Dari Frankfurt ke Ubud—Jalan Panjang Kebebasan Sastra Indonesia
Hanya beberapa pekan silam, dunia sastra dan perbukuan Indonesia merayakan sebuah momen bersejarah: Indonesia didapuk menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015. Ini adalah ajang pameran buku tertua dan terbesar di dunia. Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Anies Baswedan pada pembukaan pameran itu, 13 Oktober 2015, jelas menyiratkan optimisme atas keberhasilan yang telah dicapai Indonesia, terutama dalam hal demokrasi dan “memanajemen perbedaan”. “Inilah negeri dengan 17.000 pulau, 800 bahasa, 300 tradisi lokal,” kata Anies, “Berabad-abad, melalui perdagangan atau diplomasi, perang atau damai, keanerakagaman itu belajar untuk hidup bersama.” Karena itu, dia mewakili Indonesia “mengajak Eropa dan Dunia ke dalam sebuah percakapan yang lebih luas. Terutama di masa ini, ketika Eropa menemukan apa yang di Indonesia kami sebut sebagai “ke-bhineka-an”, keanekaragaman ekspresi dan cara hidup.” Sementara pada hari yang sama, ribuan kilometer jauhnya di Jakarta, puluhan massa justru menggelar unjuk rasa di depan Kementerian yang dipimpin Anies. Mereka menuding adanya agenda gelap yang dibawa Anies dalam ajang Frankfurt Book Fair, karena delegasi yang dibawa disusupi pembahasan dan pameran peristiwa kasus G30S/PKI 1965. Frankfurt Book Fair adalah ajang bisnis perbukuan terbesar di dunia Leila Chudori bicara di The Blue Sofa Sejumlah penulis dalam rombongan besar delegasi yang dibawa Indonesia ke Frankfurt [...]