Recommended

religius

Titik Nol 202: Negeri Berselimut Debu

Dua pemuda ‘modern’ Afghan dari negeri berselimut debu (AGUSTINUS WIBOWO) “Apa yang kau cari di Afghanistan?” tanya pria muda ini, di sebuah sudut gelap ruang tunggu visa di kantor konsulat Afghanistan di Peshawar. Ruangan itu kotor. Selapis debu tebal menyelimuti lantai. Pemuda itu kemudian mencolekkan tangan kanannya di atas lantai. “Kamu mau melihat Afghanistan? Lihat saja tanganku. Kamu lihat debu ini? Kamu sudah melihat Afghanistan. Cukup. Di sana cuma ada debu!” Debu-debu beterbangan bersama hembusan napasnya. Saya terbatuk-batuk. Kantor konsulat Afghanistan dipenuhi orang Afghan. Mereka berpakaian mirip orang Pakistan, tetapi punya kebiasaan aneh suka menggigit syal yang melingkari leher. Tidak ada orang asing lainnya. Visa Afghan tidak sulit. Datang pagi hari, sore bisa diambil. Harganya cuma 1 dolar per hari. Mau enam bulan, satu tahun, berapa pun boleh, asal punya duitnya. Tetapi kemudahan visa ini tidak serta merta mendatangkan ribuan rombongan turis ke Afghanistan. Situasi keamanan sejak serangan Amerika di negara itu semakin lama semakin memburuk. Baru-baru ini ada kerusuhan besar di Kabul. Bom bunuh diri juga mulai marak. Semakin jarang petualang yang berani menjelajah negeri itu dalam kondisi seperti ini. Wahid, pemuda itu, berumur 25 tahun. Kulitnya putih bersih dan wajahnya tampan. Bahasa Inggrisnya sangat fasih, seperti belajar di [...]

June 2, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 201: Di Atas Charpoi

Pria penduduk dusun Safed Sang (AGUSTINUS WIBOWO) Malam bertabur bintang. Kami duduk di atas charpoi di pekarangan rumah kerabat Ziarat Gul dari Safed Sang. Dalam remang-remang lampu petromaks, saya memandangi wajah kawan-kawan baru saya. Rumah ini bukan rumah Ziarat, melainkan rumah seorang kawannya. Rumah ini tertutup rapat dari luar, seperti halnya kultur Muslim Pakistan yang ketat yang tak mengizinkan perempuan anggota keluarga sampai terlihat orang lain. Tetapi di balik tembok padat yang melingkar, ada halaman luas terhampar. Musim panas Peshawar memang tanpa ampun, tetapi malam yang sejuk sungguh nikmat menikmati angin sepoi-sepoi di halaman rumah. Kami duduk di atas charpoi – kasur tradisional Asia Selatan berukuran memanjang, dengan empat kaki dari kayu, dan jalinan tali tambang sebagai tempat tidur. Satu charpoi cukup untuk satu orang tidur, tetapi bisa juga diduduki tiga orang. Duduk di atas charpoi di bawah tudung langit malam yang cerah adalah kenikmatan tak terhingga setelah hari panas yang melelahkan berakhir. Di hadapan saya banyak sekali kawan baru. Satu per satu diperkenalkan, tetapi saya tak ingat semua nama mereka. Seorang pria berusia 38 tahun adalah kakak yang paling tua. Adiknya yang gemuk berumur 25 tahun adalah teman Ziarat. Ada dua adik lagi, umurnya 12 dan 10 tahun, yang [...]

June 1, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 199: Perempuan Pakistan di Mata Seorang Perempuan Malaysia

