Recommended

Nova (2013): Hidup Adalah Perjalanan

1309-nova-profil-1

16 September 2013

Agustinus Wibowo

HIDUP ADALAH PERJALANAN

 

Pria asal Lumajang (Jatim) ini bukan penulis buku perjalanan biasa. Ia tidak menulis tempat eksotis di dunia tapi lebih menyusuri kehidupan masyarakat di negara yang disinggahinya. Hasilnya, adalah buku laris yang menyentuh pembacanya.

 

Anda dikenal sebagai penulis kisah perjalanan, ya?

Iya, saya sudah menulis tiga buku tentang perjalanan yang sudah diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Selimut Debu (2010) menceritakan perjalanan saya di Afghanistan,  Garis Batas (2011) tentang negara-negara Asia Tengah, dan  Titik Nol (2013).

Sejak kapan suka jalan-jalan?

Sebenarnya saya anak rumahan, takut keluar rumah.  Paling ke luar rumah untuk keperluan sekolah. Semasa kecil tinggal di Lumajang (Jawa Timur), saya lebih senang di rumah. Sampai-sampai orangtua memaksa saya untuk sekadar main ke luar, tapi saya enggak mau. Kalaupun terpaksa pergi, untuk menempuh jarak dekat pun saya memilih naik becak.

Saya hobi membaca buku, antara lain buku tentang biografi dan pengetahuan. Bahkan, ketika kelas 1 SD saat umur 6 tahun, saya sudah hafal ibu kota seluruh negara di dunia. Saya tertarik dengan dunia luar, tapi enggak punya keberanian.

Bagaimana titik baliknya sampai Anda senang melakukan perjalanan?

Saya terpaksa tinggal jauh dari rumah.  Saya kuliah di Tsinghua University, mengambil bidang komputer di Beijing. Sebelumnya, saya setahun  belajar bahasa Mandarin dan baru mulai kuliah tahun 2001. Kala itu, Cina masih relatif terbelakang, masih di bawah Indonesia.

Tinggal jauh dari orangtua membuat saya mandiri, istilahnya the power of kepepet. Bersama teman-teman kuliah, saya mulai melakukan perjalanan ke beberapa tempat. Lebih mudah melakukan perjalanan  di negara daratan seperti Cina ketimbang Indonesia yang merupakan negeri kepulauan. Untuk melakukan perjalanan, cukup naik kereta api.

Pas liburan panjang, saya bersama teman-teman ke Gunung Huangshan, gunung paing megah di Cina. Kami pulang mencar, jalan sendiri-sendiri.  Saya pun pulang sendirian ke Beijing. Saya makin tertarik mengadakan travelling. Kehidupannya berbeda sekali dengan yang selama ini saya lihat. Banyak pula pemandangan yang menarik.

Jadi ketagihan jalan-jalan?

Begitulah, setiap ada kesempatan, saya meluangkan waktu untuk jalan-jalan. Banyak pengalaman menarik. Saya pernah naik kereta api dengan rekor 72 jam perjalanan. Kala itu, saya dari Beijing sampai perbatasan Cina-Pakistan.  Perjalanan yang seru. Musim libur, kan, kereta api penuh. Banyak penumpang berdiri karena enggak kebagian tempat duduk. Nah, saya bisa gantian tempat duduk dengan penumpang lain. Saat saya duduk, penumpang lain berdiri. Selama perjalanan saya ngobrol dengan penumpang lain. Ternyata, travelling tidak seseram yang saya bayangkan.

1309-nova-profil-2

Apa yang Anda dapatkan selama dalam perjalanan?

Awalnya sih saya merasakan ada unsur petualangan. Banyak hal tak terduga selama perjalanan. Suatu kali di tahun 2002,  saya ke Mongolia bersama Lili, teman saya yang berasal dari Purworejo (Jateng). Hari pertama di Mongolia kami mengalami kejadian tak nyaman. Ceritanya, ada teman dari Malaysia yang kami kenal di perbatasan, memotret orang Mongol saat kereta api berhenti.

Rupanya, orang itu marah. Belakangan saya paham, negara eks Uni Sovyet atau bekas komunis sensitif terhadap kamera. Misalnya dulu ada orang difoto, kemudian keesokan harinya hilang.  Karena begitu marahnya, orang itu naik ke  kereta dan membanting semua barang-barang kami.

