Recommended

Dome 9 Oktober 2014: OPM Juga Manusia(2)

141009-png-dome-pengungsi-opm-2-1Sudah tiga puluh tahun para pengungsi dari Papua tinggal di desa Dome, Papua Nugini. Seiring waktu, konflik antara para pendatang dengan penduduk setempat semakin meluas.

Warga lokal sering menuduh para pengungsi menggunakan perempuan mereka untuk menggoda para lelaki Papua Nugini, dengan tujuan untuk mendapatkan kewarganegaraan Papua Nugini. Kasus itu terjadi pada Jenny Wuring, warga Papua Nugini yang kini sedang mengurus perceraian dengan suaminya. Dia bilang, seorang gadis pengungsi Papua berumur 16 tahun pernah menggoda suaminya yang berumur 40 tahun, sehingga Jenny membawa kasus ini ke pengadilan. Ayah dari gadis itu adalah seorang anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah gerakan separatis yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dari cengkeraman Indonesia. Selain itu, Jenny juga mencurigai para pengungsi itu menguasai ilmu sihir sehingga sering membunuh dengan menyantet warga asli. Dia curiga, ayahnya yang tiba-tiba meninggal sepuluh tahun lalu itu adalah gara-gara sihir dari warga pengungsi.

Orang-orang Papua Nugini di Dome memang memanggil para pengungsi dengan istilah bahasa Melayu, sobat. Tetapi itu seperti panggilan tanpa makna. Konflik di antara mereka semakin parah dan belakangan ini sering menjadi kontak fisik. Misalnya, penduduk asli Dome yang marah sering menebangi pohon-pohon pisang yang ditanam para pengungsi. Peristiwa terparah adalah pembakaran sekolah yang dibangun para pengungsi, yang terjadi pada tahun 2013. Gedung sekolah yang terbuat dari kayu dan daun-daunan itu dibakar warga asli pada suatu tengah malam. Para pengungsi tidak membalas tindakan warga asli. “Mereka adalah tuan tanah, kami hanya pendatang. Kami hanya bisa berdoa pada Tuhan supaya mereka sadar,” kata seorang pengungsi.

Saya menemui pelakunya, yang ternyata masih anggota keluarga kepala desa Dome. Michael Kati adalah seorang lelaki berusia 42 tahun, dengan tubuh yang gemuk dan kekar. Saat saya bertemu dengannya, matanya merah dan aroma alkohol tercium kuat. Bicaranya melayang-layang. “Di desa ini kami sudah punya sekolah, dan mereka boleh datang ke sini, buat apa mereka bangun sekolah mereka sendiri?” serunya. Sejurus kemudian, dia menangis. “Dengan tanganku ini, aku bakar sekolah itu. Aku adalah tuan tanah, dan ayahkulah yang membawa para pengungsi itu ke sini. Sekarang aku mau mereka enyah dari sini! Kami tidak punya tanah lagi! Makanan kami diambil mereka. Lalu siapa yang membela hak-hak kami?”

Michael, warga lokal yang membakar sekolah yang dibangun para pengungsi, dan dengan bangga menceritakan kembali aksinya.

Michael, warga lokal yang membakar sekolah yang dibangun para pengungsi, dan dengan bangga menceritakan kembali aksinya.

Menurut para pengungsi, kejadiannya tidak sesederhana itu. Michael dikabarkan menaksir seorang gadis pengungsi. Para pengungsi menolak karena Michael adalah seorang lelaki yang sudah beristri, sehingga Michael marah, dan terjadilah pembakaran itu. Gadis pengungsi itu pun kemudian menjadi istri muda Michael, yang mengawali konflik baru dengan istri pertamanya.

Warga asli Dome sudah berulang kali berusaha menghalangi aliran bantuan kemanusiaan apa pun terhadap para pengungsi di desa mereka. Sebenarnya, pemberian bantuan kepada para pengungsi ini aslinya memang sudah sulit. Pemerintah Papua Nugini dan perusahaan pertambangan Ok Tedi tidak bisa memberi bantuan langsung, karena ketiadaan status kewarganegaraan para pengungsi. Karena itu, bantuan biasanya dialirkan melalui Gereja Katolik. Tetapi, menurut seorang suster Gereja Katolik yang saya jumpai di Kiunga, bantuan ini pun sering diblokir oleh penduduk asli Dome sebelum mencapai pengungsi. Itu sebabnya, para pengungsi Papua Barat itu juga mencurigai Gereja telah mengabaikan mereka.

