Recommended

nasionalisme

Selimut Debu 86: Hari Massoud

Orang mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan perbatasan Iran dengan Afghanistan, karena pemeriksaan bisa sangat panjang. Ya, Iran selalu khawatir dengan tetangganya yang lucu ini, yang selalu dicurigai sebagai pemasok opium dan pengungsi. Tapi tidak demikian dengan sebaliknya bukan? Aku rasa, karena aku menyeberang dari Iran ke Afghanistan, seharusnya semua berjalan lancar. Benar saja. Semua lancar. Malah terlalu lancar. Aku tidak pernah melihat imigrasi perbatasan yang selonggar imigrasi Afghanistan ini. Aku sudah menyodorkan pasporku tepat di halaman visa, sehingga si petugas Afghan tinggal mengecap. Petugas itu langsung mengecap, tanpa menghabiskan sedetik pun untuk melihat visa itu, melihat halaman depannya, atau bahkan untuk melihat wajahku. Tanpa registrasi, tanpa wawancara, tanpa rewel. Proses imigrasi hanya memakan waktu 3 detik. Ini adalah proses yang paling cepat dan efisien yang kualami. Dan berita gembira lainnya, tidak ada pula pemeriksaan barang di bea cukai. Datang dari Iran, kita semua dianggap sebagai makhluk tak berdosa. Meninggalkan gerbang perbatasan Islam Qala, aku seperti masuk ke mesin waktu lagi, meloncati dimensi waktu dan mundur ke masa lalu, dari modernitas kembali ke realita negeri berselimut debu. Debu, dalam artian harfiah, lekat dengan kehidupan penduduk Herat. Di bagian timur kota ini, hingga ke perbatasan Iran, terbentang gurun pasir luas. Selama 120 [...]

February 24, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 72: Nilai Ke-Afghanistan-an

Aku berusaha keras menghindari Bakhtali. Tapi untunglah, kami berjalan dengan kecepatan yang jauh berbeda. Aku merayap lambat menyisir bebatuan, sementara dia melesat kilat seperti anak panah. Dalam kesendirian, aku menikmati pemandangan perbatasan yang begitu menakjubkan ini. Di sebelah kananku Tajikistan, di sebelah kiriku Pakistan, aku ada di tengah Koridor Wakhan yang sempit dan termasyhur itu. Tetapi kesepian ini sungguh menakutkan. Sepi yang sesepi-sepinya, selain suara angin dan debur arus sungai. Tak ada lagi orang lain yang bisa kumintai pertolongan, apalagi karena kedua kakiku semakin sakit karena berjalan terlalu jauh. Aku mulai berjalan pukul 1 sore, dan setelah dua jam berjalan kedua kakiku hampir lumpuh. Aku hanya bisa berjalan, dan terus berjalan, karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada desa sama sekali di antara Aorgarch dengan Qala Panjah. Yang kulihat hanya ada tiga orang gembala, dan tidak ada manusia lainnya barang satu pun. Ah, andaikan saja ada jembatan yang menghubungkan jalanan ini dengan jalanan beraspal di seberang sungai sana. Tentu dengan mudah aku menumpang kendaraan bermotor, tanpa harus bersusah-payah seperti ini. Tapi… itu cuma mimpi. Yang di seberang sana, walaupun terlihat dekat, adalah tanah tak tergapai. Negara lain. Dunia lain. Ada garis batas tak tertembus. Setelah empat jam berjalan, langit sore [...]

February 4, 2014 // 3 Comments

Jawa Pos (2013): Perjalanan Akbar Musafir Lumajang

27 Oktober 2013 Perjalanan Akbar Musafir Lumajang Oleh J. SUMARDIANTA REPUBLIK Mauritius merupakan kasus tidak lazim multikulturalisme. Pulau kecil di Samudra Hindia, terapat bermukim bagi lebih dari sejuta orang keturunan Afrika, Eropa, India, dan Asia Tenggara. Di situ pelbagai agama, bahasa, dan. tradisi etnis bergabung dalam kultur harmonis. Tiada negeri lain di belahan dunia mana pun bisa seotentik Mauritius. Negeri mungil itu merdeka dari Inggris pada 1968. Sumber daya yang terbatas dan keragaman etnis mengancam kelangsungan perdamaian. Mayoritas penduduk keturunan India. Kaum minoritas khawatir dikesampingkan. Sedari awal Mauritius diprediksi bakal hancur terjerumus kekisruhan politik, agama, ras, dan etnis. Namun, warga Mauritius, dengan komitmen dasar merayakan perbedaan, merancang konstitusi yang menyantuni semua orang di sekujur negeri. Sebagian besar kursi parlemen diberikan kepada para wakil terpilih dalam pemilu. Delapan kursi dicadangkan buat “peserta kalah pemilu” yang menduduki peringkat terbaik. Kursi cadangan menjamin keterwakilan seimbang kaum minoritas. Keragaman agama dan budaya membuat masyarakat Mauritius memiliki banyak hari libur. Mereka sampai kesulitan membereskan pekerjaan karena setiap kelompok tidak bersedia menghapus hari libur mereka. Dibuatlah kesepakatan: bila suatu kelompok merayakan hari libur, semua ikut merayakan. Hari-hari libur keagamaan tertentu dirayakan rakyat seluruh negeri. Semua orang menghormati Diwali Hindu, [...]

