Recommended

Garis Batas 86: Puja dan Puji

Puja bagi Ruhnama (AGUSTINUS WIBOWO)

Puja bagi Ruhnama (AGUSTINUS WIBOWO)

Taman Abad Emas Saparmurat Turkmenbashi yang Agung, nama tempat di mana segala puja dan puji terhadap Sang Pemimpin Besar dipanjatkan setiap minggu, disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru negeri oleh televisi negara. Inilah altar pemujaan, yang sepeninggal Sang Pemimpin masih terus melantunkan nyanyian pujian ke angkasa raya.

Hari Sabtu dan Minggu sore, taman ini selalu ramai dikerumuni orang. Letaknya di hadapan patung emas Turkmenbashi yang gagah berdiri menyibakkan jubah. Dengan berbekal kamera saya mencoba menyelinap ke tengah kerumunan itu. Tahu-tahu saya diciduk polisi.

“Hei, kamu! Mau ke mana?” Saya jawab mau ikut konser.

Si polisi tambah curiga, menhardik, “Kamu dari kelas mana? Grup mana?” tanya polisi yang satunya.

Kelas? Grup? Waduh, saya kan orang asing yang menyelundup, kok ditanya grup dan kelas. Kedua polisi itu mulai mengancam akan menjebloskan saya ke penjara. Nada-nadanya para pegawai kecil ini ingin mempertunjukkan kekuasaannya. Saya hanya ikut permainan mereka, tersenyum-tersenyum kecil, dan terus memohon-mohon. Ketika mereka lengah saya berhasil menyelinap ke kerumunan orang ramai ini.

Sekarang baru saya sadar mengapa polisi-polisi itu mencegat saya. Semua orang yang datang ke tengah kerumunan ini berpakaian hampir sama. Para prianya mengenakan kemeja, dasi, jas hitam kualitas tinggi, dan topi tradisional berbentuk bundar penuh sulaman yang disebut tahia. Semuanya muda-muda, dan memang nampak seperti pelajar. Para gadisnya semua berambut panjang dan berkepang dua (pasti banyak yang rambut palsu) dan memakai tahia mungil yang menutup ubun-ubun. Cuma saya sendiri yang lain daripada lain. Pantas tadi polisi menanyakan saya dari grup dan kelas mana. Ini membuktikan teknik selundup-menyelundup saya masih teramat sangat menyedihkan.

Sekarang saya sudah berada di tengah barisan mahasiswa Turkmen, yang terharu biru dalam konser pemujaan Sang Pemimpin Agung. Angin bertiup sangat kencang, mengibarkan bendera-bendera hijau Turkmenistan yang memang cantik sekali. Para pelajar yang kebagian memegang bendera di pinggir panggung mengumpat-umpat karena angin yang sama sekali tidak bersahabat. Tetapi, di depan kamera TV mereka harus tampak ganteng. Senyum terus diumbar walaupun udara dingin menggigit.

Para pelajar Ashgabat ini, persis seperti warga Korea Utara, juga menyematkan bros bergambar kepala Turkmenbashi di atas dada kanan. Lambang penghormatan yang dalam kepada Sang Pemimpin yang sudah seperti setengah dewa.

Lagu-lagu merdu yang mengagungkan buku suci Ruhnama mulai berkumandang, bergemerisik dari sound system yang suaranya sering hilang terbawa angin. Gadis-gadis yang berbaris di barisan depan, berlengan pendek, masing-masing memegang sekuntum bunga, mengayun-ayunkan bunga mereka mengikuti irama. Pasti mereka menggigil juga, tetapi itu tidak nampak dari senyum manis yang terpancar oleh barisan gigi putih mereka. Lagu demi lagu sambung menyambung, memuja Ruhnama, Turkmenbashi, Abad Emas.

Puji bagi Turkmenbashi (AGUSTINUS WIBOWO)

Puji bagi Turkmenbashi (AGUSTINUS WIBOWO)

Pertunjukan berikutnya adalah barisan gadis cantik berambut panjang berkepang dua, dengan jubah panjang warna-warni seperti para dayang dari negeri antah berantah. Musik tradisional Turkmen yang mendayu-dayu mengalir mengisi udara. Gadis-gadis itu dengan tangan-tangan berjari lentik, membuat gerakan berombak naik turun. Mereka juga berbaris, mengepakkan tangan mengikuti harmoni, membuat ilusi kupu-kupu Asia Tengah yang sedang memamerkan kemolekan. Musik yang mengiringi, dengan panjatan lagu-lagu penuh emosi, memuji kebesaran Sang Turkmenbashi.