Desa Dome sendiri menghadapi krisis lingkungan yang semakin hebat. Sebuah pusat pengolahan limbah pertambangan dibangun oleh perusahaan pertambangan Ok Tedi di dekat sini, dan sedimentasi dari aktivitas itu menyebabkan sungai semakin dangkal dan lebar. Warga Dome merencanakan akan bermigrasi massal ke lokasi baru. Bagaimana dengan para pengungsi? “Aku tidak tahu, dan aku tidak peduli. Kami sudah terlalu lelah untuk tinggal bersama,” kata Michael.

Sikap acuh seperti ini sangat lazim di kalangan warga asli yang mendiami Dome. Hari itu, ada pemakaman seorang warga pengungsi OPM. Biasanya, di kalangan masyarakat tradisional, pemakaman adalah kegiatan komunal yang melibatkan seluruh desa. Tetapi, saking parahnya perselisihan antara warga asli dengan pengungsi, tidak satu pun warga asli yang tahu, apalagi peduli untuk melayat. “Biarkan debu mengubur debu!” seru keluarga kepala desa Dome yang saya ajak melayat.

Ditemani Jenny, saya pergi ke bagian desa Dome yang dihuni pengungsi, yang kini dijuluki sebagai “Dome-2”. Jenny sebenarnya sangat enggan. Kami bersama menuju ke rumah Titus—“kepala desa” tidak resmi untuk para pengungsi.

Titus bekerja sambilan sebagai pedagang warung. Saat kami datang, dia tidak di rumah. Jenny, yang mulutnya kering setelah mengunyah banyak pinang, ingin membeli permen. Jenny berteriak, “Permen!” sambil melempar uang koin 20 sen ke tanah, seperti melempar jagung untuk makanan ayam. Seperti ayam pula, seorang keponakan Titus langsung berlari memunguti uang koin itu, tanpa berkata apa-apa, lalu kembali masuk ke warung dan membawakan permen untuk Jenny.

Sambil menunggu Titus, kami berbincang dengan Frederikus, anak lelaki tertua Titus yang berumur 18 tahun. Dia dikeluarkan dari sekolah saat dia duduk di Kelas 11, gara-gara mencuri 36 ekor ikan bersama lima murid orang PNG. Hanya dia satu-satunya yang pengungsi, dan hanya dia pula satu-satunya yang dipecat dari sekolah. Dia kemudian belajar di sekolah kejuruan, ingin menjadi seorang insinyur, tetapi lagi-lagi dia dikeluarkan karena “masalah kelakuan”.

Berbeda dengan pengakuan Titus bahwa para pengungsi OPM tidak sudi menginjakkan kaki lagi di Papua sebelum merdeka dari Indonesia, Frederikus justru berkata dia sudah berulang kali ke Papua, hampir setiap kali liburan sekolah. “Hidup di Indonesia sebenarnya bagus,” kata Frederikus, “Tetapi mereka hidup di bawah pemerintah komunis, tekanan militer, jadi saya takut.” Frederikus pernah bekerja di perkebunan sawit dan mendapat gaji Rp 3 juta setiap bulan. Dia kemudian pergi ke Merauke. Di pasar, tentara Indonesia menginterogasinya dengan nada mengancam. Dia mengaku dirinya warga Papua Nugini. Para tentara itu kemudian menggiringnya ke markas, menanyainya tentang bagaimana kehidupan di “negaranya”, bagaimana kehidupan pengungsi OPM dan di mana mereka tinggal. “Di desa saya tidak ada pengungsi, jadi saya tidak tahu,” kata Frederikus, anak seorang anggota OPM, berbohong pada para tentara Indonesia. Keesokannya, karena ketakutan, dia langsung kembali ke Papua Nugini.

Pengungsi bertahan hidup di tanah Dome yang tandus.

