Recommended

terminal

Titik Nol 181: Kota Panas dan Debu

Panas menyelubungi seluruh Multan (AGUSTINUS WIBOWO) Kota ini tersohor karena empat g – garam (panas), gard (debu), garra (pengemis) dan goristan (kuburan). Dua ‘g’ yang pertama sudah cukup membuat saya terkapar di dalam kamar losmen yang pengap. Meninggalkan nyamannya kota Lahore sungguh berat. Saya terpaksa berpisah dengan nikmatnya malam di pasar makanan Anarkali, diskusi politik dan agama dengan kawan-kawan dari Universitas Punjab, musik qawwali di kuburan Sufi, petualangan di lorong sempit dan gelap kota kuno. Visa Pakistan saya sudah hampir habis lagi, dan masih banyak sisi lain negeri ini yang ingin saya tengok. Bagaikan film India ketika saya mengucap salam perpisahan dengan kawan-kawan Lahori. Saya sengaja memilih bus yang berangkat tengah malam dengan perhitungan sampai  Multan tepat ketika pagi dimulai, untuk mengirit biaya penginapan. Tetapi Asad tak sampai hati melihat saya berangkat malam-malam begini. Mahasiswa berbadan kurus itu bersikukuh untuk mengantar saya sampai ke terminal bus, walaupun harus menanggung resiko ditempeleng bapaknya yang pasti akan marah kalau ia pulang terlambat. Ia membantu saya mencegat bus kota. Asad bahkan mau membawakan tas ransel di punggung saya, tetapi saya tak sampai hati menambah bebannya. Hasilnya sungguh tak terduga. Asad malah diomeli penumpang lainnya. “Mengapa kamu tidak bawakan tasnya yang berat itu? Dia [...]

May 4, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 138: Pir Wadhai

Terminal bus Pir Wadhai (AGUSTINUS WIBOWO) Di sini mereka menggantung mimpi, bersama deru mesin bus yang tanpa henti, asap knalpot hitam, selokan bau, debu beterbangan, dan tangisan bocah. Pir Wadhai adalah pembuluh nadi Pakistan, menyambungkan kota-kota di seluruh negeri dengan ibu kota Islamabad yang modern. Terletak di antara kota kembar Islamabad – Rawalpindi, stasiun bus Pir Wadhai adalah tempat interaksi antara saudagar, musafir, pedagang, sopir, kernet, tentara, dan pengungsi. Bermacam mimpi menuntun beragam manusia sampai ke tempat ini. Dan di tempat berdebu dan kumuh inilah tempat mereka menggantung mimpi. Bau busuk tercium dari jauh sebelum saya mencapai Pir Wadhai chowk, pertigaan penuh lobang jalan yang ironisnya malah menjadi tempat perhentian segala macam jenis bus antar kota yang berhenti di Rawalpindi. Menyengat, menusuk hidung, segala jenis sampah basah dan kering menyumbat selokan terbuka dengan air hitam yang tergenang. Debu dan asap hitam membungkus lingkungan manusia yang bertahan hidup. Ada orang makan di pinggir jalan, dikerubungi lalat beterbangan. Tempat ini adalah surga bagi serangga kotor itu, tetapi neraka bagi manusia yang tinggal di sana. Perkampungan kumuh semburat tak beraturan di dekat terminal ramai. Warnanya semua sama – coklat kemerahan, warna bata yang tidak dicat, warna tanah lumpur yang membungkus bumi. Sedikit variasi [...]

March 4, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 101: Dua Dunia

Pemukiman kumuh bertumbuh bersama metropolis modern (AGUSTINUS WIBOWO) Mumbai adalah dua dunia yang hidup bersama, kontras-kontras yang saling berpadu, membentuk sinergi warna-warni kehidupan yang dinamis, energik, namun juga penuh derita dan air mata. Tak seharusnya saya mengeluh terlalu banyak dengan penyakit kuning yang saya derita. Setidaknya saya masih bisa tidur di atas kasur, minum air gula banyak-banyak, berjalan-jalan, memotret, dan segala kenikmatan lain yang mungkin hanya mimpi bagi para gelandangan yang tidur beralas kertas karton di trotoar. Saya tinggal di daerah Colaba di selatan Mumbai atau Bombay. Daerah ini hiruk pikuk. Gedung megah berarsitektur kolonial berbaris rapi. Jalan beruas-ruas, sempit, digerayangi mobil-mobil mewah. Orang-orang Mumbai yang berlalu lalang berpacu dengan modernitas. Tak sedikit perempuan yang bermake-up tebal, memakai baju dengan mode terkini. Yang pria pun bertubuh kekar, berpakaian ketat, seperti bintang Bollywood. Imej India yang ditemukan dari film-filmnya memang ada di sini. Tetapi, di distrik yang sama, di tempat di mana orang-orang kelas atas berlalu lalang membeli pakaian terkini dan makanan menu internasional, hidup pula kelompok manusia kelas bawah. Ada ibu dan tiga anaknya yang terpejam pulas di trotoar. Ada pula yang tidur di atas kereta dorong kaki lima. Air liur mengalir di pipi pria muda ini, ia larut dalam [...]

January 12, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 74: Istirahat

Jaipur, kota merah jambu. (AGUSTINUS WIBOWO) Setumpuk masalah visa dan bencana bom di New Delhi membuat saya lelah. Saya ingin istirahat, menenangkan pikiran. Rajasthan adalah pilihannya. “Kamu yakin mau ke Rajasthan untuk menenangkan diri?” tanya Lam Li “kamu mesti ingat, India sama sekali bukan tempat untuk bersantai. Nanti jadinya malah kamu yang stress.” Lam Li, si petualang cewek dari Malaysia, baru saja datang kemarin dari Varanasi dan tak sengaja menginap di losmen yang sama dengan saya. Sejak hari pertama datang ia muntah-muntah hebat. Obatnya cuma Coca Cola campur garam dan sebatang rokok. Hari ini wajahnya masih pucat. Keputusan saya sudah bulat. Saya berangkat ke Jaipur di Rajasthan juga untuk mengejar perayaan hari raya Diwali – festival cahaya, perayaan terbesar bagi umat Hindu di India. Diwali adalah perayaan kemenangan terang melawan kegelapan, pencerahan mengatasi kebodohan, dan kebaikan mengalahkan kejahatan. Apalagi Diwali tahun ini hampir berbarengan dengan Idul Fitri, pasti sangat meriah. “Ya sudah, berangkatlah dulu,” kata Lam Li, “besok aku menyusul. Hari ini aku masih sakit. Kalau sudah dapat penginapan murah di sana, bagi tahu ya.” Saya dan Lam Li rasanya sudah menjadi teman perjalanan yang cocok. Kami tak selalu harus bersama ke mana-mana. Tetapi kami saling bantu dalam memberi informasi. [...]

September 4, 2014 // 0 Comments