Para penyanyi dan penari datang silih berganti. Saya tidak begitu mengerti isi lagu-lagunya, tetapi di setiap kalimat saya selalu menangkap daftar kata berikut: Turkmenistan, Buyuk Turkmenbashi (Turkmenbashi yang Agung), Ruhnama, Bitaraplik (Netralitas), Garashyzlik (Kemerdekaan), dan Altyn Asyr (Abad Emas). Isinya berkutat pada puja dan puji yang itu-itu saja.

Konser ditutup dengan penampilan barisan pemuda Turkmen yang gagah dan tinggi, mengenakan pakaian adat yang seperti ksatria bangsa nomaden, dan semua memakai topi telpek putih dari bulu domba yang kriwil-kriwil, persis seperti rambut kribo Ahmad Albar. Musiknya rancak. Para penari menyepakkan kakinya tinggi-tinggi, kuat dan perkasa, tetapi indah dan penuh harmoni. Tiba-tiba muncul barisan gadis cantik penyebar nuansa kelembutan, dengan bunga-bunga merah muda.

Bendera Turkmenistan, bendera tercantik di dunia (AGUSTINUS WIBOWO)

Bendera Turkmenistan, bendera tercantik di dunia (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pemuda berambut kribo yang gagah itu duduk di bawah, mengelilingi para gadis yang kini membentuk lingkaran sambil tersenyum mengumbar bunga. Pemuda memuja-muja, dan pemudi terus tersenyum dan berputar-putar. Tarian yang demikian bersemangat, menggugah jiwa itu, diiringi musik pujaan bagi Ruhnama dan Turkmenbashi. Kalau diterjemahkan ke versi Indonesia, ini seperti menonton Tari Saman yang orisinil, tetapi diiringi lantunan pujian akan Pancasila, Pembangunan Lima Tahun, Gerakan Non-Blok, dan Era Tinggal Landas. Perasaan yang aneh tentunya.

Sang Turkmenbashi, yang menjadi sumber segala pemujaan ini, tampak di mana-mana. Di belakang panggung ada poster super besar Turkmenbashi yang sedang bertopang dagu, tersenyum manis, seakan memang sedang menikmati lagu-laguan, tari-tarian, dan segala puja dan puji akan keagungannya. Baliho bergambar buku-buku maha karya sang Pemimpin juga dijajar di belakang podium, di antaranya Ruhnama Jilid 1 dan Jilid 2, buku panduan hidup rakyat Turkmen.

Fotografer majalah dan kameraman televisi sibuk mengabadikan acara puja-memuja ini. Dan saya juga ikut sibuk mengabadikan tari-tarian Turkmen yang luar biasa indahnya.

Dalam acara ini, semua harus ikut petunjuk. Lambaian, detail pernak-pernik pakaian, posisi duduk, tepuk tangan, pemberian bunga kepada penyanyi, suit-suitan, siul-siulan, semuanya, semuanya ada yang mengatur. Tidak ada yang asli di sini. Saya jadi teringat acara hiburan zaman dulu waktu televisi kita masih cuma TVRI.

Di bawah sorot mata dan senyuman Turkmenbashi (AGUSTINUS WIBOWO)

Di bawah sorot mata dan senyuman Turkmenbashi (AGUSTINUS WIBOWO)

Tapi kalau mau lebih teliti lagi, sebenarnya para pelajar di sini bisa dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah mereka yang ‘apes’ terpilih duduk di bagian depan, terus-menerus kesorot kamera televisi, dan harus mengumbar senyum, bertabik tepuk tangan, melambaikan bunga dengan penuh kedisiplinan. Kelompok kedua adalah para pelajar yang datang hanya sebagai penggembira, untuk memenuhi layar kalau disorot TV supaya kelihatan penuh. Nah, yang termasuk kelompok kedua ini adalah yang beruntung. Bisa berdiri, jalan ke sana ke mari, ngobrol sepuasnya seperti acara reuni sekolah. Yang duduk di depan harus menggigil kedinginan, memaksa senyum, dan melambai-lambaikan bunga.

Tak ada orang lain yang menonton acara ini kecuali para pelajar ini dan gurunya. Sepertinya acara ini memang terbatas untuk mahasiswa saja, yang juga datang ke sini karena terpaksa. Semua universitas wajib menampilkan pertunjukan, dan ada gilirannya setiap minggu. Begitu acara berakhir, para penggembira yang tadi asyik mengobrol seperti saya dulu kalau ikut upacara bendera langsung bubar ke berbagai penjuru dalam hitungan detik. Kalau saja tidak ada polisi yang berpatroli di sekitar taman, saya yakin anak-anak ini pasti sudah bolos sudah sejak tadi.

Acara lantunan puja dan puji, sebuah seremoni penanaman semangat kebangsaan dan kecintaan pada Sang Pemimpin, adalah ritual rutin dan wajib di negeri ini.

 

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 3 Juli 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*