Recommended

birokrasi

Garis Batas 74: Raja Umat Manusia

Seorang mullah dari Shakhimardan (AGUSTINUS WIBOWO) Gerbang perbatasan terakhir yang harus kami lewati untuk menuju Shakhimardan adalah pintu Uzbekistan. Tiga gerbang perbatasan sebelumnya berlalu dengan mulus, berkat kecerdikan Bakhtiyor aka. Namun tidak yang satu ini. Sardor nampak gelisah. Bibirnya tak berhenti komat-kamit membaca doa. Bakhtiyor aka sudah cukup lama turun dan bernegosiasi dengan tentara perbatasan. Seperti yang Bakhtiyor bilang, peluang kami bisa masuk Shakhimardon cuma fifty-fifty. Tentara muda itu datang mendekati Sardor. Sardor di suruh turun, menunjukkan paspor dan dokumen-dokumennya. Saya hanya disuruh tunggu di mobil seorang diri. Tak lama kemudian Sardor berlari ke arah mobil dengan senyum terkembang. Berita bagus, pastinya.              “Kita boleh masuk, kita boleh masuk….,” dia tertawa riang. “Berapa sogokannya?” “Tidak usah sama sekali,” kata Sardor, “kamu boleh masuk karena kamu dari Indonesia. Saya bilang kamu adalah Muslim, dan kita akan pergi berziarah. Tetapi kita hanya punya waktu 45 menit. Tak lebih.” Empat puluh lima menit lagi akan ada pertukaran tentara perbatasan. Kami harus keluar dari Shakhimardan sebelum tentara muda yang berbaik hati ini berganti giliran. Kalau sampai kami terlambat dan tentara lain yang menjaga perbatasan, maka kami tidak akan bisa keluar dari Shakhimardan dengan selamat. Sardor menyebut-nyebut ziarah. Nama Shakhimardan dalam bahasa Tajik [...]

September 25, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 73: Menyelundup

Qadamjoy dan semangat Kirghizia-nya (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia antah berantah ini bertaburan kampung-kampung terpencil yang dikelilingi negara-negara asing. Shakhimardan, tempat yang paling ingin saya kunjungi di Asia Tengah, adalah sebuah lembah tersembunyi milik Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung tinggi Pamir Alay milik Kyrgyzstan. Tetapi bagaimana caranya ke sana? Saya harus melewati pintu-pintu gerbang perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan, tanpa visa apa pun. Bakhtiyor aka (aka dalam bahasa Uzbek artinya kakak laki-laki), adalah seorang supir taksi dari Vuadil yang kebetulan juga tetangga Sardor. Melihat Sardor yang kelimpungan mencari kendaraan untuk menyelundupkan saya ke Shakhimardan, Bakhtiyor pun menawarkan bantuan. “40 ribu Sum saja,” katanya. Sekitar 35 dolar. Terlalu mahal untuk ukuran kantong kami berdua yang masih standar pelajar. Shakhimardan hanya 25 kilometer jauhnya dari Vuadil, tetapi karena pos-pos perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan itulah yang  bikin mahal. Berkat hubungan tetangga, Sardor berhasil menawar sampai 20 ribu Sum untuk misi rahasia bin berbahaya ini. “Kamu harus berjanji,” kata Bakhtiyor aka, “nanti lewat pos perbatasan, sembunyikan kameramu. Jangan bicara apa-apa. Pura-pura bisu. Davai?” “Davai,” saya mengangguk. Bakhtiyor adalah warga negara Uzbekistan, tetapi mobilnya berplat nomer Kirghiz. Dengan mobil ini, Bakhtiyor bisa melaju melintasi semua pos perbatasan Kyrgyzstan tanpa [...]