Lollywood – Hollywood dan Bollywood versi Lahore (AGUSTINUS WIBOWO) Masih ingat Lam Li, gadis Malaysia yang berkeliling dunia seorang diri? Setelah berkeliling negeri sendiri-sendiri, sekarang kami berjumpa lagi di Peshawar, dan saling berbagi pengalaman dari Pakistan. Sebelum masuk Pakistan Lam Li sudah dipenuhi oleh ketakutan tentang betapa seramnya kelakuan laki-laki Paksitan terhadap perempuan. Banyak cerita backpacker perempuan yang mengalami pelecehan seksual selama di Pakistan, mulai dari gerombolan laki-laki yang tak pernah puas memandangi tubuh wanita dari ujung kepala sampai ujung kaki, hingga kategori lelaki jalanan yang menjamah dan meremas. Jangankan perempuan, sebagai laki-laki asing pun saya sering mengalami pelecehan. Tetapi ternyata sudah hampir dua bulan Lam Li di sini, sama sekali ia tak mengalami pengalaman tak mengenakkan macam itu. Malah ia sempat terharu oleh keramahtamahan orang Pakistan.  Ketika ia baru menyeberang dari India, di Lahore ia langsung diundang menginap di rumah keluarga tukang rikshaw. Abang si tukang rickshaw adalah resepsionis hotel. Bersama orang tua, istri-istri, dan anak-anak, tiga generasi keluarga besar ini tinggal bersama. Dari rumah mungil inilah, ia mulai mereka-reka serpihan Pakistan. “Menjadi perempuan asing itu berarti punya identitas ganda,” kata Lam Li. Ia bebas makan dan ngobrol bersama kaum pria di keluarga itu. Di lain waktu, Lam Li [...]

May 28, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 196: Perjuangan Hidup

Di balik tirai benang-benang sulaman, penuh dengan harapan (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka memang hidup dari bulir-bulir pasir dan setetes air yang masam lagi pahit. Tetapi mereka pun punya mimpi dan cita-cita. Jamal adalah seorang guru di desa Muslim Ramsar. Muridnya ada 15 orang. Semua kerabatnya sendiri. Gajinya dari pemerintah Pakistan. Kecil sekali. Itu pun sering terlambat. Untuk menambah penghasilan, Jamal membuka toko, satu-satunya toko di desanya. Barangnya semua dari Umerkot. “Sekarang zaman sudah modern,” katanya, “saya tinggal telepon saja ke Umerkot dan barang diantar ke sini keesokan harinya dengan bus padang pasir.” Anda mungkin heran, bagaimana di gurun kering kerontang yang listrik dan air pun tak ada, malah ada telepon. Teknologi telepon nirkabel memang sebuah mukjizat yang tahu-tahu diturunkan kepada masyarakat di gurun pedalaman. Telepon made in China yang dipegang Jamal menyambungkan seluruh penduduk desa ke dunia luar. Gagang telepon ada di rumah Jamal, sedangkan mesin telepon ditinggal di Umerkot. Gagah sekali Jamal dengan gagang telepon itu, seperti punya telepon genggam saja. Gagang telepon yang satu ini, ramai-ramai dipakai penduduk desa sebagai telepon umum, dan Jamal pun dapat sumber pemasukan baru. Toko modern (AGUSTINUS WIBOWO) Di desa Ramsar Hindu juga ada toko kelontong yang persis sama, dengan persediaan barang remeh-temeh yang [...]

May 25, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 195: Air

Berjalan mencari air (AGUSTINUS WIBOWO) Gemerincing puluhan gelang wanita-wanita Hindu memecah kesunyian padang gurun. Masing-masing kepala mereka menyangga sebuah kendi tanah liat yang menganga lebar. Kaki telanjang menyeret-nyeret di atas pasir lembut gurun Thar yang membakar. Ini adalah perjalanan maha penting –  perjalanan mencari air. Dusun Ramser milik umat Hindu tersembunyi di balik gunung pasir, terpisah dari dusun Muslim. Kumpulan chowra bundar yang sama, bertudung rumput, membercaki kegersangan gurun, tersebar dalam kelompok-kelompok rumah sederhana yang dipagari dalam pekarangan-pekarangan. Beberapa tembok rumah bergambar dekorasi primitif berwujud flora atau fauna, sapi dan kambing – dekorasi makhluk hidup yang tidak dijumpai di rumah-rumah Muslim. Sedangkan sapi-sapi sungguhan, bertubuh kurus kering hingga nampak gamblang tulang belulangnya, berjemur santai di atas lautan pasir, menghabiskan hari-hari yang membosankan. Jaglo, seorang dokter, mengundang saya ke dalam rumahnya. Isinya mirip sekali dengan otagh tempat saya menginap kemarin malam di desa Muslim. Kosong melompong. Ada beberapa kasur kecil, piring makan, cermin, foto-foto kakek moyang, dan gambar-gambar dewa Hindu. Itu saja. Gambar-gambar dewa, mulai dari Syiwa yang berwarna biru sampai kera Hanuman berbibir merah tebal, tertempel rapi di sudut kamar. Ini adalah altar untuk puja. Walaupun miskin dan masuk kasta terendah, orang sini tak pernah lalai memanjatkan puja. Dewa-dewi dan [...]

