Recommended

Titik Nol 21: Debat

Para biksu berdebat sengit di Kuil Sera. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para biksu berdebat sengit di Kuil Sera. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kuil Sera, salah satu dari tiga universitas Budhisme penting di Tibet, terletak lima kilometer di  utara pusat kota Lhasa. Sempat ditutup selama Revolusi Kebudayaan, kini dibuka kembali dan menjadi tontonan para turis yang menyaksikan debat keagamaan setiap hari.

Seperti halnya kuil-kuil penting lainnya di Lhasa, Kuil Sera pun menarik karcis dari pengunjung. Orang asing dan orang China membayar 50 Yuan, penduduk Tibet 1 Yuan. Tidak bisa ditawar. Untuk ukuran kantong saya, uang itu termasuk besar.

Berat sekali rasanya mengeluarkan uang sebanyak itu untuk tiket masuk tempat ibadah. Saya tak pernah setuju kalau tempat ibadah menarik karcis dengan memaksa. Daripada mendukung materialisasi agama, saya memilih beribadah mengelilingi kuil suci ini. Dalam agama Budha Tibet, mengelilingi tempat suci juga termasuk ibadah. Seperti kora mengitari Kailash dan Manasarovar, atau lingkhor mengitari Potala dan Chokpuri di Lhasa, kuil-kuil suci pun punya lintasan untuk dikelilingi.

Di sekitar Kuil Sera, orang Tibet dengan khusyuk melaksanakan ibadah mengelilingi kuil. Mereka mendaki batu-batu cadas, dengan mulut berkomat-kamit dan tangan terus memutar roda sembahyang. Ada barisan silinder emas bertulis mantra suci, setiap kali memutarnya, pahala semakin bertambah.

Batu-batu besar di lereng tebing pun dilukis gambar dewa. Ada Yama, Dewa Kematian yang seram, berbadan biru, berkepala kerbau, berkalung untaian kepala manusia, dan berdiri di atas kerbau raksasa. Ada pula gambar para sesepuh Dalai Lama, dimuliakan dalam sikap bermeditasi. Asap dupa mengepul, suasana mistis menyelimuti. Dari balik selubung kabut dan mendung, kemegahan puncak-puncak emas Kuil Sera menyeruak.

Nenek tua terhanyut dalam doa dan mantra. Matanya terpejam. Mulutnya terus komat-kamit. Tangan kanannya memutar tongkat roda doa berwarna emas. Suara berderek muncul dari rantai besi yang turut berputar, setiap putaran roda. Tangan kirinya memutar tasbih. Kuil Sera di hadapannya, menjadi curahan ketakzimannya.

“Kamu ingin masuk ke Sera kan?” tanya seorang gadis China bernama Bing Ding.

“Tetapi kamu tak kuat bayar kan, jadi mengelilingi kuil ini saja?” lanjutnya seperti membaca pikiran saya.

Saya mengangguk.

“Sama! Kami juga!” ia tertawa lebar.

Ia datang bersama dua orang kawannya, satu laki-laki yang kurus kering, satu perempuan bertopi koboi.

“Kita sama-sama saja. Menurut info yang saya dapat, di dekat sini ada pintu belakang.”

Kami menemukan sebuah pintu tersembunyi, di balik rimbunnya rerumputan tinggi. Sayang, pintu itu sudah terkunci.

“Nampaknya para lama sudah tahu rahasia ini,” Bing Ding mendesah, “tapi tak apa. Tembok ini tidak tinggi-tinggi amat. Kita panjat saja!”

Memanjat tembok? Saya belum pernah melakukannya sebelumnya. Dua gadis China ini yang memulai, dengan gampang mereka naik ke tembok batu setinggi dua meter, dan meloncat ke seberang sana. Ketika tiba giliran saya, benar saya tak tahu harus bagaimana.

Saya mengerahkan semua kemampuan saya, merayap, memanjat, mengerang, meloncat…

Hup… Akhirnya saya sampai pula di balik tembok, mendarat tepat di lubang kakus. Bau, kering, pengap, gelap. Mengapa saya harus terjun di tempat seperti ini?

