Recommended

kedai teh

Selimut Debu 100: Lagi-Lagi, Cheragh

Aku bermalam di sebuah kedai teh gelap dan luas di Lal. Dalam hitungan beberapa menit saja, aku sudah melahap habis nasi palao dan kari kentang yang disediakan, saking laparnya. Malam hari gelap gulita, lolongan anjing membahana memecah kesunyian. Semakin dekat dengan pegunungan Hazarajat, udara semakin dingin. Aku meringkuk di bawah selimut apak yang disediakan pemilik warung. Ketika pagi menyingsing, aku kembali terbayang betapa beratnya perjalanan ini. Petualangan kemarin sungguh tak mengenakkan. Juga hari-hari sebelumnya ketika aku harus tertambat di berbagai desa sunyi menunggu kendaraan. Aku melangkah gontai menuju jalan. Kembali duduk di emperan menunggu mobil melintas. ”Salam! Kamu masih di sini?” Tiba-tiba Cheragh menepuk pundakku. Ia tertawa seperti tanpa dosa, tampak sekali suasana hatinya sedang ceria. ”Ayo, ikut sarapan bersama kami. Kami tinggal di warung seberang.” Sebenarnya aku tak terlalu menaruh banyak harapan lagi dengan orang-orang Hazara ini. Aku duduk di sudut. Semua sopir, mekanik, dan kenek Hazara duduk bersila sepanjang dastarkhon. Mereka bersiap menyantap roti nan panjang ditemani krim susu kemasan dan teh hijau manis. “Kamu mau ke Bamiyan?” tanya Cheragh, ”Kami bisa mengangkutmu sampai ke Panjao.” Kali ini ia menawarkan. Aku sebenarnya sudah malas dengan mereka. Tetapi di tempat seperti ini sering kali kita tak punya pilihan. “Kami [...]

March 14, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 99: Siapa Lagi yang Bisa Dipercaya?

“Jangan khawatir. Kita naik angkot saja sampai ke Daulatyar. Gratis. Nanti dari Daulatyar banyak truk. Kamu bisa menumpang dengan mudah,” kata Khaliq menghiburku, ketika kami sama-sama ketinggalan kendaraan. Khaliq tidak punya angkot. Ia juga penumpang, sama sepertiku. Sopir angkot—tentu saja—tetap menarik ongkos. Ia tidak membawaku ke Daulatyar, tapi ke dusunnya di Shinia. Ia tak punya truk, jadi tak mungkin menjanjikan angkutan sampai ke Bamiyan. Dan di desa ini tak ada truk yang lewat, cuma keledai. Shinia bukan tempat yang baik untuk mencari kendaraan. Di sini hanya ada satu jalan berdebu sempit. Kios-kios dari tanah liat berbaris dalam sepi. Kotak-kotak susu dari Pakistan sudah dibungkus debu. Demikian pula radio ringsek dari Cina dan botol sampo dari Iran. Tak ada pembeli. Penjual hanya melewatkan hari. Rombongan kambing dan keledai bergantian melintas mengisi kekosongan hari. Khaliq bersungguh-sungguh mengundangku ke rumahnya untuk makan siang. Aku ogah-ogahan mengikutinya, takut tertinggal kendaraan. Sudah dua jam menunggu, tak ada satu pun yang lewat. Bagaimana kalau waktu menikmati makanan justru ada kendaraan lewat? Bagaimana kalau ketinggalan satu kendaraan saja berarti harus menginap tiga hari di dusun terpencil ini? Baru saja aku melangkah mengikuti Khaliq ke timur, dari kejauhan mengepul debu yang diterbangkan oleh hewan berat. ”Kamaz!!!” aku bersorak. [...]

