Recommended

Jaipur – Life on Manual

November 26, 2005

Sebuah catatan yang diilhami oleh perang omelet di Jodhpur.

Pernahkah kita menengok betapa hidup kita ini sekarang selalu dituntun oleh apa yang disebut panduan, tuntunan, guidebook, manual, atau apalah namanya. Mulai dari membeli alat elektronik selalu ada buku manual yang menjelaskan dengan detil tentang mekanisme bekerja alat itu hingga bagaimana menggunakan, merawat, serta apa yang harus dilakukan jika alat itu mengalami kerusakan. Demikian juga sebelum tiba ujian UMPTN banyak lembaga-lembaga bimbingan yang menyediakan trik-trik menghadapi ujian. Di Cina ada les TOEFL yang mengajarkan bagaimana trik menebak jawaban dengan probabilitas paling tinggi untuk mencapai hasil maksimal dalam ujian. Bahkan kini sudah bermunculan les-les kehamilan yang melatih ibu-ibu hamil untuk merejang, mengkontraksikan rahim dan sebagainya hingga jika jatuh hari H nya nanti, proses melahirkan akan berlangsung dengan cepat, efektif, dan ces pleng.

Hidup kita pada abad ini memang sudah tak terlepas dari manual, bahkan hingga ke detil-detil sendi kehidupan. Yang kita kagumi sebagai petualang, backpacker, traveller pun hampir semua pernah memegang guidebook macam Lonely Planet. Guide book ini berisi informasi tentang daerah yang dituju, hotel-hotel, jalur kereta, bahkan restoran yang direkomendasikan dan lain-lain. Kini Lonely Planet pun mengeluarkan panduan untuk fotografi (Travel Photography) dan menulis (Travel Writing), sehingga pembaca bisa menghasilkan foto dan tulisan yang bagus. Bayangkan, kini seni visual dan linguistik pun mempunyai manual. Salah satu contoh kutipan dari buku Travel Writing
“Belajarlah bahasa asing, karena tulisan yang dihasilkan oleh seorang penulis yang mengerti bahasa setempat mempunyai kualitas jauh lebih tinggi drpd penulis yang hanya melihat”
Sebuah saran yang sangat benar adanya. Tapi apakah kita memerlukan sebuah buku untuk memberitahu kita hal seperti ini?

Tak hendak memunafikkan diri, dalam tas ransel saya ada seonggok buku-buku lonely Planet. Tak tanggung-tanggung : 6 buku. Tapi semuanya adalah pemberian orang, jadi saya pikir mubazir juga kalau tak dibawa. Namun sekali lagi, saya adalah tipe pejalan yang tak suka bergantung dengan buku. Bagi saya, manual adalah membatasi kreatifitas kita, mengurangi pengalaman yang mungkin akan kita dapatkan, dan hanya mengumpulkan kita segaris dengan orang-orang lain yang menggunakan panduan yang sama. Coba perhatikan berapa gelintir saja backpacker yang tidak membawa Lonely Planet dalam saku atau genggamannya? Hampir tak ada. Tentu saja hotel-hotel atau restoran yang dikunjungi para backpacker ini selalu sama, hanya yang direkomendasikan oleh buku itu. Dan cerita perang omelet di Jodhpur yang pernah saya tulis, persaingan ketat hotel-hotel Jaisalmer, adalah contoh buah karya kemalasan kita dan ketergantungan para “petualang” terhadap “kitab suci dan buku manual backpacker”.

Saya ingat, 2 tahun yang lalu ketika saya berkunjung ke Afghanistan, ketika masih belum ada buku-buku perjalanan “manual” berisi petunjuk bagaimana caranya “to do Afghanistan”, setiap langkah perjalanan adalah petualangan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Setiap menit mencari informasi dari para penduduk, orang yang lalu lalang, bahkan internet, adalah sangat membanggakan. Puluhan cetak print dari berbagai sumber adalah bukti bahwa semuanya harus bekerja keras mencari informasi, dan bukannya hanya sekedar membeli sebuah buku mini berisi segalanya. Ketika saya melihat Lonely Planet tahun 2004 yang memuat ttg Afghanistan, saya merasakan bahwa beruntung sekali pada saat saya ke sana saya tidak menggunakan buku ini, karena pengalaman yang tak ternilai adalah ketika saya harus berjuang untuk “survive” di Afghanistan. Dan perjuangan itu, walaupun sebagian besar dapat dieliminasi dengan buku manual, adalah bagian dari pembelajaran hidup yang sebenarnya.

