dan anggota tubuh lainnya terlempar sampai ke halaman sekolah mereka, tersangkut di pepohonan dan tersebar di lantai gedung. Anak-anak berteriak histeris. Dalam usia sekecil ini, mereka sudah harus terbiasa dengan ledakan, perang, dan kengerian. Esoknya, bom lain meledak di daerah Mikroyan, blok-blok perumahan yang dulu dibangun oleh pemerintah Uni Soviet ketika menguasai negeri ini. Pelaku bom bunuh diri adalah seorang pemuda berpakaian ala Barat yang sekarang jasadnya terbaring di pinggir [...]

March 21, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 100: Lagi-Lagi, Cheragh

Aku bermalam di sebuah kedai teh gelap dan luas di Lal. Dalam hitungan beberapa menit saja, aku sudah melahap habis nasi palao dan kari kentang yang disediakan, saking laparnya. Malam hari gelap gulita, lolongan anjing membahana memecah kesunyian. Semakin dekat dengan pegunungan Hazarajat, udara semakin dingin. Aku meringkuk di bawah selimut apak yang disediakan pemilik warung. Ketika pagi menyingsing, aku kembali terbayang betapa beratnya perjalanan ini. Petualangan kemarin sungguh tak mengenakkan. Juga hari-hari sebelumnya ketika aku harus tertambat di berbagai desa sunyi menunggu kendaraan. Aku melangkah gontai menuju jalan. Kembali duduk di emperan menunggu mobil melintas. ”Salam! Kamu masih di sini?” Tiba-tiba Cheragh menepuk pundakku. Ia tertawa seperti tanpa dosa, tampak sekali suasana hatinya sedang ceria. ”Ayo, ikut sarapan bersama kami. Kami tinggal di warung seberang.” Sebenarnya aku tak terlalu menaruh banyak harapan lagi dengan orang-orang Hazara ini. Aku duduk di sudut. Semua sopir, mekanik, dan kenek Hazara duduk bersila sepanjang dastarkhon. Mereka bersiap menyantap roti nan panjang ditemani krim susu kemasan dan teh hijau manis. “Kamu mau ke Bamiyan?” tanya Cheragh, ”Kami bisa mengangkutmu sampai ke Panjao.” Kali ini ia menawarkan. Aku sebenarnya sudah malas dengan mereka. Tetapi di tempat seperti ini sering kali kita tak punya pilihan. “Kami [...]

March 14, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 99: Siapa Lagi yang Bisa Dipercaya?

“Jangan khawatir. Kita naik angkot saja sampai ke Daulatyar. Gratis. Nanti dari Daulatyar banyak truk. Kamu bisa menumpang dengan mudah,” kata Khaliq menghiburku, ketika kami sama-sama ketinggalan kendaraan. Khaliq tidak punya angkot. Ia juga penumpang, sama sepertiku. Sopir angkot—tentu saja—tetap menarik ongkos. Ia tidak membawaku ke Daulatyar, tapi ke dusunnya di Shinia. Ia tak punya truk, jadi tak mungkin menjanjikan angkutan sampai ke Bamiyan. Dan di desa ini tak ada truk yang lewat, cuma keledai. Shinia bukan tempat yang baik untuk mencari kendaraan. Di sini hanya ada satu jalan berdebu sempit. Kios-kios dari tanah liat berbaris dalam sepi. Kotak-kotak susu dari Pakistan sudah dibungkus debu. Demikian pula radio ringsek dari Cina dan botol sampo dari Iran. Tak ada pembeli. Penjual hanya melewatkan hari. Rombongan kambing dan keledai bergantian melintas mengisi kekosongan hari. Khaliq bersungguh-sungguh mengundangku ke rumahnya untuk makan siang. Aku ogah-ogahan mengikutinya, takut tertinggal kendaraan. Sudah dua jam menunggu, tak ada satu pun yang lewat. Bagaimana kalau waktu menikmati makanan justru ada kendaraan lewat? Bagaimana kalau ketinggalan satu kendaraan saja berarti harus menginap tiga hari di dusun terpencil ini? Baru saja aku melangkah mengikuti Khaliq ke timur, dari kejauhan mengepul debu yang diterbangkan oleh hewan berat. ”Kamaz!!!” aku bersorak. [...]