March 13, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 98: Kejujuran Memang Mahal

Hidup di negeri yang bersimbah perang selama puluhan tahun telah membunuh urat takut. Cheragh, sopir Kamaz ini, nekat melakukan apa pun untuk keluar dari kubangan Afghanistan. Tubuhnya gemuk. Jubah kelabunya lusuh dan coreng-moreng oleh minyak. Cambang dan jenggotnya lebat, sangat tak lazim di kalangan etnis Hazara. Matanya sipit namun tajam, miring ke atas membentuk huruf V. Namanya berarti ”lampu” atau ”cahaya”, sungguh nama yang indah di kegelapan pedalaman Afghanistan yang belum diterangi listrik. ”Jangan khawatir,” katanya, ”karena kamu orang Indonesia, besok kamu boleh ikut truk ini sampai ke Bamiyan.” Ternyata Cheragh pernah tinggal di Indonesia. ”Aku dulu tinggal di sebuah pulau, di dekat Jakarta. Pulau kecil, tak ingat namanya.” Taliban menguasai Afghanistan. Kaum Hazara yang Mongoloid dan penganut Syiah mengalami pembantaian massal. Tak banyak pilihan, mereka mengumpulkan segala yang dimiliki untuk meninggalkan kampung halaman yang sudah berubah menjadi neraka. Cheragh naik kapal, berdesakan dengan empat ratus pengungsi Afghan lainnya, menyelundup dari Malaysia menuju Australia. Malang, Angkatan Laut Indonesia menangkap kapal yang ditumpangi para pendatang ilegal ini. Impian Cheragh dan rekan-rekan seperjalanannya untuk mencapai Australia kandas di pulau mungil. Tak banyak yang bisa dilakukan di Indonesia. ”Pekerjaan tak ada. Hidup tak ada. Walaupun mereka mengizinkan tinggal dua bulan, aku tak tahan [...]

March 12, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 97: Tidak Takut Taliban

Angin berembus perlahan, namun sudah cukup untuk menebarkan debu ke seluruh pelosok kota ini. Rumah lumpur tersebar semrawut. Cheghcheran, walaupun tampak bak metropolis setelah perjalanan panjang di gunung-gunung tak bertuan, sejatinya adalah kota kecil yang merana. Sebagai ibu kota provinsi Ghor, Cheghcheran sama sekali tak memancarkan kejayaan Dinasti Ghorid, yang berabad silam pasukannya tiba-tiba muncul dari gunung terpencil dan terlupakan, meruntuhkan kekuasaan Dinasti Ghaznavi yang ditakuti hingga ke tanah Hindustan. Dari pegunungan di jantung Afghanistan inilah, Ghiyasuddin Agung meluaskan wilayah negeri Afghan dari Irak hingga ke India, dari Kashgar di Turkestan hingga ke Teluk Persia. Ghor adalah provinsi terisolasi, salah satu yang termiskin di seluruh negeri miskin ini. Cheghcheran, walaupun secara geografis terletak tepat di jantung Afghanistan, seakan terlupakan. Di seluruh provinsi tak ada semeter pun jalan beraspal. Kekeringan sering melanda. Ketika hujan tak juga turun, para penggembala yang kelaparan terpaksa menjual domba dan kambing dengan harga teramat murah di pasar kota ini, supaya tetap bertahan hidup. Jaringan listrik nihil. Semua penduduk harus bergantung pada generator untuk menonton televisi, menyalakan lampu, mendengarkan lagu-lagu India, dan menjalankan bisnis. Malam hari, yang ada cuma gelap total. “Kami ini berada di pusat Afghanistan, tetapi kenapa kami miskin?” kata seorang lelaki pegawai pemerintah, gusar. [...]

