Recommended

Pakistan

Titik Nol 69: Paharganj

Masala Dosa. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya teringat secuplik tulisan fiksi karya Salman Rushdie berjudul Midnight Children yang mengisahkan pemecahan Pakistan dan India. Ada satu episode yang mengisahkan tentang orang yang terbiasa dengan ‘mata kota’, hidup dalam kota besar bergelimang harta, tak melihat lagi kemelaratan dan penderitaan rakyat papa di pelupuk mata. Pemilik ‘mata kota’ tak lagi melihat penderita kusta yang terkapar atau penderita kanker yang harus berjalan di atas bola. Tulisan itu membuat saya tersindir, mampukah saya melihat India dari kaca mata yang lebih tepat? Kalau Jakarta punya Jalan Jaksa, maka New Delhi juga punya Paharganj, pusatnya turis kere mancanegara. Di sinilah saya menginap, di sebuah losmen murah di dalam gang kecil, di dekat pasar yang hiruk pikuk oleh pedagang baju murah, sapi, klakson rickshaw, bau pesing orang kencing sembarangan, para pekerja dari Nepal, sampai ke sedapnya masakan China, segarnya teh susu di pagi hari, dan renyahnya masala dosa untuk sarapan pagi. Losmen tempat saya tinggal, Hotel Bajrang, cuma 100 Rupee per malam. Kamar yang saya dapatkan dindingnya tipis sekali. Kalau pagi saya terbangun karena ributnya suara orang yang menggaruk-garuk tenggorokan, mengeluarkan dahak yang tersangkut, kemudian meludahkannya bertubi-tubi. Kalau malam saya tak bisa tidur karena berisiknya sepasang kekasih yang memadu kasih [...]

August 28, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 65: Visa India yang Gagal

Mimpi buruk di Muktinath jadi kenyataan. (AGUSTINUS WIBOWO) Kedutaan India di Kathmandu selalu ramai oleh antrian panjang para pelamar visa. Nepal mungkin tempat paling mudah untuk mengambil visa India. Tetapi tak semua orang membawa pulang kisah keberhasilan dari sini. Saya terjebak lagi dalam antrean panjang pagi hari di depan kedutaan India yang tersembunyi di sebuah gang kecil tak jauh dari Thamel di Kathmandu. Ini adalah kali ketiga saya datang. Tiga minggu yang lalu, saya sudah mengisi formulir visa dan menyerahkan ke loket. “Datang seminggu lagi!” kata petugas visa. Prosedurnya, formulir saya konon akan dikirim ke kedutaan India di Jakarta untuk klarifikasi. Kalau kedutaan di Jakarta menyetujui dan mengirimkan fksimil ke Kathmandu, maka visa akan diterbitkan. Untuk harga formulir dan kontak lewat kawat ini, pelamar visa masih harus merogoh kocek 1.000 Rupee. Apakah formulir ini benar-benar akan difaks ke Jakarta dengan uang yang sudah kita bayar, hanya Tuhan yang tahu. Keesokan harinya, tiba-tiba saya memutuskan berangkat trekking ke Annapurna. Perjalanan mengelilingi barisan gunung bersalju ini membutuhkan waktu setidaknya dua minggu. Lalu bagaimana dengan formulir visa India saya? Kembali lagi saya ke Kedutaan India, terjebak dalam antrean panjang turis mancanegara yang mengular sampai 30 meter.. Orang Nepal tidak mengantre visa sama sekali, [...]