October 27, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 92: Mari Sucikan Jiwa

Kebanggaan nasional (AGUSTINUS WIBOWO) “Dalam nama ALLAH, yang paling termuliakan … kitab ini, yang ditulis dengan bantuan ilham yang dikirimkan langsung ke hatiku, oleh Tuhan yang menciptakan alam semesta yang agung dan mampu melakukan apa pun yang Ia inginkan, adalah kitab Ruhnama bangsa Turkmen.“ Demikian Sang Turkmenbashi memulai tulisan sepanjang 400 halaman untuk membuka jalan bagi roh-roh bangsa Turkmen. Dalam keheningan malam, saya mulai membalik lembar demi lembar Ruhnama, mengharapkan sebuah kesegaran spiritual Turkmen membasuh jiwa saya yang kering kerontang ini. Kitab ini dibuka dengan sebuah foto Sang Presiden Turkmenbashi, Bapak Bangsa Turkmen, sang penulis agung kitab suci Ruhnama, menebarkan aura kegagahan dan kekuasaan. Dilanjutkan gambar bendera hijau Turkmenistan, perpaduan antara bintang dan permadani indah. Selanjutnya lambang negara, yang melibatkan kuda Altheke, spesies kuda yang hanya ada di Turkmenistan, salah satu kebanggaan bangsa yang tak terperi. Halaman selanjutnya, lambang kepresidenan Turkmenistan, berupa elang berkepala lima. Berikutnya adalah ratusan halaman penuh berisi teks suci Ruhnama, diselingi foto-foto corat-coret Sang Turkmenbashi yang menggubah karya agungnya. Ruhnama, sekali lagi, bukan buku agama. Dia bukan pula buku sejarah. Tetapi campur aduk yang membingungkan antara autobiografi Turkmenbashi, ajaran-ajaran moral, ulasan kultural, percakapan monolog, sampai penulisan sejarah dunia dan Turkmen yang mengundang [...]

October 21, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 91: Ruhnama

Monumen Ruhnama di Berzengi (AGUSTINUS WIBOWO) “Wahai Turkmen! Segala cintaku hanya bagimu. Segala penderitaan hanya untukku” demikian tulis Sang Turkmenbashi dalam buku panduan jiwa, Ruhnama, yang menjadi bacaan wajib semua orang Turkmen. Siapa pengarang buku terlaris di Turkmenistan? Tak perlu terkejut kalau untuk posisi ini pun, Sang Presiden Turkmenbashi menjadi jawaranya. Lihat saja toko-toko buku milik negara yang bertebaran di seluruh Ashgabat. Hampir semua buku yang dijual adalah buah karya Sang Presiden. Warna hijau dan merah kitab suci berjudul Ruhnama memenuhi rak-rak. Ruhnama, dari kata ruh dan nama, artinya ‘kitab jiwa’. Tujuannya untuk mempersiapkan roh dan jiwa bangsa Turkmen menyambut datangnya era baru, Abad Emas yang telah berabad-abad dinantikan kedatangannya. Bukan hanya ditulis dalam bahasa Turkmen, tetapi juga ada versi terjemahan Bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, China, Jepang, Arab, Hungaria, Ceko, Korea, Hindi, Thai, sampai Zulu. Lebih dari 25 bahasa dunia. Turkmenbashi ingin cita-cita dan buah pikirannya pun dibaca seluruh umat manusia di dunia, sebagai sumnbangsih negerinya pada peradaban dan perdamaian di muka bumi. Saya yang terkagum-kagum dengan kedahsyatan toko buku Ruhnama ini, langsung mengeluarkan kamera dan siap menjepret. Mbak penjaga toko serta merta dengan judes berteriak, “Dilarang potret-potret!” Yang jelas, walaupun belum diterjemahkan dan diekspor ke Indonesia, Ruhnama sudah [...]