Pengungsi bertahan hidup di tanah Dome yang tandus.

Titus akhirnya tiba dari ladang. Kami berjalan bersama menuju lokasi pemakaman. Dia sudah 30 tahun menjadi kepala kampung, dan usianya sekarang baru 39 tahun! Saat berumur 9 tahun itu, Titus sudah kelas 2 SMP. Dia mengaku punya wawasan yang lincah, sehingga terus naik kelas, dan akhirnya diangkat oleh warga menjadi pemimpin mereka walaupun masih anak-anak. Pada tahun 2005, Titus pertama kali balik lagi ke Indonesia sejak mengungsi. Dia sangat gembira melihat keramaian mobil, jalanan, dan orang di Merauke. (Sebelumnya Titus bersikukuh mengaku tidak pernah ke Indonesia). Sejak itu, Titus sering ke Indonesia, dan pernah bekerja di perkebunan sawit.

Saat kami tiba di lokasi, ternyata pemakaman sudah selesai. Jenazah dimakamkan di depan rumah, dan para lelaki sedang membuat tudung dari daun pisang bagi makam itu.

Saya merasakan ketakutan dan kekhawatiran yang teramat kuat di kalangan para pengungsi. Begitu saya mengeluarkan kamera, semua lelaki dan perempuan langsung memalingkan muka. Kemudian datang seorang lelaki berambut rasta, mengeluarkan telepon genggam model lama, lalu memotret saya. Wajahnya sangat datar, dan begitu selesai memotret dia langsung pergi, seperti seorang mata-mata memotret target. Itu membuat saya merasa sangat tidak nyaman. Mungkin ketidaknyamanan yang sama dirasakan para pengungsi itu ketika saya memotret mereka.

Orang-orang berbisik-bisik pada Titus. Dia kemudian menggiring saya dan Jenny keluar kampung. Saya bertanya apakah memang kehadiran kami sangat tidak diharapkan di sini.

Titus menjawab, hari ini adalah tiga hari setelah kematian, dan keluarga akan menaruh bunga di atas makam. Dalam kepercayaan mereka, selama tiga hari ini, roh tidak pernah jauh dari rumah, dan keluarga akan memohon pada roh untuk masuk ke dalam rumah untuk tetap melindungi mereka. Jika ada orang yang bukan anggota keluarga berada di situ, maka akan memotong perjalanan roh itu sehingga tidak bisa melindungi keluarga. Itu sebabnya, ritual ini hanya boleh disaksikan oleh anggota keluarga.

Setelah meletakkan bunga di makam, mereka akan melakukan upacara khusus dengan menggunakan gigi buaya, untuk menentukan siapa orang yang telah membunuh almarhum. Konon, jika ada orang yang menggunakan sihir atau santet untuk membunuh almarhum, maka gigi buaya itu akan menunjukkan pertanda dan memberitahu siapa pelakunya.

Mereka melakukan ritual ini pada semua kematian. Bahkan kematian yang paling wajar karena penyakit orang tua pun akan mereka uji dengan ritual ini. Di Papua Nugini, ritual ini sering menjadi alasan pertikaian antar suku atau antar keluarga, karena menjadi dalih untuk “membalas dendam” pada pihak lain.

Para warga pengungsi menyiapkan makanan untuk pelayat.

Para warga pengungsi menyiapkan makanan untuk pelayat.

Setengah jam kemudian, Titus membawa saya dan Jenny kembali ke rumah duka. Kini orang-orang sudah duduk di dalam rumah gubuk itu. Para perempuan memasak di dapur belakang, dengan bak-bak besar berisi nasi putih, daun singkong, ayam rica, mi rebus yang ditutup dengan daun pisang. Mereka terus menyuguhi saya kopi dan makanan. Titus terus memperkenalkan saya kepada mereka sebagai orang Cina, mereka selalu berbahasa Melayu pada saya, sedangkan saya selalu menjawab dengan bahasa Inggris. Pertentangan identitas ini sungguh melelahkan.