March 11, 2014 // 6 Comments

Selimut Debu 96: Menggapai Cheghcheran

Lebih dari lima jam untuk memperbaiki truk yang rusak. Lihatlah Jaffar dan sang kenek yang sudah hitam legam. Mereka marah, terus menggerutu menyumpahi truk bobrok yang harus mereka bawa sampai ke Cheghcheran. Tapi ternyata tak sampai empat puluh menit kami berjalan, mobil yang kutumpangi mogok lagi. Ah, kali ini rusaknya lebih parah. Mesin mobil sampai mengeluarkan asap. Parahnya, tempat mogok kali ini adalah di lembah sempit antara dua gunung. Bayang-bayang gunung menghalangi jatuhnya sinar mentari. Angin pun bertiup kencang menerpa wajah. Satu jam… dua jam…. Di sini waktu tak ada harganya, berlalu begitu saja bersama angin gunung. Tak ada kawan bicara, aku hanya mengamati truk lekat-lekat dan mendapatkan pengetahuan yang berharga, misalnya truk ini adalah Toyota buatan Jepang dengan mesin dari Jerman, plat nomornya sudah copot. Ada dua roda depannya dan delapan roda belakangnya. Satu roda buatan Iran, tujuh India, dan dua Thailand. Kendaraan ini diimpor dari pasar barang bekas Dubai dan didatangkan ke Kabul oleh sebuah perusahaan yang stikernya tertera di kaca depan. Hmmm… barang bekas dengan kombinasi komponen dari berbagai negara. Truk ini sudah mati. Kondensornya rusak. Mesin tak lagi bisa memutar roda-roda besarnya. Tak ada harapan. Langit pun beranjak gelap. “Tak ada cara lain,” kata Jaffar, “kamu [...]

March 10, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 95: Apanya yang Cantik?

Aku menggigil. Sekarang masih pukul tiga dini hari namun semua orang sudah bergegas berangkat. Subuh di pegunungan Ghor menyakitkan dinginnya. Tanganku, yang semula masih bergetar, sekarang sudah kaku tak bisa digerakkan sama sekali. Ujung-ujung jari kaki pun begitu berat, untuk berjalan pun sakit sekali. Aku bahkan tak sanggup melompat ke badan truk dan harus didorong oleh si kenek Hazara untuk naik. Mungkin karena mendaki puncak Gazzak kemarin, truk ini sekarang bagaikan penderita TBC akut yang sudah ringkih. Jalannya tersendat-sendat. Mendaki sedikit saja, asap hitam langsung mencoreti angkasa. Tak sampai tiga jam, ketika matahari baru saja mulai terbit menghapus gelap, truk Jepang yang kutumpangi mogok total. Sopir meloncat turun. Mesin rusak. Roda rusak. Aku rasa, semuanya pun bakalan rusak sebelum kami sampai di Cheghcheran. Kami mengumpulkan semak belukar untuk membuat api. Suara api bergemeretak, membakar tumpukan rumput dan batang kering. Sedikit energi hangat menjalar. “Demi Nabi! Truk sekarat ini rusak lagi!” umpat Jaffar keras. Ini kedua kalinya truk mogok, padahal kami baru berjalan dua jam. Tampaknya truk-truk ini memang sudah waktunya pensiun. Kali ini rusaknya serius. Mekanik truk, yang disebut masteri, sudah coreng-moreng wajahnya. Sedari tadi ia berbaring di bawah mesin dengan segala macam perkakas. Hasilnya, nihil. Satu jam, dua jam, [...]

March 7, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 94: Parade Gunung-Gunung

Seperti keledai tua dengan bawaan berat di punggungnya yang terengah-engah, truk Kamaz perlahan mendaki pinggang gunung. Truk merayap perlahan menyusuri tebing curam. Jalan berbelok ke kanan, naik sedikit, balik ke kiri, naik sedikit lagi, berbelok ke kanan lagi. Setiap belokan truk harus berhenti. Perjuangannya sungguh tak mudah. Matahari membakar, debu halus membungkus rapat-rapat. Bahkan di dalam badan mobil pun aku merasakan mesin truk sudah begitu panas, seperti hampir meledak. Keringat menetes di pelipis Jaffar. Gas sudah ditekan keras-keras, Kamaz tak mau juga merangkak naik. Kendaraan ini mengeluarkan bunyi keras menjengkelkan. Semburan asap hitam bercampur dengan debu halus beterbangan. Sekarang jalan pun tak terlihat, tertutup rapat oleh selimut debu dan gas beracun. Kenek berlari ke arah kepulan debu. Dengan gerakan tangannya, ia menunjukkan ke mana truk harus membelok. Jalanan ini sangat curam sehingga Kamaz harus berhati-hati mendaki. Sedikit halangan saja, kendaraan raksasa ini bisa meluncur kembali ke bawah. Di dalam badan truk, kami gerah. Mesin truk ini sudah luar biasa panas sehingga udara pegunungan yang sejuk pun terasa begitu membakar. Setiap tikungan truk harus berhenti beberapa menit, mendinginkan mesin, persiapan untuk tanjakan berikutnya. Setapak, setapak, setapak… pendakian ke puncak Gazzak seperti tak kunjung berakhir. Jaffar berjingkrak kegirangan, dua jam kemudian. Emosinya [...]