October 18, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 85: Bukan Emas Tulen

Melewatkan kebosanan di taman. (AGUSTINUS WIBOWO) Abad emas menyelimuti seluruh penjuru negeri Turkmenistan. Patung-patung emas berdiri menyambut datangnya era baru, lengkap dengan slogan, semboyan, motto, dan berbagai ragam jargon. Altyn Asyr, Abad Emas, apa pun namanya, kini menjadi salah satu frase yang paling banyak disebut-sebut di negeri ini. Bicara soal Abad Emas, Marat sama sekali tidak antusias. Marat yang penduduk asli Ashgabat malah bosan dengan hidupnya yang biasa-biasa saja dan terus datar tanpa perubahan. Umurnya baru dua puluhan, tetapi wajahnya sudah nampak tua sekali. Mungkin karena kebosanan luar biasa setiap hari kerut-kerut baru muncul di wajahnya.  “Turkmenistan ini sama sekali bukan tempat untuk bekerja,” keluhnya, “tidak ada uang di sini.” Pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Sekali mencuci mobil, pendapatannya berkisar antara 30.000 hingga 40.000 Manat. Tidak terlalu kecil sebenarnya, cukup untuk membeli selembar tiket pesawat terbang domestik atau setengah piring nasi plov di pasar. Tetapi masalahnya tak banyak mobil yang bisa dicuci di ibukota kecil ini. Apalagi sudah berapa hari ini hujan turun terus. Tuhan telah memberikan layanan cuci mobil gratis kepada para pemilik mobil, tetapi Marat berteriak kehilangan sumber pemasukan. “Masih jauh lebih baik Uzbekistan. Orang-orang di sana lebih cerdas dan pintar, tahu bagaimana caranya mencari uang,” keluhnya lagi. [...]

October 10, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 82: Utopistan

Dua dunia (AGUSTINUS WIBOWO) Mendung bergelayut di langit Ashgabat. Hujan turun rintik-rintik. Perumahan kuno tempat saya tinggal sudah menjadi lautan lumpur. Tempat ini tepat berada di belakang gedung-gedung marmer pencakar langit yang dibangun oleh Turkmenbashi, dengan cita rasa yang penuh tanda tanya. Hanya menyeberang gang ke jalan utama, meninggalkan kumuhnya rumah-rumah kuno, saya sudah kembali ke dunia Turkmenistan yang dibangun oleh Turkmenbashi. Dalam bahasa Turkmen, Turkmenbashi artinya ‘Pemimpin orang Turkmen’. Mirip-mirip gelar Kemal Ataturk, sang pembaharu Turki, yang artinya ‘Bapa orang Turki’. Di negeri ini, itulah nama yang tidak boleh kita lupakan, karena dialah seluruh roh dan jiwa Turkmenistan, pembawa pencerahan dan pembaharuan ke seluruh penjuru negeri dan dunia. Wajah Saparmurat Turkmenbashi, presiden agung yang baru saja meninggal, menghiasi setiap sudut jalan Ashgabat. Gedung-gedung kementrian selalu punya patung emasnya. Siluet wajahnya mengawali setiap slogan dan pesan pemerintah. Semua saluran televisi juga pasti memasang gambar sang Bapa Agung. Belum cukup. Desa, kota, pelabuhan, jalan, bandara, semuanya diganti dengan nama beliau, nama orang tua beliau, juga konsep-konsep agung beliau. Kota pelabuhan Krasnodovsk di pinggir Laut Kaspia sekarang bernama Turkmenbashi. Kota perbatasan Charjou sekarang berjudul Turkmenabat. Kota kecil Kerki sudah menjadi Atamurat, nama ayah Turkmenbashi. Ibundanya, Gurbansoltan Eje, sekarang [...]

