Recommended

Titik Nol 59: Vegetarian Seumur Hidup

Para porter bermain kartu mengisi senja yang dingin. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para porter bermain kartu mengisi senja yang dingin. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kabut mulai turun menyelimuti barisan pegunungan Annapurna III dan Gangapurna. Tak ada lagi yang tampak kecuali putih yang sempurna. Kami bertiga memutuskan untuk terus berangkat menuju puncak.

“Tak perlu kita memforsir tenaga,” kata Jörg, “kita sudah mengirit satu hari di Manang, hari ini kita cukup berjalan satu desa saja sampai ke Letdar.”

Pada ketinggian ini, desa semakin jarang dan berjauhan. Gunsang sudah hampir mencapai empat ribu meter, sudah jauh lebih tinggi daripada Gunung Semeru. Pepohonan sudah lenyap, berganti tanaman rumput. Orang Newar sudah tak nampak, yang ada cuma orang Tibet, Tamang, dan Gurung – semuanya orang gunung yang tangguh, bahan baku pasukan Ghurka yang tersohor di seluruh dunia.

Kami terus mendaki. Masih kurang sekitar 1500 meter ketinggian lagi untuk mencapai puncak Thorung La. Sebenarnya saya tidak terlalu khawatir akan gejala penyakit ketinggian, karena saya sudah terbiasa dengan beratnya alam di Tibet. Tetapi, sejak meninggalkan Gunsang, saya merasa sedikit pusing dan meriang, ditambah batuk berdahak dan hidung mampet.

Menurut peta yang dibawa Jörg, tujuan berikutnya, Dusun Letdar, hanya satu jam perjalanan dari Gunsang. Satu jam, tentu bukan siksaan yang terlalu berat, begitu pikir kami. Tetapi memang terlalu naif kalau menyamakan rayapan kami yang menyeret tanah dengan standar berjalan orang Nepal yang seperti terbang. Kami butuh waktu setidaknya lima jam untuk mencapai Letdar.

Menuju Letdar. (AGUSTINUS WIBOWO)

Menuju Letdar. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sebelum Letdar, ada lagi satu desa yang bernama Yak Kharka. Nama yang aneh. Mungkin karena di sini banyak yak. Saya teringat Nef yang belum pernah melihat yak tetapi sudah menyantap dagingnya di atas piring steak. Di desa ini pun, Nef terkenal.

“O… kamu dari Indonesia ya,” kata seorang pria Tamang penduduk setempat, bekerja sambilan sebagai porter, “kemarin ada orang Indonesia juga, cari porter di Manang. Saya bantu mencarikan. Kamu kenal dia?”

Nef memang sempat kebingungan mencari porter yang mau diajak sampai ke Jomsom. Sejak tiba-tiba datang dari Humde yang tinggi, tubuhnya masih belum sepenuhnya beradaptasi dengan tanah tinggi. Kepalanya masih berat, dan sekarang harus membopong tas punggung besar mencapai puncak salju di atas sana. Masalahnya, di Manang, tidak banyak orang yang mau. Kalaupun ada harganya pun relatif mahal. Tetapi nampaknya, kawan Indonesia kita ini berhasil menemukan orang yang ia cari-cari, dan sudah berangkat mendahului saya.

Letdar, pada ketinggian 4200 meter, sudah menjadi dunia lain lagi. Dingin dibungkus kabut. Rumah batu penduduk berbaris. Kami memutuskan untuk beristirahat di dusun ini.

Jörg dan Oi Lye sudah berjaket tebal. Saya, yang kurang persiapan, hanya berbalut sweater dan jaket universitas. Sarung tangan dan topi musim dingin benar-benar membantu. Selebihnya, saya tak punya apa-apa lagi.

Tiada rotan akar pun jadi - kaleng bekas pun bisa menjadi silinder roda doa. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tiada rotan akar pun jadi – kaleng bekas pun bisa menjadi silinder roda doa. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pusing, menggigil, dan meriang. Sudah kurang sedikit lagi mencapai puncak tinggi itu, tantangannya malah semakin berat.

