Recommended

turisme

Titik Nol 203: Romantisme

Gandengan tangan, berangkulan, berpelukan antara sesama pria adalah hal lazim (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin ini termasuk kotoran yang dipandang Wahid dengan tatap mata penuh jijik. Baru saja saya berhasil menghindar dari pria Pashtun yang mengaku dirinya sebagai Prince, pangeran – entah dari kerajaan mana lagi, yang menawarkan angkutan murah meriah menuju Afghanistan. Perjalanan menuju Afghanistan nantinya akan melewati daerah-daerah berbahaya. Pemerintah Pakistan mewajibkan orang asing yang akan melintas untuk dikawal tentara bersenjata. Orang asing juga tidak diijinkan untuk naik kendaraan umum, harus menyewa kendaraan sendiri. Bagi saya dengan kantong backpacker ini, biaya menyewa taksi yang bisa sampai seribu Rupee tentu saja membuat gundah. Prince, dengan aura kepangeranan yang terlalu dipaksakan, terus memantau kedatangan orang asing di Peshawar. Ia punya jaringan kuat dengan semua hotel di kota ini. Setiap ada backpacker yang datang, dengan sigap ia langsung nyanggong di hotel yang bersangkutan untuk bertemu dengan si turis. Lalu ia akan memamerkan foto-fotonya, tindakan amal apa saja yang pernah dia lakukan, gambar ratusan anak asuhnya, juga foto ribuan turis yang terpuaskan oleh layanan angkutan dan tour guide-nya. Ia memamerkan dua buku tebal testimonial para turis yang ditulis dalam pelbagai bahasa, mulai dari Inggris, Jepang, Perancis, hingga Mandarin. Para turis itu terpikat oleh aroma [...]

June 3, 2015 // 9 Comments

Titik Nol 177: Simetris

Bendera India dan Pakistan turun bersama-sama (AGUSTINUS WIBOWO) Bukalah peta dunia. Tengoklah bagaimana bumi kita dibagi-bagi menjadi bidang berwarna-warni, dibatasi oleh garis hitam tebal yang dijuduli garis batas negara. Di atas peta garis-garis ini hanya coretan yang membatasi warna bidang negara. Di atas bumi yang sesungguhnya, garis ini memisahkan takdir dan jalan hidup manusia-manusia yang hidup di kedua sisinya. Empat bulan yang lalu, saya memandangi perbatasan ini di India, larut dalam ingar-bingar gelora nasionalisme ribuan pesorak. Setiap sore, perbatasan ini menjadi ajang persaingan semangat kebangsaan ketika bendera kedua negara diturunkan dan pintu gerbang pembatas ditutup rapat. Sekarang, saya berada di perbatasan ini lagi, bersama para pendukung Pakistan. Yang saya rasakan – sepi. Panasnya matahari Punjab membuat debu jalanan lengket di atas kulit yang bersimbah peluh. Saya melangkah dengan bangga dalam balutan shalwar dan kamiz yang sudah lusuh tak pernah dicuci. Pintu gerbang Pakistan berwarna hijau dengan bertahta bulan sabit dan bintang berwarna putih, seperti lambang benderanya. Di seberang batas, nampak orang India melimpah ruah di podium besar di sisi utara dan selatan. Lautan manusia dengan berwarna-warni pakaian membentuk mozaik yang indah, membludak mengisi setiap jengkal ruang.. Bendera India berkibar-kibar di antara kerumunan orang itu. Ada band musik, tentara berseragam, bocah-bocah [...]

April 28, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 176: Tambang Garam