October 7, 2013 // 4 Comments

Garis Batas 77: Sekali Lagi, Visa Oh Visa…

Bendera Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO) Bila diingat, perjalanan saya di Asia Tengah melintasi negara-negara pecahan Uni Soviet ini, selalu disibukkan dengan urusan visa. Kira-kira hampir separuh konsentrasi saya habis hanya untuk memikirkan trik-trik melamar visa. Seperti diketahui, paspor Indonesia bukan yang terbaik untuk melancong di sini. Kita tidak bisa nyelonong begitu saja ke kedutaan negara Stan untuk minta visa, tanpa terlebih dahulu mengurus yang namanya ‘letter or invitation‘ atau dalam bahasa kerennya disebut priglashenie, surat undangan. Surat undangan ini harus direstui dulu oleh kementerian luar negeri negara yang dituju, melalui proses berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Salah satu cara mudah untuk mendapatkan priglashenie, terutama untuk Kyrgyzstan, Kazakhstan, dan Uzbekistan, adalah dengan menghubungi biro perjalanan di negara yang akan dituju. Kantor-kantor travel di sana sudah terbiasa memenuhi permintaan priglashenie. Dengan hanya membayar 30 dolar dan menunggu paling lama dua minggu kita sudah bisa mendapatkan surat undangan dari negara yang dimaksud. Ini baru surat undangan, prasyarat untuk bikin visa. Visanya sendiri bermacam-macam ceritanya. Ingat kedutaan Tajikistan di Kabul yang benderanya terbalik-balik dan diplomatnya menjual visa seperti calo menjual tiket waktu Lebaran? Di Dushanbe, kedutaan Kyrgyzstan juga cukup antik karena hanya buka sehari dalam seminggu. Di Bishkek, kedutaan Uzbekistan punya kegemaran mengadakan ujian [...]

September 30, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 75: Bahasa Uzbek

Bahasa Uzbek, huruf Rusia masih terlihat di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Konon Lembah Ferghana adalah pusat peradaban bangsa Uzbek. Orang-orangnya bicara bahasa Uzbek yang paling murni dan halus. Saya merasakan kesopanan yang luar biasa, karena orang tua di Lembah Ferghana bahkan menyapa anak-anaknya dengan siz – Anda, dan bukannya san – kamu – seperti orang-orang Uzbek di tempat lain.  Bagaimanakah asal-muasal Bahasa Uzbek? Ratusan tahun lalu, bahasa ini masih belum lahir. Yang ada adalah bahasa Turki Chaghatai, dari rumpun bahasa Altai. Sama seperti ketika itu nama Bahasa Indonesia belum ada, karena orang hanya kenal bahasa Melayu. Bahasa Uzbek menjadi penting, ketika tahun 1920’an, etnis-etnis Asia Tengah ‘ditemukan’, dan masing-masing bangsa harus punya bahasanya sendiri.  Pertanyaannya, bahasa yang mana yang layak menjadi Bahasa Uzbek? Sebelum tahun 1921, yang disebut ‘Bahasa Uzbek’ adalah bahasa Kipchak, yang dipakai di sekitar Bukhara dan Samarkand. Bahasa ini sangat rumit, karena seperti halnya bahasa Kirghiz, juga punya banyak aturan keharmonisan vokal. Pada saat itu, bahasa Qarluq yang dipakai di Ferghana dan Kashka-Darya dikenal sebagai Bahasa Sart. Tata bahasanya lebih mudah, karena tidak memakai harmonisasi vokal. Bahasa Sart, dipakai oleh umat Muslim yang sudah tidak nomaden, kaya akan kosa kata dari Bahasa Arab dan Persia. Selain itu, di [...]

September 26, 2013 // 5 Comments

Garis Batas 71: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (3)

Pasar ‘internasional’ (AGUSTINUS WIBOWO) Garis perbatasan internasional yang melintang ke sana ke mari di Lembah Ferghana menciptakan kantung-kantung suku minoritas di mana-mana. Salah satu contohnya adalah Halmiyon. Desa orang Uzbek yang hanya sepuluh langkah kaki dari Uzbekistan kini merupakan bagian wilayah Distrik Osh, Kyrgyzstan. Anak-anak sekolah di Halmiyon berusaha keras belajar bahasa Kirghiz, menghafal hikayat kepahlawanan Manas, mengenal pernik-pernik adat bangsa nomaden, dan yang paling penting dari semua itu, menyamakan detak jantung dan deru nafas dengan saudara setanah air nun jauh di Bishkek sana.  Republik-republik baru bermunculan di atas peta Asia Tengah menyusul buyarnya Uni Soviet. Mulai dari Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, hingga Kazakhstan. Semuanya adalah negara-negara yang didirikan atas dasar ras dan etnik. Turkmenistan punyanya orang Turkmen, Uzbekistan untuk Uzbek, Tajikistan negeri bangsa Tajik, demikian pula Kyrgyzstan dan Kazakhstan bagi orang Kirghiz dan Kazakh. Kini kelimanya berdiri tegak sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat penuh. Siapa lagi yang dulu membuat kelima negara etnik ini kalau bukan sang induk semang Soviet. Bahkan definisi suku-suku, mana yang disebut orang Uzbek, mana yang namanya Tajik, mana si Kirghiz dan si Kazakh, juga buatan Soviet.  Ketika Soviet bubar, negara-negara buatan ini berdiri di atas setumpuk masalah. Tidak perlu bicara soal ekonomi yang carut-marut ketika [...]

