Recommended

Titik Nol 193: Tharparkar

Pulang, kembali ke tengah kepulan debu di gurun Thar (AGUSTINUS WIBOWO)

Pulang, kembali ke tengah kepulan debu di gurun Thar (AGUSTINUS WIBOWO)

“Thar dan hatiku adalah dua nama untuk gurun yang sama,” demikian tulis Mazhar-ul-Islam, pujangga Urdu ternama.

Di atas atlas bumi, gurun pasir Thar tak lebih dari seonggok wilayah kerontang yang kosong, terbentang lebih dari 400.000 kilometer persegi, melintas perbatasan India dan Pakistan. Namanya membawa aroma kekeringan dan kegerahan. Namun kegarangannya juga membawa puja dan puji. Di padang gurun inilah, budaya Rajashtan, Sindhi, dan Gujarati bersatu padu, menghasilkan warna-warni membara di tengah muramnya gurun.

Di gurun luas di propinsi Sindh ini, lebih dari 800 desa dengan sejuta jiwa manusia berjuang untuk mempertahankan hidup. Inilah gurun pasir yang kepadatan penduduknya tertinggi di dunia.

Distrik Tharparkar adalah salah satu tempat terpencil dan terlupakan di negeri ini. Umerkot, kota Hindu yang menjadi ibu kota distrik ini, dulunya terisolasi dari dunia luar. Beberapa tahun silam, orang asing dilarang masuk ke sini tanpa izin khusus. Itu pun masih menjadi target pengawasan dinas intelijen Pakistan. Alasannya, daerah ini terbilang sangat sensitif, tempat tinggalnya minoritas Hindu dan dekat perbatasan dengan musuh bebuyutan India, ditambah lagi situasi keamanan provinsi Sindh yang terus bergejolak.

Saya beruntung mengenal organisasi Sami Samaj Sujag Sangat yang memberikan bantuan kemanusiaan dan memberdayakan suku-suku gurun. Saya sering diajak ikut dalam ‘kegiatan lapangan’ dan melihat langsung kehidupan desa-desa yang tersebar di pedalaman padang pasir ini.

Kering kerontang (AGUSTINUS WIBOWO)

Kering kerontang (AGUSTINUS WIBOWO)

Tharparkar, nama distrik ini, semula terdiri dari dua kata, Thar dan Parkar. Thar artinya ‘gurun pasir’.. Parkar adalah daerah di pinggiran gurun Thar. Umerkot dan desa-desa di Parkar di tepian gurun masih terbilang beruntung. Air dan sistem irigasi membuat daerah ini tak pernah kering total. Pohon-pohon hijau dan semak belukar masih menghiasi kehidupan. Penduduknya pun hidup menetap, menggembalakan sapi dan keledai di rerumputan sekitar rumah.

Yang tinggal di pedalaman gurun sebenarnya, di jantung Thar, harus bergulat dengan ganasnya padang pasir. Hujan tak pernah turun, rumput pun langka. Hewan-hewan ternak kurus kering. Air minum di sini lebih berharga daripada emas berlian.

Kami berkeliling gurun untuk memberi penyuluhan ke desa-desa. Di sebuah desa, kami hanya menyaksikan barisan gubuk-gubuk kosong tanpa penghuni. Tak ada lolongan anjing atau embik kambing sekali pun. Yang ada hanyalah tulang belulang keledai-keledai malang yang gigi geliginya mengguratkan penderitaan.

“Ke mana penduduknya?” tanya saya.
“Mereka semua pindah,” jelas Mumtaz, petugas lapangan Sami Samaj Sujag Sangat, “karena di sini sudah tidak ada air lagi. Ketika tak ada lagi tetesan air, apa lagi yang bisa dicari di tempat ini?”