September 24, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 72: Terkurung

Shakhimardan, desa Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO) Kalau Anda merasa Gulshan dan Halmiyon adalah aneh-anehnya negeri antah berantah, tunggu dulu, Anda mesti ke Shakhirmardan untuk melihat ajaibnya Asia Tengah. Pernahkah Anda membayangkan tinggal di sebuah kampung kecil yang dikepung oleh negara lain, sehingga untuk keluar kampung pun Anda mesti menyiapkan paspor dan visa? Ini bukan mengada-ada, enklaf-enklaf bertaburan di Lembah Ferghana. Enklaf artinya daerah kantong, seperti misalnya enklaf Oecussi-Ambeno milik Timor Leste yang dikelilingi provinsi NTT Indonesia. Bedanya, enklaf-enklaf Asia Tengah sangat kecil, biasanya cuma sebesar kampung, dan saking kecilnya banyak yang sampai tidak termuat di peta. Ada sejumput Tajikistan bertaburan di wilayah Uzbekistan, sejumput Uzbekistan di wilayah Kyrgyzstan, dan desa-desa Kirghiz terkepung distrik Ferghana-nya Uzbekistan. Ketiga negara ini, dengan segala konflik ego dan nasionalismenya, tak bisa hidup lepas satu sama lain. Politik regional Asia Tengah dibuat semakin ruwet dengan adanya enklaf-enklaf terisolasi ini, yang sengaja ditanam oleh pemerintah Soviet untuk menjadi ‘bom waktu’ kalau negara-negara ini nekat merdeka. Dan benar saja, konflik teritorial di Lembah Ferghana semakin memanas dengan pertikaian antar Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan yang berdiri di atas garis-garis batas yang hanya Tuhan yang tahu kenapanya. Salah satu contohnya adalah Sokh, enklaf [...]

September 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 71: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (3)

Pasar ‘internasional’ (AGUSTINUS WIBOWO) Garis perbatasan internasional yang melintang ke sana ke mari di Lembah Ferghana menciptakan kantung-kantung suku minoritas di mana-mana. Salah satu contohnya adalah Halmiyon. Desa orang Uzbek yang hanya sepuluh langkah kaki dari Uzbekistan kini merupakan bagian wilayah Distrik Osh, Kyrgyzstan. Anak-anak sekolah di Halmiyon berusaha keras belajar bahasa Kirghiz, menghafal hikayat kepahlawanan Manas, mengenal pernik-pernik adat bangsa nomaden, dan yang paling penting dari semua itu, menyamakan detak jantung dan deru nafas dengan saudara setanah air nun jauh di Bishkek sana.  Republik-republik baru bermunculan di atas peta Asia Tengah menyusul buyarnya Uni Soviet. Mulai dari Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, hingga Kazakhstan. Semuanya adalah negara-negara yang didirikan atas dasar ras dan etnik. Turkmenistan punyanya orang Turkmen, Uzbekistan untuk Uzbek, Tajikistan negeri bangsa Tajik, demikian pula Kyrgyzstan dan Kazakhstan bagi orang Kirghiz dan Kazakh. Kini kelimanya berdiri tegak sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat penuh. Siapa lagi yang dulu membuat kelima negara etnik ini kalau bukan sang induk semang Soviet. Bahkan definisi suku-suku, mana yang disebut orang Uzbek, mana yang namanya Tajik, mana si Kirghiz dan si Kazakh, juga buatan Soviet.  Ketika Soviet bubar, negara-negara buatan ini berdiri di atas setumpuk masalah. Tidak perlu bicara soal ekonomi yang carut-marut ketika [...]

September 20, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 69: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (1)

Presiden kita, kebanggaan kita. (AGUSTINUS WIBOWO)) Desa Gulshan di selatan kota Ferghana ini memang tidak tampak istimewa. Deretan rumah berbaris di sisi sebuah gang sempit yang tidak beraspal. Dari depan rumah kita tidak bisa melihat kehidupan si empunya rumah. Kultur orang Uzbek membungkus rumahnya rapat-rapat di balik tembok. Inilah satu hal yang membuat tempat ini berbeda. Orang-orang yang rumahnya di berada di sisi kiri gang memegang paspor Uzbekistan, sementara di sebelah kanan adalah warga negara Republik Kirghizia. Saya masih terpesona dengan lapangnya ruang tamu di rumah Temur Mirzaev, seorang kawan Uzbek yang belajar Bahasa Indonesia di Tashkent. Ruangan ini begitu lapang, karpet-karpet merah menyala menghiasi dinding. Tiga buah bohlam lampu menggantung tersebar begitu saja di sudut-sudut ruangan. Tiba-tiba satu bohlam mati. Yang dua tetap nyala.             “Listrik Uzbekistan putus,” kata Saidullo. Listrik Uzbekistan? Maksudnya? “Lampu tadi disambung dengan listrik dari Uzbekistan,” jelas Saidullo, “sedangkan yang dua ini pakai listriknya Kyrgyzstan. Musim dingin begini, biasa, listriknya Uzbekistan sering putus.” Ketika rumah-rumah lain kegelapan gara-gara pemadaman listrik mendadak, rumah ini tak akan pernah gelap gulita karena ada cadangan listrik dari negara tetangga. Rumah Temur berada di sisi jalan yang menjadi wilayah Kyrgyzstan. Kakek Hoshim, Nenek Salima, Saidullo, istri Saidullo dan [...]

