Recommended

Media Indonesia (2011): Menelusuri Jalur Para Penakluk

Saya melintasi Khyber Pass tiga kali. Dua kali pertama pada 2002, dari Pakistan menuju Afghanistan, dan berselang tiga minggu sesudahnya, dari Afghanistan kembali ke Pakistan. Hanya setahun setelah rezim Taliban runtuh, Khyber Pass masih menyiratkan nuansa misterius dari negeri yang terus-menerus dilanda perang berkepanjangan.

 4 October 2011

Media Indonesia

Menelusuri Jalur Para Penakluk

1110-media-indonesia-khyber-pass

Agustinus Wibowo

Saya melintasi Khyber Pass tiga kali. Dua kali pertama pada 2002, dari Pakistan menuju Afghanistan, dan berselang tiga minggu sesudahnya, dari Afghanistan kembali ke Pakistan. Hanya setahun setelah rezim Taliban runtuh, Khyber Pass masih menyiratkan nuansa misterius dari negeri yang terus-menerus dilanda perang berkepanjangan.

Kali ketiga, pada 2006. Tidak banyak perubahan pada perbatasan ini. Khyber Pass masihlah perbatasan yang kacau balau, nyaris tidak ada pemeriksaan bagi pelintas batas warga setempat, yang hanya berjalan santai seolah melintasi gapura gerbang pembatas kota.

‘Foreigners are not Allowed Beyond this Point’ demikian tertulis pada pintu gerbang Khyber Agency. Namun, dengan menggenggam surat izin yang diterbitkan Political Agency di Peshawar, saya menumpang taksi bersama seorang tentara bersenapan Kalashnikov dan berseragam hitam-hitam, meluncur ke perbatasan di pegunungan yang legendaris itu.

Surat izin itu ialah surat sakti bagi orang asing untuk melintasi Khyber Pass yang dianggap sebagai daerah rawan. Jalan yang menghubungkan Kota Peshawar hingga Khyber Pass itu secara keseluruhan melintasi daerah tribal (kesukuan) Khyber. Kata tribal sering diorientasikan dengan keterbelakangan, primitif, dan kekacauan.

Di Pakistan memang tidak ada berita bagus tentang tribal area. Taliban, opium, senjata ilegal, hashish, penculikan, perang, bom, tanpa hukum, pemberontakan, fundamentalisme, dan kekacauan.

Nama Khyber sudah membangkitkan nostalgia masa lalu. Inilah Khyber Pass yang tersohor itu, jalan tembus rantai pegunungan Hindu Kush—sang pembunuh Hindu. Inilah jalan yang dulu dilintasi para penakluk dunia, mulai Iskandar Agung, Timurleng, Babur, hingga Mahmud Ghaznavi dari Turki, yang datang dengan pedang untuk membabat patung-patung Hindu di India dan menjarah emas di kuil-kuil kuno untuk membangun ibu kotanya yang megah di Afghanistan.

Ini juga jalan yang sama yang membawa Islam ke Asia Selatan. Jalan yang sama, menjadi medan tempur sejak ribuan tahun lalu, mulai zaman para penakluk Yunani, Turki, Mongol, Persia, Afghan, hingga ribuan serdadu Inggris.

Sekarang tempat ini juga sudah mulai dirambah Taliban, didukung Lashkar-i-Islami—pasukan suku setempat, yang mulai memberlakukan hukum radikal, mulai larangan mendengarkan musik, penutupan sekolah untuk anak perempuan, pengharaman fotografi dengan objek manusia, hukum rajam, hingga kewajiban mutlak untuk selalu memakai pakaian adat.

Tanpa hukum
Jumlah penduduk Khyber Agency sekitar setengah juta, sebagian besar ialah orang-orang suku Afridi dan Shinwari. Keberanian suku Afridi tersohor di seantero negeri, ikut berjuang merebut sebagian tanah Kashmir dari tangan India. Suku Afridi juga terlibat dalam bisnis penyelundupan senjata ilegal dan obat-obatan terlarang di daerah tribal.

Semua tribal area terlarang bagi orang asing. Kalau orang asing terbunuh di sini, tidak ada hukum negara mana pun yang bisa membantu karena itu merupakan wilayah tanpa hukum.