March 6, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 93: Jangan Baca Buku

”Jalan Lintas Tengah” bagaikan parade bukit-bukit debu yang membentang antara Herat sampai ke Kabul, melintasi daerah kekuasaan dinasti kuno Ghorid yang tenggelam oleh ratusan pegunungan. Hanya mereka yang tangguh mampu bertahan di sini. Garmao terletak di tengah jalan utama antara menuju Cheghcheran, ibu kota provinsi Ghor. Tetapi jangan bayangkan ”jalan utama” ini adalah jalan raya yang ramai dilewati segala macam angkutan. Sama sekali tidak. Ini adalah jalan sempit berdebu. Lumpur di sana-sini. Yang banyak melintas adalah keledai, kawanan domba, dan gembala padang. Tengah hari, aku mulai bosan menghitung keledai lewat. Baru ketika aku berbalik ke arah warung, dari kejauhan terlihat debu mengepul. “Truk datang! Truk datang!” bocah-bocah berlarian, berteriak kegirangan, seolah disiram debu yang beterbangan tergilas roda truk adalah hiburan di tengah kebosanan dusun sepi ini. Aku pun sama riangnya dengan mereka. Aku memanggil pemilik warung untuk berbincang dengan sopir truk. Ini adalah barisan dua truk. Sopir dan keneknya meloncat turun untuk makan siang di warung seberang jalan. Kakek pemilik warung bermata satu juga bergegas menghampiri mereka, membujuk sopir untuk mengangkutku sampai Cheghcheran. “Empat ratus Afghani!” kata sopir tegas. Delapan dolar. Sama sekali tak murah. Dia beralasan risiko mengangkutku yang orang asing ini begitu besar, ada Taliban yang mengincar orang [...]

March 5, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 92: Peradaban yang Hilang

Hidup itu ada naik turunnya. Begitu Nassir Ahmad menyimpulkan perjalanan panjang dirinya. Demikian pula perjalanan peradaban bangsa Afghan. Sebuah negeri megah pernah berdiri di puncak kejayaannya, dan kini yang tersisa adalah debu-debu tanpa makna. Terpana. Nyaris aku tak percaya menyaksikan ini. Di tengah kepungan gunung-gunung cadas dan tandus, tiba-tiba muncul sebuah menara menakjubkan—kemegahan yang muncul dalam kekosongan. Badannya kurus, menjulang setinggi 65 meter. Bentuknya yang tinggi ramping, sedikit doyong, namun justru memancarkan aura karena daya tahannya melintasi zaman ratusan tahun di tengah bebatuan cadas yang mengurungnya. Menara itu muncul tiba-tiba, tak terduga, tepat ketika Nassir Ahmad membelokkan mobilnya ke arah lembah. Siapa sangka di tempat terpencil seperti ini ada bangunan kuno yang berdiri dengan anggun? Siapa sangka setelah perang puluhan tahun yang menghancurkan Buddha raksasa Bamiyan dan gua-gua Buddha di seluruh penjuru negeri, minaret ini masih tegak tak terjamah? Minaret Jam, dindingnya diselimuti ukiran ayat-ayat Al Quran dan puja-puji terhadap Sultan Ghiyasuddin, sang raja Dinasti Ghorid, yang menaklukkan kekuasaan Ghaznavi dan pada saat bersamaan mendirikan masjid kuno di Herat yang masih gemerlap dan agung hingga hari ini. Lalu mengapa menara ini berdiri merana, sendirian di tempat sunyi ini? Di sekitarnya tak ada reruntuhan bangunan yang menemani. Kalau ia menara masjid, [...]