March 13, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 98: Kejujuran Memang Mahal

Hidup di negeri yang bersimbah perang selama puluhan tahun telah membunuh urat takut. Cheragh, sopir Kamaz ini, nekat melakukan apa pun untuk keluar dari kubangan Afghanistan. Tubuhnya gemuk. Jubah kelabunya lusuh dan coreng-moreng oleh minyak. Cambang dan jenggotnya lebat, sangat tak lazim di kalangan etnis Hazara. Matanya sipit namun tajam, miring ke atas membentuk huruf V. Namanya berarti ”lampu” atau ”cahaya”, sungguh nama yang indah di kegelapan pedalaman Afghanistan yang belum diterangi listrik. ”Jangan khawatir,” katanya, ”karena kamu orang Indonesia, besok kamu boleh ikut truk ini sampai ke Bamiyan.” Ternyata Cheragh pernah tinggal di Indonesia. ”Aku dulu tinggal di sebuah pulau, di dekat Jakarta. Pulau kecil, tak ingat namanya.” Taliban menguasai Afghanistan. Kaum Hazara yang Mongoloid dan penganut Syiah mengalami pembantaian massal. Tak banyak pilihan, mereka mengumpulkan segala yang dimiliki untuk meninggalkan kampung halaman yang sudah berubah menjadi neraka. Cheragh naik kapal, berdesakan dengan empat ratus pengungsi Afghan lainnya, menyelundup dari Malaysia menuju Australia. Malang, Angkatan Laut Indonesia menangkap kapal yang ditumpangi para pendatang ilegal ini. Impian Cheragh dan rekan-rekan seperjalanannya untuk mencapai Australia kandas di pulau mungil. Tak banyak yang bisa dilakukan di Indonesia. ”Pekerjaan tak ada. Hidup tak ada. Walaupun mereka mengizinkan tinggal dua bulan, aku tak tahan [...]

March 12, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 97: Tidak Takut Taliban

Angin berembus perlahan, namun sudah cukup untuk menebarkan debu ke seluruh pelosok kota ini. Rumah lumpur tersebar semrawut. Cheghcheran, walaupun tampak bak metropolis setelah perjalanan panjang di gunung-gunung tak bertuan, sejatinya adalah kota kecil yang merana. Sebagai ibu kota provinsi Ghor, Cheghcheran sama sekali tak memancarkan kejayaan Dinasti Ghorid, yang berabad silam pasukannya tiba-tiba muncul dari gunung terpencil dan terlupakan, meruntuhkan kekuasaan Dinasti Ghaznavi yang ditakuti hingga ke tanah Hindustan. Dari pegunungan di jantung Afghanistan inilah, Ghiyasuddin Agung meluaskan wilayah negeri Afghan dari Irak hingga ke India, dari Kashgar di Turkestan hingga ke Teluk Persia. Ghor adalah provinsi terisolasi, salah satu yang termiskin di seluruh negeri miskin ini. Cheghcheran, walaupun secara geografis terletak tepat di jantung Afghanistan, seakan terlupakan. Di seluruh provinsi tak ada semeter pun jalan beraspal. Kekeringan sering melanda. Ketika hujan tak juga turun, para penggembala yang kelaparan terpaksa menjual domba dan kambing dengan harga teramat murah di pasar kota ini, supaya tetap bertahan hidup. Jaringan listrik nihil. Semua penduduk harus bergantung pada generator untuk menonton televisi, menyalakan lampu, mendengarkan lagu-lagu India, dan menjalankan bisnis. Malam hari, yang ada cuma gelap total. “Kami ini berada di pusat Afghanistan, tetapi kenapa kami miskin?” kata seorang lelaki pegawai pemerintah, gusar. [...]