Mahasiswi Universitas Punjab mendengarkan penjelasan pemandu wisata di dalam gua garam Khewra (AGUSTINUS WIBOWO) Di bawah tanah, ada dunia lain Pakistan yang tersembunyi. Sejuk, indah, misterius. Mungkin tak banyak orang yang tahu, Pakistan punya pertambangan garam terbesar kedua di dunia. Kalau bayangan saya yang tinggal di pesisir sebuah pulau Indonesia, garam dihasilkan dari air laut yang dijemur di bawah terik matahari. Sungguh tak terbayang, bahwa ternyata garam juga muncul di perut bumi. Di bawah tanah Punjab, di bawah lapisan gundukan gunung pasir, ada sebuah dunia lain yang penuh warna. Tambang garam Khewra terletak sekitar 200 kilometer di selatan Islamabad. Pertambangan garam di sini termasuk salah satu yang tertua di dunia, sudah mulai sejak zaman Iskandar Yang Agung. Dikisahkan, prajurit perang Iskandar yang kelelahan, secara tak sengaja menemukan tambang garam raksasa ini ketika memperhatikan kuda-kuda makan tanah. Sekarang, pertambangan Khewra ukurannya 260 kilometer panjangnya dan 900 meter tingginya. Gua dan terowongan di dalam bukit gunung dibagi menjadi 17 lantai, dengan 11 lantai di bawah permukaan tanah. Cadangan garam di sini tak akan habis dikonsumsi selama 600 tahun sekalipun! Dulu, tempat ini tertutup untuk umum. Semua yang mau datang ke sini harus mendapat izin dari Kementrian Pertambangan. Tetapi sekarang Pakistan mulai mempromosikan [...]

April 27, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 151: Terjebak Birokrasi Pakistan (2)

Dari Islamabad… (AGUSTINUS WIBOWO) Perpanjangan visa Pakistan membuat saya merasa seperti bola pingpong yang dilempar dari satu kantor ke kantor lain. Kementrian Dalam Negeri letaknya jauh sekali dari Kantor Paspor. Islamabad adalah kota modern yang didesain oleh orang Eropa tetapi dimanajemen oleh orang Pakistan. Akibatnya adalah perencanaan tata kota yang matang yang berbaur dengan morat-maritnya dunia ketiga. Jalan lurus dan panjang, taman-taman yang teratur rapi, di sebuah kota kosong di mana kantor-kantor pemerintah bertebaran di segala penjuru. Saya dan dr. Zahid menunggu di depan bangunan Visa Section di kompleks Kementrian Dalam Negeri. Ada dua pintu. Yang satu khusus untuk warga Afghan, keturunan Afghan, dan jurnalis – kelompok rawan. Pintu lainnya untuk orang asing, turis, dan NGO. Jam kerja kantor ini dari pukul 11 hingga 12 siang – benar-benar jam kerja yang ideal. Pengumuman yang tertempel di depan pintu mengatakan bahwa pukul 10:45 akan dibagikan nomor urut bagi para pengantre. Tetapi tidak ada antrian di sini. Semua orang bergerombol di depan pintu yang masih tertutup. Kami hanya menantikan detik-detik pintu kayu yang agung itu akan terbuka, sebagai jalan emas menuju visa Pakistan. Bukan Pakistan namanya kalau tidak terlambat. Pukul 11:15, pintu itu baru terbuka. Seorang petugas membawa setumpuk kartu kecil. Bukannya [...]

March 23, 2015 // 6 Comments

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 104: Terkapar di New Delhi

Stasiun kereta api Chhatrapati Shivaji Terminus (AGUSTINUS WIBOWO) Tak ada jalan lain bagi saya untuk segera kembali ke Delhi. Penyakit kuning yang saya derita semakin parah. Tubuh saya lemas. Tetapi Delhi lebih dari seribu kilometer jauhnya, dua puluh empat jam perjalanan yang berat dengan kereta. “Mungkin kamu harus pulang, Gus, jangan memaksakan perjalanan ini,” saran seorang teman dari Jakarta. “Hepatitis, itulah keadaan di mana banyak backpacker mengakhiri pengembaraannya,” seorang kawan backpacker senior dari Inggris menulis email. “Hepatitis adalah penyakit di mana seorang harus istirahat, bed rest total, satu bulan penuh minimal. Sebaiknya memang kamu pulang,” tulis yang lain. Tetapi saya tak mau berakhir di sini. Saya tak mau menyerah dengan penyakit ini. Dari sekian banyak surat dari kawan, hanya satu yang menyemangati saya untuk terus maju. “Jangan menyerah, Gus. Maju terus. Gue yakin kamu pasti bisa,” tulis Andi Lubis, seorang wartawan senior di Medan. Sepatah kalimat pendek itu yang membuat saya terus bertahan. Saya yakin saya pasti bisa, mencapai cita-cita saya melihat ujung dunia. Saya tak gentar perjalanan panjang kereta api menuju New Delhi. Saya harus segera sampai ke Pakistan, di mana gunung-gunung salju pegunungan Himalaya dan Karakoram akan menjadi tempat saya beristirahat. Hati saya dipenuhi segala macam rancangan, impian, [...]

