Recommended

Selimut Debu 47: Surat Apa?

Untuk memahami masa lalu peradaban Afghanistan yang gemilang, aku pergi ke Ghazni.

Ghazni adalah ibukota provinsi dengan nama yang sama, terletak di utara Provinsi Zabul pada jalan raya Lintas Selatan Afghanistan yang menghubungkan Kabul dengan Kandahar. Udara di Ghazni cukup sejuk, apalagi jika dibandingkan dengan Kandahar. Ini karena Ghazni terletak pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.

Saat ini Ghazni termasuk daerah yang cukup rawan di Afghanistan, karena serangan Taliban cukup sering terjadi di berbagai wilayah provinsi. Tetapi semua orang meyakinkanku, kota Ghazni sendiri cukup aman untuk dikunjungi.

Shehr Ahmad Haider adalah wartawan Pajhwok yang meliput daerah ini. Kantornya adalah ruangan mungil berukuran 3 x 5 meter di sebuah hotel dekat terminal bus menuju Kandahar. Ada dua komputer di ruang kerjanya, dan alat utamanya untuk mendapatkan berita adalah dua telepon genggam dan sebuah telepon rumah. Haider belum pernah bertemu Taliban, walaupun wilayah kerjanya ini sangat berkaitan dengan aktivitas Taliban. Semua wawancara dilakukan per telepon. Tapi dia tidak menganggur. Kenyataannya, dia bisa membuat minimal 5 artikel berita setiap hari, dan harus sibuk bolak-balik memutar nomor telepon dan mondar-mandir ke warung internet (hanya ada satu-satunya di kota ini, dan mematok harga yang cantik, Af 70 atau US$1.40 per jam).

Teman dekat Haider bernama Nikzat, sekarang bekerja untuk Radio Ghaznaviyan di Ghazni. Sebagai reporter, dia juga sangat mengandalkan telepon genggam, dan tentunya juga alat perekam. Dia lebih sering turun ke lapangan. Haider dan Nikzat sama-sama berusia 35 tahun. Haider punya latar belakang jurnalistik, lulus dari fakultas jurnalisme di universitas di Kabul pada masa pemerintahan Najibullah, presiden Afghanistan yang pro komunisme.

Mereka berdua menyambutku. Haider sebelumnya sudah dikontak oleh Pajhwok dan diminta memberi bantuan padaku. Tetapi bantuan yang mereka berikan terasa begitu berlebihan. Ini tentunya karena tradisi keramahtamahan orang Pashtun yang begitu menggebu-gebu.

Ketika aku datang, Haider bicara tentang perlunya mengurus surat izin resmi dari pemerintah karena aku fotografer asing, dan polisi mungkin bisa mencari gara-gara dariku. Aku tidak melihat pentingnya mengurus itu, karena toh selama ini aku keliling Afghanistan tanpa surat apa-apa. Tetapi Haider tetap kukuh. Aku pernah berpengalaman buruk mengurus surat di Afghanistan, dan sepertinya sangat enggan jika harus memboroskan waktu untuk hal yang tidak perlu.

Nikzat bersikeras. “Hanya perlu waktu 5 menit. Oh, bahkan kurang. 3 menit saja!”

Aku tak percaya.

Toh akhirnya aku mengikuti saran mereka. Haider berpikir, surat izin tetap perlu karena aku mau melihat peninggalan sejarah Ghazni, dan peninggalan bersejarah pasti dijaga polisi untuk menghindari pencurian.

Sungguh seperti yang kubilang, ini adalah upaya sia-sia belaka, tiga jam terbuang percuma di bawah matahari panas dan perut yang berteriak-teriak kelaparan.

Nikzat dan aku pergi ke kantor pejabat pemerintah setempat demi mengurus sebuah surat izin yang aku sendiri gagal paham apa jenisnya. Pertama-tama, Nikzat membawaku ke kantor Departemen Kebudayaan. Wakil kepala departemen mengatakan bosnya sedang ada di kantor gubernur.

Nikzat masih menyatakan, ini proses mudah, kurang dari lima menit. Jadi kami langsung buru-buru ke kantor gubernur.

Kami memang bertemu dengan kepala departemen, yang masih meyakinkanku bahwa proses mengurus surat akan sangat mudah. Tapi dia sama sekali tidak terlihat seperti pejabat tinggi, malah lebih tampak bagaikan pesuruh yang mematuhi petunjuk majikan. Beda dengan sang gubernur yang lebih tampak punya aura. Gaya bicaranya yang kalem, pakaiannya yang elegan, juga topi pakkol dan jubahnya…. Dia menyambutku dan berbicara dengan bahasa Farsi yang begitu cepat hingga aku susah menangkap artinya. Tetapi dia menyampaikan ketidaksenangannya terhadap berita tentang kantor gubernur yang disiarkan oleh radio Nikzat.

Nikzat meninggalkan kantor gubernur dengan wajah pucat. Aku tahu dia sangat tersinggung oleh omongan Pak Gubernur. Tetapi, masih dengan penuh percaya diri, Nikzat berkata padaku bahwa surat izin akan segera didapatkan.

Kami pergi ke kantor polisi (yang aku masih gagal paham demi apa). Ada sebuah halaman besar dalam kompleks yang dikelilingi tembok padat tebal. Komandan polisi masih sibuk dengan sejumlah orang yang mau mengurus paspor. Kunjungan kami yang tiba-tiba, permintaan kami yang mendadak akan sebuah surat izin yang dia juga gagal paham demi apa, semakin membuatnya terkejut. Dia berkata, perlindungan akan diberikan kapan pun kepada warga Afghan dan warga asing tanpa perlu surat apa-apa. Dia langsung menyalami tangan kami, pertanda mengusir secara halus.

Aku sungguh tidak percaya, Nikzat ternyata masih diliputi kepercayaan diri mengenai surat. Hanya Tuhan yang tahu, surat apa itu. Aku memberitahunya, aku sudah lapar luar biasa, dan aku ingin melihat situs-situs bersejarah di Ghazni, bukannya ke koleksi lengkap kantor-kantor pejabat di Ghazni. Lagi pula, selama ini aku tidak pernah dimintai surat izin atau surat yang menyatakan bahwa aku adalah fotografer (kalau sungguhan ada surat semacam itu).

Sekarang Nikzat masih membawaku pergi ke kantor Departemen Pendidikan. Tidak perlu lima menit menunggu, kami sudah disuruh datang lagi hari lain.

Akhirnya Nikzat baru benar-benar percaya, tidak ada surat apa pun yang dibutuhkan.

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Peradaban gemilang di kota tua Ghazni (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Peradaban gemilang di kota tua Ghazni (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Persimpangan jalan (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Persimpangan jalan (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Padang gersang luas membentang (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Padang gersang luas membentang (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Susahnya jadi jurnalis di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Susahnya jadi jurnalis di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Selimut Debu 47: Surat Apa?

  1. Andini Nurani // April 12, 2018 at 3:24 pm // Reply

    Mas, sampai turkey…kalo sampai turkey, ingin baca ceritanya…bagus sich cerita sebelumnya, tentang negara-negara pakistan, india, dll

Leave a comment

Your email address will not be published.


*