September 18, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 68: Di Kiri Uzbekistan, di Kanan Kyrgyzstan

  Di kiri Uzbekistan, di kanan Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO) Apa rasanya jika hidup di persimpangan garis-garis perbatasan internasional yang silang-menyilang tak tentu arah? Anda bisa menemukan jawabannya di desa Gulshan, desa kecil yang menjadi batas dua dunia. Temur, seorang kawan pelajar bahasa Indonesia di Tashkent, menganjurkan saya untuk mengunjungi kampung halamannya di Lembah Ferghana untuk belajar lebih dalam tentang keajaiban garis-garis batas negara yang diciptakan pada zaman Soviet untuk memecah belah Asia Tengah. Temur sendiri tidak sempat menemani saya ke Gulshan, tetapi ia berjanji untuk mengatur semuanya dari jarak jauh. Ahror, seorang kerabat Temur, datang menjemput saya saat saya sedang terlena dalam hingar bingarnya pesta pernikahan di Margilan. Kendang masih bertabuhan, dan suara band memekakkan telinga mengiringi lagu-lagu Uzbek yang membawa nuansa padang pasir. Saya belum sempat mencicip nasi plov yang disediakan tuan rumah, Ahror sudah menggeret saya untuk segera pergi mengikutinya. Ahror, bertubuh agak besar, usianya baru 25 tahun tetapi untuk ukuran orang Indonesia ia nampak jauh lebih tua. Jaketnya hitam, topi bulunya yang juga hitam membumbung tinggi dan bulat, mirip rambut kribo. Beberapa giginya berlapis emas, menyilaukan mata. Ahror mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi melintasi jalan-jalan Ferghana yang gelap dan sepi, menuju selatan, perbatasan Kyrgyzstan. Menjelang tengah malam, [...]

September 17, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 63: Diciduk Polisi (2)

Polisi Uzbek berpatroli (AGUSTINUS WIBOWO) Halim yang baru saya kenal di dalam bus, setelah mengajak saya berputar-putar di desa yang sama sekali asing, kini membawa saya ke sebuah apartemen kuno di Ferghana. Saya tak tahu lagi ini ada di mana. Saya hanya memasrahkan nasib saya kepada orang ini, yang kini sedang bercakap-cakap dengan gadis berdaster di sebuah apartemen remang-remang dengan temaram lampu merah jingga. Saya tidak paham apa yang dirundingkan antara Halim dengan perempuan itu. Tak sampai lima menit mereka bercakap-cakap, Halim langsung menyeret saya keluar dari gedung bobrok dan bau itu. “Kita ke tempat lain saja,” katanya. Siapa perempuan itu tadi? “Adik,” jawabnya singkat, seolah ingin menghindari cecaran pertanyaan saya yang dungu ini. Halim memanggil taksi lagi. Saya semakin bingung ada di bagian kota mana ini. Malam yang gelap gulita membuat saya mustahil mengingat jalan dan gedung-gedung yang bisa saya jadikan penanda. “Halim aka…..,” sambut seorang wanita hamil yang muncul dari balik pintu sebuah apartemen kecil di lantai dasar. Aka, bahasa Uzbek, artinya kakak laki-laki. Si wanita itu bicara tanpa henti. Saya tak mengerti apa pun, hanya merasakan nada bicara yang merajuk manja. Semua giginya berlapis emas. Halim mengajak saya untuk masuk ke sebuah ruangan. Kosong, tumpukan kurpacha, matras [...]

