Recommended

Selimut Debu 39: Impian Menuju Wakhan

Awal perjalanan menuju Koridor Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO)

Awal perjalanan menuju Koridor Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO)

Live must go on. Perjalanan ini harus dilanjutkan, terlepas dari insiden hilangnya duitku di Bamiyan yang telah cukup untuk memperlambat langkahku dan membuatku membatalkan semua rencana yang pernah kubuat. Berkat membaca buku yang dipinjami Maulana di KBRI, aku jadi ingin menjelajahi Afghanistan, sampai ke sudut-sudut terjauhnya, terutama “lidah panjang” yang menjulur di sudut timur laut Afghanistan, yang memisahkan Pakistan dari Tajikistan.

Koridor Wakhan masih merupakan daerah yang liar, tidak tereksplorasi, daerah terpencil di negeri terpencil Afghanistan. Daerah ini juga sensitif, menjadi batas banyak negara. Koridor Wakhan juga terisolasi total dari dunia luar di musim dingin (bahkan di awal musim semi dan akhir musim gugur) karena kondisi alamnya yang ganas, dan bahkan kelihatannya terkunci waktu, terlupakan sejarah. Mungkin udara yang ada di sana masih sama dengan udara ratusan tahun lalu. Tidak ada listrik, bahkan tidak ada generator dan baterai. Apalah artinya listrik bagi kaum penggembala nomaden Mongoloid yang mendiami padang Asia Tengah di abad ke-13? Realita itu masih tetap sama di Koridor Wakhan, hingga hari ini.

Aku sudah mengumpulkan sejumlah informasi dari internet mengenai cara pergi ke sana. Pertama-tama yang kubutuhkan adalah selembar surat izin, yang diberikan oleh pejabat di Ishkashim, kota terdekat dari Koridor Wakhan. Untuk mendapatkan surat izin dari Ishkashim, dianjurkan mengurus dulu surat izin dari Afghan Tourism Organization (ATO) di Kabul. Sebenarnya bisa saja langsung ke Ishkashim, tetapi surat izinnya belum tentu keluar, dan itu berarti perjalanan jauh ke sana (dan mahal) akan jadi sia-sia belaka.

Aku dibantu oleh Mr. Rahel, staf resepsionis di KBRI yang merupakan orang Afghan asli. Lelaki tua ini sungguh ramah, sangat antusias membantuku, apalagi sekarang aku sudah mulai sedikit-sedikit lancar berbahasa Farsi. Pak Rahel bicara bahasa Inggris cukup fasih. Dia membantuku menanyakan kepada pejabat-pejabat ATO mengenai pengurusan surat izin itu (untunglah aku tidak perlu ke sana sendiri).

Pegawai ATO yang menjawab telepon mengatakan, aku membutuhkan surat permohonan yang berisi tujuanku untuk mengembara ke daerah-daerah terpencil macam itu, dan surat itu harus disetujui oleh Kementerian Informasi dan Kebudayaan.

Nama Kementerian Informasi dan Budaya saja sudah cukup seram buatku. Aku pernah ke kantor Kementerian itu beberapa minggu lalu, hanya untuk meminta brosur dan informasi tentang Afghanistan. Bukannya dengan murah hati memberiku informasi dan sekilas kebudayaan mereka, mereka malah memintaku mengurus surat dulu dari kedutaanku dan Kementerian Luar Negeri. Minta brosur pariwisata saja butuh begitu banyak surat?

Pak Rahel berusaha meyakinkanku bahwa untuk surat izin ke Wakhan ini aku tidak perlu surat apa-apa. Langsung datang saja ke kantor Kementerian, semua beres.

Mengingat pengalamanku sebelumnya, aku memintanya sekali lagi menelepon ke Kementerian Informasi dan Kebudayaan.

Betul saja, pegawai Kementerian meminta surat dari Kedutaan.

“Tapi dia hanya turis, dia bukan staf kami. Paspornya sudah cukup,” bantah Pak Rahel.

“Oh ya, kamu benar. OK, jadi dia tidak perlu surat dari Kedutaan. Dia bisa saja datang ke sini dengan surat permohonan, oh ya, juga harus dicap oleh Kementerian Luar Negeri,” kata orang itu.

“Tidak! Dia bukan jurnalis! Kenapa dia harus minta surat dari Kementerian Luar Negeri? Dia cuma turis dan dia punya visa. Jadi dia tidak ada hubungannya dengan Kementerian Luar Negeri,” Pak Rahel mendebatnya.

“OK. Kamu benar, jadi dia langsung saja datang sendiri ke sini dengan surat permohonan, dan langsung ke Departemen Turisme,” jawab suara di seberang telepon.

Orang yang menjawab telepon itu sesungguhnya hanya seorang resepsionis, yang tidak mengerti prosedur sebenarnya. Dia bahkan tidak paham masalah apa yang sedang kita bahas. Kenyataannya, ketika aku sampai di kantor Kementerian Informasi dan Kebudayaan, sama sekali tidak ada urusanku dengan si penjawab telepon tadi.

Kantor Kementerian Informasi dan Budaya adalah sebuah gedung kuno muram bin suram di tengah kota, berhadapan langsung dengan bangunan muram bin suram lainnya bernama Zar Nigar Hotel and Restaurant tempat aku menginap tiga tahun lalu (dan mendapat pengalaman muram bin suram juga).

Proses pemeriksaan masuk gedung kementerian sangatlah ketat. Aku harus menyalakan kamera yang aku bawa untuk memastikan bahwa itu benaran kamera, bukan bom yang disamarkan sebagai kamera. Kenyataannya, pemeriksaan keamanan di Kabul sangatlah lazim, bahkan siswa mungil yang masuk Sekolah Dasar pun harus diperiksa ketat tubuh dan tas mereka seolah mereka bisa memberi ancaman bahaya kepada seluruh gedung.

Departemen Turisme terletak di lantai 4. Sekretaris perempuan bicara bahasa Inggris yang fasih, meneliti surat permohonanku dan berkata, “No problem. Tapi Wakil Menteri kita sedang tidak di tempat, beliau lagi di universitas!” Dia menganjurkanku datang lagi pukul 2 sore. Sekarang masih pukul 11, jadi aku kembali ke KBRI, makan siang, dan kembali lagi pada pukul 2 tepat.

Sekretaris yang tadi sudah tidak di tempat. Yang ada adalah lelaki yang menyuruhku datang kembali besok, karena sang orang penting yang aku cari itu tidak akan datang sama sekali hari ini.

Kesimpulannya, impian ke Wakhan ini dimulai dengan dua kunjungan perkenalan yang sia-sia ke kantor Kementerian Informasi dan Kebudayaan. Semoga ini bukan firasat seperti apa perjalananku nantinya menuju Wakhan.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Selimut Debu 39: Impian Menuju Wakhan

  1. Buku2 agustinus membangunkan minat bacaq yg. Lma tertidur

Leave a comment

Your email address will not be published.


*