May 22, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 194: Menanti Hujan

Otagh (AGUSTINUS WIBOWO) “Hidup di sini sangat berat,” keluh Jamal, “sudah empat tahun tak turun hujan. Tidak ada air untuk kami minum. Tidak ada rumput untuk hewan-hewan kami. Tidak ada susu untuk anak-anak kami. Sapi-sapi sudah kurus tanpa tenaga.” Jamal adalah seorang penduduk desa Ramsar, sebuah desa yang boleh dibilang cukup besar di tengah padang gurun Thar. Desa ini dihuni hampir 2000 orang, sekitar 150 keluarga. Ada penduduk Hindu, ada pula yang Muslim. Tetapi mereka tidak hidup bersama-sama. Desa Ramsar Muslim, ditinggali 50 keluarga, sangat dekat dengan jalan raya. Desa Ramsar Hindu masih satu setengah kilometer lagi jauhnya, di balik barisan bukit-bukit pasir di belakang sana. Jamal tinggal di desa Muslim. Dengan ramah Jamal bersedia menjadi tuan rumah saya, yang begitu ingin mengalami kehidupan di tengah padang gurun. Tahu saya sedang menderita hepatitis, Jamal bahkan sampai membeli es batu dari pasar Umerkot, diwadahi termos supaya tetap dingin di bawah teriknya mentari gurun. Di tempat sekering ini, air begitu berharga, apalagi es batu. Saya tinggal di sebuah chowra, rumah tradisional padang Thar. Bentuknya bundar, terbuat dari batu bata dan lumpur. Atapnya dari rumput-rumputan, diikat rapi, menjulang tinggi berujung lancip. Rumah ini sangat berangin, karena jendelanya besar-besar dan tak bisa ditutup. Ada [...]

May 21, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 192: Padang Pasir

Sebuah gubuk di tengah gurun (AGUSTINUS WIBOWO) Benteng kuno Umerkot membayangi seluruh penjuru kota kecil ini. Anggun dan gagah, walaupun sudah tak banyak sisanya. Kota kelahiran Akbar-e-Azam, raja terbesar dinasti Mughal, kini menjadi kota Hindu terpencil jauh di pedalaman Sindh di selatan Pakistan. Lebih tragis lagi, tempat kelahiran Akbar, kini ditandai dengan sebuah gedung prasasti kecil tak menarik, terlupakan di pinggiran Umerkot. “Dia memang raja besar, tetapi dia melupakan akarnya, tanah kelahirannya,” keluh seorang penduduk Umerkot. Sejarah masa lalu Umerkot memang pernah sangat gemilang. Raja besar dunia pernah lahir di sini, dan para penakluk perkasa pernah melintasi kota ini untuk menaklukan negeri di seberang beringasnya padang pasir Thar. Tetapi gurun ini tidak selalu ganas dan muram. Di siang hari, wajah kota ini menjadi semarak luar biasa dengan datangnya orang-orang dari pedalaman padang gurun Thar. Wanita-wanita dari gurun terkenal dengan pakaian yang berwarna-warni liar, seperti pemberontakan terhadap kering dan monotonnya padang pasir. Ada warna merah membara bergambar bunga-bunga, ada hijau yang memberi kesegaran, ungu yang sejuk, dan biru gelap seperti warna langit. Yang Hindu kebanyakan memakai choli dan polka, kaus ketat dan rok panjang sampai ke mata kaki. Wanita Muslim biasanya masih setia dengan shalwar kamiz, celana kombor dan jubah panjang. [...]