March 11, 2014 // 6 Comments

Selimut Debu 88: Belajar Membaca

”Lima ratus Afghani!” kata sopir beserban yang baru saja datang dengan truk barangnya. Ia datang dari Herat menuju Cheghcheran di timur. Semula aku bersorak gembira ketika akhirnya debu mengepul dari arah barat dan truk besar ini singgah di restoran Kakek Iqbal. Itu harga yang terlalu mahal. Kakek Iqbal ikut marah. ”Jangan zalim! Dia ini tamu di negara kita. Mana boleh kamu menarik ongkos begitu mahal dengan truk bobrokmu itu?” “Truk ini sudah penuh,” sanggahnya, ”Tidak ada lagi tempat buat penumpang. Lihat sendiri, ada dua perempuan yang duduk di badan mobil. Kalau mau sih orang asing ini bisa duduk di bagian truk terbuka dengan barang-barang.” Aku tak keberatan. Kakek Iqbal membantu menawar sampai 150 Afghani. Sudah dua hari aku menunggu kendaraan lewat di Chisht, yang kuinginkan sekarang cuma cepat-cepat meninggalkan desa ini dan melanjutkan perjalanan. ”Kalau begitu, besok pagi kau harus siap jam delapan. Kita berangkat,” kata sopir. Sopir ini membawa konvoi tiga truk. Semuanya penuh barang yang berkarung-karung. Bersama konvoi ini sudah ada belasan orang yang ikut menumpang ke arah barat. Di jalur tengah Afghanistan, di mana tak ada jalan raya dan angkutan umum sangat mahal, truk adalah satu-satunya pilihan bagi kebanyakan orang. Malam hari, Kakek Iqbal menikmati panen. Dengan [...]

February 26, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 87: Petualangan Legendaris

Sekitar lima ratus tahun lalu, perjalanan yang kulalui ini adalah petualangan akbar dan legendaris dari seorang raja besar. Raja Babur adalah pendiri Dinasti Moghul, yang meninggalkan bangunan megah di Taj Mahal di India. Babur berasal dari daerah yang sekarang wilayah Uzbekistan, dikejar-kejar dan mau dibunuh sehingga lari ke Afghanistan. Di negeri ini, petualangannya dimulai dari Herat, tempat ia mencari perlindungan pada Sultan Baiqara. Herat kala itu sudah menjadi pusat peradaban, seperti halnya Bukhara dan Samarqand. Masjid agungnya bersinar, perdagangannya maju, dan militernya kuat. Tetapi Babur tak betah tinggal di kalangan keluarga istana yang penuh intrik politik. Bersama para pengikutnya yang setia, ia berangkat menuju ke Kabul. Ia tak memilih jalan lewat Kandahar yang lebih mudah. Ia justru memilih jalur Lintas Tengah Afghanistan, menembus pegunungan Ghor dan Bamiyan. Tapi ini malah menjadi perjalanan yang paling mematikan dalam hidup Babur. Aku pun akan melalui lintasan yang kira-kira sama dengan yang diambil Raja Babur. Abad milenium tentunya jauh berbeda dari abad pertengahan. Namun satu fakta yang tidak berubah, jalan ini tetap sulit dilewati, diperuntukkan hanya bagi mereka yang punya keteguhan baja dan tahan banting. Seorang kakek tua dengan sekarung gembolan di pundak, mirip Sinterklas, duduk di sampingku di dalam bus berkarat. Jenggotnya pun [...]

February 25, 2014 // 4 Comments

Detik (2013): Traveling ke Afghanistan, Seberapa Aman?