August 22, 2014 // 0 Comments

Agama, Nasionalisme dan Kemanusiaan di Mata Agustinus Wibowo

Senin, 03 Maret 2014 13:31 WIB ( 570 Views ) http://islamindonesia.co.id/detail/1485-Agama-Nasionalisme-dan-Kemanusiaan-di-Mata-Agustinus-Wibowo#sthash.vTZddrUA.dpuf Penulis : Lina Agustinus Wibowo saat mengisi workshop di Kantor Mizan Pustaka, Bandung pada Sabtu, (01/03/14). Perjalanan adalah jembatan antara nilai-nilai universal yang menyangkut agama, nasionalime, dan kemanusiaan.   Nama Agustinus Wibowo mulai mendapat tempat di hati para traveler Nusantara dengan tiga buku best-sellernya, yakni Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol. Bukan hanya karena kisah perjalanannya yang unik dan penuh tualang, tapi juga karena paradigma baru yang berhasil ia tawarkan pada para pembaca. Sebuah paradigma yang mampu menyentuh hati—tentang bagaimana memaknai tiap langkah manusia, hingga mampu mengubah pola pikir yang kadang, menjadi garis batas bagi dirinya sendiri—dengan agamanya—dengan etnisnya—dengan negaranya—yang sebetulnya mengkerangkeng nilai-nilai universal yang dimiliki setiap manusia. Ditemui di sela-sela mengisi Workshop di Kantor Mizan Pustaka, Bandung, lelaki kelahiran Lumajang, Jawa Timur ini bercerita panjang lebar tentang pengalamannya selama menjadi traveler—terkait agama, nasionalisme dan kemanusiaan. Berikut ini adalah petikan wawancara dengan Agustinus Wibowo; Latarbelakang keagamaan Anda? Orangtua saya Budhis, tapi saya disekolahkan di sekolah Kristen. Jadi, saya juga ke sekolah Minggu, juga ke Vihara. Saya dibesarkan dalam kultur dua agama [...]

March 3, 2014 // 8 Comments

Selimut Debu 74: Everything is Wrong in Afghanistan

Yang membuat aku lebih marah lagi adalah, ternyata aku sendirian di tengah kerumunan orang-orang pasar ini. Tidak ada yang menolongku berbicara. Si orang Tajikistan yang tadi bersamaku sudah kabur entah ke mana, mungkin mengira aku adalah orang yang penuh masalah. Kemarahanku yang lebih besar adalah, sesungguhnya ada beberapa orang asing di pasar ini. Ada Arnault, ada aku, ada pula si orang Tajikistan, juga kalau tidak salah ada orang India. Tapi mengapa hanya aku satu-satunya yang dikerumuni orang, diperiksa pasporku dengan tidak profesional dan tanpa tujuan? Dan gara-gara pemeriksaan tadi, aku ketinggalan kendaraan menuju Faizabad (Aku tidak mau menginap di Baharak, terima kasih!). Sekarang aku harus mencari lagi kendaraan yang sudah penuh penumpang. Aku sudah tidak tahu semarah apa aku jadinya, ketika tiba-tiba sebuah tangan keras mencengkeram pundakku. Tangan dari seorang lelaki berseragam yang lebih mirip seragam satpam. Aku harus ke kantor, katanya. Tentu aku menolak. Aku hanyalah turis yang menunggu bus, dan sekarang aku menjadi pusat perhatian begitu banyak orang-orang bosan di jalanan, dan menjadi objek permainan para polisi yang sebenarnya tidak mengerti apa itu paspor dan apa tulisan di atas paspor asing. Seorang lelaki berbahasa Urdu berbisik di telingaku. “Menurut sajalah. Tenang, ikuti kata mereka. Koi zabardasti nehi. Tidak [...]

February 6, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 73: Hadiah Ulang Tahun

Setelah perjuangan panjang dari Qala Panjah menuju Ishkashim (yang di luar dugaan, memakan waktu sampai tiga hari karena parahnya transportasi!), aku berjuang untuk melanjutkan perjalanan ke arah barat, moga-moga bisa mencapai Kedutaan Indonesia di Teheran untuk merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. (Nasionalisme? Mungkin ini gara-gara perbincangan dengan Arnault sebelumnya). Lagi pula, hari ini 8 Agustus adalah hari ulang tahunku yang ke-25. Semoga saja hari ulang tahun ini melimpahiku dengan keberuntungan. Amin. Jadi hari ini, kami berdua berangkat menuju Baharak, di mana aku bisa mendapat kendaraan menuju Faizabad, dan Arnault berbelok ke utara ke arah Danau Shewa. Orang Afghan ini punya konsep waktu yang aneh. Ketika kami masih sarapan jam 6 pagi, sopir memburu-buru kami katanya mobil segera berangkat. Tetapi setelah kami duduk manis di mobil, satu jam kemudian mesin baru dinyalakan dan dua jam kemudian kami baru meninggalkan Ishkashim. Matahari sudah sangat tinggi sedangkan perjalanan ke Baharak memakan waktu minimal tujuh jam. Sekarang semua berbalik arah. Dulu waktu berangkat dari Baharak ke Ishkashim, Baharak terasa seperti kota pasar yang membosankan tapi jalanannya teramat indah. Sekarang, sepulang dari Wakhan, jalanan bergunung-gunung ke Baharak terasa sangat datar, tetapi Baharak dengan barisan toko-tokonya terasa seperti metropolitan New York. Warung-warung, kios, pedagang asongan, penyemir [...]