Pengalaman menegangkan lain, sampai di Lhasa ibukota Mongolia, saya dan Lili kerampokan di sebuah taman yang sepi.  Saya yang mungil ini dibekap dari belakang orang Mongol yang tinggi. Duit diambil dan saya hanya bisa pasrah.  Saya sampai memejamkan mata.  Ketika kembali membuka mata, perampok sudah kabur. Polisi sudah mengelilingi saya.  Rupanya ketika saya dirampok, Lili inisiatif mencari pertolongan.

Apakah saat itu masih sanggup meneruskan perjalanan?

Lili hampir menyerah. Sambil menangis ia mengatakan, peristiwa ini sudah terlalu seram. Saya katakan, enggak mungkin selama di Mongolia kami terus kerampokan. Peristiwa seram sudah berlalu, sayang kalau enggak diteruskan.  Mongolia memang seram, tapi banyak juga pengalaman menyenangkan. Misalnya saja naik kereta kelas kambing selama sekitar 30 jam, kemping di daerah pinggiran.

Di tahun 2002, Mongolia benar-benar seperti dunia lain. Ketika meninggalkan Lhasa, listrik sudah enggak ada. Di luar ibukota, nyaris tak ada jalan aspal. Dengan uang tersisa, kami menikmati perjalanan di tengah padang rumput yang luas. Bayangkan saja, luas Mongolia hampir sama dengan Indonesia tapi jumlah penduduknya hanya 2 juta orang. Naik mobil dua hari, baru kami kembali bertemu orang.

Wah, Anda tidak seperti turis pada umumnya?

Saya sebenarnya pernah melakukan perjalanan sendiri ke Laos dan Thailand. Tapi, menurut saya perjalanannya terlalu mulus dan simple. Saya malah enggak cocok dengan perjalanan yang terlalu turistik.  Saya tidak senang misalnya ke negara-negara tertentu untuk melihat destinasi wisatanya. Saya lebih suka melakukan perjalanan untuk melihat kehidupan masyarakat yang asli. Caranya, tentu tinggal bersama.

Saya merasa, pada awalnya perjalanan saya adalah petualangan. Maka itu, tahun 2003 saya ke Afghanistan untuk  mendapatkan petualangan. Saat itu, Afghanistan habis perang. Semula, saya pikir Afghanistan negara miskin. Kenyataannya, negeri itu sangat indah dan banyak tempat bersejarah.

Saya masuk ke sana tanpa tahu bahasanya, enggak bawa peta, dan sangat minim informasi. Kendala bahasa dan semua keterbatasan itu, buat saya justru petualangan seru. Selama 3 minggu, banyak hal saya lihat. Saya makin kaya pengalaman. Selama di sana, saya ke mana-mana naik truk. Kendaraan umum, kan, sangat terbatas. Saya tidur di warung-warung dan menetap di rumah penduduk.  Saya pun jatuh cinta pada Afghanistan. Saya datang lagi tahun 2006. Kali ini, perjalanan bukan lagi sebagai petualangan. Tapi, saya harus berarti bagi masyarakat yang saya singgahi

1309-nova-profil-3

Apa yang Anda lakukan?

Kedatangan kedua ke Afghanistan, saya bergabung dengan LSM setempat. Banyak kegiatan kemanusiaan. Misalnya saja memberi informasi kepada msyarakat tentang kesetaraan gender, bagaimana memberi pekerjaan kepada kaum perempuan, mengenalkan teknologi kepada masyarakat. Sebelumnya, kaum perempuan di sana sama sekali enggak ke luar rumah dan tidak ada akses pendidikan.

Saya juga bekerja sebagai jurnalis foto di kantor berita Afghanistan dengan gaji lokal.  Saya kerja di medan perang dengan gaji 400 dolar. Saya foto bom, berita kemiskinan, tempat pembuangan sampah. Tugas memang berat. Saya sering mendengar suara bom.  Tiga tahun di sana, membuka mata saya tentang negeri itu. Saya ingin ikut menyuarakan suara mereka, misalnya saja tentang perdamaian. Mereka ingin sekolah tanpa rasa takut. Rasa aman memang mahal. Bom di mana-mana dan bisa jatuh kapan saja.

