Titik Nol 155: Para Pengikut Ali
Mengikatkan bendera (AGUSTINUS WIBOWO) Suasana kesedihan menggelayut di Muzaffarabad. Para pria serempak memukuli dadanya. Anak-anak menyambitkan pisau tajam. Darah di mana-mana. Empat puluh hari yang lalu, 10 Muharram, adalah hari yang paling sedih sepanjang tahun. Ratusan orang berkumpul di lapangan, menangis bersama-sama, memukuli diri, dan menyambitkan rantai pisau sambil meratap. Darah segar mengalir, tetapi sama sekali tidak menghalangi jalannya upacara. Bulan Muharram adalah bulan penuh kesedihan. Warna hitam bertabur di seluruh pelosok kota. Lengang, karena tidak ada yang menyalakan musik lagu-lagu Hollywood. Yang terdengar sekarang adalah lantunan irama maatam, tangan yang menepuk dada berirama sebagai lambang berkambung, dan lagu-lagu yang mengalir melankolis, meratapi kematian Hussain dan kejamnya perang Qarbala. Hari ini, 20 Safar, adalah berakhirnya masa perkabungan yang empat puluh hari itu. Orang Pakistan menyebutnya sebagai Hari Chehlum, dari bahasa Farsi yang artinya ‘hari ke-40’. Bagi umat Syiah, memperingati Chehlum hampir sama pentingnya dengan memperingati Ashura. Walaupun mayoritas penduduk Pakistan menganut sekte Sunni, Chehlum juga diperingati sebagai hari libur nasional. Saya mengunjungi sebuah masjid umat Syiah di pusat kota Muzaffarabad, tidak jauh dari bazaar utama. “Kamu Muslim?” tanya Hamdani, seorang pria tiga puluhan mengenakan shalwar kamiz hitam-hitam, warna perkabungan. Hamdani mengaku sebagai penjaga keamanan upacara peringatan [...]