Recommended

refleksi

Titik Nol 154: Rumah Baru, Harapan Baru

Rumah baru, harapan baru (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan kembali ke Noraseri rasanya seperti pulang ke kampung halaman. Saya mulai merasa bahwa dusun di pegunungan ini adalah suratan takdir saya, tempat saya menemukan orang-orang dan ratusan kisah yang mengubah hati saya. Salah satunya adalah keluarga Basyir Sahab. Dulu saya hanya mengenal Pak Basyir sebagai petugas keamanan kamp kami. Orangnya kurus, berkumis lebat, tetapi senantiasa ramah dengan senyumnya. Selalu berjubah shalwar kamiz ke mana-mana. Kalau perkemahan kami sedang kosong ketika para pekerja sosial turun ke lapangan, Pak Basyir lah yang menjaga keamanan barang-barang kami. Pak Basyir juga membantu memasak, menyediakan perlengkapan, dan membantu kami boyongan. Lebih dari itu, saya tak tahu banyak karena Pak Basyir sendiri tak banyak bicara. Hingga akhirnya saya berkenalan dengan Mubasshar, putra tertua Basyir Sahab yang berumur 22 tahun. Mubasshar berjenggot lebat sehingga kawan-kawannya di Noraseri menjulukinya sebagai Sufi, ahli mistis. Sejak bencana gempa itu, Mubasshar tak pernah mencukur jenggotnya lagi, mungkin sebagai nasar. “Waktu gempa itu aku sedang bekerja di Muzaffarabad,” kata Mubasshar, “dan jalan menuju Noraseri sama sekali terputus.” Muzaffarabad hancur lebur, ribuan orang tewas. Mubasshar lebih kuatir keluarganya yang masih tinggal di lereng pegunungan Noraseri. Tanpa pikir panjang, di tengah alam yang masih sesekali mengamuk dan [...]

March 26, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 148: Lautan Tenda

Lautan tenda pengungsi di Narol (AGUSTINUS WIBOWO) Jantung kota Muzaffarabad, ibu kota Azad Jammu dan Kashmir, terletak di persimpangan dua sungai paling penting di Pakistan, Neelum dan Jhelum. Perbukitan kota ini menjamin kesejukan udara setiap saat. Pemandangannya pun tentram. Kalau bukan karena menjadi sengketa antara India dan Pakistan, dan kalau tidak diluluhlantakkan oleh gempa dahsyat 8 Oktober 2005, kota ini pasti menjadi tujuan wisata favorit. Muzaffarabad bukan kota besar. Jalan raya menghubungkan distrik Chella Bandi di utara sampai ke Gedung Sekretariat di ujung selatan, panjangnya cuma empat kilometer. Karena berbukit-bukit, jalanan di sini juga naik turun, menyusuri lereng gunung. Beberapa lintasan sangat terjal, sehingga tak jarang mobil harus berputar-putar untuk naik. Pejalan kaki tak perlu repot karena pemerintah membangun undak-undak sepanjang jalan pintas. Jalan setapak merambah kota ini bak benang kusut, membuat Muzaffarabad semakin menantang untuk dijelajah sebagai labirin raksasa. Muzaffarabad punya kebanggaan sejarah. Benteng Merah, atau Lal Qila, dibangun pada pertengahan abad XVII oleh Sultan Muzaffar Khan, pendiri kota Muzaffarabad. Benteng ini rusak parah karena gempa. Beberapa bagian sudah tereduksi menjadi tumpukan batu. Landmark lainnya kota ini adalah sebuah hotel mewah bernama Neelum Valley Hotel, terletak di tebing menjorok ke Sungai Neelum. Pemiliknya adalah seorang menteri di Azad Kashmir, [...]

March 18, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 103: Mimpi di Air Keruh (2)

