Garis Batas 49: Kontras
Bergulat dengan kemiskinan (AGUSTINUS WIBOWO) Sebuah dunia lain menyambut saya, persis selepas saya melintasi perbatasan Kazakhstan-Uzbekistan. Kazakhstan yang dingin dan berlapis salju seakan menjadi masa lalu. Malam-malam yang dingin di atas bangku terminal, diobrak-abrik polisi stasiun, plus mie instan yang menjadi makanan pokok saya, sudah boleh dilupakan. Zhibek Zholi yang licin dengan nenek-nenek yang ganas, adalah kenangan terakhir dari Kazakhstan. Uzbekistan menghampar. Rumput-rumput hijau kering mengisi kanan kiri jalan. Entah sudah berapa lama saya tidak melihat rumput. Di Kazakhstan, semuanya tertutup salju. Bahkan di Zhibek Zholi yang cuma lima puluh meter di belakang perbatasan, es masih melapisi semua permukaan. Bayangkan, hanya melewati garis batas negara, dunia pun berubah. Ramai sekali. Mobil-mobil berjajar di pinggir jalan, mencari penumpang menuju Tashkent. Ibu-ibu penukar mata uang Uzbek sama gemuknya dengan di Kazakhstan sana, cuma punya hidung yang lebih mancung dan mata lebih lebar. Yang paling berbeda, senyum dan tawa menghiasi wajah-wajah tua itu. Kalau di Kazakhstan sana orang sering marah-marah kalau difoto, di Uzbekistan sini, ibu-ibu pencari nafkah di sekitar perbatasan malah berpose manja di depan kamera saya tanpa diminta. Habis dipotret, mereka mengingatkan saya, “Cepat, masukkan kameramu, nanti kalau kelihatan polisi kamu kena shtraf, kena denda.” Sungguh berbeda dengan penjual sayuran di [...]