May 19, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 191: Little India

Para pemuja dewa di Shiva Mandir (AGUSTINUS WIBOWO) Harum dupa semerbak mengisi ruangan. Mantra bermelodi terus mengalir dari mulut pandit, yang membawa nampan dan lilin. Tiga orang umat di belakangnya, ikut mengiringi mantra. Dentingan lonceng mungil bergemerincing, menambah daya magis lantunan mantra-mantra. Di hadapan mereka, sebuah patung biru berdiri gagah. Tangannya banyak, masing-masing memegang senjata dan menjambak kepala-kepala manusia. Di lehernya tergantung kalung dari untaian tengkorak. Lidahnya terjulur, merah membara. Tetapi di balik semua deskripsi seram itu, sepasang mata indah memancarkan kewelasasihan. Ini adalah patung Dewi Kali, pasangan Sang Dewa Syiwa. Mantra terus mengalir memanjatkan puja dan puji, ritual rutin setiap pagi di Shiv Mandir, Kuil Syiwa. Ini bukan India. Ini adalah Umerkot, kota terakhir Pakistan di tepian padang pasir Thar yang luas menghampar. Hiruk pikuknya Umerkot, dengan gang-gang sempit yang berkelok-kelok ruwet seperti benang kusut, diiringi dentuman lagu-lagu Bollywood yang menyalak tiada henti dari tape kuno, dihiasi warna-warni indah dari kuil-kuil Hindu yang bertebaran, dipenuhi percakapan yang tak lupa menyebut kebesaran Syiwa, Brahma, dan Wishnu, memang membuat saya sejenak merasa diterbangkan ke India. Umerkot adalah tempat yang unik di Pakistan. Mayoritas penduduknya Hindu, tersembunyi di pedalaman Republik Islam.. Kota ini didirikan oleh seorang Hindu, Amer Singh, yang menjadi ihwal [...]

May 18, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 189: Terkapar

Kaum perempuan keluarga Piragani (AGUSTINUS WIBOWO) Dari Punjab yang panas membakar lalu perjalanan panjang dan menyiksa dalam gerbong kereta api kelas ekonomi, akhirnya sampai juga saya ke jantung propinsi Sindh. Saya terseok-seok lemas melangkah, memulai perjalanan di tempat yang sama sekali asing ini. Tak sampai sepuluh menit saya singgah di Hyderabad. Kota ini dulunya terkenal sebagai Paris of India, karena konon jalanannya berbasuh harum wewangian. Sekarang di benak saya, yang tertinggal cuma jalan bolong-bolong, becek, kumuh, dan campur aduk. Bus mini berguncang-guncang. Saya pun ikut bergetar beraturan, berdesak-desakan dengan penumpang di bangku belakang. Tujuan saya adalah Umerkot, tersembunyi di ujung pelosok Sindh, di tepian padang pasir Thar Parkar, berhadapan dengan India di seberang. Karena cukup terpencil, kendaraan langsung sudah tak ada, saya harus ganti kendaraan dulu di kota Mirpur Khas. Pemandangan di luar sana sungguh kontras dengan hijaunya Punjab. Pasir kuning menghampar di mana-mana. Pohon padang pasir yang mirip nyiur berbaris renggang-renggang. Langit biru menudungi. Anehnya, walaupun gersang, saya tak merasa panas. Tak ada lagi sengatan mentari yang mematikan seperti di Punjab sana. Angin sejuk semilir membasuh muka saya dari kaca jendela bus. Dua jam perjalanan, saya tertidur pulas. Jalan raya berhenti di Umerkot, di ujung bumi Pakistan. Selepas ini [...]

May 14, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 188: Bahauddin Zakariya Express

Bahauddin Zakariya Express (AGUSTINUS WIBOWO) Senja mulai merambah tanah Punjab. Stasiun kereta api Bahawalpur penuh dengan calon penumpang yang mulai resah karena kereta api Bahauddin Zakariya Express yang berangkat dari Multan menuju Karachi tak kunjung tiba. Multan hanya beberapa puluh kilometer jauhnya sebelum Bahawalpur, sekitar satu setengah jam perjalanan dengan kereta ‘ekspres’ ini. Tetapi baru menjelang tengah malam, kereta panjang berwarna kuning dan hijau ini merapat di stasiun. Yang tercipta pada detik berikutnya adalah kericuhan. Ratusan penumpang yang sudah tidak sabar lagi setelah penantian berjam-jam, segera menyerbu masuk ke dalam gerbong. Petugas pun tak kuasa menahan luapan manusia. Masing-masing penumpang membawa barang bawaan berkarung-karung. Saling dorong, maki, cakar. Suasana pertempuran dipindahkan ke dalam koridor gerbong sempit dan gelap ini. Saya meraba-raba di tengah dorongan dan teriakan beringas orang-orang yang tidak sabar. Nyaris saya menginjak seorang bayi yang teronggok di bawah kaki. Sementara dorongan orang-orang semakin kuat. Saya terjebak dalam histeria. Semua orang seperti sudah tak punya waktu tersisa untuk segera menaruh barang dan duduk di tempat yang paling nyaman. Setelah bercucur peluh saya akhirnya berhasil duduk. Sudah tidak ada tempat lagi untuk menaruh tas ransel, karena semua tempat sudah ditempati oleh karung dan tas penumpang lainnya. Bahkan tempat untuk menaruh [...]