Tukang setrika berpose dengan bajunya yang terbaik (AGUSTINUS WIBOWO) “Tunggu dulu,” kata Muhammad, lelaki dari Bihar. Kulitnya hitam, matanya kuning tak bercahaya. Senyum bahagia tersungging di wajahnya. Ia memilih pakaiannya yang paling bagus, jubah panjang berwarna coklat bermotif bunga-bunga emas. “Sekarang kamu boleh potret saya,” katanya. Dengan bangga ia berpose di ruang kerjanya yang sempit, pengap, dan kumuh. Muhammad adalah tukang setrika. Tumpukan ratusan baju dari dhobi ghat Mahalaksmi mengalir ke ruang sempit ini. Setrika andalannya entah berasal dari zaman mana sebelum saya lahir. Bentuknya sederhana. Tebal lempeng besinya hanya sekitar tiga sentimeter. Pegangannya sudah dibalut banyak tembelan. Kabel listrik yang sudah melintir tertancap pada salah satu sudut setrika itu. Seperti Vinoj si tukang cuci, dulu Muhammad juga datang ke Mumbai dengan sebongkah mimpi. Mimpi yang sama pula. Nasibnya pun tak jauh berbeda, berakhir di ruangan kecil bertembok merah muda, dengan dinding yang sudah terkelupas di mana-mana. Tempat tinggal Muhammad tak jauh dari dhobi ghat. Ini adalah kampung para penjemur dan tukang setrika. Saya melihat lautan kain putih tergantung di tambang yang berseliweran di lapangan ini. Tanahnya tertutup beberapa lapis sampah, mulai dari kulit pisang, plastik, kertas.. Bau busuk menyebar ke mana-mana. Di sinilah mereka tinggal. Rumah-rumah kecil dan sederhana [...]

January 14, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 95: Skeptis

Biro pemesanan tiket, bisa mempermudah perjalanan, tetapi tak jarang pula malah menambah masalah. (AGUSTINUS WIBOWO) Indiakah yang mengubah saya? Satu setengah bulan di negara ini membuat saya semakin susah mempercayai orang. Hati saya selalu dipenuhi curiga yang berawal dari kehati-hatian yang berlebihan. Ini adalah sebuah kisah yang sangat biasa bagi backpacker yang berpetualang di India. Kisah sama yang diulang-ulang oleh ribuan orang – gangguan para calo, teknik tipu-tipu bus dan rickshaw, pedagang kaki lima yang agresif, orang-orang yang mata duitan. Ini adalah pengalaman sehari-hari yang menjadi kenangan betapa kerasnya mental yang diperlukan untuk bertahan hidup di India. Saya mem-booking karcis bus menuju Bikaner, berangkat malam dari Jaisalmer dan sampai di kota di utara Rajashthan menjelang subuh. Sebuah teknik kuno untuk menekan pengeluaran akomodasi, dengan risiko mengorbankan stamina yang diperas habis-habisan di kendaraan. Tetapi, stamina saya sudah habis bahkan sebelum naik bus. Bagaimana tidak, kalau untuk naik bus saja saya masih harus berjuang menghadapi orang-orang rakus yang mengincar setiap keping uang di dompet. Berbekal tiket dari Hanuman Travels di Lapangan Hanumar di kota benteng Jaisalmer, saya langsung meluncur ke biro travel itu tepat pukul 8 malam. “Wah… tidak bisa ini,” kata pria yang duduk di kursi di pinggir jalan, “bus yang [...]

October 3, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 87: Hidup Menurut Buku Panduan

Sarapan pagi pun saya membaca Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengapa hidup kita harus selalu dituntun oleh buku panduan? Tidakkah kita memiliki hasrat lebih besar untuk melakukan pengembaraan, menemukan rahasia alam yang tak terduga? Terilhami dari perang omelet di Jodhpur, saya jadi berpikir sejauh mana buku panduan macam Lonely Planet sudah memengaruhi cara orang menjelajah dunia. Coba perhatikan, berapa banyak turis yang berkeliaran di India yang yang tidak membawa-bawa buku suci tebal berjudul Lonely Planet, atau buku panduan wisata lainnya? Semua orang membawa buku yang sama, pergi ke tempat yang sama seperti yang ditulis dalam buku, menginap di hotel-hotel yang sama, sampai makan omelet pun di tempat yang sama. Turis-turis ini hanya melakukan perjalanan napak tilas seperti yang dituntunkan oleh buku. Bahkan beberapa edisi terbaru Lonely Planet sudah mencantumkan rute pilihan penulis. Apa jadinya? ‘Petualang’ atau bahasa kerennya traveler zaman sekarang, sudah jauh berbeda dengan para pengelana dunia pada zaman dahulu, bahkan tak bisa dibandingkan dengan para hippie yang menapaki hippie trail dari Istanbul sampai Kathmandu pada era 70-an. Perjalanan backpacker zaman sekarang terlalu terikat dengan petuah dan petunjuk Lonely Planet. Semua pergi ke tempat yang sama, semua mencicip makanan di restoran yang sama, dan menyelami pengalaman perjalanan yang sama. Apa [...]

September 23, 2014 // 0 Comments