Recommended

Titik Nol 100: Sakit Kuning

Kereta api menuju Mumbai (AGUSTINUS WIBOWO)

Kereta api menuju Mumbai (AGUSTINUS WIBOWO)

Tubuh saya lemas. Tenggorokan kering. Tak ada nafsu makan sedikit pun.. Saya sempat muntah beberapa kali, yang keluar hanya cairan bening.

Dengan keadaan yang lemas ini saya masih harus bersaing dengan puluhan penumpang yang tidak sabaran. Semua orang punya karcis, seharusnya tidak perlu berebut. Tetapi jangan berdiskusi soal kebiasaan buru-buru. Orang India selalu berebut setiap kali naik atau turun kendaraan, seolah-olah mereka adalah manusia super sibuk yang selalu dikejar waktu. Padahal di saat lainnya biasa berleha-leha membuang waktu yang tak berharga.

Saya membeli karcis yang agak mahal, sebuah ranjang yang bisa digunakan untuk tidur sepanjang perjalanan panjang dari Jaipur ke kota Mumbai di selatan. Satu kompartemen terdiri dari empat ranjang, masing-masing dua susun berhadap-hadapan. Saya memilih ranjang di bawah karena takut terjatuh kalau tertidur dalam kereta yang berguncang-guncang hebat.

Perjalanan ini melintasi jarak 1.200 kilometer, membuat saya akan meloncat langsung dari warna-warni tradisional Rajasthan menuju kota metropolis Mumbai yang sering muncul di film-film glamor Bollywood. Tetapi saya tidak berpikir apa-apa. Saya hanya ingin tidur sepanjang perjalanan ini.

Tak bisa tidur. Ranjang bawah tempat tidur saya berfungsi sebagai tempat duduk para penumpang sekompartemen. Mereka makan dan minum sepanjang perjalanan. Bocah-bocah bersenda gurau, menumpahkan bumbu masala ke tempat tidur saya. Kereta ini penuh sesak. Banyak yang tidak kebagian tempat duduk terpaksa duduk di lantai kereta yang kotor. Saya tak bisa membayangkan bagaimana nanti penumpang yang banyak ini bisa tidur melewatkan malam sementara tempat yang tersedia begitu terbatas.

Pengemis juga memenuhi kereta. Mereka berjalan dari gerbong ke gerbong meminta belas kasihan para penumpang. Ada yang membawa tambur, melantunkan lagu-lagu menggumam bernada fals, dan ‘menodong’ uang receh dari penumpang. Banyak pula bocah-bocah yang menawarkan makanan kecil.

Perkampungan kumuh terhampar di sekitar Mumbai (AGUSTINUS WIBOWO)

Perkampungan kumuh terhampar di sekitar Mumbai (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya tidak menikmati perjalanan ini. Yang saya inginkan hanya tidur. Bahkan ketika petugas kereta menjual kotak makan malam, saya tak tertarik sama sekali.

“Ayo, makanlah bersama saya,” seorang pria muda menawarkan.
Saya menggeleng.
“Ayolah, jangan sungkan-sungkan. Kamu adalah tamuku!”

Ada dua alasan saya menolaknya. Pertama, jangan sekali-sekali menerima makanan dari orang tak dikenal di kereta, seperti dikatakan pemuda ini sendiri kepada saya beberapa jam yang lalu. Kedua, saya memang tidak lapar sama sekali, entah mengapa.

Setelah penantian yang begitu panjang, akhirnya waktu tidur pun tiba. Saya langsung terlelap dalam kegelapan, meringkuk sambil memeluk tas kamera. Tiba-tiba di samping saya menyeruak sesosok badan.

“Ayolah, kawan,” suara pemuda yang tadi memaksa saya berbagi makanan dengannya, “saya tak punya tempat tidur. Geserlah sedikit, kita tidur sama-sama.”

Saya mengusirnya. Malam ini saya merasa lemas sekali, tak kuat rasanya harus berdesak-desakan tidur di ranjang sempit ini.

