[ISDB] Garis Batas di Atas Kertas
“Maaf, Tuan, kami tidak bisa mengizinkan Anda naik ke pesawat,” kata petugas di balik konter China Airlines, saat saya melakukan pelaporan di bandar udara Svarnabhumi, Bangkok, Thailand, untuk penerbangan saya menuju Belanda.
Kepada petugas yang seorang lelaki muda Thai ini, saya telah mengakui bahwa saya belum memastikan tanggal berapa saya akan meninggalkan Eropa, dan saya juga tidak memiliki tiket pulang.
“Tetapi saya hendak ke sana melakukan riset,” kata saya. “Mustahil bagi saya untuk memastikan kapan riset saya akan benar-benar selesai. Lagi pula, saya memiliki masa berlaku visa yang panjang, untuk satu tahun.”
Petugas itu kembali mengamati stiker visa yang tertempel di dalam paspor saya. Visa saya adalah Visa Schengen untuk kategori C, visa tinggal jangka pendek, yang artinya saya bisa tinggal di negara-negara Eropa penanda tangan perjanjian Schengen selama maksimal 90 hari dalam setiap masa 180 hari.
Lelaki itu menggeleng. “Saya sudah tanya atasan saya,” katanya, “untuk kategori visa C, wajib untuk mempunyai tiket pulang yang sudah terkonfirmasi.” Dia lalu menutup buku paspor saya dan mengembalikannya kepada saya tanpa pas naik. “Maaf, Tuan, Anda harus punya rencana yang pasti.”
Saya tetap berdiri di sana beradu argumen, sementara petugas itu berusaha meyakinkan bahwa saya bisa membeli tiket pulang dan membatalkannya begitu saya sampai di sana. Di mata saya, itu adalah trik maskapai untuk memeras uang penumpang. Setengah jam berlalu, waktu sudah melewati tengah malam, sementara jadwal penerbangan saya yang pukul 2.05 dini hari sudah semakin dekat. Atasan dari petugas itu, seorang perempuan Thai, datang dan membolak-balik paspor saya, mengamati visa saya, dan terus menggeleng. “Tidak bisa.…Tidak bisa…,” katanya.
Saya memasang wajah memelas. “Tetapi saya sudah sering ke Eropa, dan tidak pernah sekali pun petugas imigrasi Eropa menanyakan tiket pulang saya,” bantah saya. “Kenapa kalian membuat ini menjadi masalah?”
Petugas itu menanyakan apakah saya punya bukti pemesanan hotel atau bukti kemampuan finansial. Buat saya ini sudah pertanyaan yang sangat menghina. Ketika para pemegang paspor Eropa bebas melenggang, mendapatkan pas naik hanya dalam kurang dari lima menit, dan demikian juga dengan orang-orang Malaysia dan Timor Leste (mereka tidak perlu visa untuk ke Eropa), saya yang memegang paspor Indonesia harus menunjukkan bukti keuangan! Bukti bahwa saya bukan orang kere yang akan menjadi imigran gelap yang tidak akan pulang ke negara saya sendiri!
Saya menundukkan kepala, mencari-cari selembar surat dari dalam tas punggung saya. Itu adalah surat undangan sponsor seseorang dari Belanda, yang menyatakan bahwa dia bertanggung jawab untuk semua aktivitas saya di negara itu.
Atasan dari petugas konter pelaporan itu mengangguk-angguk membaca surat yang dalam bahasa Belanda dan distempel oleh kantor wali kota itu. Dia harus meminta bantuan seorang penumpang yang bisa bahasa Belanda untuk menerjemahkan isinya. Dia kemudian berpaling kepada saya, berkata, “Anda tunggu di sini dulu sebentar, kami akan memanggil orang dari Kedutaan Belanda untuk ke sini dan minta pendapatnya untuk kasus Anda.”
Wah! Untuk kasus saya mereka harus memanggil orang dari Kedutaan! Pada tengah malam begini! Setengah jam saya berdiri di depan konter seperti seorang pesakitan, iri memandangi para penumpang lain yang karena kewarganegaraan dan kertas-kertas mereka tidak perlu mengalami apa yang saya alami. Ya, garis batas itu berwujud kertas, bernama paspor dan visa.