May 13, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 187: Minoritas

Umat Nasrani melaksanakan misa di girjah – tempat berjatuh (AGUSTINUS WIBOWO) Minggu, 28 Oktober 2001, pukul 9 pagi kurang sedikit, jemaat Kristen Protestan baru saja mengakhiri kebaktian. Bapak pendeta melangkah keluar, diikuti oleh umatnya yang berbaris untuk bersalaman dan menerima pemberkatan. Tiba-tiba, dua orang tak dikenal menyergap melalui pintu gerbang. Mereka memuntahkan peluru dari bedil otomatis. Mayat bergelimpangan. Darah mengalir di mana-mana. Enam belas orang meregang nyawa. Ini terjadi di Bahawalpur di jantung propinsi Punjab. Teror berdarah pertama yang ditujukan bagi minoritas Kristen sejak puluhan tahun silam. Namun ini bukan yang terakhir. Hingga saat ini, umat Nasrani di kota ini masih dicekam ketakutan dan trauma. Gereja Katolik Santo Dominic, terletak di pusat kota Bahawalpur, langsung menjadi sorotan dunia. Dulu umat Protestan juga beribadah di sini, tetapi setelah tragedi itu mereka menggunakan gereja sendiri. Setiap misa di Gereja Santo Dominic juga dikawal polisi bersenjata, untuk menghindari serangan lainnya. Saya sangat tercengang melihat interior gereja ini. Sangat sederhana. Hanya ada tiga bangku panjang di kanan untuk laki-laki dan tiga lainnya di kiri untuk jemaat perempuan. Tempat yang disediakan bagi sebagian besar jemaat adalah permadani yang terhampar. Jemaat beribadah dengan bertekuk di atas lutut, menjatuhkan diri di hadapan Tuhan. Ini sesuai dengan arti [...]

May 12, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 186: Anak Muda

Punjab, ‘lima sungai’, adalah propinsi tersubur di Pakistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Dari sekadar berkenalan di terminal bus, sekarang pemuda ini sudah mengajak saya menginap di rumahnya di Bahawalpur. Namanya Amir. Tinggi, gagah, berpostur seperti tentara, dan berkulit gelap. Tak bisa bahasa Inggris. Kalau berbicara bahasa Urdu, setiap kalimat hampir selalu diakhiri kata matlab, yang artinya adalah ‘yang artinya’, seolah-olah setiap kalimatnya terlalu susah dimengerti dan pendengar harus selalu butuh penjelasan lebih lanjut. Sehari-hari ia bicara bahasa Siraiki, yang menjadi bahasa daerah di Punjab selatan. “Kamu harus belajar bahasa Siraiki, matlab bahasa ini sangat indah dan lucu,” demikian sarannya. Rumah Amir terletak di daerah Model Town, sebuah perumahan baru di pinggiran kota kuno Bahawalpur. Dulu Bahawalpur adalah kerajaan semi merdeka, dipimpin oleh seorang Nawab. Nawab Bahadur memutuskan untuk bergabung bersama Pakistan pada tahun 1947, dan tahun 1955 kerajaannya lenyap, melebur dalam Propinsi Pakistan Barat. Sekarang, Bahawalpur adalah bagian propinsi Punjab yang menampilkan khasanah kekayaan dan kejayaannya. Bahawalpur tentu pernah menjadi tempat yang sangat makmur. Bukan hanya istana milik Nawab yang masih megah berdiri, tetapi juga benteng besar di tengah padang gurun Cholistan yang menunjukkan betapa gagahnya negeri ini dulu. Setelah sekian lama berada di bawah panji-panji Pakistan, Bahawalpur mulai menunjukkan benih-benih kesemrawutan [...]

May 11, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 185: Tinggal Separuh