Rasa ingin tahu yang dalam tentang bagaimana perjuangan hidup suku-suku gurun Thar, mengantar saya ke tengah bus kuno yang penuh sesak oleh penumpang. Bukan hanya manusia, tetapi ada pula kambing dan ayam yang menambah meriahnya bus padat ini, plus karung-karung berisi tomat, beras, bawang putih, bawang merah. Ayam-ayam hidup ini memang lebih favorit daripada daging ayam potongan, karena bisa disembelih sewaktu-waktu dan tetap segar setiap saat.

Saya duduk di samping supir, yang mengemudikan bus tua ini menuju ke Mithi, kota kecil di jantung gurun Thar. Tujuan saya adalah dusun Ramsar, sekitar 25 kilometer dari Umerkot, separuh jalan ke Mithi.

Gurun pasir (AGUSTINUS WIBOWO)

Gurun pasir (AGUSTINUS WIBOWO)

Bus tua ini berguncang hebat. Banyak penumpang yang terpaksa berdiri karena tidak ada tempat duduk lagi. Sebagian besar tempat duduk sudah ditempati para wanita. Orang Pakistan punya sebuah sikap yang patut diacungi jempol – tidak akan membiarkan penumpang wanita berdiri penuh derita. Di dalam bus, semua laki-laki berdiri berdesak-desakan. Ayam-ayam berkokok-kokok gelisah. Ada banyak pula penumpang yang terpaksa duduk di atap bus, di sela-sela barang bawaan.

Angkutan umum sudah merambah banyak pelosok gurun Thar. Pemerintah Pakistan sudah membangun banyak jalan raya yang menghubungkan desa-desa ini ke dunia luar. Bahkan perbatasan Korkhropar dengan India di desa Nagaparkar sudah terjangkau kendaraan umum.

Umumnya jadwal keberangkatan bus-bus gurun ini seragam. Pagi-pagi buta berangkat dari desa-desa di pedalaman gurun, dengan tujuan akhir Umerkot. Baru menjelang sore semua bus berangkat dari Umerkot menuju ke desa-desa. Ini sesuai dengan kebutuhan warga pedalaman gurun, menjual hewan ternak ke kota, berbelanja sayur-sayuran, dan kembali lagi ke desa sebelum gelap.

Karena rute dan jadwal yang selalu sama, dengan wajah penumpang yang itu-itu terus, kondektur jadi kenal semua penumpang di bus ini. Tak perlu tanya lagi tujuan perjalanan, sang kondektur sudah hapal di luar kepala tarif karcis tiap orang. Yang berutang pun sudah tak perlu dicatat, semua terekam dengan mantap dalam memorinya.

Bus kuno ini merangkak lambat-lambat. Jarak ke Ramsar harus ditempuh dalam waktu minimal 75 menit.. Itu pun masih ditambah kerja bakti. Padang gurun sering diterpa angin dahsyat, yang menerbangkan partikel-partikel pasir ke segala penjuru. Alhasil, jalan aspal pun ditelan pasir. Tebalnya sampai setengah meter. Bus tua ini tak punya cukup tenaga untuk melintasi jalan berpasir. Para penumpang harus turun, membersihkan muka jalan dari gundukan pasir lembut.

Apa pun bisa jadi alat. Mulai dari sekop, potongan kayu, sampai telapak tangan telanjang. Setelah itu, bus kuno ini harus ditarik beramai-ramai dengan tali tambang. Satu…. dua… tiga…!

Jalan raya tertimbun pasir (AGUSTINUS WIBOWO)

Jalan raya tertimbun pasir (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya teringat, di belahan utara Pakistan, tempat gunung-gunung tinggi menjulang, penumpang bus sering harus bekerja bakti menyingkirkan longsoran batu-batu raksasa yang menutup jalan. Thar adalah sebuah dunia berbeda di negeri yang sama.

Angin gurun terus bertiup, menerbangkan pasir-pasir halus ke dalam sela-sela kerongkongan. Seluruh mulut ini penuh oleh pasir, yang bergemeletuk dengan gigi-geligi. Saya mulai membiasakan diri dengan makanan sehari-hari di tempat ini – pasir.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 1 Mei 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*