Recommended

Mazar-i-Sharif – Keluarga Naqeebullah

Donor, projects, humanitarian, NGOs, UN, etc are the vocabulary of today's Afghanistan

Donor, projects, humanitarian, NGOs, UN, etc are the vocabulary of today’s Afghanistan

Seperti malam sebelumnya, malam ini saya bermalam di rumah Naqeeb. Saya belum pernah bertemu Naqeeb sebelumnya. Saya mengenalnya melalui perantaraan seorang kawan Indonesia. Tetapi walaupun demikian, keluarga Naqeeb ramah menyambut saya.

“Rumah ini adalah rumahmu,” demikian kata Naqeeb berulang-ulang. Naqeeb masih muda, tetapi kumis dan jenggotnya membuatnya nampak jauh lebih tua. Sekujur tubuhnya pun ditumbuhi bulu. Saya sempat berpikir dia berumur tiga puluhan. Ternyata dia bahkan masih lebih muda daripada saya.

Naqeeb bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah NGO asing. Ke mana-mana ia selalu membawa radio HT. Dia harus terus mendengar kabar dari kantornya dan memantau situasi keamanan. Naqeeb sedang dapat tugas shift malam. Setiap sore pukul 6 ia berangkat ke kantor dan baru pulang keesokan paginya pukul 7. Sebagai satpam tentunya ia berjaga hampir sepanjang malam. Cuma tidur dua sampai empat jam sehyari sudah cukup baginya.

Walaupun ia tuan rumah, saya jarang bertemu dengannya karena waktu kerjanya. Tetapi masih ada anggota keluarganya yang lain.

Rumah Naqeeb cukup besar, ditinggali oleh banyak orang. Ada ayahnya yang sudah tua tetapi masih bekerja, abang-abangnya, dan hampir selusin keponakan.

Hampir semua orang dewasa di rumah ini adalah pekerja sosial. Selain Naqeeb yang bekerja di LSM, seorang kakaknya juga bekerja sebagai dokter di organisasi yang sama. Obaidullah, kakak Naqeeb, bekerja sebagai insinyur untuk organisasi sosial CHA dan menghabiskan banyak waktu di desa Daulatabad, pulang ke Mazar hanya di akhir pekan.

Bakhtarwal, ayah Naqeeb, juga pekerja sosial. Beliau sekarang bekerja sebagai monitoring untuk organisasi CHA. Coordination for Hummanitarian Assistance adalah organisasi lokal yang bermitra dengan beberapa LSM asing.

One of the NGO projects is to generate income for the Turkmen families in the village by producing carpets

One of the NGO projects is to generate income for the Turkmen families in the village by producing carpets

Dengan antusias Bakhtarwal, yang sudah berumur 62 tahun, bercerita tentang kegiatan organisasinya yang melaksanakan pembangunan dan pendidikan di pedalaman propinsi Balkh. Bakhtarwal berbicara bahasa Inggris bagus sekali.

“Balkh ini dihuni oleh berbagai etnis. Mayoritas Tajik dan Uzbek, masih ada pula orang Hazara, Pashtun, dan Turkmen.” Mengenai pembaharuan dan modernisasi, yang paling susah diajak bekerja sama adalah orang Pashtun dan Turkmen, sedangkan yang paling aktif adalah etnis Hazara.

“Orang Hazara tidak segan untuk mengirim putri-putrinya ke sekolah, sama sekali tidak ada masalah,” kata Bakhtarwal, “sedangkan Pashtun dan Turkmen, mereka sangat konservatif, tradisionalis, dan fundamentalis.”

Pashtun adalah suku yang melahirkan Taliban. Sedangkan Turkmen, jangan bandingkan dengan negara Turkmenistan yang merayakan abad emas. “Justru orang-orang Turkmen di Afghanistan ini adalah pelarian dari Turkmenistan. Hampir semua mereka adalah mohajerat, para pendatang. Waktu itu Soviet melaksanakan revolusi dan pembaharuan. Para penggembala nomaden dari Turkmenistan itu lari ke sini, karena mereka mau mempertahankan kebudayaan mereka.”

Di Afghanistan sini, setelah lewat perang beberapa dekade, perempuan Turkmen semakin terkurung di dalam rumah-rumah lempung mereka.