September 20, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 70: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (2)

Bocah-bocah Uzbek di sekolah Kirghiz (AGUSTINUS WIBOWO) Gulshan adalah sebuah desa di Uzbekistan yang dipotong-potong oleh garis perbatasan Kyrgyzstan yang hanya para komrad Soviet dan Tuhan yang tahu apa mengapanya. Ada perbatasan di tengah gang kecil, ada keluarga yang dipecah-pecah oleh batas negara, ada bangunan rumah yang separuh ikut Uzbekistan separuh ikut Kyrgyzstan. Tepat di sebelah Gulshan, ada desa Halmiyon. Orang-orangnya, kulturnya, rumah-rumahnya, bahasanya, semua sama persis dengan Gulshan, yang cuma sepuluh langkah kaki jauhnya. Bedanya, di Halmiyon yang berkibar adalah bendera merah Kyrgyzstan. Saidullo mengendarai mobil Tico-nya, made in Uzbekistan, membawa saya melintasi jalan setapak di belakang desa. Jalan ini tak beraspal dan becek. Gunung-gunung salju berjajar di hadapan. Itu gunungnya Kyrgyzstan, Negeri Gunung Surgawi yang memang tak pernah lepas dari gunung dan salju. Sebenarnya jalan setapak ini juga sudah masuk wilayah teritorial Kyrgyzstan. Saya sedang dalam misi penyelundupan lintas batas tanpa paspor masuk ke wilayah Kyrgyzstan secara ilegal. Tetapi kata Saidullo, ini sudah biasa, orang-orang Halmiyon pun tidak mungkin bisa hidup tanpa interaksi dengan Gulshan, demikian pula sebaliknya. Apalagi pernikahan internasional antara penduduk dua desa sudah sangat lazim. Saidullo mengemudikan kendaraannya ke pusat Halmiyon. Saya dibawa ke sebuah sekolah, gedungnya berdiri megah, papan namanya bertulis “Sekolah Toktogul No. [...]

September 19, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 69: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (1)

Presiden kita, kebanggaan kita. (AGUSTINUS WIBOWO)) Desa Gulshan di selatan kota Ferghana ini memang tidak tampak istimewa. Deretan rumah berbaris di sisi sebuah gang sempit yang tidak beraspal. Dari depan rumah kita tidak bisa melihat kehidupan si empunya rumah. Kultur orang Uzbek membungkus rumahnya rapat-rapat di balik tembok. Inilah satu hal yang membuat tempat ini berbeda. Orang-orang yang rumahnya di berada di sisi kiri gang memegang paspor Uzbekistan, sementara di sebelah kanan adalah warga negara Republik Kirghizia. Saya masih terpesona dengan lapangnya ruang tamu di rumah Temur Mirzaev, seorang kawan Uzbek yang belajar Bahasa Indonesia di Tashkent. Ruangan ini begitu lapang, karpet-karpet merah menyala menghiasi dinding. Tiga buah bohlam lampu menggantung tersebar begitu saja di sudut-sudut ruangan. Tiba-tiba satu bohlam mati. Yang dua tetap nyala.             “Listrik Uzbekistan putus,” kata Saidullo. Listrik Uzbekistan? Maksudnya? “Lampu tadi disambung dengan listrik dari Uzbekistan,” jelas Saidullo, “sedangkan yang dua ini pakai listriknya Kyrgyzstan. Musim dingin begini, biasa, listriknya Uzbekistan sering putus.” Ketika rumah-rumah lain kegelapan gara-gara pemadaman listrik mendadak, rumah ini tak akan pernah gelap gulita karena ada cadangan listrik dari negara tetangga. Rumah Temur berada di sisi jalan yang menjadi wilayah Kyrgyzstan. Kakek Hoshim, Nenek Salima, Saidullo, istri Saidullo dan [...]

September 18, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 59: Hoja Nasrudin