February 5, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 72: Nilai Ke-Afghanistan-an

Aku berusaha keras menghindari Bakhtali. Tapi untunglah, kami berjalan dengan kecepatan yang jauh berbeda. Aku merayap lambat menyisir bebatuan, sementara dia melesat kilat seperti anak panah. Dalam kesendirian, aku menikmati pemandangan perbatasan yang begitu menakjubkan ini. Di sebelah kananku Tajikistan, di sebelah kiriku Pakistan, aku ada di tengah Koridor Wakhan yang sempit dan termasyhur itu. Tetapi kesepian ini sungguh menakutkan. Sepi yang sesepi-sepinya, selain suara angin dan debur arus sungai. Tak ada lagi orang lain yang bisa kumintai pertolongan, apalagi karena kedua kakiku semakin sakit karena berjalan terlalu jauh. Aku mulai berjalan pukul 1 sore, dan setelah dua jam berjalan kedua kakiku hampir lumpuh. Aku hanya bisa berjalan, dan terus berjalan, karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada desa sama sekali di antara Aorgarch dengan Qala Panjah. Yang kulihat hanya ada tiga orang gembala, dan tidak ada manusia lainnya barang satu pun. Ah, andaikan saja ada jembatan yang menghubungkan jalanan ini dengan jalanan beraspal di seberang sungai sana. Tentu dengan mudah aku menumpang kendaraan bermotor, tanpa harus bersusah-payah seperti ini. Tapi… itu cuma mimpi. Yang di seberang sana, walaupun terlihat dekat, adalah tanah tak tergapai. Negara lain. Dunia lain. Ada garis batas tak tertembus. Setelah empat jam berjalan, langit sore [...]

February 4, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 71: Petualangan Sebuah Traktor

Di tempat seperti ini, kita tidak bisa pergi kapan pun kita suka. Transportasi sangat terbatas, dan aku hanya bisa menggantungkan jadwal perjalananku pada tumpangan. Untungnya, hari ini Juma Khan kebetulan mau ke Khandud karena ada urusan, jadi aku bisa menumpang traktornya sampai ke Khandud. Kesempatan ini tidak datang setiap hari. Walaupun kakiku masih sakit gara-gara berjalan kaki 40 kilometer beberapa hari lalu, dan aku sebenarnya masih ingin tinggal lebih lama di Kret barang dua hari lagi, aku memutuskan untuk ikut. Para penumpang gratisan ternyata juga bukan aku saja. Ada beberapa warga desa Kret yang juga gembira ada transportasi ke desa tetangga. Bahkan Bakhtali si moalem juga ikut menumpang. Ini karena jalanan di sepanjang sisi selatan Sungai Wakhan sangatlah susah dilewati kalau berjalan kaki, karena banyaknya sungai besar. Juma Khan tidak memungut bayaran apa pun. Tolong-menolong sesama manusia adalah jalan hidup di Wakhan. Di sini, kita tidak mungkin hidup sendiri. Toh kita juga pasti akan membutuhkan bantuan mereka. Jalanan sesudah Desa Baba Tangi juga kebanjiran, yang airnya sampai sedalam pinggang. Saking dalamnya, kami para penumpang harus melemparkan batu ke dalam air supaya traktor bisa lewat. Selanjutnya adalah jalanan mendaki yang sangat terjal ke atas bukit. Traktor kosong yang kurang beban ini [...]