Para pengungsi OPM ini, dibandingkan warga asli Papua Nugini, lebih bisa memasak. Kalau orang Papua Nugini umumnya hanya bisa merebus dan memanggang, para pengungsi ini bisa menggunakan bumbu dari bawang dan vetsin, menumis dan menggoreng, memadukan warna dan cita rasa sebagaimana cara memasak orang Asia. Interaksi dengan orang Asia Indonesia telah menjadikan makanan Asia sebagai bagian kehidupan mereka. Mereka bahkan telah menjadi pencinta cabai sebagaimana orang Jawa atau Sulawesi, sedangkan suku-suku asli Papua Nugini umumnya tidak pernah memasukkan cabai ke mulut mereka.

Berulang kali Titus mengatakan alasan utama Papua harus merdeka adalah karena rambut, warna kulit, dan cara hidup yang berbeda dengan Indonesia. Tetapi di sisi lain, saya berpikir bahwa interaksi dengan bangsa luar itulah yang justru akan membuat sebuah bangsa menjadi maju.

Di samping itu, para pengungsi Papua ini juga mempunyai jiwa berjuang yang jauh lebih kuat daripada warga lokal Papua Nugini. Walaupun mereka hidup dengan tanah yang sangat terbatas di pengungsian, mereka rajin menanaminya dengan segala jenis sayur dan bahan makanan, sehingga mereka tetap bertahan hidup mandiri walau berada di bawah tekanan penduduk asli. Mereka bahkan menanam buah-buahan Asia yang tidak pernah disaksikan oleh penduduk asli Papua Nugini sebelumnya, seperti rambutan dan durian. Sedangkan penduduk asli kebanyakan bersifat pasrah, suka menyalahkan pemerintah, dan terus menunggu datangnya bantuan atau kompensasi dari pihak luar. Saya menduga, semangat berjuang ini dibawa para pengungsi itu dari kampung halaman mereka, di mana mereka juga harus berjuang menghadapi persaingan dari para transmigran dan pendatang dari seluruh penjuru Indonesia. Mereka benar-benar manusia yang tangguh dan pantang menyerah!

Makanan para pengungsi sangat "Indonesia"

Makanan para pengungsi sangat “Indonesia”

Hanya saja, di tanah pengungsian ini mereka hidup dalam ketakutan. Status mereka sebagai pengungsi-tak-berdaya bagi Papua Nugini dan pejuang-kemerdekaan-yang-terus-melawan bagi Indonesia membuat mereka memiliki kerendahdirian sekaligus kemarahan yang secara simultan menghantui batin mereka.

Saya menyaksikan itu sangat nyata keesokan harinya, pada hari Sabtu, ketika digelar pasar di tanah lapang yang menjadi batas antara desa para pengungsi dengan warga asli.

Para pedagang juga seperti dipisahkan garis batas. Di satu sisi lapangan adalah para pengungsi, dan di satu sisi lapangan yang lain adalah warga asli. Dua kelompok manusia ini saling berjauhan dan nyaris tanpa interaksi. Para pengungsi lebih banyak menjual hasil ladang, sedangkan para warga asli lebih banyak menjual produk pabrik yang mereka beli dari kota. Warga asli tidak bermasalah dengan kamera saya, bahkan banyak yang antusias minta difoto, sedangkan para pengungsi, secara sadar atau tidak sadar, selalu memalingkan muka atau membelakangi saya.

Pasar sebenarnya adalah ajang interaksi terbatas antara kedua belahan desa ini. Ketika matahari meninggi dan orang sudah semakin ramai, seorang perempuan warga asli Dome berteriak-teriak dengan kemarahan berapi-api di tengah lapangan dan menuding-nuding pada para pengungsi. Ibunda perempuan itu ternyata baru meninggal minggu lalu, sedangkan di hari pemakaman dia merasa sangat terganggu oleh suara musik keras yang berasal dari desa pengungsi.

Perempuan warga asli itu berseru, “Tidak boleh lagi ada musik disko di kamp pengungsi! Kalian itu pendatang, sudah bikin banyak keributan di sini. Kalian mesti menghormati warga asli. Ini bukan tempat kalian! Pulang sana ke negeri asal kalian!”

Seorang perempuan pengungsi menukas, “Itu para pemuda dari Dome-1 yang datang ke Dome-2 dan memaksa supaya kami memutar musik.”