March 4, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 90: Pasti Ketemu

Kerusakan yang dialami truk Kalandar kali ini teramat parah. Sekarang, giliranku untuk berjuang sendirian. “Tak ada harapan,” kata Kalandar, ”Maaf, kami tak bisa membawamu lebih jauh lagi. Malam ini kami pun terpaksa tidur di sini. Kamu cari kendaraan lain saja. Kamu sebaiknya berhenti sampai Garmao, bukan di Kamenj. Kalau tidak ada kendaraan, berhenti saja di desa berikut.” Aku melangkah gontai menuruni bukit. Hati kosong. Bagaimana kalau mesti terjebak di jalan pegunungan ini? Tak ada listrik yang menerangi kegelapan malam, tak tahu harus melangkah ke mana. Bagaimana kalau desa berikut penduduknya tak ramah? Bagaimana kalau diserang perampok atau serigala di tengah jalan? Bagaimana kalau terpaksa tidur di jalan? Dinginnya malam pegunungan sungguh tak terbayang, apalagi aku tak punya cukup baju hangat. Setengah jam berjalan, tiba-tiba sebuah Falang Coach melintas. Berlalu begitu saja. Lalu sepeda motor, juga tak menghiraukanku yang berjalan sendirian. Aku terus berjalan menuruni bukit. Aku melihat bayangan mobil berhenti di tepi sungai di bawah sana. Ah, pertanda baik. Sekarang waktu salat Magrib, dan orang Afghanistan tidak akan mau terlambat barang semenit pun untuk mendirikan salat. Aku bergegas ke arah mobil yang sekitar setengah kilometer di bawah. Semoga mereka belum berangkat. “Tolong… aku orang asing,” aku merengek memelas di hadapan [...]

February 28, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 89: Kebakaran

Kalandar adalah jenis orang yang kucari-cari sejak tiga hari terakhir—sopir truk. Dia sedang sibuk memperbaiki truknya yang rusak. Truk miliknya itu adalah jagoan,  Kamaz, truk berbodi hijau buatan Rusia yang terkenal ketangguhannya di medan berat, sangat cocok untuk jalanan Afghanistan yang bergerunjal di lintasan pegunungan. Entah sudah berapa puluh tahun umur kendaraan ini. “Jangan khawatir,” katanya, ”kamu boleh menumpang.” Ia hanya meminta ongkos seratus Afghani untuk membawaku sampai ke Kamenj. Bukan basa-basi, semoga. Sejam berikutnya, aku sudah duduk di badan truk di samping sopir dan rekan-rekannya. Ini adalah tempat kehormatan karena para penumpang lain harus duduk di bak terbuka bersama tumpukan barang yang berkarung-karung. Kalandar orang Tajik. Ia membawa tiga awak. Yang satu mekanik, dalam bahasa Dari disebut masteri, tetapi semua orang di sini memanggilnya dengan lafal Misteri. Namanya sudah tenggelam oleh profesinya. Masteri kami adalah orang Tajik, bertubuh tambun dan berjenggot kriwil-kriwil. Kalau mobil rusak di jalan, ia bertanggung jawab memperbaiki karena dia yang paling mengerti soal mesin. Dua awak lainnya adalah kenek, asisten sopir. Kenek bertugas mengangkut atau menurunkan barang, membantu sopir dan mekanik kalau ada kerusakan, memasak makanan, menunjukkan jalan waktu menyeberang sungai atau mendaki tebing terjal, dan segala pekerjaan tetek-bengek lainnya. Umumnya mereka masih muda dan [...]

February 27, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 88: Belajar Membaca