Taksi kuning kami pun melintasi Baab-i-Khyber, Gerbang Khyber, dengan arsitektur gerbang
benteng Eropa. Tampak truk dan bus lalu lalang. Setelah memasuki wilayah tribal area, di kanan-kiri jalan tampak rambu-rambu berwarna kuning yang bergambar tentara lengkap dengan senapan laras panjang di bahunya. Kami melintasi pasar yang ramai dengan pria beserban yang berteriak menawarkan tomat dan melon, sementara kaum perempuan bercadar dan berjubah hitam-hitam berjalan cepat-cepat di belakang sang suami. Sesekali tampak kaum lelaki berbalut jubah yang lalu lalang sambil mencangklong bedil Kalashnikov di pundak. Di sini senjata memang sudah akrab dengan kehidupan sehari-hari. Hanya untuk belanja ke pasar pun orang bahkan membawa senapan.

Tiba-tiba tentara menganjurkan taksi untuk berhenti dan menunjukkan kegagahan celah Khyber. Dari titik inilah kami melihat rangkaian ular itu meliuk-liuk merambah bukit, memecah bongkahan-bongkahan gunung tandus, dan seakan menyeringaikan taringnya di hadapan kami. Inilah celah Khyber yang termasyhur itu. Tentara Pakistan itu menawarkan senapan Kalashnikov AK-47 kepada kami. “Coba saja,” katanya.

Saya tidak perlu berpikir lama sebelum mengangguk setuju. Tidak main-main! Avtomat Kalashnikov 47! Bukan di lapangan tembak, melainkan di alam nyata! Celah Khyber!

DUARRR!!! Letupan yang menyentakkan tubuh saya jauh-jauh ke belakang. Begitu kuat, begitu tajam suaranya. Letupan itu seolah membawa saya dekat sekali dengan maut. Ini pengalaman pertama saya menginjakkan kaki ke medan perang dan kini sepucuk senapan ada di pundak, serta sebuah peluru terhembus lepas dari moncongnya.

Taksi kembali melintasi jalan yang berkelok-kelok menanjak. Sepanjang jalan rumah-rumah tampak sangat sederhana. Semuanya satu warna: cokelat, warna lumpur kering dan batu bata. Gersang. Dari puncak bukit itu, tampak jalan raya mengular di bawah. Truk-truk minyak merayap perlahan. Saya berada di puncak Khyber.

Lebih siaga
Pos perbatasan Torkham milik Pakistan terletak di sebelah kiri jalan. Sesak dan pengap. Pada 2003 ketika saya pertama kali melintas di kantor perbatasan ini, visa Pakistan yang cuma tempelan kertas putih tulisan tangan di paspor hanya dilihat sekilas.

Pada 2006 Pakistan sudah jauh meningkatkan prosedur keamanan bagi para pelintas batas. Pertama-tama permit saya untuk masuk tribal area dicek dulu, difotokopi, dan ditandatangani. Kemudian wajah saya dipotret dengan kamera seperti webcam untuk dokumentasi. Paspor saya dicek lagi dengan mesin pembaca paspor. War on terror memaksa Pakistan untuk semakin siaga di pintu gerbang mereka. Paspor Pakistan baru-baru ini sudah diganti dengan paspor biometrik yang machine-readable.

Ada dua gerbang, satu di Pakistan, satu lagi di pintu masuk Afghanistan. Ratusan orang hilir mudik dengan mudahnya tanpa pemeriksaan dokumen sama sekali. Dari Afghanistan, orang-orang berbondong-bondong menuju Pakistan, dengan barang-barang bawaan yang tidak sedikit. Perempuan-perempuan berbalut burkak, ataupun perempuan berkerudung yang duduk di keranjang beras, sedangkan suami mendorong dari belakang. Ada juga anak-anak kecil berlarian mengikuti orang tua mereka. Semuanya tergesa-gesa menuju Pakistan. Berjalan terburu-buru, seakan dikejar-kejar sesuatu dari balik negeri Afghan sana.

Portal pemisah negeri ditandai sebuah papan hijau dengan tulisan besar: ‘Welcome to Pakistan Keep to the Left’.

Namun, saya meninggalkan Pakistan. Saya melangkah dengan penuh bimbang menuju Afghanistan di balik gerbang. Setengah jam kemudian saya menyaksikan bangkai-bangkai tank bertebaran di kanan-kiri jalan, gunung-gunung batu gundul tak berpohon, debu-debu bertebaran memenuhi rongga mulut, serta orang-orang yang menatap dengan tatapan membelalak tajam.

Selamat datang di Afghanistan!

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*