Ada yang aneh. Saya terbiasa dengan perjalanan berat dalam kereta api selama berada di China. Duduk di kursi keras selama 48 jam nonstop sama sekali bukan masalah. Tetapi mengapa sekarang saya begitu lemah? Perjalanan Jaipur-Mumbai hanya 18 jam, tetapi saya hampir pingsan ketika sampai di Mumbai. Belum lagi saya harus menggotong ransel mencari penginapan murah di daerah Colaba, yang sulit sekali. Semuanya di atas sepuluh dolar per malam. Yang paling murah adalah sebuah kamar bak penjara berukuran 1 x 2 meter, bersekat gabus, tersembunyi di puncak sebuah apartemen yang tak mencolok.

“Kawan,” sapa seorang pegawai kantor pos Mumbai, “maaf kalau saya lancang. Kamu sakit?”
“Tidak,” jawab saya.
“Matamu kuning. Mungkin kamu kena infeksi.”

Kuning? Saya tidak pernah mendengar gejala penyakit mata kuning. Mungkin orang itu salah bicara. Ia mengambil semua cermin saku. Saya terloncat melihat wajah saya. Kuning, benar-benar kuning. Saya teringat orang-orang di pemukiman kumuh Paharganj di New Delhi yang matanya tak bercahaya, entah apa sebabnya. Dan sekarang saya menjadi seperti mereka.

Saya panik, luar biasa.

“Jangan khawatir,” kata petugas pos itu, “Coba kamu periksa ke dokter, istirahat yang cukup, banyak minum air tebu, dua minggu lagi mata kamu akan putih kembali.”

Saya teringat nafsu makan saya yang tiba-tiba hilang, rasa mau muntah setiap kali melihat makanan gorengan. Juga rasa lelah yang berlebihan, urine yang berwarna gelap seperti teh kental.

Saya segera menuju ke rumah sakit St John Hospital No.1, salah satu yang terbaik di kota ini. Di pelataran, seorang kakek penderita lepra terbaring di pinggir got. Rambutnya putih keriting. Tak berpakaian. Pinggangnya hanya dibalut lunggi putih yang kumal. Kaki kirinya terjuntai ke dalam lubang. Telapak kakinya keputihan, mulai membusuk. Dokter hanya lewat begitu saja, seolah tak melihat seonggok manusia yang menanti maut terbaring di tepi lubang hitam.

Inikah rumah sakit nomor satu?

Penderita kusta yang tergeletak di depan rumah sakit ternama di Mumbai (AGUSTINUS WIBOWO)

Penderita kusta yang tergeletak di depan rumah sakit ternama di Mumbai (AGUSTINUS WIBOWO)

Bu dokter yang sama sekali tidak ramah hanya melirik saya.

“Mata kuning? Mungkin jaundis. Kamu pulang saja. Istirahat saja, nanti juga sembuh sendiri. Tidak ada yang serius.”

Jaundis? Apa itu jaundis? Baru pertama kali saya mendengar nama penyakit ini. Pencarian Google menunjukkan nama bahasa Indonesia penyakit ini – sakit kuning. Artikel-artikel lain mengupas lebih dalam, menampilkan nama yang jauh lebih seram – hepatitis.

Saya menangis sendirian di bilik internet ini. Saya kena hepatitis. Bagaimana lagi saya harus bertahan?

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 22 Desember 2008

9 Comments on Titik Nol 100: Sakit Kuning

  1. di Nepal ya ini bang?terimakasih sudah membawa saya bertualang ke negeri2 atap dunia

  2. Luar biasa ceritanya PAk.

  3. Cerita yg super kakak 🙂

  4. Cerita dan foto yang mengesankan

  5. serem tak seindah d TV.

  6. Catatan Perjalanan yang luar biasa, sy mengoleksi jɥğå membaca dua buku setelahnya : garis batas dan selimut debu… menunggu kisah petualangan seru anda selanjutnya bung Agustinus W!

  7. adakah seorang agustinus menyerah dlm perjalanan nya, berhenti lalu pulang, kembali normal atau sekedar mengenal tetangga,,, *arggghhh extreem,

  8. foto penderita kusta yang di atas, persis seperti bayangan saya di buku Negeri Bahagia! heeeem…..

  9. Maaf kalau lancang. Mas Agus kena Hepatitis apa?

Leave a comment

Your email address will not be published.


*