Patung Nasruddin di Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO) “Bulan lebih berfaedah daripada matahari,” kata Hoja Nasruddin suatu hari, “karena di malam hari kita lebih butuh cahaya daripada di waktu siang.” Remang-remang sinar rembulan terpantul di atas riak-riak air kolam Lyabi-Hauz, di tengah kota tua Bukhara. Air kolam ini tak banyak. Di musim yang dingin ini, hanya bebek-bebek saja yang berani berenang sambil terus berkoak-koak, melintasi pantulan bulan purnama yang berubah menjadi sobekan-sobekan cahaya di atas permukaan kolam. Sinar bulan, yang menerangi gelapnya malam, juga membilas wajah sebuah patung perunggu di pinggir kolam, dibawah rindangnya pepohonan. Patung ini, seorang kakek tua yang berwajah lucu, dengan tangan kanan tertangkup di dada dan tangan kiri melambai, duduk dengan gembira di atas seekor keledai yang sedang menyeruduk. Inilah Hoja Nasruddin, sang mullah cerdik dalam legenda hikayat Islami. Sang mullah mengajarkan berbagai kebijaksanaan dengan humor-humornya yang menyindir. Walaupun senantiasa digambarkan bodoh dan lugu, misalnya mengendarai keledai terbalik dengan wajah menghadap pantat, sang mullah selalu punya alasannya sendiri, yang bila bisa mengajak kita menertawakan dunia. Itulah kebijaksanaan seorang Sufi. Belajar tidak melulu dari kitab suci yang berat dan menghafalkan ayat-ayat. Kebijaksanaan Islam bisa ditemukan di balik makna simbolis kebodohan dan kelucuan Nasruddin. Hikayat-hikayat selalu hidup di sini. (AGUSTINUS [...]

September 4, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 58: Orang Tajik dari Bukhara

Gadis penenun dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO)) Masih ingat Dushanbe, ibu kota Tajikistan, yang berkilau di bawah kebesaran patung Ismail Somoni di tengah Jalan Rudaki? Di sini, di Bukhara, ada makamnya Ismail Samani, atau Somoni menurut ejaan Tajikistan. Orang-orang Bukhara pun bicara Bahasa Tajik. Tetapi yang berkibar di sini adalah bendera Uzbekistan. Di antara kakak-beradik Stan, Uzbekistan dan Tajikistan adalah yang paling dekat kekerabatannya secara kultural dan historis. Susah membedakan mana yang murni kultur Uzbek, mana yang eksklusif punya Tajik. Pria-prianya memakai jubah chapan dan topi doppi yang sama. Perempuannya juga sama-sama suka pakai daster ke mana-mana di siang hari bolong. Baik orang Uzbek maupun Tajik sama-sama mendecakkan lidah di gigi belakang sebagai pengganti kata ‘tidak’. Adat pernikahan, perkabungan, arsitektur rumah, tata krama, semuanya mirip. Bangsa Uzbek dan Tajik sudah lama hidup menetap, memeluk Islam, dan saling berinteraksi satu sama lain selama berabad-abad. Perkawinan antar suku pun sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka. Perbedaan yang paling mencolok antara orang Uzbek dan Tajik adalah bahasa. Bahasa Uzbek masih sekeluarga dengan Bahasa Turki, sedangkan Tajik sekeluarga dengan Bahasa Persia di Iran. Raut wajah pun kalau diperhatikan betul-betul, memang sedikit berbeda. Orang Uzbek ada kesan-kesan Mongoloidnya, dengan mata yang agak lebih sipit. Nenek [...]

September 3, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 52: Asyiknya Belajar Bahasa Indonesia

Pelajar bahasa Indonesia di Tashkent (AGUSTINUS WIBOWO) Ternyata bukan hanya tari-tarian Indonesia yang ikut menyemarakkan keindahan khasanah budaya Uzbekistan, orang-orang Uzbek pun mulai belajar bahasa nasional kita. Gedung yang terletak di jantung kota Tashkent ini bernama Tashkent State Institute of Oriental Studies. Di sinilah Temur Mirzaev, mahasiswa asal Lembah Ferghana berusia 20 tahun, mendalami Bahasa Indonesia. Temur boleh dikata adalah mahasiswa yang kemampuan bahasa Indonesianya paling menonjol diantara mahasiswa lainnya. Selain menjadi yang terbaik di sekolahnya, ia juga berhasil mendapat beasiswa satu tahun belajar Bahasa Indonesia di Surabaya, mengikuti program Dharmasiswa yang ditawarkan pemerintah Indonesia melalui KBRI. Tak heran dia sama sekali tidak kesulitan bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia dengan saya. Bahkan ia sesekali menggunakan kata-kata bahasa gaul yang otentik, seperti cuek, curhat, nih, dong, deh. “Saya sangat suka Surabaya, Mas Jagoan,” kata Temur bercerita, “saya suka kulturnya, budayanya, alamnya…” Kebetulan nama Temur, dibaca ‘Timur’, pas sekali dengan propinsi Jawa Timur. Di Surabaya Temur tinggal di kost-kostan di tengah gang kampung dan sempat menghadiri acara pernikahan tradisional Jawa Timuran di Kediri. Temur pun terbiasa makan nasi putih, mie instan, dan menjalani kehidupan kampung. Mungkin karena kenang-kenangannya akan Surabaya dan Indonesia, ia menjuluki saya ‘Mas Jagoan’. [...]