”Lima ratus Afghani!” kata sopir beserban yang baru saja datang dengan truk barangnya. Ia datang dari Herat menuju Cheghcheran di timur. Semula aku bersorak gembira ketika akhirnya debu mengepul dari arah barat dan truk besar ini singgah di restoran Kakek Iqbal. Itu harga yang terlalu mahal. Kakek Iqbal ikut marah. ”Jangan zalim! Dia ini tamu di negara kita. Mana boleh kamu menarik ongkos begitu mahal dengan truk bobrokmu itu?” “Truk ini sudah penuh,” sanggahnya, ”Tidak ada lagi tempat buat penumpang. Lihat sendiri, ada dua perempuan yang duduk di badan mobil. Kalau mau sih orang asing ini bisa duduk di bagian truk terbuka dengan barang-barang.” Aku tak keberatan. Kakek Iqbal membantu menawar sampai 150 Afghani. Sudah dua hari aku menunggu kendaraan lewat di Chisht, yang kuinginkan sekarang cuma cepat-cepat meninggalkan desa ini dan melanjutkan perjalanan. ”Kalau begitu, besok pagi kau harus siap jam delapan. Kita berangkat,” kata sopir. Sopir ini membawa konvoi tiga truk. Semuanya penuh barang yang berkarung-karung. Bersama konvoi ini sudah ada belasan orang yang ikut menumpang ke arah barat. Di jalur tengah Afghanistan, di mana tak ada jalan raya dan angkutan umum sangat mahal, truk adalah satu-satunya pilihan bagi kebanyakan orang. Malam hari, Kakek Iqbal menikmati panen. Dengan [...]

February 26, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 87: Petualangan Legendaris

Sekitar lima ratus tahun lalu, perjalanan yang kulalui ini adalah petualangan akbar dan legendaris dari seorang raja besar. Raja Babur adalah pendiri Dinasti Moghul, yang meninggalkan bangunan megah di Taj Mahal di India. Babur berasal dari daerah yang sekarang wilayah Uzbekistan, dikejar-kejar dan mau dibunuh sehingga lari ke Afghanistan. Di negeri ini, petualangannya dimulai dari Herat, tempat ia mencari perlindungan pada Sultan Baiqara. Herat kala itu sudah menjadi pusat peradaban, seperti halnya Bukhara dan Samarqand. Masjid agungnya bersinar, perdagangannya maju, dan militernya kuat. Tetapi Babur tak betah tinggal di kalangan keluarga istana yang penuh intrik politik. Bersama para pengikutnya yang setia, ia berangkat menuju ke Kabul. Ia tak memilih jalan lewat Kandahar yang lebih mudah. Ia justru memilih jalur Lintas Tengah Afghanistan, menembus pegunungan Ghor dan Bamiyan. Tapi ini malah menjadi perjalanan yang paling mematikan dalam hidup Babur. Aku pun akan melalui lintasan yang kira-kira sama dengan yang diambil Raja Babur. Abad milenium tentunya jauh berbeda dari abad pertengahan. Namun satu fakta yang tidak berubah, jalan ini tetap sulit dilewati, diperuntukkan hanya bagi mereka yang punya keteguhan baja dan tahan banting. Seorang kakek tua dengan sekarung gembolan di pundak, mirip Sinterklas, duduk di sampingku di dalam bus berkarat. Jenggotnya pun [...]

February 25, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 30: Universitas Bernama Kedai Teh

Belajar bersama di universitas kehidupan. (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak semua hal yang buruk membawa kesialan. Justru karena aku didepak dari Radio Bamiyan tempat Hadi Ghafari itu, aku malah mendapat mendapat kesempatan untuk belajar langsung dari sebuah universitas kehidupan bernama “kedai teh”. Kedai teh, orang Afghan menyebutnya samovar, sedangkan buku panduan menyebutnya sebagai chaikhana (chai=teh, khana=rumah), bukan hanya sekadar tempat makan dan minum. Bagi orang Afghan di daerah pedesaan seperti ini, kedai teh adalah tempat untuk bercengkerama, berbagi cerita, dan mendengar tentang dunia. Para musafir (laki-laki, dan hanya ada laki-laki) bahkan menginap gratis di kedai teh, tidur di atas matras di ruang utama, berjajar-jajar tanpa sekat privasi, dan mensyukuri berkah karena masih ada tudung atap dan kehangatan untuk melewati malam yang dingin. Aku terpesona dengan kedai teh, ketika tiga tahun lalu aku berjumpa musafir Jepang yang sudah lusuh, tidur dari kedai teh satu ke kedai teh lain, berkeliling negeri Afghanistan dengan kemampuan bahasa Farsi yang mengagumkan. Sekarang, sepertinya aku sudah mengikuti jejaknya yang sama persis, tinggal di kedai teh dan mengamati kehidupan Afghanistan yang sesungguhnya. Aktivitas di kedai teh sudah bermula sejak pagi buta, kala orang-orang sudah sibuk mengambil wudu dan menunaikan ibadah. Alunan azan terdengar sayup-sayup, begitu lembut, dinyanyikan merdu dari [...]