Makam Bibi Jawindi yang tinggal separuh (AGUSTINUS WIBOWO) Kota tua Uch sudah ada sejak zaman Iskandar Yang Agung. Uch termasuk kota Muslim pertama di Asia Selatan ketika Islam datang pertama kali bersama pasukan Muhammad bin Qasim dari Arab pada tahun 710 Masehi. Perlahan-lahan Uch menjadi pusat peradaban Islam. Guru Sufi dari berbagai penjuru berdatangan. Sekolah-sekolah tinggi didirikan. Kala itu universitas Uch pastilah salah satu yang terbaik di dunia kuno. Tetapi sekarang yang tertinggal hanyalah puing-puing kejayaan masa lalu. Kaum perempuan berkerudung hanya meratap di depan pintu makam Syed Jalaluddin Munir Sakh Surkh Bukhari (bukan Hazrat Jalaluddin Bukhari – Sang Pengelana Dunia). Mereka terhalang purdah, tirai tak tampak yang memisahkan laki-laki dari kaum perempuan. Bahkan untuk makam Sang Guru pun perempuan tak boleh melihat. Hanya perempuan yang masih keturunan Sang Guru yang boleh masuk dan bersembahyang di sisi makam. Bagi peziarah pria, tak ada masalah sama sekali. Seorang kakek tua berjenggot dan bersurban, berjubah putih panjang dan bersarung, tenggelam dalam bacaan Al Quran. Sang kakek kemudian menaiki undak-undakan di sebelah makam. Mulutnya terus komat-kamit ketika tangannya menggapai peti mati besar berselimut kain merah, di dalam kotak kayu berdinding kaca. Ia kemudian berjongkok. Tangannya terkatup, dijunjung di atas dahi seperti sembahyang orang [...]

May 8, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 184: Makam Suci

Chowkidar tak pernah berhenti memutar tasbih (AGUSTINUS WIBOWO) Tempat suci ini adalah kota kuno bertabur makam orang suci. Bangunan dari zaman kaum derwis berjenggot putih diselimuti nuansa mistis. Di sini keajaiban dan mukjizat bertabur. Uch Sharif, kota yang agung, bermandi cahaya mentari dan rembulan. Terperangkap waktu, demikianlah yang saya rasakan ketika menyusuri gang-gang kecil di pasar berdebu Uch Sharif, berkelok-kelok menyesatkan. Segala macam pedagang ada di sini. Mulai dari sirup sharbat, minuman segar faluda, sup lentil, nasi biryani, sampai pengeras suara Made in China. Tetapi di dalam labirin pasar kuno inilah tersembunyi tempat-tempat paling suci di Pakistan. Di antara ratusan orang suci yang pernah berdiam di kota Uch ratusan tahun silam adalah Sayyid Jalaluddin Bukhari, guru Sufi dari abad ke-15 yang termasyhur akan mukjizatnya. Jahanian Jahangasht, atau Pengelana Dunia, demikan julukannya. Sang Baba – orang suci – telah menjelajah muka bumi untuk mempelajari hakikat Islam. Dari tanah leluhurnya di Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan, sang guru sudah ke Mekkah, Medina, Bagdhad, Persia, dan akhirnya menetap di Punjab. Saya teringat Guru Nanak pendiri agama Sikh yang juga berkelana ke seluruh penjuru bumi untuk menemukan kebenaran hakiki. “Baba, dengan kekuatan magisnya bisa memindahkan mihrab dari Delhi ke Uch,” kata chowkidar – juru kunci [...]

May 7, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 183: Matahari yang Mendekat

Para chowkidar di makam Shah Shams sedang menikmati santap siang (AGUSTINUS WIBOWO) Matahari Multan bersinar terik, membakar manusia-manusia yang merayap di lorong sempit dan menyesatkan kota Kuno. Di musim panas seperti ini, suhu siang hari bisa mencapai 52 derajad celcius, cukup untuk membikin pingsan. Mengapa Multan demikian panas? Alkisah Shams-ud-Din Sabzwari adalah seorang guru suci yang umurnya lebih dari seratus tahun. Ia berasal dari kota Tabrez di Iran, hidup antara abad ke-12 sampai 13. Seperti guru suci Sufi lainnya, ia datang ke Multan dan mengajar di sini. Shah Shams, demikian ia dikenal, sangat tersohor dengan mukjizatnya. Dalam bahasa Arab, kata shams berarti matahari. Dari sekian banyak kisah tentang sang guru, salah satu mukjizat yang dilakukan oleh Shah Shams adalah memindahkan matahari, mendekatkan sang surya ke tubuhnya. Akibatnya, kota Multan terasa panas dan membakar. Kisah serupa juga pernah saya baca tentang kota Kandahar di Afghanistan selatan, di mana seorang guru Sufi bernama Baba Farid menghukum kota itu karena penduduknya yang tak ramah dengan mendekatkan matahari. Ajaran Sufi penuh dengan kisah dan legenda mukjizat macam ini. Seperti orang suci lainnya, Shah Shams juga punya mazar-nya di Multan. Di luar makam, ada toko yang khusus menjual barang-barang Syiah, seperti foto para Imam, rantai [...]

