Pulau Strachan 25 Agustus 2014: Sejarah Berdarah
Satu malam di Pulau Strachan (AGUSTINUS WIBOWO) Langit belum gelap. Tais tujuan kami masih kurang sedikit lagi. Tetapi Sisi dan para lelaki di perahu kami memutuskan untuk menghentikan perjalanan ini. “Tapi, kenapa?” Saya bertanya, sembari membayangkan bagaimana beratnya malam ini yang akan kami lewatkan di tengah hutan kosong, di alam terbuka. Ini gara-gara kami berangkat sangat terlambat meninggalkan Ber, karena harus menunggu Sisi dan Marcella balik dari Boigu, sehingga perjalanan kami molor hingga sore hari. Laut sebenarnya tidak seganas kemarin, saya mulai menikmati perjalanan ini walaupun punggung saya masih ngilu setiap kali perahu kami menghentak-hentak di atas ombak. Saya percaya, sebenarnya kami bisa mencapai Tais, yang jaraknya cuma 30 kilometer, malam ini juga. “Itu karena kamu orang putih,” kata Sisi, “Kami semua harus menghormati kamu, jadi kami tidak akan bepergian dalam gelap.” “Tapi aku lebih nyaman jika kita malam ini tidur di desa.” “Kami orang hitam tidak masalah kalau bepergian dalam gelap, tapi kamu orang putih takkan bisa.” Saya tidak tahu apakah ada bedanya. Dalam perjalanan ini, saya cuma penumpang, yang hanya duduk manis di dalam perahu tanpa membantu mereka apa-apa; pergi pagi atau malam mestinya kehadiran saya tak berpengaruh bagi mereka. Kemisteriusan Sisi bersama kawan-kawannya itulah yang justru menambah [...]