Saya tertarik dengan aktivitas CHA di desa Daulatabad, yang katanya dihuni oleh mayoritas etnis Turkmen. “Kami di sana membagikan kambing kepada para janda,” kata Bakhtarwal, “juga menyediakan mesin penenun karpet untuk keluarga-keluarga miskin.”

“Saya benci burqa,” kata Bakhtarwal, dilanjutkan dengan kisah sejarah modernisasi Afghanistan sejak zaman Amanullah yang semakin lama semakin ‘membebaskan’ kaum perempuan dari kungkungan burqa dan cadar. Demikian pula Obaid, yang pernah mengecap kebebasan di Uzbekistan dan Turkmenistan.

Tetapi sebenarnya selama saya tinggal di sini saya tak pernah melihat penghuni wanita rumah ini. Mereka adalah makhluk invisible yang cuma bisa saya dengar suaranya dan saya nikmati masakannya.

Sebagai lelaki yang menginap di sebuah keluarga Afghan sungguh kikuk rasanya. Ada ruangan khusus untuk tamu, disebut mehman khana. Di sinilah saya tidur. Para anggota keluarga pria datang silih berganti, mengajak saya mengobrol. Ketika waktu makan tiba, bocah-bocah kecil menyiapkan baskom dan kendi air untuk kami mencuci tangan, menggelar tikar makan (dastarkhon), dan membawa piring-piring nasi. Kalau kami sudah selesai makan, bocah-bocah itu datang lagi untuk membawa pergi piring dan dastarkhon.

Kalau bocah-bocah tidak ada, maka seorang wanita anggota keluarga yang menggantikan tugasnya. Tetapi wanita ini tidak terlihat. Hanya sebatas di balik pintu. Kemudian giliran Obaid atau Bakhtarwal atau Naqeeb atau yang lainnya yang membantu saya membilas tangan, menggelar dastarkhon, dan menemani saya makan.

It's actually a family work. But they don't give permission to the women to be photographed

It’s actually a family work. But they don’t give permission to the women to be photographed

Kalau hendak ke toilet pun ada prosedurnya. Sungguh kesalahan fatal yang saya lakukan kalau sampai lancang berkeliling rumah dan bertatap muka dengan perempuan anggota rumah itu. Saya harus memberi tahu salah satu bocah atau pria keluarga itu untuk ‘menyiapkan jalan’ buat saya dari mehman khana sampai ke toilet yang terletak di halaman keluarga. Tirai jendela semua ditutup dan kaum wanita bersembunyi di dalam rumah.

Saya pun tidak pernah berkesempatan untuk melihat haft mewah, tujuh macam buah, yang disiapkan oleh keluarga-keluarga sebagai lambang kemakmuran untuk menyambut Naoruz. Naqeeb sering bercerita tentang haft mewah, yang terdiri dari badam, kismis, presta, ghalin, sinjit, charmas, dan khaste-zardolu. Tetapi karena buah-buahan ini ditaruh di rumah keluarga dan bukannya di ruang tamu, saya pun tak tahu apa bentuknya.

Istri Obaid bekerja sebagai dokter. Adik perempuannya sebagi guru. Saya hanya mendengar tentang mereka, tetapi tak pernah sekali pun saya diperkenalkan. Walaupun bicara tentang modernisasi, pembebasan perempuan dari burqa, kesetaraan jender, kegiatan pendidikan organisasi sosial, sesungguhnya keluarga ini masih tradisional dan perempuannya masih hidup di balik cadar.

Tetapi jangan ragukan lagi ketulusan mereka dalam menerima tamu. Saya jadi belajar satu hal penting: jangan sekali-sekali sembarangan mengucapkan keinginan ketika bertamu di rumah orang Afghan.

Pernah saya bertanya kepada Naqeeb, di restoran mana saya bisa membeli ashak dan mantu, makanan khas Mazar yang mirip pangsit dan dibubuhi bumbu daging cincang dan yoghurt. Naqeeb tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi betapa terkejutnya saya, ketika waktu makan malam tiba, sepiring besar ashak sudah terhidang di hadapan saya dan Obaid.

Bagi orang Afghan, menerima tamu memang bukan urusan main-main.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*