May 6, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 182: Pilar Dunia

Makam Rukni Alam (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kuno Multan adalah salah satu dari tempat-tempat di negeri Pakistan yang pertama kali dirambah Islam dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Mohammad bin Qasim. Sekarang kota ini tetap menjadi kota penting di mana ribuan peziarah datang dari seluruh penjuru negeri ke puluhan makam suci yang bertaburan. Syahdan, Multan adalah bagian sebuah kerajaan Brahmin yang beribukota di Brahmanabad (kota Brahmin), sekarang di wilayah propinsi Sindh. Yang memerintah adalah Raja Dahir, putra Chach. Walaupun yang memerintah adalah orang Hindu, tetapi penduduknya mayoritas beragama Budha. Orang Arab waktu itu melihat banyak patung pemujaan milik orang Budha, lalu mendapat kosa kata budd – dari nama Budha – untuk menyebut ‘patung’. Kata budd yang berarti patung ini masih dipakai dalam bahasa Urdu di Pakistan. Pasukan Muhammad bin Qasim dari dinasti Ummayyah pertama-tama menaklukkan kota Daibul, kemudian ibu kota Brahmanabad, terus ke utara hingga Sukkur di perbatasan Sindh, masuk ke Punjab ke kota Multan – kota tertua dalam sejarah Asia Selatan. Waktu itu kota Multan dipenuhi berbagai kuil emas pemujaan dewa matahari Aditya. Perlahan-lahan suku-suku Sindh dengan sukarela memeluk Islam. Walaupun dalam suasana perang dan masih pada zaman ribuan tahun silam, kebebasan beragama benar-benar dihormati. Orang Budha dan Brahmin yang tidak [...]

May 5, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 181: Kota Panas dan Debu

Panas menyelubungi seluruh Multan (AGUSTINUS WIBOWO) Kota ini tersohor karena empat g – garam (panas), gard (debu), garra (pengemis) dan goristan (kuburan). Dua ‘g’ yang pertama sudah cukup membuat saya terkapar di dalam kamar losmen yang pengap. Meninggalkan nyamannya kota Lahore sungguh berat. Saya terpaksa berpisah dengan nikmatnya malam di pasar makanan Anarkali, diskusi politik dan agama dengan kawan-kawan dari Universitas Punjab, musik qawwali di kuburan Sufi, petualangan di lorong sempit dan gelap kota kuno. Visa Pakistan saya sudah hampir habis lagi, dan masih banyak sisi lain negeri ini yang ingin saya tengok. Bagaikan film India ketika saya mengucap salam perpisahan dengan kawan-kawan Lahori. Saya sengaja memilih bus yang berangkat tengah malam dengan perhitungan sampai  Multan tepat ketika pagi dimulai, untuk mengirit biaya penginapan. Tetapi Asad tak sampai hati melihat saya berangkat malam-malam begini. Mahasiswa berbadan kurus itu bersikukuh untuk mengantar saya sampai ke terminal bus, walaupun harus menanggung resiko ditempeleng bapaknya yang pasti akan marah kalau ia pulang terlambat. Ia membantu saya mencegat bus kota. Asad bahkan mau membawakan tas ransel di punggung saya, tetapi saya tak sampai hati menambah bebannya. Hasilnya sungguh tak terduga. Asad malah diomeli penumpang lainnya. “Mengapa kamu tidak bawakan tasnya yang berat itu? Dia [...]

May 4, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 180: Heera Mandi (2)

Kota tua Lahore dengan gang-gang kecil yang bak rumah sesat menyimpan banyak kejutan. Salah satunya, Heera Mandi (AGUSTINUS WIBOWO) Saya terjebak di Heera Mandi, kompleks prostitusi terbesar di Pakistan. Kamar ini berukuran cuma 2 x 3 meter. Dindingnya dicat biru. Foto-foto keluarga bergantungan di dinding. Ada pintu menuju dapur di ruangan sebelah. Di belakang saya duduk ada tangga. Melalui tangga inilah Jawad naik dan sudah lima menit tak turun juga. Ibu tua tak banyak bicara. Saya berbasa-basi sedikit, yang dijawab hanya dengan senyuman. Mengapa ibu ini tidur tak menutup pintu rumah? Mungkin karena hawa yang panas, saya mencoba berpikir positif. Jawad turun. Ia minta izin pada ibu itu untuk membawa saya naik. “Ini turis yang ingin melihat-lihat atap rumah,” katanya dalam bahasa Urdu. Kebohongannya mulai terbongkar. “Ini bukan rumahku,” bisiknya, “dan perempuan itu bukan ibuku. Sekarang, ayo kamu naik.” Ia memaksa. Tangga ini mengantar kami ke lantai dua, sebuah ruangan yang sama persis ukurannya dengan yang di bawah tadi. Selain televisi dan foto-foto keluarga di tembok, tak ada apa-apa lagi. Tak ada siapa-siapa. Kami terus naik tangga sampai ke atap rumah. Rumah ini berbentuk kotak sederhana. Atapnya datar. Ada sebuah charpoy di salah satu sudutnya. Charpoy adalah kasur di India [...]

