Recommended

Titik Nol 82: Festival Padang Pasir

Warna-warni Rajasthan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Warna-warni Rajasthan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pushkar yang suci tidak hanya dipenuhi oleh peziarah dan pedagang unta. Eksotisme danau suci dan pasar unta tak luput dari perhatian turis dari seluruh penjuru dunia.

“Japani! Japani!”  Dua orang perempuan berkerudung, yang satu merah jambu satunya merah membara, berteriak ke arah kami sambil berlari, mengumbar senyum pada sebaris gigi kuning yang mengkontraskan wajah hitam.

“Foto! Foto!” mereka menggeret tangan saya.

Walaupun sempat tergoda oleh pakaian mereka yang sangat etnis, aksesori berwarna-warni dan berat, saya memaksa diri untuk tidak memotret. Perempuan dan gadis-gadis ini selalu meminta imbalan Rupee atau dolar.

Mereka datang dari kelas sosial yang cukup rendah, menjual ‘kecantikan padang gurun’ untuk kenang-kenangan para turis mancanegara yang berkantong tebal.

“Kelihatan, mana yang orang kasta tinggi mana yang orang gurun,” kata Lam Li, “walaupun sama-sama berwaju warna-warni dan mencolok mata, pakaian orang gurun ini sudah tambal sulam. Kosmetik yang mereka pakai menghias wajah pun sering kali amburadul, bentrok sana-sini, norak luar biasa.”

Ada yang gincunya ungu gelap, membuat wajah hitamnya bertambah seram, ada pula yang bedaknya terlalu tebal sampai seperti orang sakit kulit.

Walaupun demikian, siapa yang tak terkesima melihat gelora kaum perempuan Rajasthan ini yang begitu dahsyat. Kerudung tembus pandang menutup wajah mereka sepenuhnya, melindungi sang pemakai dari terik mentari. Bunyi bingel dan gelang bergemerincing, ketika kaki telanjang mereka menapaki pasir lembut dan panas. Semua warna ada di sini, mulai dari yang lazim seperti merah menyala dan kuning, sampai warna berani seperti ungu, biru donker, dan hijau tua. Rioting colors, demikian Lam Li mendeskripsikannya, warna-warni yang memberontak kemonotonan gurun Thar. Bagaikan pelangi di siang yang terik, kaum perempuan gurun ini menghablurkan kesejukan.

Jalanan Pushkar yang penuh dengan warna. (AGUSTINUS WIBOWO)

Jalanan Pushkar yang penuh dengan warna. (AGUSTINUS WIBOWO)

Banjirnya suku-suku padang gurun ke Pushkar dalam festival Kartik Purnima tidak disia-siakan oleh pemerintah setempat. Rajasthan Tourism Board dengan giat mempromosikan Festival Unta Pushkar sebagai salah satu agenda pariwisata internasional. Hasilnya, orang asing hampir sama banyaknya dengan penduduk setempat di bulan November. Pushkar menjadi kota internasional, dan harga akomodasi dan segala jenis barang meroket drastis.

Sebagian besar yang berkeliaran di kota Pushkar adalah kaum pendatang. Masa festival unta dan Kartik Purnima adalah masa panen bagi pemilik rumah. Mereka tinggal menyewakan toko atau rumahnya, lalu ongkang-ongkang kaki menunggu hujan uang. Bagaimana seorang pedagang teh di tengah padang pasir bisa meraup untung, kalau secangkir teh harganya 3 Rupee, sedangkan harga sewa kedai bobrok ini 300 Rupee per hari? Ia harus menjual sedikitnya 100 cangkir Rupee sehari hanya untuk menutup uang sewa. Di negara yang berpenduduk miliaran ini, setiap jenis pekerjaan diperebutkan oleh puluhan juta manusia. Kalau pedagang teh tak suka dengan keuntungan marginal, silakan minggir, masih ada jutaan pedagang teh lain yang siap mengisi kios bobrok pinggir gurun ini.

Seorang pedagang wayang di Pushkar mengeluh karena selama masa festival Pushkar Mela, harga sewa toko tempat ia berdagang adalah 5.000 Rupee untuk delapan hari, sedangkan untuk hari biasa sewanya cuma 200 Rupee seminggu. Menjelang festival, pemilik toko tinggal mengalihkan tokonya dan berlibur dengan uang sewa yang diterima.