August 26, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 51: Ada Indonesia di Uzbekistan

Ozoda dan murid-muridnya (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak banyak negara seperti Uzbekistan. Bukan hanya terkunci daratan, semua negara yang mengelilinginya di keempat penjuru pun sama-sama tak punya lautan. Demikian jauhnya Uzbekistan dari laut, sampai ke utara, selatan, timur, barat, untuk mencapai lautan harus lewat setidaknya dua negara. Tetapi itu bukan berarti orang sini tidak peduli dengan Indonesia, negeri romantis berdebur ombak nun jauh di seberang lautan sana. “Setangkai anggrek bulan…, yang hampir gugur layu….” lagu tempo doeloe mengalun lembut di gedung kepemudaan Samarkand, kota bersejarah Uzbekistan yang terkenal dengan untaian monumen peradaban. Para penonton yang terkesima, ikut berdiri, dan mengayun-ayunkan badannya mengikuti irama lagu kepulauan yang mendayu-dayu. Kalau tidak diberi tahu bahwa yang menyanyi bukan orang Indonesia, melainkan orang Uzbek tulen, saya pun tak percaya. Lafal penyanyinya fasih, iramanya pas, dan emosinya sudah tepat, walaupun kemudian saya menemukan bahwa penyanyinya sendiri tidak tahu apa artinya. Tepuk tangan bergemuruh mengakhiri persembahan lagu Indonesia oleh sepasang penyanyi Uzbek itu. Pertunjukan kemudian dilanjutkan dengan tari-tari tradisional, yang nama-namanya pun tidak semuanya saya kenal, macam Badinding, Sukaria, Piring, Batik, Puspito, dan Yapong. Semuanya dibawakan oleh pelajar-pelajar Uzbek dari Samarkand, dan saya hanya bisa terkesima. Saya dibawa ke sini oleh staff penerangan Kedutaan Besar [...]

August 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 47: Ziarah Suci

Perjalanan suci ke Turkestan (AGUSTINUS WIBOWO) Permata sejarah Kazakhstan, demikian Turkistan dikenal. Bekas ibukota kesultanan Kazakh di abad ke-16 ini kini menarik ribuan Muslim dari Asia Tengah yang menjadikannya sebagai Mekkah kedua. Matahari menampakkan wajahnya ketika saya turun dari kereta di Stasiun Turkistan. Langit biru kelam, berpadu dengan putihnya hamparan salju yang membungkus bumi, membangkitkan semangat saya di ujung perjalanan Kazakhstan ini. Setelah menitipkan backpack di penitipan bagasi stasiun, saya segera menuju ke makam suci Khoja Ahmad Yasawi, monumen sejarah yang paling dibangga-banggakan negeri Kazakh. Khoja Ahmad Yasawi lahir di Turkistan, hampir seribu tahun yang lalu. Dia belajar Islam di Bukhara dan  kembali ke Turkistan, menyebarkan ajaran sufisme di sini. Makamnya menjadi pusat ziarah penting. Begitu pentingnya makam ini sampai orang setempat percaya, tiga kali berziarah ke Turkistan sama dengan sekali naik haji ke Mekkah. Bangunan megah yang sekarang menaungi pemakaman Yasawi dibangun lebih dari 200 tahun sesudah kematiannya. Adalah Timur si Pincang, atau Timurleng, yang sekarang diadopsi sebagai pahlawan besar Uzbekistan, yang membangun gedung megah di Turkistan ini untuk menghormati sang Khoja. Timur memang terkenal dengan monumen-monumen agungnya yang menyilaukan mata. Lihat kota Samarkand yang bertabur masjid-masjid dan madrasah-madrasah raksasa. Bangunan makam Khoja Yasawi ini hanyalah salah satu contoh [...]

August 19, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 43: Lima Belas Tahun Merdeka