February 3, 2014 // 6 Comments

Selimut Debu 70: Saudara Sebangsa

Para pria Pakistan ini memang katanya datang ke sini untuk membawa perubahan. Lihat celana modern dan jaket-jaket bulu yang mereka pakai. Coba dengarkan gemeresik radio yang mereka putar. Belum lagi mulut-mulut yang bercakap bahasa Inggris dengan fasih. Faizal-ur-Rahman, Juma Khan, dan yang lain-lainnya, datang dari Chapursan di Pakistan di balik gunung sana. Mereka menganut Islam Ismaili yang sama, bicara bahasa yang sama, tetapi betapa modernnya orang-orang ini di mata penduduk desa. Kelima belas orang ini umumnya adalah tukang batu dan tukang bangunan. Tugas mereka adalah membangun gedung sekolah di desa, proyek dari Central Asia Institute, sebuah NGO yang katanya cukup bermasalah. Ada yang menatah batu, ada yang mengangkut dengan traktor. Ada yang mengaduk semen, ada yang memasang tembok dan jendela. Penduduk desa kadang ikut membantu menyiapkan teh dan makanan kecil. Semua tidak sabar ingin melihat gedung sekolah mungil ini cepat selesai. Sekarang, anak-anak masih harus berjalan kaki empat kilometer untuk sampai di sekolah tenda berlogo UNICEF. Bukan berarti orang Wakhan miskin-miskin. Ada cukup banyak pula orang kaya di sini. Akimboy salah satunya. Juga Bulbul, yang rumahnya di bawah bayang-bayang puncak salju Baba Tangi. Nama Bulbul memang berarti burung bulbul. Ternaknya ada ratusan. Dua adik Bulbul sekarang tidak tinggal di desa. [...]

January 31, 2014 // 5 Comments

#1Pic1Day: Warna-warni Gurun | Colors of the Desert (Pakistan, 2006)

Colors of the Desert (Pakistan, 2006) Desert inhabitants in South Asia are known for their sophisticated costumes, full of ornaments and colors. The women in Thar Desert of Pakistan, especially the Hindu ones, still wear colorful costumes, with dozens of bangles all over their body, and are totally at ease with cameras. Warna-warni Gurun (Pakistan, 2006) Bangsa-bangsa gurun di Asia Selatan punya keunikan pakaian yang sangat rumit, penuh dekorasi, berwarna. Kaum perempuan di gurun Thar, Pakistan, khususnya umat Hindu, masih memakai pakaian yang berwarna-warni, gelang di sekujur tubuh yang berlusin-lusin, dan sama sekali tidak antipati terhadap kamera.   [...]

January 24, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Menyibak Harapan | A New Hope (Pakistan, 2006)

A New Hope (Pakistan, 2006) Survival is still the biggest question in the middle of Thar Desert, Pakistan. Aside from serious problems in water and healthcare, economic situation is also not quite optimistic. Some humanitarian projects have arrived here to introduce to the locals their own tradition they have already lost: carpet making. This is a new source to generate income for the desert dwellers. Menyibak Harapan (Pakistan, 2006) Di tengah gurun kering Thar, Pakistan, bertahan hidup adalah pertanyaan terbesar bagi penduduk. Selain masalah air dan kesehatan yang sangat serius, keadaan ekonomi juga sangat parah. Beberapa organisasi kemanusiaan datang dengan mengajarkan penduduk mempertahankan tradisi mereka untuk membuat permadani, sehingga mereka punya tambahan pemasukan untuk keluarga. [...]

January 23, 2014 // 1 Comment

#1Pic1Day: Dusun Kering | Dry Village (Pakistan, 2006)

Dry Village (Pakistan, 2006) Some areas in interior of Thar Desert, Pakistan, had not got rain for four years consecutively. Some villages were even deserted by its inhabitants, as they were looking for a new place with more water. These deserted villages turn to ghost villages. Dusun Kering (Pakistan, 2006) Beberapa daerah di pedalaman gurun Thar, Pakistan, sama sekali tidak mendapat hujan dalam empat tahun berturut-turut. Beberapa dusun bahkan ditinggalkan begitu saja oleh penduduknya, untuk mencari tempat yang masih ada airnya. Dusun-dusun yang ditinggalkan kemudian menjadi desa mati.   [...]