December 6, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 29: Mengapa Harus Sembunyi?

Bamiyan yang sederhana ini sesungguhnya penuh lika-liku. (AGUSTINUS WIBOWO) Pertanyaannya, di mana Hadi Ghafari? Suasana di Radio Bamiyan begitu mencurigakan. Matahari sudah hampir gelap ketika kami sampai di kantor radio. Begitu kami tiba, Irfan si penyiar langsung berusaha mendorongku ke halaman, untuk menghalangiku agar tidak masuk ke kantor. Begitu ramah, berlebihan malah, dia menyambutku dengan kata berbunga-bunga, yang justru membuatku makin curiga. “Kantor dikunci, Hadi sudah berangkat ke Kabul, jadi kamu tidak bisa masuk,” begitu katanya berulang kali. Aku masuk ke ruang siaran radio. Aku mendengar suara siaran berita, dan jelas-jelas itu suara Hadi. Bukankah Hadi sudah ke Kabul? Bagaimana mungkin dia siaran? “Oh, itu rekaman kemarin,” kata Irfan. “Kalau kemarin, bukan berita lagi dong namanya, tapi sejarah,” sanggahku. Irfan manggut-manggut. Sementara Zaffar, bocah belasan tahun yang bekerja di radio, mengeluhkan betapa sulitnya hidup sepeninggal Hadi ke Kabul. Ruangan kantor Hadi ternyata memang tidak dikunci (seperti yang kuduga), tapi komputernya dikunci dengan password, sehingga tidak bisa digunakan. Tanpa ba-bi-bu bertele-tele, Akbar langsung menerjang masuk ke kantor. Dia tidak perlu menghadapi prosesi rumit dengan para bocah ini. Dia tak peduli. Dia bergegas masuk ke ruangan kecil di samping kantor, dan kudengar suara bercakap-cakap yang cukup keras. Suara Hadi! Tiba-tiba, bersama Akbar [...]

December 5, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 28: Lika-Liku Laki-Laki

Kedai teh milik Gul Agha tempat aku menginap (AGUSTINUS WIBOWO)   Sebuah pagi dimulai dengan tergopoh-gopoh. Hadi Ghafari pagi-pagi tergopoh-gopoh membangunkanku. Napasnya masih terengah-engah. Dia bilang, istrinya barusan menelepon dari Kabul. Itu artinya, dia harus segera ke Kabul untuk melakukan “sesuatu” di rumahnya. Dari gerakan tangannya, dan senyum mesam-mesemnya, dia menunjukkan kalau istrinya sudah merindukan kehadirannya untuk mengisi malam-malam yang sepi, karena dia sudah 25 hari tidak pulang ke Kabul. “Berapa lama ke Kabul?” tanyaku. “Sepuluh hari,” jawabnya. Sepuluh hari! Itu artinya, tidak ada lagi tempat bagiku di sini. Kemarin, seseorang dari sebuah LSM di Bamiyan mengajakku untuk ikut ke desa-desa pedalaman, dan akan berangkat seminggu lagi. Aku bertanya pada Hadi apakah mungkin aku tinggal di kantornya selama aku menunggu hari keberangkatan. Dia berusaha meyakinkanku dengan segala cara bahwa kegiatan LSM itu sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaanku (bagaimana dia tahu?), tetapi kemudian dia bilang sama sekali tidak ada masalah karena kantor ini adalah rumahku juga (keramahtamahan yang luar biasa!). Tetapi dengan begitu tiba-tibanya, pagi-pagi begini, tergopoh-gopoh begini, dia bilang harus balik ke Kabul selama sepuluh hari, meninggalkan kantornya secara total, mengunci ruang berita, menutup kantor, … yang semua ini di mataku seperti cara halus untuk mengusirku pergi. Untunglah aku [...]

December 4, 2013 // 0 Comments