Di kejauhan, sepasang mata biksu muda menatap kami dengan penuh keheranan.

Meiguanxi! Tak apa! Tak perlu takut,” kata Bing Ding, “Jadi orang harus tahu taktik. Bilang saja kita ini turis kesasar, mencari toilet. Kalau ditanya tiket bilang dipegang pemandu wisata. Aman kan?”

Dengan baju yang kotor dan bau, saya mengikuti ketiga turis China itu mengunjungi kuil-kuil di kompleks Sera. Kuil ini sangat besar, salah satu dari tiga kuil universitas terpenting di Tibet. Sera, bersama Ganden dan Drepung adalah tempat di mana Dalai Lama mengambil ujian pengetahuan Budhisme, sebelum ia dikukuhan menjadi guru besar agama Budha, beberapa saat sebelum pasukan China sampai ke Lhasa tahun 1959.

Ujian keagamaan yang ditempuh Dalai Lama adalah debat terbuka di hadapan ribuan biksu. Debat, adalah bagian dari pembelajaran Budhisme Tibet. Hingga sekarang, tradisi debat setelah kelas agama masih hidup di Kuil Sera. Setiap sore, para biksu mendiskusikan ilmu keagamaan yang baru dipelajari melalui diskusi di pelataran kuil.

Biksu junior dibagi dalam kelompok-kelompok. Di setiap kelompok, seorang berdiri di tengah-tengah, menyampaikan pendapatnya dalam bahasa Tibet yang mendesis-desis cepat. Sambil berbicara, tangan kanannya diangkat ke udara dan tangan kirinya direndahkan. Ketika ia mengakhiri kalimatnya, kedua telapak tangan ditepukkan keras-keras, kaki dihentakkan.

Pelataran Sera begitu hidup, penuh dengan tepukan, hentakan kaki, dan teriakan. Tak pernah saya saksikan debat yang sedemikian penuh energi dan antusias. Intimidatif. Ah, andaikan saya bisa mengerti bahasa Tibet, paham setiap kalimat dalam perdebatan ramai ini.

Setiap tepukan dan hentakan, bukan hanya membangunkan kesadaran lawan bicara, tetapi juga menunjukkan pelepasan diri dari egoisme pandangan pribadi. Acara debat umum ini dirancang sedemikian rupa, sehingga setiap biksu sadar bahwa sebenarnya semakin dalam pengetahuan semakin tidak tahu mereka jadinya. Semua peserta harus terlepas dari kepercayaan buta, pengetahuan yang tak didasari pengalaman spiritual. Doktrin, dogma,  teori, semua diujikan. Semua larut dalam teriakan keras, tepukan tangan, dan hentakan kaki.

Bayang-bayang semakin panjang, kelas debat yang menjadi objek jepretan kamera puluhan turis domestik dan rombongan turis bule ini berakhir. Para biksu kembali menuju asramanya, turis-turis bercengkrama tentang eksotisme acara yang baru saja mereka saksikan. Ada yang terpesona, ada yang bertanya-tanya apakah acara ini benar-benar debat agama sungguhan atau hanya tontonan turis? Dengan setiap kuil memasang karcis di tempat ibadah, biksu muda yang mencuri-curi menerima panggilan handphone di tengah debat, sejauh mana materialisme bercampur dengan peribadatan di Tibet kini menjadi tanda tanya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 1 September 2008

http://travel.kompas.com/read/2008/09/01/07213590/Titik.Nol.21.Debat

Ruang sembahyang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Ruang sembahyang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pulang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pulang. (AGUSTINUS WIBOWO)

Lampu mentega. (AGUSTINUS WIBOWO)

Lampu mentega. (AGUSTINUS WIBOWO)

1 Comment on Titik Nol 21: Debat

  1. Sedikit sama seperti halnya di Pesantren Salafi di daerah saya…..debat,,,,tapi bukan debat kusir,,,,,setiap sesuatu harus ada dan sesuai dalilnya,,,,

Leave a comment

Your email address will not be published.


*