January 15, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 95: Skeptis

Biro pemesanan tiket, bisa mempermudah perjalanan, tetapi tak jarang pula malah menambah masalah. (AGUSTINUS WIBOWO) Indiakah yang mengubah saya? Satu setengah bulan di negara ini membuat saya semakin susah mempercayai orang. Hati saya selalu dipenuhi curiga yang berawal dari kehati-hatian yang berlebihan. Ini adalah sebuah kisah yang sangat biasa bagi backpacker yang berpetualang di India. Kisah sama yang diulang-ulang oleh ribuan orang – gangguan para calo, teknik tipu-tipu bus dan rickshaw, pedagang kaki lima yang agresif, orang-orang yang mata duitan. Ini adalah pengalaman sehari-hari yang menjadi kenangan betapa kerasnya mental yang diperlukan untuk bertahan hidup di India. Saya mem-booking karcis bus menuju Bikaner, berangkat malam dari Jaisalmer dan sampai di kota di utara Rajashthan menjelang subuh. Sebuah teknik kuno untuk menekan pengeluaran akomodasi, dengan risiko mengorbankan stamina yang diperas habis-habisan di kendaraan. Tetapi, stamina saya sudah habis bahkan sebelum naik bus. Bagaimana tidak, kalau untuk naik bus saja saya masih harus berjuang menghadapi orang-orang rakus yang mengincar setiap keping uang di dompet. Berbekal tiket dari Hanuman Travels di Lapangan Hanumar di kota benteng Jaisalmer, saya langsung meluncur ke biro travel itu tepat pukul 8 malam. “Wah… tidak bisa ini,” kata pria yang duduk di kursi di pinggir jalan, “bus yang [...]

October 3, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 94: Bukan Orang Suci

Kota emas Jaisalmer (AGUSTINUS WIBOWO) Sejauh mata memandang, ribuan rumah kotak-kotak berwarna kuning keemasan tersebar semburat. Benteng raksasa dari berusia delapan ratus tahun masih megah berdiri, menantang monotonnya gurun pasir Thar yang membentang hingga kePakistan. Seperti Jaipur yang kota merah jambu dan Jodhpur yang kota biru, Jaisalmer pun punya julukan manis – kota emas. Bukan berarti bangunan di kota ini terbuat dari emas, terlalu mewah untuk kota di kering di tepi padang pasir ini. Warna emas nampak membara ketika matahari senja membilas barisan rumah dari tanah berwarna kuning yang terhampar di seluruh penjuru. Bahkan benteng raksasa Jaisalmer yang menjulang membayangi seluruh kota pun berwarna keemasan. Berbeda dengan kebanyakan benteng lainnya di Rajasthan, Benteng Jaisalmer yang didirikan tahun 1156 Masehi oleh seorang bangsawan Rajput, Rawail Jaisal, bukan hanya bangunan kuno yang bertahan dalam gilasan roda zaman. Benteng Jaisalmer bukan monumen bersejarah biasa. Ada kehidupan di balik dinding menjulang ini, dan denyut kehidupan itu masih ada hingga sekarang. Di dalam benteng, yang mirip kota kecil, saya seperti terlempar ke masa lalu. Jalan setapak sempit berkelok-kelok di antara bangunan rumah kuno. Unta masih menjalani perannya sebagai alat angkutan utama. Nenek tua sibuk menyulam di beranda. Alunan tetabuhan sitar dan kendang di kota benteng, [...]