January 22, 2014 // 3 Comments

#1Pic1Day: Empat Tahun Tanpa Hujan | Four Years with No Rain (Pakistan, 2006)

Four Years with No Rain (Pakistan, 2006) Water and rain are very scarce in Thar desert, Pakistan. Some areas even had not got rain for consecutive four years. The inhabitants have to walk very far just to get water. Water is very precious here; some people even keep their water with gridlock and bury it under the sand. Empat Tahun Tanpa Hujan (Pakistan, 2006) Hujan sangat langka di gurun Thar, Pakistan. Di beberapa lokasi bahkan hujan sama sekali tidak turun dalam empat tahun. Penduduk harus berjalan jauh hanya untuk mendapatkan setetes air, sehingga air teramat berharga di sini. Beberapa warga bahkan menggunakan kunci gembok untuk mengamankan air yang [...]

January 21, 2014 // 6 Comments

#1Pic1Day: Pulang | Going Home (Pakistan, 2006)

Going Home (Pakistan, 2006) Thar is one of the driest deserts with the highest population density in the world. Thar stretches from Pakistan to India. The inhabitants have to walk for kilometers on boiling sand just to gather water. The desert dwellers usually travel to the nearby town of Umerkot in interior Sindh Province for shopping or selling their animals. The public transport departs from the desert villages in early morning, and return back from the town at afternoon. That’s the time for the desert dwellers to go back to the dry desert they call home. Pulang (Pakistan, 2006) Gurun Thar adalah salah satu gurun paling kering namun paling padat penduduknya di dunia. Gurun ini melintang dari Pakistan hingga India, dihuni oleh bangsa gurun yang harus mencari air hingga berkilo-kilometer. Penduduk Thar biasanya bepergian ke Umerkot, kota terdekat di pedalaman Provinsi Sindh, untuk berbelanja. Angkutan umum biasanya berangkat dari kampung-kampung gurun pada pagi buta, dan kembali lagi dari kota ke tengah gurun di sore menjelang petang, karena itulah waktunya bagi warga gurun untuk pulang ke tengah padang gersang yang menjadi rumah [...]

January 20, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 61: Dunia Begitu Kecil

Aku tak punya pilihan. Tidak ada rencanaku menginap di Khandud. Bahkan membayangkan pun aku tak pernah. Ada sejumput amarah bergemuruh di dalam diri, sopir yang kubayar ternyata mengantarkanku ke tempat lain yang bukan tujuanku. Kami masuk rumah Bashir, duduk melingkar di ruang tamu. Bashir langsung lenyap ke dalam rumah. Kegelapan menyelimuti ruangan ini. Matras-matras panjang digelar. Aku mengambil tempat di pojok. Waduj dan Haji Samsuddin di pojok lain. Sunyi. Senyap. Tak ada yang bicara. Mungkin semua lelah? Mungkin semua bingung? Komandan Sakhi tidak betah dengan kesunyian. Suaranya menggelegar. ”Hai, kamu semua tidak bisa bicara ya? Bisu ya?” Dia memang komandan, kata-katanya seakan menghipnotis. Samsuddin dan Waduj tiba-tiba mengobrol sembarang topik, memecah kesunyian. Tidak berapa lama, segunung nasi putih disajikan berwadah piring lebar dan panjang. Puncaknya tidak lancip seperti tumpeng, tetapi dengan kaldera seperti Bromo. Dalam cekungan di puncak gunungan nasi itu terdapat danau minyak bening. Dua piring lebar ditaruh di atas tikar, dikelilingi para lelaki yang wajahnya ikut berkelap-kelip bersama sinar lampu petromaks. Makan malam kami ini disediakan oleh keluarga Bashir. Ayah dan paman Bashir ikut bergabung bersama para tamu. Ini adalah kewajiban tuan rumah. “Kamu mau ke mana?” Sakhi bertanya padaku. Boroghil, aku menjawab. Dia tertawa. “Boroghil terlalu jauh. [...]