Dan sebagai wujud protes saya terhadap manual, saya sedapat mungkin menghindari hotel-hotel dan restoran yang terdaftar di guidebook, dan mengharamkan semua hotel dan restoran yang mencantumkan “We are recommended by lonely planet.”

Pendapat Anda?

4 Comments on Jaipur – Life on Manual

  1. So… do you or do you not use the guide? mungkin ada traveller newbie yang membeli LP karena mereka ingin lebih yakin dalam perjalanannya. Khan seperti kamu bilang sendiri gus, LP itu berguna karena mengandung banyak informasi.

    Its not a must to buy, but its not harm to use it. Yang penting khan tujuan dari travel itu terlaksana. Sekedar enjoy atau sekedar melihat-lihat. Bagaimana mencapai tujuan itu, banyak caranya dong. Salah satunya memakai guide book.

    Yang saya tidak setuju, kalau tempat yang pernah direview atau masuk ke LP lalu mencoba mengeksploitasinya. Seperti omellete shop itu. Its too commercialize. Contoh lain lagi “Warung Made” di Bali yang gara-gara masuk ke LP, lalu ramai oleh turis.

    • Menurut saya memang tidak salah menggunakan guide book, karena guide book adalah juga sumber informasi. Tetapi yang patut kita renungkan sejauh mana ketergantungan kita terhadap guide book itu. Bagaimana pun juga, travel guide book sedikit banyak telah “mendikte” perjalanan yang Anda lakukan. Berapa banyak turis yang sudah memegang lonely planet yang mau berepot-repot tanya ke sana ke mari tentang tempat-tempat yang tidak terdaftar dalam buku itu. Berapa banyak turis dengan LP yang sudi masuk-masuk ke sudut-sudut pasar mencobai makanan tradisional yang tak terdaftar dalam buku itu. LP memang membuat travelling menjadi mudah, namun dia juga telah membuat travelling menjadi sangat terbatas. Sebenarnya kembali lagi ke sikap penggunanya juga sih.

      Pengalaman saya sendiri, justru experience yang luar biasa saya alami di tempat-tempat yang tak tertulis dalam buku itu. Dan ketakbergantungan terhadap guidebook membuat perjalanan menjadi lebih natural. Tentu saja, saya masih menggunakan LP dalam perjalanan saya (dah berat-berat bawa masa gak dipakai, hehehe)

  2. Saya bukan pengguna LP ataupun buku “travel manual” lainnya karena, pertama, masalah harga 🙂 mahalnya itu lho, lebih baik untuk nambah-nambahin bekal perjalanan.
    Kedua, untuk orang yang pemalas dan tidak mau repot seperti saya, pasti ada kecenderungan untuk mengikuti bulat-bulat apa yang tertulis dalam buku-buku seperti itu, dan ini tentu saja mengurangi the pleasure of finding out new things yang buat saya adalah elemen penting dari suatu perjalanan.
    Ketiga, karena perjalanan jadi jauh lebih predictable kalau kita menggunakan “manual” semacam ini, maka excitement dalam perjalanan jadi agak berkurang seiring dengan berkurangnya element of “surprise”.
    Walaupun begitu, sedikit berbeda dengan August yang pasang sikap “protes”, saya cenderung menganggap bahwa LP hanyalah satu sumber informasi saja. Kalau LP merekomendasikan suatu tempat, maka menurut saya yang lebih baik adalah mencari opini lain (baik dari locals maupun dari sumber lain) terhadap tempat tersebut, dan yang terpenting tetap rely on our own judgement karena, di satu sisi, travel is a very personal experience.

  3. Saya pernah coba backpacking tanpa manual atau buku panduan apapun. Hasilnya: I made my life a misery!!! Terlalu banyak waktu terbuang hanya utk cari info kesana kemari di tengah2 perjalanan. Dengan atau tanpa buku pegangan ada positif dan negatifnya. Kesimpulan saya saat ini adalah selalu bawa buku panduan selama perjalanan tapi jangan terlalu tergantung 100% pada buku panduan. Better bring along a guide book cause you will never know what lies ahead!!!!

Leave a comment

Your email address will not be published.


*