October 2, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 87: Hidup Menurut Buku Panduan

Sarapan pagi pun saya membaca Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengapa hidup kita harus selalu dituntun oleh buku panduan? Tidakkah kita memiliki hasrat lebih besar untuk melakukan pengembaraan, menemukan rahasia alam yang tak terduga? Terilhami dari perang omelet di Jodhpur, saya jadi berpikir sejauh mana buku panduan macam Lonely Planet sudah memengaruhi cara orang menjelajah dunia. Coba perhatikan, berapa banyak turis yang berkeliaran di India yang yang tidak membawa-bawa buku suci tebal berjudul Lonely Planet, atau buku panduan wisata lainnya? Semua orang membawa buku yang sama, pergi ke tempat yang sama seperti yang ditulis dalam buku, menginap di hotel-hotel yang sama, sampai makan omelet pun di tempat yang sama. Turis-turis ini hanya melakukan perjalanan napak tilas seperti yang dituntunkan oleh buku. Bahkan beberapa edisi terbaru Lonely Planet sudah mencantumkan rute pilihan penulis. Apa jadinya? ‘Petualang’ atau bahasa kerennya traveler zaman sekarang, sudah jauh berbeda dengan para pengelana dunia pada zaman dahulu, bahkan tak bisa dibandingkan dengan para hippie yang menapaki hippie trail dari Istanbul sampai Kathmandu pada era 70-an. Perjalanan backpacker zaman sekarang terlalu terikat dengan petuah dan petunjuk Lonely Planet. Semua pergi ke tempat yang sama, semua mencicip makanan di restoran yang sama, dan menyelami pengalaman perjalanan yang sama. Apa [...]

September 23, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 86: Perang Omlet (2)

Direkomendasikan oleh Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Kios omelet di depan pintu gerbang jam kota Jodhpur memang nampak biasa dari kejauhan. Yang tidak biasa adalah persaingan sengit di antara mereka gara-gara sebuah buku panduan turis berjudul Lonely Planet. “Terletak di pintu gerbang utara menara jam kota Jodhpur, kios omelet ini memang tampak seperti kios biasa. Tetapi konon mereka berhasil menjual 1.000 telur per hari dan penjualnya sudah berkecimpung dalam bisnis ini selama 30 tahun.” Demikian Lonely Planet India menulis tentang toko omelet ini di bagian “Tempat Makan” di kota Jodhpur. Sebuah paragraf yang bahkan saya lirik pun tidak, tetapi gara-gara mendengar kisah persaingan seru kios-kios omelet di sekitar jam kota, saya pun tertarik membaca. Sebait paragraf sederhana ini, ditambah lagi informasi tentang pedasnya omelet dan harganya yang murah, ternyata berarti luar biasa bagi bapak tua pemilik warung. Kepalanya sedikit botak, kaca matanya tebal, dan dengan bangga ia berkata, “saya sudah bekerja 33 tahun!” Seperti di warung sebelah, pemilik warung ini juga lebih sibuk menunjukkan testimoni kejayaannya daripada menyajikan omeletnya. Saya disuguhi dua lembar fotokopian ukuran besar dari halaman Lonely Planet yang menyebut tokonya, dilaminating pula. Ini adalah kebanggaannya yang paling besar. Paragraf itu di-highlight, bagian ‘wajib baca’ untuk semua turis yang [...]

September 22, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 85: Perang Omlet

Buku testimonial adalah senjata ampuh warung-warung omelet untuk menarik pelanggan. (AGUSTINUS WIBOWO) Siapa yang tak kenal Lonely Planet? Tampaknya hampir semua backpacker yang berkeliaran di India berpegang teguh pada buku tebal yang sudah menjadi seperti kitab suci ini. Tetapi  siapa sangka Lonely Planet juga sudah mempengaruhi pasar di India? Jodhpur, kota biru Rajasthan, adalah salah satu magnet turis India. Kota ini dibanjiri oleh wisatawan dari berbagai kelas, mulai dari penghuni hotel bintang lima di puri kuno sampai backpacker kere penghuni losmen murah. Dari Pushkar yang masih ramai dan mahal, saya datang bersama Lam Li, menyusuri gang kota Jodhpur yang menyesatkan untuk mencari penginapan yang sesuai dengan cekaknya kantong kami. Kami mengunjungi lebih dari empat losmen. Setiap kali kami datang melihat losmen, yang pertama kali diperlihatkan kepada kami bukan kamar, melainkan kitab tebal berisi testimoni para tamu yang pernah menginap di sini. Guest Book, buku tamu, adalah alat promosi ampuh untuk menarik pelanggan. Yang namanya tercantum dalam kitab suci Lonely Planet dengan bangga menulis di plakat, “We are in Lonely Planet.” Yang tidak pun tetap optimistis, seraya berkata, “Kami masih baru, jadi masih belum terdaftar di Lonely Planet. Tapi jangan khawatir dengan pelayanan kami!” Sebegitu pentingnyakah terdaftar di Lonely Planet? Mungkin, [...]