Akhirnya, orang dari Kedutaan itu datang. Seorang lelaki paruh baya berkulit putih bertubuh tambun dalam balutan kemeja, dasi, dan jas hitam. Dia membolak-balik paspor saya dari halaman paling depan, dan tampak puas dengan visa-visa dan cap negara-negara Eropa yang ada di sana. “Tidak masalah sama sekali,” kata lelaki itu, “toh kalau ada apa-apa, sponsornya yang akan bertanggung jawab.”
Para petugas China Airlines pun meminta saya untuk menunggu lagi, sementara mereka menyiapkan surat pernyataan untuk saya tanda tangani. Isinya adalah, jika terjadi masalah pada imigrasi Eropa atas diri saya, maskapai tidak bertanggung jawab dan saya harus membayar sendiri semua biaya yang ditimbulkan.
Saya kemudian berjalan melewati pemeriksaan keamanan, imigrasi, dan menuju gerbang keberangkatan. Para penumpang lain cukup diperiksa pas naiknya, sedangkan pada giliran saya, ketika pas naik saya ditempelkan di mesin pembaca, tiba-tiba mesin itu membunyikan alarm, lampu merah menyala, dan terdapat tulisan di layar: “CANNOT BOARDING”. Seorang petugas tergopoh-gopoh mengambil paspor, lalu menempelkan di alat pemindai di samping gerbang, memindai pada halaman foto dan halaman visa, sebelum akhirnya mengizinkan saya masuk.
Ketika saya benar-benar duduk di bangku penumpang China Airlines, barulah saya bisa menghela napas lega.
Penumpang di samping saya adalah seorang perempuan warga Thailand bernama Alice. Dia bercerita, dia mengalami hal yang serupa dengan saya. Dia sudah menikah dengan orang Belanda, punya visa D (Dependency) sebagai anggota keluarga seorang warga Eropa. Seperti saya, dia juga membeli tiket satu berangkat saja ke Eropa. Pihak maskapai China Airlines meminta dia menunjukkan KTP Eropa—yang dia belum punya. Dia sudah bolak-balik ke Belanda, tetapi petugas maskapai hampir tidak mengizinkannya terbang gara-gara tak membeli tiket pulang. Pada dasarnya, maskapai tidak mau bertanggung jawab jika orang-orang dengan kewarganegaraan kami ini ditolak masuk di Eropa.
Beberapa puluh tahun lalu, pemegang paspor Indonesia pernah diizinkan masuk ke Belanda tanpa menggunakan visa. Tetapi sekarang, ketika negara-negara Eropa meleburkan perbatasan di antara mereka, mereka harus memperkokoh batas terluar mereka, demi melindungi serikat kebebasan mereka yang mereka anggap telah menjadi idaman seluruh dunia. Visa Schengen menjadi salah satu visa yang paling sulit didapatkan di dunia. Pemohon harus menunjukkan surat sponsor, konfirmasi akomodasi dan pesawat, asuransi, bukti keuangan (saya malah menambahkan surat akta rumah!), dan harus dipindai sepuluh jarinya. Terlebih lagi dengan arus pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika Utara, maraknya serangan terorisme, plus memburuknya ekonomi, membuat Eropa semakin sensitif soal migrasi.
Sepanjang perjalanan 13 jam yang terus berlangsung di tengah gelap malam itu (karena kami terbang ke arah barat, waktu jadi seperti memanjang), saya kebanyakannya tertidur lelap. Saya mendapati pramugari pesawat ini berbicara dengan nada kasar dan ketus kepada saya dalam bahasa Mandarin, mungkin mengira saya berasal dari Cina Daratan. Tapi ketika saya berbicara kepada mereka dalam bahasa Inggris, mereka justru sangat ramah dan bersahabat.
