Recommended

KabarJagad (2013): Pengembaraan Agustinus Wibowo Tak Pernah Berujung

Senin, 24 Juni 2013 12:57 Reporter Lora Satrapi
Gaya Hidup

Kabarjagad.com

Pengembaraan Agustinus Wibowo Tak Pernah Berujung

Semua berawal ketika Agustinus menjadi sukarelawan tsunami di Aceh pada Januari 2005. Di daerah yang luluh lantak akibat terjangan gelombang dahsyat tersebut, ia justru melihat semangat warga yang kuat untuk bangkit kembali. Agustinus yang saat itu baru lulus dari jurusan Komputer, bertekad banting stir menjadi seorang jurnalis. Tujuannya hanya satu, bisa mengunjungi tempat-tempat yang tak biasa dikunjungi, untuk menyebarkan cerita-cerita inspiratif.

Rencananya jelas, ia akan melakukan perjalanan dari Beijing sampai Afrika Selatan lewat jalan darat. Karena tak mendapat restu orang tua, praktis ia membiayai sendiri perjalanannya tersebut.

Perjalanan akbarnya dimulai dari Stasiun Kereta Api Beijing, Cina, pada bulan Juli 2005. Dari sana, ia menanjak ke Tibet, menyeberang ke Nepal, India, menembus ke Pakistan, Afghanistan, Iran, lalu masuk ke negeri-negeri Stan di Asia Tengah, diawali Tajikistan, kemudian Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan.

Sebagai titik awal perjalanan, Tibet mendapat tempat spesial di hati Agustinus. Saat itu, ia masuk ke negeri atap dunia tersebut dengan cara menyelundup karena tak mengantongi izin masuk yang biayanya sangat tinggi. Satu bulan di Tibet dijalaninya dengan penuh ketakutan. Takut ketahuan sebagai orang asing, takut diciduk polisi, takut dipenjara, dan perasaan-perasaan takut lainnya. Ada kepuasan tak tertandingi saat ia sukses “menaklukan” Tibet; menaklukan perasaan takutnya sendiri.

Penaklukan-penaklukan semacam ini dirasakan Agustinus di awal-awal pengalamanannya backpacking seorang diri. Mimpi itu pula yang mengantarkannya ke Mongolia hanya dengan ongkos sebesar Rp 300.000 dari Beijing.

Meskipun pengalaman pertamanya diwarnai dua kali perampokan di Ulan Bator, ia tidak gentar. Hasratnya kian menggebu saat di Mongolia bertemu dengan backpacker asal Malaysia yang sedang dalam misi keliling dunia. Agustinus tampaknya tak terlalu berkarib dengan rencana. Ia mengaku tak merencanakan persinggahan di negara-negara yang ia kunjungi. Apalagi dengan sengaja memilih negara-negara yang—menurut banyak orang—penuh tantangan atau berbahaya.

“Saat itu saya hanya ingin ke Afrika Selatan dari Beijing. Kalau dilihat di peta, rute tersebut melewati negara-negara yang saya kunjungi,” jelasnya singkat, “kebetulan juga hati saya tertambat di di Pakistan dan Afghanistan.”

Di dua negara ini, Agustinus tinggal cukup lama, 6 bulan di Pakistan dan 3 tahun di Afghanistan. “Saya sudah menjadi bagian dari daerah tersebut. Masuk ke dalam sebuah komunitas bangsa. Berbeda saat saya hanya tinggal 1 bulan di Tibet, saat itu mata saya masih sebagai seorang turis.” ujarnya.

Menurutnya, yang paling penting dari sebuah perjalanan adalah sejauh mana kita terkoneksi dengan tempat itu. Itu sebabnya ia tidak mengejar destinasi, apalagi menghitung jumlah negara yang ia kunjungi. Pria kelahiran Lumajang, Jawa Timur, ini pun berteori bahwa seseorang baru dapat dikatakan sudah melebur dengan masyarakat lokal jika bisa tertawa mendengar joke mereka.

Pengalaman tinggal di negeri dimana harga sebuah nyawa manusia begitu murah, membuat Agustinus lebih menghargai hidup. “Untuk kita yang tidak pernah mengalami derita di negeri perang, mungkin akan sulit untuk tertawa saat mendengar joke tersebut,” ujar Agustinus, “tapi ternyata, mereka sudah mulai menertawakan tragedi mereka sendiri.”

Demi menyambung hidup dari satu tempat ke tempat lain, Agustinus menggunakan berbagai macam alat transportasi, mulai dari kereta api, bus, truk, hingga menumpang kuda dan keledai, dan diselingi dengan berjalan kaki. Berkelana ke banyak negara selama bertahun-tahun membuatnya tidak cuma sekali dua kali mengalami kejadian-kejadian naas. Berbagai marabahaya pernah ia hadapi, mulai dari ditangkap polisi, dirampok, dipukul preman, ditahan agen rahasia, dan kelaparan. Belum lagi perasaan rindu pulang ke rumah.

“‘Jarak menimbulkan keindahan’. Begitu kata salah satu pepatah Mandarin. Ada perasaan yang justru tidak kita dapatkan ketika tinggal bersama.” ujar Agus mengenai kondisinya yang jauh dari pelukan hangat keluarga tercinta.

Saat ini Agustinus menetap di ibukota untuk sementara. Tapi ia tidak akan tinggal diam. Perjalanan bukan sekadar liburan untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas. Perjalanan sudah menjadi hidup itu sendiri. Seperti yang ia tuliskan dalam Titik Nol, “‘Rumah’-ku sekarang adalah jalanan yang membentang. Aku adalah nomad, napasku adalah perpindahan.”

 

Editor : Alvaro GAZ

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*