September 10, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 62: Diciduk Polisi (1)

Kovurma laghman, mie goreng yang menjadi santapan saya bersama Halimjon di Ferghana (AGUSTINUS WIBOWO) Bukan maksud saya untuk mencicipi rasanya ditangkap polisi Uzbekistan. Tetapi malam itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan sepanjang petualangan saya di negeri ini. Damas, angkot jarak jauh, penuh sesak oleh penumpang yang semua berjaket tebal-tebal. Kendaraan berbentuk seperti roti ini mengangkut saya dari terminal Qo’ilok Bazaar di Tashkent menuju ke Lembah Ferghana. Seperti halnya Tajikistan yang harus bersusah payah membangun jalan berbahaya lewat gunung-gunung untuk menghubungkan Dushanbe dengan Khojand di utara, Uzbekistan juga harus membangun jalan dan terowongan melintasi Puncak Kamchik untuk menghubungkan Tashkent dengan Lembah Ferghana. Ini karena setelah negara-negara Asia Tengah merdeka, jalan dataran rendah yang biasanya dipakai sudah masuk wilayah negara lain. Jalan paling nyaman dari Tashkent menuju ke Lembah Ferghana adalah lewat Khojand Tajikistan, sekarang musuh bebuyutan yang untuk melintas saja harus pakai visa. Sekarang bus tidak boleh lewat jalan ini, karena sulitnya medan. Angkutan umum hanya dibatasi taksi dan mobil kecil macam minivan Damas ini. Biaya transportasi pun melangit. Sekali jalan, orang setidaknya harus merogoh kocek 5500 Sum, sekitar 50 ribu Rupiah. Kalau naik taksi, harganya bisa lipat dua. Salju sudah mulai turun di Puncak Kamchik. Saya pun sudah mulai akrab [...]

September 9, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 50: Bukan Negara Normal

Tashkent, ibu kota Uzbekistan  (AGUSTINUS WIBOWO) Baru saja sampai di Uzbekistan, saya sudah dipusingkan dengan masalah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Staf KBRI Tashkent siap dengan setumpuk wejangan bagaimana harus melewatkan hari-hari di negara Uzbek ini. Tashkent, dalam bahasa Uzbek disebut Toshkent, berarti ‘kota batu’. Tapi jangan mencari batu di sini. Kota ini sudah tidak hidup di zaman batu dan perjalanan waktu sudah menggiringnya menjadi kota modern dan kosmopolitan di Asia Tengah. Gadis-gadis Rusia berpakaian trendi mengibaskan rambut pirangnya, menyusuri barisan gedung-gedung tinggi yang megah dan rapi. Di musim dingin ini, Tashkent tetap menawarkan kehangatan, kedinamisan sebuah kota maju, plus keindahan gadis-gadis yang menyegarkan mata pria Indonesia mana pun. Kalau mereka dibawa ke Indonesia, semua pasti jadi bintang sinetron. Tidak jauh dari pusat kota ada hotel bintang empat yang cukup membuat orang Indonesia bangga. Siapa sangka kita punya hotel mewah di sini? Hotel Bumi, demikian namanya. Dua tahun lalu hotel ini punya hubungan dekat dengan Bakrie Group. Menjulang tinggi mengundang kekaguman, hotel yang dikenal punya hobi berganti-ganti nama ini, menjadi landmark di sini. Nama aslinya Hotel Tata, dibangun oleh India. Tidak ada orang Tashkent yang tidak kenal nama ini. Tahun ini namanya Le Meridien, tahun depan entah mau ganti [...]

August 22, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 49: Kontras

Bergulat dengan kemiskinan (AGUSTINUS WIBOWO) Sebuah dunia lain menyambut saya, persis selepas saya melintasi perbatasan Kazakhstan-Uzbekistan. Kazakhstan yang dingin dan berlapis salju seakan menjadi masa lalu. Malam-malam yang dingin di atas bangku terminal, diobrak-abrik polisi stasiun, plus mie instan yang menjadi makanan pokok saya, sudah boleh dilupakan. Zhibek Zholi yang licin dengan nenek-nenek yang ganas, adalah kenangan terakhir dari Kazakhstan. Uzbekistan menghampar. Rumput-rumput hijau kering mengisi kanan kiri jalan. Entah sudah berapa lama saya tidak melihat rumput. Di Kazakhstan, semuanya tertutup salju. Bahkan di Zhibek Zholi yang cuma lima puluh meter di belakang perbatasan, es masih melapisi semua permukaan. Bayangkan, hanya melewati garis batas negara, dunia pun berubah.  Ramai sekali. Mobil-mobil berjajar di pinggir jalan, mencari penumpang menuju Tashkent. Ibu-ibu penukar mata uang Uzbek sama gemuknya dengan di Kazakhstan sana, cuma punya hidung yang lebih mancung dan mata lebih lebar. Yang paling berbeda, senyum dan tawa menghiasi wajah-wajah tua itu. Kalau di Kazakhstan sana orang sering marah-marah kalau difoto, di Uzbekistan sini, ibu-ibu pencari nafkah di sekitar perbatasan malah berpose manja di depan kamera saya tanpa diminta. Habis dipotret, mereka mengingatkan saya, “Cepat, masukkan kameramu, nanti kalau kelihatan polisi kamu kena shtraf, kena denda.” Sungguh berbeda dengan penjual sayuran di [...]