Ketika matahari pagi mulai menyingsing, di luar sana akhirnya terlihat sosok negeri Belanda. Pulau-pulau kecil yang kebiruan, dihubungkan dengan jembatan-jembatan panjang yang meliuk dikelilingi lautan yang biru kelam. Kincir-kincir pembangkit listrik tenaga angin bertaburan, dan busur pelangi mendarat di atas tanah yang berkilau dibasuh hujan. Ini adalah sebuah dunia berbeda, batin saya.
Antrean panjang mengular di depan pos imigrasi bandara Schiphol. Pemegang paspor Eropa dipisahkan dari pemegang paspor “internasional”. Saya mengamati, orang-orang berkulit putih umumnya melewati pos imigrasi dengan cepat tanpa perlu berkata apa-apa, sedangkan orang-orang Asia atau Afrika setidaknya harus menjawab beberapa pertanyaan baru diizinkan untuk melintas. Seorang turis perempuan dari Thailand di belakang saya, yang pertama kali ke Eropa dan mendapat visa 30 hari, mengaku deg-degan membayangkan pertanyaan apa yang harus dia jawab.
Tiba giliran saya. Saya menyapa petugas dalam bahasa Belanda. Petugas itu tersenyum, bertanya kembali dalam bahasa Belanda, “Wie komt u hier meneer?” Untuk apa kamu datang ke sini. Saya bilang saya menulis buku. Dia tak menyelidiki lebih lanjut, lantas bertanya tinggal berapa lama, di mana. Sudah itu saja. Dia meminta saya memindai empat jari tangan kiri saya, lalu mengecap paspor saya, dan berkata, “Welkom!”
Saya pun melenggang memasuki negeri Belanda.
***
Saya menuju kota tua Leiden, yang hanya sekitar 20 menit perjalanan dari bandara Schiphol dengan kereta. Di sini saya bersantap siang di sebuah kedai kebab Turki di sudut jalan Harleemerstraat. Makanan Turki kini telah menjadi salah satu makanan paling populer di negara-negara Eropa, seiring dengan banyaknya imigran dari Turki dan Timur Tengah.
Pegawai di kedai Turki ini adalah seorang pemuda Arab dari Baghdad, justru tidak bisa bahasa Turki sama sekali. Hussain al-Ateghi, pemuda klimis dengan jenggot pendek pada ujung dagunya, sudah enam tahun tinggal di Belanda. Dia meninggalkan negerinya yang dilanda kemelut perang saat masih berusia empat belas tahun.
“Bahasa Inggrismu bagus,” puji saya.
“Dulu waktu di Irak lebih bagus, karena saya di sana belajar di sekolah bahasa Inggris,” katanya sambil tertawa, “Sejak di sini saya setiap hari bahasa Belanda, Belanda, Belanda, jadi Inggris lupa semua.”
“Belanda negara yang cantik, negara yang bagus, bukan?”
“Ya, sedikit lebih bagus daripada Irak. Tapi tidak terlalu banyak,” katanya.
“Sudah punya paspor Belanda? Atau masih paspor Irak?”
“Paspor Belanda.”
“Bukankah itu bagus? Kamu bisa keliling dunia dengan bebas,” puji saya.
Dia justru menggeleng. “Tidak. Ini tidak ada artinya buat saya. Ini hanya sekadar kertas. Saya punya paspor Belanda, tetapi saya bukan orang Belanda. Saya orang Irak, ke mana pun saya pergi, saya akan diperlakukan hanya sebagai orang Irak. Tetapi kenapa saya tidak bisa menggunakan paspor Irak saya untuk keliling dunia?”
Nasib kita memang ditentukan oleh garis-garis batas berwujud kertas yang kita pegang dan bawa ke mana-mana. Tetapi bahkan ketika kertas yang kita pegang ini berubah, tetap ada bagian dari diri kita yang tidak akan serta-merta turut berubah karenanya.
4 November 2017
Selalu menarik membaca tulisan mas Agus, saya mengikuti blog mas Agus sejak 2016 dan saya punya 2 karya mas Agus.
sehat selalu mas