September 19, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 83: Pak Kumis

Kartik Purnima, bulan purnama terbit di antara puncak-puncak kuil Rangji. (AGUSTINUS WIBOWO) Bunyi terompet dan tetabuhan bersahut-sahutan, seolah memaksa pinggul untuk bergoyang mengikutinya. Padang pasir yang muram, setahun sekali berubah menjadi pasar raksasa yang gegap gempita. Pushkar larut dalam kemeriahan festival. Inilah hari yang telah lama ditunggu-tunggu – Kartik Purnima, puncak dari semua hiruk pikuk di Pushkar sejak dua minggu terakhir. Lagu Bollywood berdentum-dentum dari pengeras suara. Nyaring, sumbang, memekakkan telinga. Sekelompok pria dan wanita berdiri di depan sebuah kotak mungil. Di dalam kotak itu ada panggung, beberapa deret bangku panjang, dan seorang penari berjoged, berlenggak-lenggok mengikuti dentuman lagu Aashiq Banaya – lagu film India yang sedang hits di negeri ini. Pinggul sang penari berguncang dahsyat. Penonton di luar pagar hanya berdiri, tertegun, menenggak ludah. Tak sampai tiga menit, tiba-tiba layar merah menutup panggung. Penonton yang di luar pagar hanya bisa mendengus kecewa. Lagu romantis Aashiq Banaya terus menggelegar, dan seorang pria berhalo-halo dengan mikrofon, “Saksikanlah! Saksikanlah pertunjukan istimewa ini!” Pertunjukan akan diadakan nanti sore. Karcisnya cuma 5 Rupee. Yang perempuan melenggak-lenggok selama tiga menit tadi cuma trailer, siaran ekstra yang akan bisa ditonton dalam pertunjukan akbar di dalam kotak mungil itu. Bukankah inovatif cara mereka mencari uang? Sore hari, [...]

September 17, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 82: Festival Padang Pasir

Warna-warni Rajasthan. (AGUSTINUS WIBOWO) Pushkar yang suci tidak hanya dipenuhi oleh peziarah dan pedagang unta. Eksotisme danau suci dan pasar unta tak luput dari perhatian turis dari seluruh penjuru dunia. “Japani! Japani!”  Dua orang perempuan berkerudung, yang satu merah jambu satunya merah membara, berteriak ke arah kami sambil berlari, mengumbar senyum pada sebaris gigi kuning yang mengkontraskan wajah hitam. “Foto! Foto!” mereka menggeret tangan saya. Walaupun sempat tergoda oleh pakaian mereka yang sangat etnis, aksesori berwarna-warni dan berat, saya memaksa diri untuk tidak memotret. Perempuan dan gadis-gadis ini selalu meminta imbalan Rupee atau dolar. Mereka datang dari kelas sosial yang cukup rendah, menjual ‘kecantikan padang gurun’ untuk kenang-kenangan para turis mancanegara yang berkantong tebal. “Kelihatan, mana yang orang kasta tinggi mana yang orang gurun,” kata Lam Li, “walaupun sama-sama berwaju warna-warni dan mencolok mata, pakaian orang gurun ini sudah tambal sulam. Kosmetik yang mereka pakai menghias wajah pun sering kali amburadul, bentrok sana-sini, norak luar biasa.” Ada yang gincunya ungu gelap, membuat wajah hitamnya bertambah seram, ada pula yang bedaknya terlalu tebal sampai seperti orang sakit kulit. Walaupun demikian, siapa yang tak terkesima melihat gelora kaum perempuan Rajasthan ini yang begitu dahsyat. Kerudung tembus pandang menutup wajah mereka sepenuhnya, melindungi [...]

