Recommended

MyTrip (2011): Garis Batas—Buku Inspiratif yang Wajib Dibaca Para Pejalan

August 2011

1108-MyTripreview-garis-batas

Garis Batas: Buku Inspiratif yang Wajib Dibaca Para Pejalan

 

Garis batas! Seperti halnya gravitasi bumi dan oksigen, garis batas tidak terlihat, namun setiap langkah dan embusan napas kita dipengaruhi olehnya. (hal 7)

Tentang Isi Buku

Dibagi menjadi 5 bab sesuai dengan nama-nama negeri Asia Tengah yang dijelajahi penulis.

Tajikistan – Eksistensi Negeri Merdeka
Kirgizstan – Tenggelam di Atas Peta
Kazakhstan – Kebanggaan di Simpang Jalan
Uzbekistan – Tarian Masa Lalu
Turkmenistan – Utopistan

Setiap bab dilengkapi foto-foto yang membantu kita membayangkan keunikan budaya di sana. Adanya peta masing-masing negara juga memudahkan kita untuk ngintilin perkelanaan penulis keluar masuk garis batas.

 

Tentang Gaya Bertutur

Nggak capek baca buku tebal ini, padahal topik yang dibahas sangat serius. Tentang kebudayaan, kemanusiaan, nasionalisme, politik, konflik batin kaum minoritas mengenai identitas, dan hal-hal hakiki dalam kehidupan manusia. Soalnya, Agustinus sangat piawai memainkan kata-kata. Ya, diksinya sungguh kaya.

Coba simak: Ada sejumput kecil tanah Uzbekistan yang dikelilingi oleh Kirgizstan. Ada kampung Kirgizstan yang nyasar di Uzbekistan. Beberapa dusun Tajikistan teronggok pasrah dikelilingi musuh bebuyutan Uzbekistan. (hal 400)

Jadi, untuk menggambarkan hal yang sama (kondisi perbatasan yang saling mengungkung), penulis sama sekali tidak melakukan pengulangan kata.

Gaya sindiran berbau satire bikin kita nggak perlu mikir untuk paham ke mana arah sindiran itu, juga bikin kita tertawa geli sambil bergetir-getir dalam hati. Contohnya: Apakah Turkmenbashi pernah punya istri yang bercita-cita membangun Taman Mini Turkmenistan Indah yang mengoleksi segala macam kekayaan budaya dan peradaban zamrud padang pasir, lengkap dengan peta buatan Turkmenistan ukuran jumbo? (466)

Deskripsi yang diselingi tuturan narasumber dalam bentuk percakapan juga membuat pembaca mempunyai napas yang cukup panjang untuk terus membalik halaman demi halaman.

Di beberapa bagian, Agustinus mendeskripsikan sesuatu dengan gaya puitis seorang sastrawan. Waktunya bagi sayauntuk membuang selaput turistik yang membungkus negeri ini, melihat wajahnya yang muram di tengah musim dingin yangmenggigit dan mengelabukan parasnya. (141)

 

Tentang Kekuatan Buku Ini

Selain diajak berkelana ke pelosok negara-negara yang sebelumnya kurang dikenal, kita juga seolah dituntun untuk makin memahami hal paling hakiki dalam hidup manusia: identitas. Nggak jauh-jauh, Agustinus dengan manis menyelipkan kisah masa kecilnya saat memaparkan kegalauan suku minoritas Dungan, pendatang Cina di Kirgizstan.

Siapa yang nggak trenyuh membaca pergulatan batin penulis yang mengalami penolakan, diolok-olok sebagai Singkek saat masih kecil, yang mendorongnya terjerat fantasi tentang negeri leluhur yang akan memberi tempat lebih layak, daaan… pada akhirnya bertahun-tahun kemudian di depan matanya terentang realita bahwa negeri leluhur itu justru terasa asing. Saya tak merasa sedang pulang ke “tanah air”. (224). Kami memang sama-sama “keturunan sang naga”, tetapi saya tetap bukan bagian dari mereka. (227). Bagaimana akhirnya pemahaman penulis tentang identitasnya? Bagaimana pula ketika fantasinya tentang Indonesia seketika hancur berantakan gara-gara ulah oknum imigrasi?

Ya, kekuatan buku ini terletak pada benang merah yang dirangkai penulis antara fakta yang dialami, dilihat dan didengarnya selama perkelanaan dengan masalah sosial di mana pun, terutama di Indonesia. Bahwa garis batas itu sungguh adalah fenomena yang dialami seluruh umat manusia. Bahwa sesungguhnya kita semua punya masalah yang sama, dan pastinya tujuan hidup yang sama: ingin dihargai sebagai manusia, ingin bahagia. Ya semua sama! Tak ada garis batas bagi harapan hidup bahagia.

Semua yang dipaparkannya mengetuk kesadaran kita, terutama penyuka jalan-jalan, bahwa perjalanan itu bukan cuma mengunjungi tempat-tempat indah, apalagi menaklukkan atau sekadar gagah-gagahan. Lebih dari itu, perjalanan adalah proses belajar untuk mencari jatidiri, menembus garis batas, membenturkan konsep di kepala dengan realita yang ditemui di jalan. Betapa indah dan bermaknanya sebuah perjalanan itu bukan?

 

Tentang Beberapa Pernyataan Favorit

Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri. (46)

Kapan dunia ini damai, bebas tanpa perang dan penderitaan, tanpa lagi ada pembantaian manusia hanya karena warna kulit, agama, dan ideologi? (156)

Garis batas tak lebih hanyalah kotak-kotak bikinan manusia, yang kemudian mendikte dan menentukan takdir. Orang bilang, garis batas perlu ada untuk melindungi zona aman manusia. Tetapi, untuk siapa? …… Untuk ego manusia yang ingin selalu eksis dan berkuasa? (235)

 

Tentang Penulis

Awalnya pemuda Lumajang kelahiran 29 tahun lalu ini dikenal lewat rubrik “Petualangdi KCM. Kisahnya tentang negeri-negeri yang tak populer dikunjungi turis menyihir banyak orang. Sampai akhirnya tahun lalu kumpulan tulisannya dibukukan menjadi Selimut Debu yang memaparkan tentang Afghanistan. Tahun ini pemilik blog www.avgustin.net yang tinggal di Beijing ini datang lagi ke Indonesia dalam rangka peluncuran buku keduanya, Garis Batas. Sebuah buku yang menggandeng kita “berkelana imajiner” ke negeri-negeri Stan di Asia Tengah.

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*