Pemilik wayang dari Jaipur ini sudah delapan kali datang ke Festival Pushkar Mela. Tentu ada magnet luar biasa yang menariknya untuk terus datang ke sini, di kala harga meroket tetapi di saat bersamaan orang asing membanjir. Segala jenis taktik digunakan untuk merayu pelanggan, seperti menawarkan pertunjukan wayang gratis sampai menjajakan cinta. Di menit pertama berkenalan dengan Lam Li, ia menanyakan apakah Lam Li sudah menikah. Di menit kedua, bertanya, “Apakah kamu percaya akan cinta pandangan pertama?” Di menit kelima sudah menawari gadis Malaysia itu untuk menginap.

Busana wanita gurun. (AGUSTINUS WIBOWO)

Busana wanita gurun. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Mister! Madam!” seorang pria gurun dengan semangat menyetop kami, “ayo, naik unta keliling gurun.”

Saya tidak begitu tertarik dengan kegiatan turisme. Dengan beralasan takut, saya menolaknya. Pemilik unta itu tak langsung menyerah, “Jangan khawatir, Sir, saya punya camel car. Tak perlu takut.” Hah. Camel car? Kereta unta? Orang-orang ini sangat kreatif mencari segala macam cara demi memperoleh pemasukan.

Orang asing yang membanjiri kota kuno ini telah banyak mengubah wajah Pushkar dan keseharian Rajasthan. Ada simbiosis mutualisme di sini. Orang dari negeri-negeri yang lebih kaya berdatangan ke sini, dalam perjalanan menuju negeri ‘timur’ yang eksotis, mencari ‘pencerahan’ dan misteri dunia yang tersembunyi di negeri kuno. Dari kantung mereka yang tebal, penduduk negeri tua hidup, menawarkan segala jenis budaya dan masa lalu mereka yang bisa dijual untuk balasan kepingan Rupee dan dolar.

Jangan terkejut kalau di kota bertabur kuil tua, peziarah suci, pandita agung, ada pula barisan toko burger, kios Internet, restoran spageti Itali, humus Israel, roti Jerman, sampai toko buku bekas menawarkan koleksi tulisan Salman Rushdie yang kontroversial.

Pushkar memang penuh kejutan. Ketika saya menyusuri gang sempit Pushkar yang dibanjiri manusia, mengunjungi toko buku dan mencari bacaan bekas dan murah, tiba-tiba pundak saya ditepuk dari belakang.

“Agustinus?” tanya pria kurus dan tinggi itu, “Kamu yang dari Indonesia?”

“Ben!!!” Saya hampir tak percaya berjumpa lagi dengan pria Inggris ini di sini.

Ben Maschall, dua tahun silam, adalah seorang backpacker Inggris yang saya jumpai di Samarqand. Kami bersama-sama ke gurun Aral, di mana Ben yang mabuk sempat mengalami masalah dengan orang Karakalpak yang marah-marah rumahnya dikencingi. Sungguh konyol. Tetapi siapa sangka kalau dua tahun tanpa sedikit pun bertegur sapa, kami malah bertemu di kota Pushkar, di tengah meriahnya festival unta. Dunia memang kecil. Dan orang yang bertualang mengelilingi dunia, memang ditakdirkan untuk terus bertemu dan bertemu lagi, menyambung irisan-irisan takdir yang bersinggungan.

Lam Li dan penjual wayang yang ramah - rajin menjamah. (AGUSTINUS WIBOWO)

Lam Li dan penjual wayang yang ramah – rajin menjamah. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Sehabis dari Uzbekistan saya jadi sukarelawan di India,” kisahnya, “selama dua tahun saya tinggal di negara ini. Lalu, saya dan teman-teman membeli unta. Kami berkeliling Rajasthan dengan naik unta. Keren sekali bukan? Sekarang kami datang ke festival ini untuk menjual unta-unta kami.”

Ternyata bukan hanya pria bersurban dari pedalaman gurun yang mengadu nasib menjual unta di kota mahal ini. Bule-bule sableng pun ikut serta dalam meriahnya pasar padang gurun.

Kartik Purnima sudah menjelang. Pushkar pun semakin terbungkus dalam kemeriahan dan semburat warna-warni, semakin gempita oleh kedatangan karavan unta dari pedalaman gurun hingga segala macam turis dari penjuru dunia.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 25 November 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*