Ke mana lagi Anda melakukan perjalanan?

Saya pernah pula saya ke Kashmir yang baru saja terkena gempa. Selama 1,5 bulan saya jadi voluntir dan tinggal di kemah bersama korban gempa, tapi mereka lebih suka dipanggil survivor. Dari situ, saya banyak belajar bagaimana bangkit dari keterpurukan dan belajar tentang arti kehidupan.

Dari Kasmir, saya  pergi ke daerah gurun di selatan Pakisan yang selama 4 tahun enggak pernah turun hujan. Kekeringan luar biasa. Penduduk setempat harus jalan kaki 2-3 km di atas pasir, hanya untuk mendapatkan setetes air. Saya bergabung dengan LSM untuk ikut serta dalam pengadaan air bersih.

Selama perjalanan, saya pernah kena hepatistis. Saat bertamu ke rumah penduduk, tiba-tiba saja saya tersungkur. Mata saya kuning. Oleh penduduk, saya dirawat dengan baik. “Rumahku adalah rumahmu,” katanya dengan ramah. Bahkan, saya dicarikan rumah sakit terbaik di kotanya.

Tentu saja saya sangat berterima kasih.  Saya bilang, “Enggak akan bisa membalas kebaikannya.” Lalu, dia sampaikan, dalam hidup ini tidak penting berapa yang kamu kumpulkan, tapi berapa banyak yang kamu bagikan. Juga, bagaimana membuat hidup itu berarti bagi banyak orang.” Sungguh ungkapan dan kebaikannya membuat saya memetik banyak pelajaran. Itulah yang membuat saya ingin berarti dalam setiap perjalanan saya.

Untuk melakukan perjalanan, kan, butuh biaya.

Memang iya. Makanya, saya bekerja sebelum melakukan perjalanan. Tamat kuliah, saya kerja di Cina. Saya pernah menjadi penyiar radio dan menulis artikel di beberapa media.

Lantas, bagaimana riwayat menjadi penulis buku?

Saya, kan, suka menulis.  Saya punya blog yang isinya perjalanan saya. Ternyata, kompas.com tertarik dan memuatnya secara berseri di tahun 2008-2009. Bahkan, saya punya kolom khusus di sana. Namanya rubrik petualang.  Karena peminatnya banyak, penerbit GPU tertarik untuk menerbitkannya.

Saya bersyukur, buku-buku saya diminati masyarakat. Rata-rata sudah empat kali cetak ulang. Bahkan, buku ketiga sudah cetak ulang setelah dua minggu terbit. Rencananya akan diterjemahkan ke bahasa Inggris.

Apa yang membedakan tulisan perjalanan Anda dengan karya lain?

Sebenarnya tiap penulis pasti memiliki gaya bertutur yang berlainan. Saya sendiri ingin menulis dengan kedalaman. Saya ingin menulis dengan gaya jurnalisme sastrawi, bagaimana menulis nonfiksi dengan cara sastra. Ini perlu kedalaman. Saya mendapatkan kedalaman dengan cara komunikasi dan menyelami kehidupan warganya.

Mustahil kita mengenali suatu tempat kalau kita enggak komunikasi dengan  warganya, enggak hidup bersama mereka, enggak merasakan sendiri bagaimana perjuangan dan penderitaan mereka. Itu sebabnya, saya juga belajar bahasa di negeri yang saya kunjungi.

Henry Ismono

 

 

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Nova (2013): Hidup Adalah Perjalanan

  1. Menulis dg kedalaman, menyatu dg keadaan, dahsyat !!

  2. Mantap! Cuman kok ibukota Mongolia disebutin Lhasa di artikelnya. Sepengetahuan saya Lhasa ibukotanya Tibet. Mongolia ibukotanya Ulan Bator

  3. setuju… tulisan mas agus memang ngga ‘cetek’ dan kita serasa ikut berpetualang… bikin nagih (y)

  4. mas Agustinus Wibowo sudah baca neh titik nol nya, sudah mau titik penghabisan neh hehehe…

  5. Keren banget pengalaman hidupmu mas.. Sangat menginspirasi

Leave a comment

Your email address will not be published.


*