Tais 26 Agustus 2014: Sebuah Surga Bernama Rumah
Perjuangan menuju Tais (AGUSTINUS WIBOWO) Meninggalkan Pulau Strachan yang ditandai dengan aliran sungai besar Wasi Kussa, perjalanan ke Tais, kampung halaman Sisi, yang cuma sepuluhan kilometer jauhnya, ternyata tidaklah semudah yang saya bayangkan. Tais semula adalah desa pesisir, tetapi kini telah berpindah ke pedalaman karena sering dilanda banjir dari pasang laut dan kasus pembunuhan oleh kaum pemburu kepala di Pulau Strachan. Untuk mencapai Tais, perahu kami melintasi selat sempit antara pesisir Pulau Papua di utara dengan tiga pulau kecil Kawa yang berderet di selatan. Melintasi selat ini adalah perjalanan yang sangat menyenangkan. Laut terasa bagaikan sungai; tak lagi angkuh, tak lagi berombak, perahu tak lagi menghentak-hentak. Angin semilir membelai kepala, membuat saya bersyukur betapa beruntungnya saya bisa berada di tempat seterpencil ini, yang seminggu lalu bahkan tak pernah saya bayangkan ini. Setelah itu, kami memasuki daerah yang merupakan mulut sungai kecil Kotanya. Di sinilah masalah. Daerah pesisir selatan Pulau Papua adalah kawasan laut yang sangat dangkal. Biasanya di pantai sekitar sini air surut antara pukul 10 pagi hingga empat sore, dan kami datang terlambat. Sekarang laut hanya sedalam mata kaki, sama sekali tidak mungkin dilewati perahu motor kami. Sedangkan mulut sungai Kotanya masih dua kilometer lagi. Kami semua penumpang turun. [...]