Recommended

Selimut Debu 76: Ziarah

“Ziarah, semakin besar penderitaannya, semakin bagus,” kata Arvin. Di saat yang sama, perutku sudah kenyang oleh debu sementara kulitku gosong terbakar matahari.

Arvin datang ke Balkh untuk tujuan yang lebih suci—berziarah dan berdoa di makam-makam keramat. Balkh adalah kota kecil bertabur ribuan tempat ziarah. Bicara soal ziarah di Balkh tak pernah ada habisnya. Tak ada yang tahu pasti berapa ratus orang suci dimakamkan di sini. Dari mullah, guru Sufi, pujangga kuno, sampai pejuang jihad, semua layak diziarahi. Ada makam guru suci Khawja Parsa dengan kubah megah. Ada kuburan pujangga perempuan Rabi’a Balkhi yang mati demi cinta, dan dikubur di ruang bawah tanah. Masih ada puluhan ziarat lainnya yang sulit diketahui semua asal usulnya.

Di antara tempat ziarah, yang terpenting adalah Masjid Haji Piyada atau Masjid No Gonbad. Ini adalah situs masjid tertua di Afghanistan, dibangun pada abad ke-9. No Gonbad artinya sembilan kubah, tak satu pun tersisa. Yang tertinggal adalah pilar-pilar dari tanah lempung berukir indah.

Juru kunci berkisah tentang guru suci Balkh yang pertama kali menyebarkan Islam di Afghanistan, berjalan kaki untuk menunaikan ibadah haji sampai ke Mekkah. Itulah sebabnya dinamakan Haji Piyada, haji yang berjalan kaki.

“Begitu seharusnya semangat ziarah, menderita demi spiritual. Kalau zaman dulu mereka berziarah dengan jalan kaki, sekarang kita sudah enak, ziarah naik taksi,” sindiran Arvin seakan menohokku yang sejak tadi cemberut karena kekenyangan debu.

Ada bermacam-macam tujuan orang berziarah. Ada Arvin yang mengenang kembali masa lalunya sebagai komandan perang, sekaligus mencari jati diri dan kepuasan spiritual. Ada rombongan keluarga yang datang dari jauh, memohon doa untuk keselamatan dari makam-makam suci. Ada pula yang hanya berpiknik, menikmati indahnya hari Jumat, sambil potret sana, potret sini. Tak sedikit pula yang mendamba kesembuhan dari penderitaan penyakit aneh-aneh.

Golongan peziarah terakhir itu lumayan banyak pula jumlahnya. Semakin keramat tempat ziarah, semakin ramai pula orang berkunjung. Di mana-mana aku melihat bayi yang terus menganga dan meneteskan air liur, atau anak-anak kecil dengan tatapan mata kosong, didampingi orangtua mereka yang terus tertunduk dan menampilkan wajah sembab.

Tradisi mengunjungi makam keramat untuk memohon kesembuhan menunjukkan betapa mengakarnya ajaran Sufisme di sini. Orang percaya, kalau orang suci yang pada masa hidupnya sudah melakukan berbagai kebajikan, bahkan kalau sudah mati pun akan tetap melakukan keajaiban asalkan kita percaya penuh.

Rasa tulus yang mengiringi permohonan doa tergambar pada sebatang pohon di sebuah makam suci yang baru direnovasi, yang bagian atasnya dihiasi dengan tulang-belulang domba. Dari kejauhan, batang pohon ini tampak hitam legam. Dari dekat, terlihat bahwa batangnya hampir sama sekali tidak kelihatan karena ada ratusan ribu paku yang ditancapkan. ”Paku-paku ini ditancapkan peziarah yang datang,” kata kawan Arvin yang berperut buncit, ”untuk setiap penderitaan hidup yang mereka alami, mereka memanjatkan sebuah doa, diiringi dengan menancapkan paku ke batang pohon.”