Perempuan warga asli itu semakin marah. “Tidak ada Dome-1, Dome-2! Cuma ada satu Dome! Kalian orang asing tidak berhak sembarangan memberi nama!”

Perempuan pengungsi itu membalas, “Tetapi benar pemuda kalian yang memaksa kami memutar musik.”

Perempuan warga asli itu berseru, “Tidak ada alasan!”

Pasar menjadi ajang menumpahkan kekesalan warga lokal terhadap pengungsi.

Pasar menjadi ajang menumpahkan kekesalan warga lokal terhadap pengungsi.

Demikianlah selama setengah jam, warga asli berteriak-teriak berseru menghujat kelakuan para pengungsi, yang di mata mereka selalu melanggar aturan dan tidak disiplin. Padahal, semalam saya tinggal di bagian desa yang dihuni warga asli, justru sepanjang malam sampai subuh, keluarga Michael (lelaki yang membakar sekolah pengungsi) dan tetangga-tetangganya menyalakan musik disko dengan volume menggelegar sampai subuh, dan terjadi perkelahian mengerikan antara para pemabuk. Kebetulan kemarin adalah hari Jumat, hari pembayaran uang kompensasi dari pertambangan, yang langsung mereka habiskan hari itu juga untuk membeli bir dan mabuk hingga pagi. Itulah apa yang bisa diberikan oleh uang kepada desa ini: kekacauan.

Sebenarnya permasalahan status siapa yang pemilik tanah dan siapa yang pendatang mencuat justru setelah Perusahaan Pertambangan Ok Tedi mulai memberikan kompensasi kepada para penduduk di daerah yang tertimpa bencana kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan, dan mereka berebut mendapat porsi terbesar. Hampir semua uang yang berputar di sini berhubungan dengan pertambangan, dan pihak penduduk asli berusaha semaksimal mungkin agar para pengungsi tidak kebagian berkah apa-apa.

Saya melihat warga asli justru berbondong-bondong meluapkan kekesalan mereka kepada para pengungsi, seolah para pengungsi ini adalah penyebab dari semua ketidakbahagiaan mereka. Sedangkan para pengungsi lebih banyak terdiam, menundukkan kepala, dan mendengar caci maki warga asli. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka.

Warga pengungsi selalu menghindari kamera.

Warga pengungsi selalu menghindari kamera.

Mereka hidup dalam keterbatasan dan ketakutan.

Mereka hidup dalam keterbatasan dan ketakutan.

Setelah suasana reda, saya menghampiri perempuan warga asli yang marah-marah itu.

“Kami dapat banyak begitu masalah di desa ini: dukun santet, orang mabuk, orang pacaran,” kata perempuan bernama Dipang itu, “Semuanya gara-gara pengungsi. Mereka tidak tinggal baik-baik di sini, mereka malah pakai sihir untuk menyantet kami. Mereka semua tinggal di sini, dan tempat ini pun hancur!”

Dipang meyakini, kematian ibunya adalah akibat santet yang dilakukan salah seorang pengungsi. Beberapa malam yang lalu dia bermimpi melihat ibunya, dan ibunya mengatakan informasi itu padanya melalui mimpi. Dia meyakini itu adalah kebenaran.

“Kami tidak takut pada mereka. Mereka semua harus pergi, karena mereka adalah pemberontak. Pemberontak atau pengungsi, itu sama saja,” seru Dipang.

Mantan kepala desa Dome, seorang lelaki tua bernama Daniel Deem, mengatakan, masalah utama para pengungsi OPM itu adalah aktivitas militer mereka. Pada tahun 2010, dia bilang, pernah ada latihan militer di Dome, yang tidak dia saksikan sendiri tapi dia tahu pasti ada. “Saya sudah berkata pada mereka, kalau kalian mau latihan militer, kalian harus pergi dari sini,” katanya, “Mereka tidak mendengar jadi saya menelepon polisi dan tentara Papua Nugini. Kami dengar tentang latihan itu. Memang tidak ada tanda apa-apa, hanya ada perayaan dan masak-masak setelah latihan itu mereka gelar dengan sukses.”