August 21, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 48: Do Svedania, Kazakhstan

  Selangkah sebelum Uzbekistan (AGUSTINUS WIBOWO) Perbatasan antara Kazakhstan dan Uzbekistan terletak beberapa puluh kilometer di selatan Shymkent. Perjalanan dengan marshrutka – semacam angkot – dari Shymkent ke Zhibek Zholi merupakan pemandangan terakhir Kazakhstan yang nampak di mata saya. Hamparan salju putih membungkus bukit-bukit sejauh mata memandang. Saya kembali menghitung sisa Tenge yang masih bertahan dalam dompet saya. Tak banyak. Hanya beberapa keping uang receh seratusan. Seorang penumpang, nenek Rusia dengan wajah yang selalu cemberut, langsung menyumpahi supir yang seenaknya saja menaikkan harga secara mendadak karena sudah dekat tahun baru. Uang Tenge saya langsung hanya tersisa satu keping setelah membayar karcis. Desa perbatasan, Zhibek Zholi, yang artinya Jalan Sutra, sangat sibuk. Bus-bus besar berdatangan dari penjuru. Wanita-wanita gemuk berkerudung bertebaran di sana sini, menggeret-geret dan memaksa orang untuk tukar uang. Pria-pria juga tak kalah sibuknya, membawa berkantong-kantong barang bawaan, ke arah Uzbekistan. Dari Tenge ke Sum, seketika saya merasa kaya. Uang logam 100 Tenge, satu-satunya yang tersisa di kantong, langsung berubah jadi selembar uang 1.000 Sum. Beberapa tahun belakangan ini, uang Uzbekistan terus anjlok. Sekarang kursnya 1.250 Sum per Dolar Amerika. Uang kertas seribuan Sum, yang nilainya tidak sampai 1 dolar dan hanya senilai uang receh di Kazakhstan, adalah pecahan [...]

August 20, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 36: Raksasa Asia Tengah

Pintu perbatasan Kazakhstan (AGUSTINUS WIBOWO) Menyeberangi Sungai Chui, melintasi perbatasan alami antara Kyrgyzstan dengan Kazakhstan, saya merasakan pergeseran kehidupan yang luar biasa. Dari kantor perbatasan Kyrgyzstan yang terbuat dari tanker minyak bekas yang sudah berkarat ke kantor perbatasan Kazakhstan memamerkan kecanggihan sebuah negeri yang sedang menikmati kemakmuran. Salju terus mengguyur bumi. Sejauh mata memandang yang tampak hanya langit kelabu. Saya masih teringat tentara perbatasan Kyrgyzstan yang dari tadi memberi isyarat minta disogok, gara-gara visa saya tidak distempel ketika memasuki negeri Kirghiz dari perbatasan Bör Döbö. Baru setelah menunjukkan beberapa surat dari KBRI, tentara penjaga perbatasan yang rakus-rakus itu mengizinkan saya lewat menyeberangi jembatan menuju Kazakhstan.  Bendera biru muda Kazakhstan, berhias matahari kuning yang cerah, berkibar di atas gedung balok putih itu. Prosedur imigrasi Kazakhstan, dibandingkan negara tetangga yang berkantor di bekas tanker minyak, nampak jauh lebih modern dan teratur. Bukan hanya harus mengisi Migration Card yang harus disimpan bersama paspor dan visa selama berada di negara ini, semua orang yang masuk Kazakhstan harus dipotret dulu oleh petugas imigrasi ketika mengecap paspor. Tak lama lagi mungkin Kazakhstan juga akan menyimpan sidik jari dan memindai retina mata. Kazakhstan memang kaya. Dibandingkan dengan negara tetangga Kyrgyzstan yang masih harus bergumul dengan frustrasi para [...]