Arvin tidak mau ikut-ikutan. ”Ini bukan Islam,” katanya, ”kebiasaan ini sudah ada jauh sebelum Islam. Karena sudah melewati ratusan tahun, orang pun sudah tak tahu mana yang Islam, mana yang bukan.”

Di sekitar makam juga banyak anak kecil berkeliaran. Mereka hidup dari derma para peziarah. Di kala sepi, mereka bermain gulat-gulatan atau ayunan sepanjang hari. Beberapa di antara mereka juga tampak dengan riang menjilati es krim susu, penawar derita musim panas yang terik. Tetapi begitu ada rombongan peziarah yang datang, bocah-bocah ini dalam hitungan detik seperti melepas topeng ceria di wajah, memasang tampang memelas, meratap sambil menarik-narik jubah pengunjung.

Orang yang berziarah cenderung berubah menjadi dermawan. Mungkin diiringi harapan semakin banyak bederma di tempat suci, semakin besar kemungkinan doanya bakal terkabul. Menyadari karakter peziarah ini, bocah-bocah pengemis seakan sudah ditempel magnet kuat yang akan melengket pada rombongan peziarah dari kota, merangkak mengikuti ke mana pun mereka pergi. Bahkan tak jarang ada yang sampai memeluk kaki, menangis, menghinakan diri, dan tak bisa lepas seperti lintah yang sedang asyik mengisap darah.

Dunia pengemis bukan hanya dimonopoli lelaki. Aku juga melihat banyak gadis pengemis yang masih kecil-kecil, palingan berumur sepuluh tahun. Pakaian mereka cantik, warna-warni, dengan sepatu mungil yang berwarna mencolok pula. Terlalu bagus untuk menjadi pengemis. Tetapi tangisan dan ratapan mereka pun tak kalah menyayat hati.

Kaka…!Kaka…! Paman…! Paman…!” demikian gadis ini terus merengek, sementara tangannya memegang erat jendela mobil kami yang beranjak perlahan. Kakinya lincah, masih sempat mengikuti jalan mobil sampai sepuluh meter ke depan.

Gadis ini masih terlalu muda untuk jadi pengemis. Apakah tiga puluh tahun kelak ia akan berubah menjadi sosok tubuh terbungkus burqa kumal di sudut jalan yang meratap sambil menggendong tiga bayi kecil, atau sesosok tubuh terbalut kain terbaring di trotoar, hanya menampakkan sepotong tangan yang menadah pasrah? Di manakah ayah bundanya? Tegakah mereka membiarkan anaknya mengemis?

Kaka… kaka…!” gadis itu terus meratap, melagukan kalimat yang itu-itu juga, diiringi suara tangis yang meledak. Aku menatap matanya yang sipit, tak ada ekspresi terpancar. Mungkin ratapan ini sudah diucapkannya lebih dari jutaan kali, sehingga ia lupa bagaimana memasang mimik muka yang lebih menggambarkan penderitaan. Sementara kawan-kawan seprofesinya sudah putus asa dengan rombongan kami yang pelit, kembali bermain gulat-gulatan dan kejar-kejaran.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Tujuan utama orang datang ke Balkh adalah untuk berziarah (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Tujuan utama orang datang ke Balkh adalah untuk berziarah (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Sisa-sisa kejayaan masa lalu (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Sisa-sisa kejayaan masa lalu (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Batang pohon yang diselimuti paku (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Batang pohon yang diselimuti paku (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Masjid pertama di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Masjid pertama di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Juru kunci dan cucunya (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Juru kunci dan cucunya (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Lelaki Afghan riang bermain ayunan (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Lelaki Afghan riang bermain ayunan (AGUSTINUS WIBOWO)

7.Bocah pengemis gigih mengejar mobil (AGUSTINUS WIBOWO)

7. Bocah pengemis gigih mengejar mobil (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Selimut Debu 76: Ziarah

  1. Love Afghanistan…. Really….Because ALLAH 🙂

  2. Ternyata ziarah dr makam ke makam org2 yg dianggap aulia bukan monopoli org indonesia

Leave a comment

Your email address will not be published.


*