Latihan militer OPM itu, kata Daniel, dilaksanakan di dalam hutan. Belakangan ini memang jarang latihan militer, tetapi pada tahun 1980an cukup banyak. Waktu itu, dia ingat, dia melihat banyak kano dan orang-orang tak dikenal yang berlarian di dalam hutan. Warga di sini berteriak, “OPM datang! OPM datang!” Mereka ketakutan dan bersembunyi di rumah, dan mengintip para pendatang itu membawa pisau atau busur panah. Nama OPM saja sudah cukup membangkitkan ketakutan warga sini. Mereka tidak menginginkan pertempuran di seberang garis batas itu pindah ke desa mereka ini. Latihan militer yang dilakukan pengungsi OPM, mereka yakini, akan mengundang tentara Indonesia menyerbu ke desa ini.

Pakaian yang dikenakan pengungsi OPM banyak yang justru berasal dari Indonesia.

Pakaian yang dikenakan pengungsi OPM banyak yang justru berasal dari Indonesia.

Perselisihan antara penduduk lokal dan pengungsi ini membuat saya berpikir tentang takdir yang mereka jalani—manusia-manusia terjajah yang terkungkung garis batas yang diciptakan bangsa-bangsa asing. Baik penduduk lokal maupun pengungsi ini adalah suku yang sama, yang sebelum penggambaran garis batas negeri oleh bangsa-bangsa Eropa yang membelah Pulau Papua ini mereka bebas melintas dan mengembara. Kini, gara-gara garis batas yang tak tampak oleh mata telanjang, mereka menjadi manusia dengan identitas berbeda, menjalani nasib berbeda.

Saat saya bersama Jenny dan Mother Modesta menunggu perahu di tepi sungai untuk kembali ke kota Kiunga, kami dikejutkan teriakan seorang pemuda mabuk bertelanjang dada yang memegang botol bir. “Me OPM ya. Me anak Papua. Peluru akan menembus me.” Dia menepuk dadanya sendiri keras-keras, dan berjalan terhuyung-huyung. Pemuda yang matanya merah itu kemudian menatap saya tajam. “Mas, you man belong Indonesia?” Saya tidak menjawab. Pemuda itu terus mencecar saya dalam bahasa Melayu. “Mas, akui, akui, kau mengerti bahasa aku. Akui! Kau tahu bahasa Indonesia, to?”

Mother Modesta, perempuan tua warga lokal itu, tidak kalah bengis menghardik pemuda itu. “You don’t talk to us like this. He is Chinese. You go back to your place!

Seberapa pentingnya rasa untuk memiliki satu identitas, yang kita sebut sebagai tanah air itu? Kenapa kita harus memilih salah satu dan menolak yang lain?

Perahu kami perlahan meninggalkan tepian, menyeberangi sungai keruh tempat anak-anak lokal berendam dan bermain. Sementara di tepian sana, sejumlah pemuda lokal dan pemuda pengungsi duduk di bawah pohon, terus menenggak vodka sampai teler. Untuk detik ini, alkohollah pemersatu mereka.

Mabuk adalah kegiatan pengisi waktu yang universal.

Mabuk adalah kegiatan pengisi waktu yang universal.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

5 Comments on Dome 9 Oktober 2014: OPM Juga Manusia(2)

  1. membeda bedakan warna kulit, rambut dan lainya seperti yg dikatakan orang papua adalah bentuk rasis. makanya mereka ngak maju karena masih berpikir primitip dan tidak mau berpikir terbuka krn pendidikan yg rendah

  2. Mengapa harus ada perbedaan identitas, sementara kebersamaan dan kesetaraan begitu menyenangkan…

  3. Keren benar ceritanya
    Bisa menyamar segitu lamanya sebagai orang Cina
    dan terpaksa selalu berbahasa Inggris padahal bisa bahasa Indonesia yang hampir sama dengan melayu
    Benar-benar keren perjuangannya untuk membuat tulisan berkelas seperti ini

  4. Tulisan Anda sungguh bagus.
    Sungguh memilukan nasib para pengungsi OPM yang tinggal di negara asing dan warga desa Dome yang sebelumnya menerima mereka.
    Sungguh sedih

Leave a comment

Your email address will not be published.


*