Sri Anindiati Nursastri – detikTravel – Jumat, 11/10/2013 07:42 WIB http://travel.detik.com/read/2013/10/11/074232/2384172/1382/1/traveling-ke-afghanistan-seberapa-aman Jakarta – Bagi sebagian traveler, Afghanistan membangkitkan rasa penasaran. Negeri itu seperti dirundung konflik tak berkesudahan. Padahal alamnya sangat memukau, sejarah dan budayanya kaya. Seberapa aman traveling ke Afghanistan? Bicara soal Afghanistan, yang terlintas di benak Anda pastilah Taliban. Banyak orang menyebut Afghanistan sebagai ‘negeri perang’. Konflik dengan Taliban bahkan bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Padahal, Afghanistan punya banyak cerita. Budaya dan sejarahnya memukau traveler dari berbagai belahan dunia. Ada Kabul sebagai ibukota, Bamiyan yang dulu punya patung Buddha terbesar sedunia, juga Herat yang beratmosfer Persia. Soal keindahan alam, Afghanistan jagonya. Ada dataran tinggi Pamir tempat para pendaki menikmati panorama ala Puncak Dunia. Ada pula Band-e Amir National Park, yang punya 5 danau berwarna biru bak safir! Agustinus Wibowo adalah salah satu traveler Indonesia yang pernah berkeliling Asia Tengah. Perjalanan itu ditorehkannya lewat buku-buku berjudul Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Traveling ke Afghanistan, menurut Agustinus, cenderung aman dan tak selalu berisiko. Afghanistan cukup besar sehingga kondisi kemanannya pun bervariasi. “Daerah-daerah di utara cukup aman. Banyak pendaki gunung dan trekker yang terpukau [...]

October 11, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 76: Suatu Malam di Tashkent

Tashkent, tersenyum ceria di siang hari, namun bisa jadi ganas di malam hari. (AGUSTINUS WIBOWO) Tak sangka, ketika hujan rintik-rintik mengguyur, di atas jalanan taman yang becek, saya mengalami kejadian paling mendebarkan selama tiga bulan saya tinggal di Uzbekistan. Sudah cukup lama saya tinggal di apartemen Temur Mirzaev, seorang pelajar Bahasa Indonesia di Tashkent. Apartemennya terletak di barisan gedung-gedung perumahan tinggi di sebelah pasar Yunusobod. Pasar ini adalah tempat yang ceria di siang hari, dengan para pemilik warung yang berteriak berebut pembeli. Di waktu malam, daerah ini jadi gelap gulita, karena kurangnya lampu jalan. Hari-hari pertama saya di rumah Temur dulu, saya selalu was-was kalau keluar rumah saat malam. Selalu ada yang mengantar saya, kalau bukan Temur sendiri ya sepupu-sepupunya. Tapi lama-kelamaan saya malah jadi terbiasa dan semakin berani keluar sendirian. Sore itu, sepulangnya dari berinternet ria di warnet seberang jalan, saya melintasi taman di depan apartemen Temur. Sambil berjalan saya menelepon seorang kawan, membuat janji untuk makan malam di restoran. Saat itu, melintas empat orang pemuda Uzbek yang tinggi-tinggi. Mereka memandang saya lekat-lekat. “Ah, paling orang-orang kurang kerjaan yang tidak pernah lihat orang asing,” pikir saya. Puas menelepon, saya ke pasar dulu untuk beli bakmi goreng langganan saya. Di [...]

September 27, 2013 // 2 Comments

Mazar-i-Sharif – Perayaan di Makam Suci

The holy flag in the holy shrine Perayaan Naoruz pun dimulai. Pukul 6 pagi, barisan orang sudah mengular di depan keempat pintu gerbang menuju Rawza Sharif, makam suci Hazrat Ali. Bangunan ini megah berdiri dengan kubah-kubahnya yang bak fantasi negeri seribu satu malam. Dindingnya berukir mozaik indah. Orang asing biasa menyebutnya sebagai Blue Mosque, walaupun gedung ini tidak biru dan sama sekali bukan masjid. Mazar, artinya kuburan. Sharif berarti yang agung. Mazar Sharif menjadi ternama karena dipercaya jenazah Hazrat Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, beristirahat di kota ini. Umat Sunni menganggap Ali sebagai khalifah keempat sedangkan Syiah menganggapnya sebagai Imam pertama. Di kalangan umat Syiah sendiri sebagaian besar menganggap tempat peristirahatan Ali (A.S) ada di Najaf, Iraq. Tetapi di Asia Tengah ada Mazar Sharif dan Shakhimardan (Uzbekistan) yang punya klaim yang sama. Bangunan megah Rawza terletak di tengah taman. Bangunan ini dibangun pada abad ke-13. Berbagai kesaksian mengenai kesucian tempat ini selalu menghiasi buah bibir orang Afghan. Makam suci Hazrat Ali dipenuhi oleh ribuan merpati putih. Konon merpati hitam yang datang akan dengan sendirinya berubah menjadi putih dalam 40 hari. Demikian pula ribuan orang yang datang ke Rawza di hari Naoruz ini. Semuanya menantikan mukjizat dari [...]