September 16, 2014 // 0 Comments

Titik Nol (81): Pasar Unta

Pasar unta di Pushkar. (AGUSTINUS WIBOWO) Purnama berpancar penuh di Bulan Kartika. Kartik Purnima, purnama yang membawa keberuntungan, bersinar di antara atap mandir yang menjulang. Asap dupa bertebar, kolam suci memancarkan sinar. Dan kota Pushkar dipenuhi segala jenis hewan ternak Kartik Purnima diagungkan oleh umat Hindu, Sikh, dan Muslim India. Jatuhnya di sekitar bulan November. Ketika bulan bersinar sepenuh-penuhnya, kolam suci menjanjikan penyucian diri yang paling sempurna. Umat Hindu dari seluruh penjuru negeri berdatangan ke kolam Pushkar. Mulai dari sadhu yang berbungkus kain kumal, berselimut aroma dupa dan wangi bunga, hingga ke peziarah jelata yang datang berombongan dalam bus pariwisata. Pada saat yang bersamaan, padang pasir Pushkar menjadi arena pasar unta terbesar di dunia. Suku-suku pengembara padang gurun mengadu nasib di sini, mentransformasi kekayaan potensial mereka menjadi gepokan uang. Seekor unta mencapai 20 ribu Rupee, harta karun paling utama bangsa pengembara. Bukan hanya unta, ada pula kambing, domba, kuda, dan segala macam ternak lainnya. “Saya datang dari Nagaur,” kata pria bersurban berkumis tebal dan bermata garang, “Empat hari jauhnya jalan kaki dari sini. Sang pedagang unta membawa tiga ekor unta besar dan dua kuda gagah, mendirikan kemah kecil di tengah padang untuk tinggalnya dan bocahnya. Mereka sekeluarga sudah datang di [...]

September 15, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 80: Kota Suci

Para peziarah mencelupkan diri dalam danau suci. (AGUSTINUS WIBOWO) “Hare Krishna Hare Krishna, Krishna Krishna Hare Hare, Hare Rama Hare Rama, Rama Rama Hare Hare” Kabut masih menyelimuti pagi yang dingin di Pushkar. Pukul enam tepat, hari baru di kota danau suci ini dimulai dengan bacaan mantra enam belas kata Hare Krishna. Enam belas kata, diikuti enam belas kata berikutnya, diikuti enam belas lagi, berulang-ulang, dari pagi hingga tengah hari. Ribut sekali, dinyalakan dari kaset yang sudah hampir rusak pitanya. Kenapa pukul enam? Tepat jam enam pagi Undang-undang Polusi Suara tak berlaku lagi. Isi Undang-undang ini adalah segala jenis kebisingan dilarang mulai dari jam 10 malam sampai 6 pagi. Kebisingan ini meliputi drum, terompet, pengeras suara, klakson mobil dan sepeda motor, dan lain sebagainya. Larangan ini juga berlaku bagi semua tempat ibadah. Begitu jarum jam menunjuk pukul enam, kedamaian dan ketentraman pun seketika menguap bersama terbitnya mentari. Kuil-kuil berlomba dengan loudspeaker mereka, melantunkan mantra suci dari pagi sampai malam. Maha-mantra Hare Krishna seharusnya punya kekuatan dahsyat, menyucikan diri dan membawa pencerahan, diucapkan dari hati yang paling dalam dengan suara bergetar. Tetapi sekarang orang tak perlu repot membaca dari pagi sampai malam, cukup menyalakan kaset tua dengan pengeras suara berkualitas buruk, [...]

