Recommended

Selimut Debu 23: Kantor Berita

 

Pengalaman duduk di newsroom (AGUSTINUS WIBOWO)

Pengalaman duduk di newsroom (AGUSTINUS WIBOWO)

Pajhwok Afghan News adalah kantor berita lokal terbesar di Afghanistan. Aku beruntung diperkenalkan oleh seorang teman jurnalis Indonesia kepada direktur dari kantor berita ini. Mulai hari ini, aku pun mencicip pengalaman bekerja di newsroom.

Berita yang dihasilkan Pajhwok dimuat secara Online dan diperbarui setiap menit. Mereka mendapat dana dengan berbasis langganan. Untuk berlangganan berita-berita dari Pajhwok, biayanya masih cukup mahal untuk standar kantong warga lokal. Biaya langganan tergantung dari status pelanggan, bisa mencapai US$200 per bulan untuk perusahaan besar, NGO asing, dan kedutaan. Kantor berita ini menyajikan berita dalam tiga bahasa, yaitu Farsi, Pashto, dan Inggris.

Direktur Pajhwok adalah seorang pria etnis Pashtun yang kurus dan tinggi bernama Danish Karokhel. Dia memberikan padaku sejumlah buku yang bisa aku baca sebelum  aku berkeliling negara ini. Dia bahkan menjanjikan akan memberikan bantuan dari seluruh penjuru Afghanistan, karena kantor berita ini mempunyai kantor lokal di berbagai kota di Afghanistan.

Danish memintaku datang pagi-pagi ke kantor untuk berjumpa dengan fotografernya. Pajhwok hanya punya seorang fotografer di kota ini, sedangkan sejumlah koresponden di luar kota juga mengirimi mereka foto-foto berita. Peralatan yang mereka gunakan hanyalah kamera digital kecil dengan merek Sony. Danish mengatakan aku bisa berdiskusi dengan Wali, fotografer Pajhwok yang berusia tiga puluh tahunan dan berjenggot tebal lebih mirip seorang mullah itu, untuk mengambil foto dari berbagai tempat di Kabul.

Wali, yang untungnya bisa berbahasa Urdu sehingga memudahkan komunikasi, membawaku pergi ke bazaar. Mulanya aku lebih tertarik untuk naik ke bukit Deh Afghanan yang penuh dihuni oleh keluarga miskin yang tinggal di rumah-rumah lumpur, tetapi Wali meyakinkan bahwa bazaar akan lebih menarik. Ini bukan kali pertama aku datang ke Kabul Bazaar. Kami berkeliling pasar selama setengah jam, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor, padahal baru pukul 10 pagi. Untuk memangkas jarak, Wali membawaku melintasi jalan pintas yang melewati daerah miskin di Deh Afghanan, tempat yang semula memang ingin aku kunjungi.

Daerah miskin ini, seperti sejumlah daerah miskin di Kabul, berupa rumah-rumah yang dibangun di sekujur bukit. Rumah-rumah ini kebanyakan terbuat dari lempung, dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Tiga tahun lalu, Pak Kasim dari Kedutaan Indonesia mengatakan bahwa penghuni daerah seperti ini adalah masyarakat dari kelas terendah di Kabul, karena bangunan-bangunan di sini bebas dari pajak. Tetapi pihak Kedutaan melarangku untuk datang ke daerah ini sendirian, karena daerah ini masih penuh senjata. Tiga tahun berselang, hari ini akhirnya aku bisa menjejakkan kaki di tempat ini. Aman, karena aku ditemani fotojurnalis Afghan.

Problem utama di tempat ini adalah air. Air tidak pernah mengalir sendiri ke daerah permukiman para penghuni. Ya, mana mungkin ada sistem air yang bisa membawa air dari kaki bukit ke puncak bukit di tempat seperti ini, setelah 30 tahun perang berkepanjangan? Untuk mendapatkan setetes air, para penghuni harus mengantre. Mereka membawa botol-botol dan kendi, turun ke kaki bukit tempat adanya pompa air komunal, mewadahi airnya, dan membawanya kembali ke atas ke tempat mereka tinggal. Beberapa dari mereka mengangkut air itu dengan keledai.

Orang-orang yang tinggal di daerah ini cukup ramah, bersahabat, dan malah sangat antusias minta difoto. Aku sempat berpikir untuk membuat liputan mendalam tentang daerah ini, misalnya dengan menginap di rumah salah satu penduduk. Apalagi mereka terbilang sangat ramah untuk menjadi penghuni negara yang sejarahnya penuh dengan darah dan kekerasan.

Tetapi kejadian ini langsung membuatku berubah pikiran.

Aku sedang mengambil gambar barisan keledai dari rumah-rumah yang ada di gang sempit. Rumah-rumah di sini dibangun sangat rapat. Saat memotret, ada perempuan mengenakan burqa biru yang melintas.