January 20, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 52: Pulang

“Suatu saat, kamu harus kembali ke titik awal. Dan saat itu, kamu akan berpikir bagaimana caranya untuk kembali ke tempat sebelumnya, untuk melanjutkan perjalananmu ….” Demikian Lam Li, sahabat Malaysiaku itu pernah berkata padaku saat kami berdua berada di Kandahar. Kami berdua telah berkelana begitu panjang. Aku memulai perjalananku hampir setahun lalu dari Beijing. Lam Li lebih lama lagi, dari Malaysia jalan darat melintasi Asia Tenggara, Tibet, Nepal, India, Pakistan, sekarang di Afghanistan, dan terus dia akan menuju Eropa. Setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan, sangatlah umum para pejalan mulai mengalami “mimpi buruk”. Apakah “mimpi buruk” para pejalan? Itu adalah terpaksa pulang. Ke titik asal. Ke rumah. Lam Li sering mengalami mimpi seperti ini. Di dalam mimpinya itu, tiba-tiba dia sudah kembali ke rumah. Dan di rumah itu, dia sibuk berpikir, bagaimana caranya kembali ke titik terakhir perjalanannya, kembali melanjutkan perjalanan yang telah terpotong. Seperti nubuat, ini pun terjadi pada diriku. Perjalananku dimulai pada 28 Juli 2005. Jadi, hanya seminggu lagi maka genap setahun sudah aku hidup di jalanan. Dari metropolis Beijing yang sibuk, aku sudah melewati jalan yang teramat panjang, melintasi dataran China yang luas hingga k tanah bangsa Uyghur di barat, lalu mendaki pegunungan Atap Dunia hingga masuk ke Tibet, [...]

January 7, 2014 // 4 Comments

#1Pic1Day: Pakistan Streets #10 (Multan, 2006)

  Pakistani Streets #10 (Multan, 2006) Women in totally enveloping burqa (covering face and both eyes) are very common of Multan streets. Jalanan Pakistani #10 (Multan, 2006) Perempuan dalam burqa yang menutup rapat (termasuk wajah dan mata) adalah pemandangan lazim di jalanan Multan.               [...]

January 3, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Pakistan Streets #9 (Uch Sharif, 2006)

  Pakistan Streets #9 (Uch Sharif, 2006) A Pakistani movie billboard shows men with guns and sexy women dancing. Jalanan Pakistan #9 (Uch Sharif, 2006) Sebuah baliho film Pakistan menggambarkan para pria dengan pistol dan para perempuan seksi menari.             [...]

January 2, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Pakistan Streets #8 (Karachi, 2006)

  Pakistan Streets #8 (Karachi, 2006) Karachi was the capital of Pakistan, and is still the most modern city in the country. Jalanan Pakistan #8 (Karachi, 2006) Karachi pernah menjadi ibukota Pakistan, dan masih merupakan kota paling modern di negeri ini.           [...]

January 1, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Pakistan Streets #7 (Lahore, 2006)

  Pakistan Streets #7 (Lahore, 2006) Dusk is when Lahore streets start livelier, as the heat during the day might be unbearably painful to linger around. Jalanan Pakistan #7 (Lahore, 2006) Sore menjelang matahari tenggelam adalah saat di mana jalanan Lahore mulai meriah, karena panasnya matahari siang sangat menyakitkan bagi kebanyakan orang untuk berkeliaran di jalan.         [...]

December 31, 2013 // 0 Comments

#1Pic1Day: Pakistan Streets #6 (Multan, 2006)

  Pakistan Streets #6 (Multan, 2006) Nice dream, good nap, this is how a boy is passing a scorching day in Multan Jalanan Pakistan #6 (Multan, 2006) Mimpi indah, tidur lelap, beginilah seorang bocah melewatkan hari yang panas membakar di Multan.       [...]

December 30, 2013 // 0 Comments

1 6 7 8 9 10 15