September 12, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 79: Turisme di Kota Kuno

Kota suci Pushkar di sekeliling danau suci. (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kecil Pushkar, tempat datangnya ribuan umat Hindu membasuh diri di kolam suci, hiruk pikuk menyambut datangnya Kartika Purnima. Bukan hanya kaum peziarah, kini unta, karavan, nomad, memenuhi seluruh sudut kota. Tak lupa tentunya turis. Bagaimana turisme mengubah kehidupan di tempat suci ini? Saya dan Lam Li bersama-sama meninggalkan Jaipur menuju kota suci Pushkar. Bus penuh sesak. Orang India selalu tidak sabaran untuk turun dari bus. Saling desak, saling senggol, saya hampir terlindas oleh kakek tua yang mendorong saya dengan kasar. Penduduk negeri ini sepertinya punya konsep waktu yang aneh. Di kala senggang mereka tiduran seperti waktu tak pernah habis. Tetapi kalau sudah urusan turun dari kendaraan, mulai dari bus, rickshaw, kereta api, sampai pesawat terbang sekali pun, mereka harus jadi yang paling dulu menyentuh tanah, seolah waktu mereka tak tersisa lagi barang sedetik pun. Kami berganti bus di kota suci Ajmer, kota suci umat Muslim. Pushkar, kota sucinya umat Hindu, hanya 14 kilometer jauhnya dari Ajmer. Suasana kota kuno segera menyergap begitu kami memasuki gang sempit Pushkar yang berkelok-kelok bagai rumah sesat. Rumah kotak-kotak berwarna putih bertebaran. Alunan mantra terus mengalir dari pengeras suara yang ringsek. Sapi berkeliaran, dan perempuan [...]

September 11, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 74: Istirahat

Jaipur, kota merah jambu. (AGUSTINUS WIBOWO) Setumpuk masalah visa dan bencana bom di New Delhi membuat saya lelah. Saya ingin istirahat, menenangkan pikiran. Rajasthan adalah pilihannya. “Kamu yakin mau ke Rajasthan untuk menenangkan diri?” tanya Lam Li “kamu mesti ingat, India sama sekali bukan tempat untuk bersantai. Nanti jadinya malah kamu yang stress.” Lam Li, si petualang cewek dari Malaysia, baru saja datang kemarin dari Varanasi dan tak sengaja menginap di losmen yang sama dengan saya. Sejak hari pertama datang ia muntah-muntah hebat. Obatnya cuma Coca Cola campur garam dan sebatang rokok. Hari ini wajahnya masih pucat. Keputusan saya sudah bulat. Saya berangkat ke Jaipur di Rajasthan juga untuk mengejar perayaan hari raya Diwali – festival cahaya, perayaan terbesar bagi umat Hindu di India. Diwali adalah perayaan kemenangan terang melawan kegelapan, pencerahan mengatasi kebodohan, dan kebaikan mengalahkan kejahatan. Apalagi Diwali tahun ini hampir berbarengan dengan Idul Fitri, pasti sangat meriah. “Ya sudah, berangkatlah dulu,” kata Lam Li, “besok aku menyusul. Hari ini aku masih sakit. Kalau sudah dapat penginapan murah di sana, bagi tahu ya.” Saya dan Lam Li rasanya sudah menjadi teman perjalanan yang cocok. Kami tak selalu harus bersama ke mana-mana. Tetapi kami saling bantu dalam memberi informasi. [...]

September 4, 2014 // 0 Comments

Titik Nol (66): Lumbini

Pagoda Mongolia di Lumbini. (AGUSTINUS WIBOWO) Setelah mendapatkan visa India, saya langsung menggeret Nefransjah – seorang kawan backpacker Indonesia, untuk bersama-sama berangkat menuju negeri Hindustan. Perbatasan India dan Nepal yang paling sering dilintasi adalah Sunauli, terletak tiga kilometer di selatan kota Bhairawa yang panas dan kering. Debu langsung memenuhi kerongkongan, begitu kami meloncat dari bus. Lurus ke selatan adalah India. Belok ke kanan adalah Lumbini – tempat kelahiran Budha. Saya menganjurkan untuk singgah dulu ke Lumbini, bermalam di kota suci itu, dan melanjutkan ke India esok hari. Langit sudah mulai gelap, kendaraan pun tak banyak. Masuk ke negeri yang sama sekali asing di tengah kegelapan malam tentunya bukan hal yang menyenangkan. Jalan berdebu ke arah Lumbini sunyi senyap, tak ada kendaraan ke arah desa kecil itu. Hanya turis dan peziarah Budha yang ke sana. Sebagian besar kendaraan umum dan truk barang hanya menuju ke India, negara tetangga raksasa yang menawarkan gelimang kemakmuran. Bulan purnama bersinar, menerangi malam yang berdebu. Saya, Nef, dan seorang backpacker Israel terguncang-guncang di bak truk melintasi jalan batu menuju Lumbini. Lumbini sungguh berbeda dengan kota Nepal kebanyakan. Biksu Budha dari berbagai negara ada di sini. Selamat datang di India. Orang Nepal dan India bebas keluar masuk [...]