March 20, 2008 // 1 Comment

Mazar-i-Sharif – Ata Muhammad dan NATO

Busy atmosphere of the holy shrine before the New Year. “Berada di Rawza pada saat upacara janda bala? Itu terlalu berbahaya!” kata Naqeeb. Sebuah gambar di buku tua An Historical Guide to Afghanistan tulisan Nancy Hatch Dupree, diterbitkan tahun 1977, selalu membuat saya terbayang akan nuansa penuh fantasi di Mazar. Gambar itu adalah perayaan Naoruz di kota ini. Latar belakangnya adalah bangunan megah mausoleum Hazrat Ali. Ada ratusan orang di halaman, bersorak-sorai menyambut sebuah bendera besar bangkit dari tanah. Bendera itu adalah ‘janda’ yang dipercaya mempunyai kekuatan magis. “Keamanan sekarang sudah tidak baik,” kata Naqeeb, “kalau kamu ingin melihat janda, kita lihat di televisi. Nanti kalau keramaian sudah mereda, kita berangkat bersama-sama.” Naqeeb bukan jurnalis. Dia bekerja sebagai satpam di sebuah organisasi internasional. Naqeeb tak punya hasrat untuk mengejar semua peristiwa. Apalagi baginya perayaan janda bala ini bukan sesuatu yang istimewa. Dari ke tahun sama saja, dan sudah disiarkan di televisi. Kerumunan ribuan orang yang ingin melihat pengibaran bendera mukjizat itu dikhawatirkan akan mengundang penjahat, aksi teror, dan sebagainya. Akhirnya saya terpaksa mencari cara lain, menghubungi jurnalis Pajhwok Afghan News di kota ini, yang mungkin bisa membantu saya. Zabiullah Ehsas, umurnya masih 24 tahun, tetapi sudah memegang kantor wilayah Pajhwok [...]

March 18, 2008 // 0 Comments

Mazar-i-Sharif – Perjalanan Menuju ke Utara

Biya ke berim ba Mazar, Mullah Muhammad jan (Mari pergi ke Mazar, Mullah Muhammad sayang) – Lagu tradisional Afghanistan   Electricity… sign that development in Afghanistan is going the right track Sudah hampir sebelas bulan berlalu sejak saya melintas perbatasan Uzbekistan-Afghanistan di desa Hairatan, beberapa kilometer jauhnya dari kota Mazar-i-Sharif. Sejak saat itu kehidupan saya hanya terkurung dalam lingkup kota Kabul. Saya bahkan tidak pernah bepergian lebih dari lima kilometer. Tak bisa dibayangkan, betapa rindunya lagi saya untuk kembali ke jalan, pergi ke tempat-tempat baru dan belajar hal-hal unik. Tahun baru Naoruz, tahun barunya orang Afghan yang didasarkan pada perhitungan matahari, akan segera tiba. Naoruz adalah perayaan penting untuk orang-orang berlatar belakang kebudayaan Persia. Di Iran, tradisi merayakan Naoruz penuh dengan pengaruh dengan tradisi pra-Islam, seperti mengumpulkan tujuh buah bahan yang berawalan huruf ‘s’ (haft sin), atau merayakan Rabu malam dengan api dan petasan. Di Uzbekistan, Navruz adalah hari di mana orang menyiapkan sumalak – puding dari rerumputan – dan tari-tarian indah menghiasi kota-kota kuno. Naoruz juga tahun baru bagi masyarakat Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Turkmenistan, Azerbaijan, dan Afghanistan. Kota Mazar-i-Sharif adalah pusat perayaan Naoruz di Afghanistan. Ratusan ribu orang berbondong ke kota besar di utara itu. Apalagi tahun ini libur [...]

March 17, 2008 // 0 Comments