Tidak terjadi apa-apa, sampai ketika aku berjalan meninggalkan daerah ini, tiba-tiba seorang lelaki datang marah-marah ke arahku, menerjangku, menamparku. Aku segera memasukkan kameraku ke dalam tas. Lelaki itu menendangku keras-keras.

Wali si fotografer itu hanya bicara dan bicara, dalam bahasa yang tidak kumengerti, tanpa berusaha menolongku secara fisik. Lelaki marah itu juga menyepakkan kakinya ke punggung Wali. Kami segera menghambur secepat-cepatnya dari daerah itu.

Setelah tenang, Wali menjelaskan padaku apa yang terjadi.

Lelaki yang marah itu, katanya, berasal dari daerah Panjsher, tempat asalnya pahlawan nasional Afghan si Ahmad Shah Massoud. Lelaki Panjsher itu mengira aku mengambil gambar dari rumahnya. Dia tidak terima, dan mau merampas kameraku. Dia bilang aku ini mata-mata Amerika. Dan lelaki itu—aku tidak sempat memperhatikan—ternyata membawa pistol di balik rompinya. Sesungguhnya aku bisa saja ditembak mati di tempat, kalau nasibku sial. Kepemilikan senjata sekarang memang sudah ilegal di Afghanistan, tetapi di daerah miskin dan tak berhukum itu, apa pun bisa terjadi.

Aku sampai bergetar mendengarkan penjelasan ini. Aku masih beruntung, aku belajar hal ini sekarang, sebelum aku melakukan kesalahpahaman yang lebih fatal di Afghanistan. Di negeri ini, kesalahpahaman bisa berujung maut, tak perlu diskusi, seseorang bisa saja menamparmu, menendangmu, menembakmu sampai mampus.

Di hari yang sama, aku masih punya pengalaman dengan orang Panjsher.

Kali ini aku berangkat dengan Safia Milad, reporter dari Pajhwok, seorang wanita muda yang sudah terkenal khusus menangani kasus-kasus kriminal terkenal di seluruh penjuru negeri. Safia baru berusia 28 tahun. Dia mengajakku pergi bersamanya ke kantor polisi untuk meliput kasus perampok terkenal yang  barusan tertangkap.

Pertama-tama, polisi yang bertugas menerima wawancara dari para jurnalis. Lagi-lagi kendala bahasa, aku tidak mengerti sedikit pun. Senjata-senjata yang dipakai para perampok digelar di atas meja kayu, dan itu menjadi objek foto dari para juru kamera dan seorang fotografer (aku sendiri). Aku terkejut melihat lusinan pistol yang dipakai oleh perampok ini seorang diri.

Para jurnalis kemudian diberi kesempatan mewawancara si pelaku. Dia cemas dan banyak berteriak, memaki-maki semua orang. Dia lelaki tinggi besar, dari Panjshir yang wajahnya mirip orang Eropa, dan tidak mau wajahnya diabadikan dengan kamera apa pun. Safia bilang, lelaki ini sangat besar, sangat bahaya.

Kepemilikan senjata api, serangan fisik di daerah miskin, tingginya tingkat kriminal, jurang yang sangat dalam antara orang-orang kaya (Safi Landmark) dengan orang-orang miskin (Deh Afghanan) adalah fenomena di kota Kabul yang aku saksikan di hari-hari pertamaku di sini.

Berbagai risiko keamanan masih mewarnai suasana ibukota Afghanistan ini.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Bersama jurnalis Afghan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bersama jurnalis Afghan (AGUSTINUS WIBOWO)

Deh Afghanan (AGUSTINUS WIBOWO)

Deh Afghanan (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan berburqa melintas di jalanan kumuh Deh Afghanan (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan berburqa melintas di jalanan kumuh Deh Afghanan (AGUSTINUS WIBOWO)

Menjinakkan keledai binal (AGUSTINUS WIBOWO)

Menjinakkan keledai binal (AGUSTINUS WIBOWO)

Keledai adalah alat transportasi utama (AGUSTINUS WIBOWO)

Keledai adalah alat transportasi utama (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka harus turun ke kaki bukit untuk mendapatkan air (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka harus turun ke kaki bukit untuk mendapatkan air (AGUSTINUS WIBOWO)

Senjata-senjata ilegal (AGUSTINUS WIBOWO)

Senjata-senjata ilegal (AGUSTINUS WIBOWO)

Kontras kehidupan (AGUSTINUS WIBOWO)

Kontras kehidupan (AGUSTINUS WIBOWO)

 

10.Pembangunan dan modernisasi tampak di berbagai penjuru kota Kabul  (AGUSTINUS WIBOWO)

10. Pembangunan dan modernisasi tampak di berbagai penjuru kota Kabul (AGUSTINUS WIBOWO)

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Selimut Debu 23: Kantor Berita

  1. kaq Agus emang kerreennnn…TOP

Leave a comment

Your email address will not be published.


*