August 25, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 63: Angkasa Raya

Manusia sungguh tak ada artinya di hadapan gunung-gunung perkasa ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Babak belur saya sampai di Jomsom, diterpa angin ribut dan badai pasir. Kaki saya sudah tak kuat lagi rasanya. Rambut jadi gimbal seperti Bob Marley di Muktinath. Selapis debu bercampur keringat membungkus tubuh. Ini adalah akhir perjalanan saya di Annapurna. Memang saya belum berhasil mengitari seluruh Sirkuit Annapurna, tetapi saya sudah bulat memutuskan untuk kembali ke Kathmandu esok hari dengan pesawat gunung dari Jomsom menuju Pokhara. Kekhawatiran terutama saya adalah visa India. Tiga minggu lalu saya sudah menyodorkan pengajuan visa ke Kedutaan India, diminta untuk mengambil visa seminggu sesudahnya. Karena sedang berada di Annapurna, sekarang saya sudah terlambat satu minggu untuk pengambilan visa. Masalah visa ini sempat menghantui tidur saya di Muktinath. Saya merengek-rengek di depan petugas visa yang kejam, yang hanya bisa memberi saya visa satu bulan. Saya terjepit di Nepal, negeri mungil yang dipepet satu raksasa besar di utara dan satunya lagi di selatan. Mimpi buruk itu membuat saya memutuskan untuk kembali ke Kathmandu secepatnya. Saya adalah orang yang percaya firasat. Mimpi bisa jadi pertanda alam yang menuntun takdir. Di pegunungan Himalaya ini, banyak penerbangan swasta yang namanya membawa-bawa misteri atap dunia. Sebut saja Yeti Airlines, [...]

August 20, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 61: Api yang Tak Pernah Padam

Mendaki dalam kabut dan salju. (AGUSTINUS WIBOWO) Terbungkus kabut kami mendaki. Yang ada hanya kelabu, dingin. Angin menampar wajah, membekukan semangat. Tetapi, ada api yang tak pernah padam yang membuat kaki terus melangkah, menapak di atas tumpukan salju tebal. Kami berangkat dari High Camp pukul lima subuh. Matahari masih belum bersinar. Jalanan gelap. Hanya bulatan pancaran lampu senter yang menjadi penunjuk jalan, ditambah denting lonceng leher keledai yang mengangkut bawaan rombongan trekker. Dalam kegelapan ini, saya meraba jalan. Hanya tahu naik, naik, dan terus naik… Pada ketinggian 5000 meter, jangankan mendaki, untuk bernafas pun susah. Langkah menjadi pendek. Beban tas ransel kosong di punggung rasanya seberat karung beras. Naik, naik, dan terus naik…. Thorung La masih 600 meter lebih tinggi dari High Camp. Pukul enam, bias-bias mentari masih tak sanggup menembus mendung. Dunia di sekeliling terbungkus putih yang merata. Semalam hujan salju deras. Dulu waktu kecil, saya pernah membayangkan, bagaimana rasanya kehidupan di balik awan sana. Hari ini, pada ketinggian 5100 meter, dua per tiga perjalanan menuju puncak, saya sudah berada di tengah awan dan kabut. Dingin. Wajah terus ditampar terpaan angin, disiram bulir salju. Semangat dipadamkan oleh dingin dan kemuraman. Gunung-gunung di sekeliling pucat, namun perkasa. Saya tahu, di [...]

August 18, 2014 // 1 Comment

1 2 3 4