“Tidak ada sakit kepala?” tanya Shri Gurung, seorang porter, penerjemah, sekaligus pemandu rombongan turis Israel.

Ia mampu memanggul tiga buah ransel seberat total empat puluh kilogram di pundaknya, melalui jalan naik-turun bukit.

Saya menggeleng. Tidak sakit kepala, cuma sedikit pusing saja.

“Tidak ada muntah-muntah?”

“Tidak kehilangan nafsu makan?”

“Jangan kuatir. Bukan Altitude Sickness. Meriang biasa. Saya yakin kamu pasti mampu mencapai Muktiknath,” pria Gurung itu meyakinkan.

Saya hanya bisa tersenyum kecut. Tetapi setidaknya kami jadi bersahabat. Shri Gurung sudah menganggap saya sebagai saudaranya sendiri, karena penampilan saya yang sudah mirip orang Gurung yang Mongoloid. Ia menjuluki saya Gurung Bhai – Saudara Gurung.

Shri Gurung membawa tiga orang turis Israel. Turis-turis bule ini, tidak seperti rombongan kami, tidak pernah menawar dan selalu siap membayar berapa pun yang diminta pemilik pemondokan. Shri Gurung pun kebagian cipratan bonus dari pemilik pemondokan yang senang dapat tamu tajir.

“Kamu beruntung, di Letdar masih bisa dapat penginapan gratis,” ia memuji, “Tetapi setelah ini, Thorung Pedi dan High Camp, semua penginapan mahal. Di sana memang aslinya tidak ada desa, hanya pengusaha penginapan yang tak mungkin melepaskan keuntungan besar karena tidak ada saingan. Tetapi kamu jangan bilang-bilang ya ke tamuku kalau harga-harga di sini masih bisa ditawar.”

Siapa yang tak terpukau oleh kedahsyatan gunung-gunung salju ini? (AGUSTINUS WIBOWO)

Siapa yang tak terpukau oleh kedahsyatan gunung-gunung salju ini? (AGUSTINUS WIBOWO)

Di tempat yang dingin dan tinggi ini, mudah sekali menjadi lelah dan ngantuk. Sepanjang sore yang berkabut, saya melewatkan waktu hanya terbujur di atas kasur keras. Tak sampai setengah jam, saya sudah terbangun oleh teriakan orang-orang di luar sana.

Saya melihat sekelompok pria menyeret makhluk hitam besar sambil berteriak-teriak di lembah tepian jurang. Anjing menggonggong tanpa henti, seperti bergembira menyambut pesta.

“Penduduk desa ini adalah umat Budha yang religius,” kata Shri Gurung, “Mereka bervegetarian seumur hidup. Bukan hanya tak menyakiti binatang, mereka pun senantiasa mengikuti perintah agama. Tadi, ada dua ekor yak berkelahi. Yang satu mati. Orang-orang ini, mengikuti ajaran Budha, menyeret mayat yak yang mati itu ke lembah, supaya menjadi santapan burung pemangsa.”

Penganut Budha Tibet tidak menguburkan jenazah mereka setelah meninggal. Mayat orang Tibet ditaruh di atas puncak gunung tinggi, untuk menjadi santapan burung pemangsa. Inti ajarannya adalah untuk membaktikan diri kepada alam – walaupun roh sudah meninggalkan jasad tetapi masih bisa memberi makan pada burung-burung kelaparan.

“Tetapi, anjing-anjing nakal yang juga kelaparan itu terus berdatangan ke lembah, ingin menikmati daging yak itu. Akhirnya, daripada dimakan anjing, mayat yak diseret kembali ke desa, ke halaman rumah penduduk,” Shri Gurung menjelaskan asal ribut-ribut barusan.

Menjadi religius bukan pilihan. Bagi mereka, perintah agama adalah jalan hidup.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 23 Oktober 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*