Culture Shock? (AGUSTINUS WIBOWO) Kazakhstan memang masih muda. Pertengahan Desember ini, selain semaraknya persiapan Tahun Baru dan Natal, negeri ini juga sibuk merayakan 15 tahun hari jadinya. Memang tak salah kalau perayaan kali ini lebih meriah daripada biasanya. Di antara negara-negara baru Asia Tengah, Kazakhstan telah menunjukkan taringnya sebagai negeri yang paling makmur, memanjakan penduduknya dengan pendapatan per kapita yang menakjubkan, dan kini sedang melenggang ke arah kapitalisme ala negeri-negeri Barat.  Terlepas dari meroketnya harga-harga karena pendapatan penduduk yang terus meningkat, tak semua orang di Almaty menikmati berkah kemakmuran itu. Kapitalisme justru membuat jurang antara kaya dan miskin, yang hampir tidak pernah ada sebelumnya ketika Kazakhstan masih berada di bawah merahnya komunisme Uni Soviet. Ibu kos saya, Nenek Lyubova, sudah rindu sekali akan apel Almaty yang terkenal itu. Sekarang, jangankan untuk membeli apel, untuk menghidangkan makanan seadanya di atas meja makan pun Lyubova sudah tak mampu. Semua menjadi mahal. Karena orang-orang di tengah kota sana menjadi kaya dan semakin kaya. Saya yang sudah mulai terbiasa dengan biaya hidup Almaty, dan belajar banyak dari cara hidup hemat Nenek Lyubova, mulai bisa memenuhi kebutuhan perut sehari-hari dari belanja di Zelyonii Bazaar, pasar sayur. Di sini harganya jauh lebih miring daripada di Silkway [...]

August 13, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 42: Timbuktu

Apartemen, Karaganda (AGUSTINUS WIBOWO) Semua kota boleh punya sejarah. Tetapi, tak semua sejarah kota-kota Kazakhstan indah untuk dikenang. Karaganda adalah salah satunya.Dalam perjalanan kembali ke Almaty, saya menyempatkan singgah ke Karaganda, kota terbesar keempat Kazakhstan yang terletak hanya 200 kilometer di selatan Astana. Karaganda sempat dinominasikan sebagai calon ibu kota baru pengganti Almaty, tetapi akhirnya tempat terhormat itu direbut oleh Astana. Sama seperti Astana, dulunya kota ini sangat terpencil. Kalau kita sering menggunakan Timbuktu untuk melambangkan tempat middle of nowhere di ujung dunia, orang-orang Rusia punya Karaganda. Kota ini adalah Timbuktu-nya Uni Soviet, di tengah padang gurun luas tempat tinggalnya bangsa pengembara yang terbelakang, tempat pembuangan orang-orang yang hidup untuk dilupakan. Karaganda bermula dari batu bara yang ditemukan di dekat kota ini. Sebagai penghasil tambang, Karaganda menarik datangnya para pekerja paksa yang tinggal di kamp-kamp di sekitar kota.  Para budak inilah yang kemudian membangun kota di ujung dunia ini, dan di sini pulalah ratusan budak yang memberontak dibantai habis. Karaganda berdiri di atas genangan darah para budak. Sekarang pertambangan di Karaganda sudah tidak seaktif dulu lagi, tetapi nama Karaganda masih belum bersih. Timbuktu-nya Kazakhstan ini ternyata punya angka pengidap HIV tertinggi di seluruh negeri. Langit Karaganda kelabu. Asap mengepul dari [...]

August 12, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 41: Astaga, Astana

Astana (AGUSTINUS WIBOWO) Sepuluh tahun lalu orang ramai mengolok-olok Presiden Nazarbayev yang dengan tiba-tiba memindahkan ibu kota negara dari kosmopolitan Almaty ke kota kecil Akmola. Sekarang Akmola telah menjelma menjadi Astana dan mengukuhkan dirinya sebagai kota modern di tengah padang gembala Asia Tengah. Akmola, dalam bahasa Kazakh berarti ‘batu nisan putih’. Ketika Nazarbayev meluncurkan rencana kontroversialnya yang menghabiskan dana miliaran dolar untuk pindah ibu kota ke Akmola yang bercuaca ekstrim, banyak politikus yang mengolok-olok Akmola akan menjadi batu nisan bagi karir politik Nazarbayev. Nama yang tak terlalu sedap itu akhirnya diganti menjadi Astana, yang artinya gamblang – ibu kota. Pemindahan ibu kota ini, walaupun disambut antusias oleh penduduk Akmola, tidak terlalu disenangi oleh orang-orang yang sudah terbiasa dengan kenyamanan dan kehangatan Almaty. Kedutaan-kedutaan asing malas-malasan kalau disuruh pindah ke Astana. Adalah Rusia yang mengawali keberanian untuk mengakui Astana, membangun kedutaannya di tengah kota. Amerika Serikat baru menyusul di tahun 2006, hampir 10 tahun setelah Astana berdiri. Pembangunan kota ini masih belum berhenti. Bangunan-bangunan baru masih terus bermunculan di sana-sini. Di bagian selatan Sungai Ishim, saya melihat proyek-proyek konstruksi yang masih rajin bekerja di tengah kejamnya bulan Desember. Daerah ini katanya nanti akan menjadi pusat pemerintahan. Astana memang bukan dibangun dalam [...]

August 9, 2013 // 2 Comments

1 2 3