Titik Nol 3: Parit Kematian
Rumah makan Sichuan di tengah gunung gersang. (AGUSTINUS WIBOWO Bus tergoncang hebat melintasi barisan gunung gersang kelabu. Jalan berkelok-kelok di atas bebatuan. Sungguh alam yang keras tanpa ampun di luar sana. Hanya mereka yang tangguh sajalah yang boleh bertahan di alam seperti ini. Tak disangka, bus ini sungguh luar biasa. Sejak pagi kami suah melintasi tiga gunung pada ketinggian rata-rata 4500 meter. Mulai dari Kudi, Chiragsaldi, dan sekarang Mazar. Karena terhenti selama empat jam tadi pagi, kami baru sampai di puncak Mazar pukul tiga sore. Perut saya sudah keroncongan dan mata berkunang-kunang. Di tempat setinggi ini, oksigen sangat tipis, membuat kita mudah terserang sebuah gejala yang disebut altitude sickness atau penyakit ketinggian. Kepala berat, aliran darah melambat, mual dan muntah. Lebih parah lagi sampai pembuluh darah pecah. Orang yang tak terbiasa tempat tinggi atau yang staminanya buruk mudah sekali terserang gejala ini. Waktu turun di sebuah dusun selepas Mazar, baru 250 kilometer dari Kargilik, kaki saya sudah lemas dan pandangan mulai kabur. Di kanan gunung batu. Di kiri pun gunung batu. Gersang. Angin berhembus kencang, menderu seram, membawa bulir-bulir debu berputar-putar. Kami sekarang berada di ketinggian 3780 meter. Ternyata ada pula manusia yang bisa hidup di tempat seperti ini. Beberapa [...]