May 1, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 179: Heera Mandi (1)

Masjid Badshahi di senja hari (AGUSTINUS WIBOWO) “Larki-marki dekhaun? Mau aku kasih liat koleksi cewek?” seorang pria berjubah shalwar kamiz yang tidak saya kenal berbisik ketika saya menyusuri gang-gang ruwet di kota kuno Lahore. Kemegahan Masjid Badshahi, masjid terbesar dari Dinasti Mughal, adalah kebanggaan Lahore dan Pakistan. Tetapi, bayang-bayang masjid ini menaungi daerah prostitusi paling tersohor di negeri ini, bahkan namanya hingga ke negara-negara tetangga. Siapa yang tak tahu nama Heera Mandi (baca: Hira Mandi)? Ratusan tahun lalu, ratusan gadis penari molek ditambah kaum hijra (penari transeksual) meliuk-liukkan badannya menggoda iman di malam yang gelap. Kini, di kota modern Lahore di bawah kibaran bendera Republik Islam Pakistan, gadis-gadis masih menawarkan hiburan malam, namun tersembunyi di balik tembok tebal. Siang hari, barisan rumah di ruwetnya gang Heera Mandi tak nampak istimewa. Hanya rumah-rumah kuno dari zaman negeri dongeng seribu satu malam. Ada pasar kuno yang ribut, para pria yang semuanya mengenakan ‘seragam’ shalwar kamiz, dan para perempuan yang dibalut purdah hitam pekat. “Tidak mahal,” kata lelaki berkumis itu masih penuh semangat, “hanya 300 Rupee saja.” Di siang hari pun, walaupun tidak semarak malam, transaksi masih terus perjalan. “Mujhe dilcaspi nehin. Saya tidak tertarik,” saya bergegas pergi menuju masjid. Matahari memanggang Lahore [...]

April 30, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 177: Simetris

Bendera India dan Pakistan turun bersama-sama (AGUSTINUS WIBOWO) Bukalah peta dunia. Tengoklah bagaimana bumi kita dibagi-bagi menjadi bidang berwarna-warni, dibatasi oleh garis hitam tebal yang dijuduli garis batas negara. Di atas peta garis-garis ini hanya coretan yang membatasi warna bidang negara. Di atas bumi yang sesungguhnya, garis ini memisahkan takdir dan jalan hidup manusia-manusia yang hidup di kedua sisinya. Empat bulan yang lalu, saya memandangi perbatasan ini di India, larut dalam ingar-bingar gelora nasionalisme ribuan pesorak. Setiap sore, perbatasan ini menjadi ajang persaingan semangat kebangsaan ketika bendera kedua negara diturunkan dan pintu gerbang pembatas ditutup rapat. Sekarang, saya berada di perbatasan ini lagi, bersama para pendukung Pakistan. Yang saya rasakan – sepi. Panasnya matahari Punjab membuat debu jalanan lengket di atas kulit yang bersimbah peluh. Saya melangkah dengan bangga dalam balutan shalwar dan kamiz yang sudah lusuh tak pernah dicuci. Pintu gerbang Pakistan berwarna hijau dengan bertahta bulan sabit dan bintang berwarna putih, seperti lambang benderanya. Di seberang batas, nampak orang India melimpah ruah di podium besar di sisi utara dan selatan. Lautan manusia dengan berwarna-warni pakaian membentuk mozaik yang indah, membludak mengisi setiap jengkal ruang.. Bendera India berkibar-kibar di antara kerumunan orang itu. Ada band musik, tentara berseragam, bocah-bocah [...]

April 28, 2015 // 1 Comment

1 2 3 8