August 2, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 34: Dungan

Muslim Kirghiz dan masjidnya (AGUSTINUS WIBOWO) Perkenalan saya dengan Dungan (baca: Dunggan) berawal dari ketertarikan saya terhadap makanan China yang banyak bertebaran di kota Bishkek. Bukannya berpapan nama “Chinese Restaurant“, warung-warung ini malah berjudul “Dunganskaya Kukhnia“, artinya “Depot Dungan”. Begitu memasuki ruangan bawah tanah semua warung masakan Dungan di dekat Kedutaan Iran, saya merasa seakan kembali lagi ke negeri China. Makanan yang disajikan sama persis dengan yang ada di Tiongkok sana. Baunya. Hiruk pikuknya. Asapnya. Wajah orang-orangnya. Bahkan sayup-sayup terdengar para koki yang berteriak-teriak dalam bahasa China. Siapakah orang-orang Dungan ini? Rasa ingin tahu membawa saya ke Tokmok, sebuah kota kecil 70 kilometer di sebelah timur Bishkek, yang merupakan basis komunitas Dungan terbesar di seluruh negeri Kyrgyzstan. Terletak di dekat Sungai Chuy yang menjadi perbatasan dengan Kazakhstan di utara, Tokmok adalah kota kecil tempat berkumpulnya berbagai bangsa – Kazakh, Kirghiz, Uzbek, Uyghur, dan Dungan. Di dekat pasar kota terdapat sebuah masjid kecil, tempat beribadahnya Muslim Dungan. Di Asia Tengah, dimana konsep negara-bangsa sangat kuat (Tajikistan negaranya orang Tajik, Kyrgyzstan negaranya orang Kirghiz, dan sebagainya), masjid pun dibeda-bedakan berdasar ras. Orang Dungan hanya sembahyang di masjid Dungan. Orang Kirghiz punya masjidnya sendiri di dekat terminal yang kubahnya mungkin mengilhami [...]

July 31, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 31: Berakhir di Sini

Pusat kota Bishkek (AGUSTINUS WIBOWO) Anak Satina satu-satunya, Maksat, yang dulu selalu menemani ibunya di Toktogul, sekarang sudah jadi mahasiswa tingkat pertama di ibu kota Bishkek. Satina menganjurkan saya untuk mengontak Maksat kalau ke Bishkek nanti. Kebetulan sekali, di malam ketika saya hendak meninggalkan Toktogul, bapak angkat Maksat datang dari Bishkek. Namanya Moken. Kata Satina, orangnya baik sekali. Siapa Toktogulduk, orang Toktogul, yang tak kenal Moken? Sekarang Maksat menumpang gratis di rumah Moken di Bishkek. Belakangan saya tahu bahwa Moken bekerja sebagai supir taksi. Di Kyrgyzstan, seperti halnya Tajikistan, supir taksi termasuk pekerjaan yang menjamin cemerlangnya masa depan. Saya menumpang mobil Moken langsung ke Bishkek. Jalan dari Toktogul ke arah utara melewati gunung-gunung tinggi. Kendaraan umum yang boleh melintas cuma taksi. Bus besar dilarang lewat sini sejak kejadian bus yang mengangkut para pedagang Uyghur dari China terguling dan menewaskan banyak orang, beberapa tahun lalu. Mobil Moken termasuk mewah. Badannya panjang dan kursinya lebar. Saking nyamannya mobil ini, saya ketiduran terus sepanjang perjalanan sampai ke Bishkek. Rumah Moken terletak di perumahan Ala Too di pinggiran kota Bishkek. Maksat, yang masih mengenali saya, sangat terkejut dengan kedatangan saya yang tiba-tiba bersama bapak angkatnya. Maksat langsung menggiring saya ke ruang tamu, menyiapkan makan [...]

July 26, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 25: Kota Kuno

Khana Ay (AGUSTINUS WIBOWO) Saya merasa begitu dimanjakan di Osh. Setelah melewati susahnya kehidupan di GBAO, berhari-hari menunggu kendaraan melintas di bawah terpaan angin dingin, menahan lapar dan dahaga di tempat di mana makanan begitu berharga, kini saya berada di Osh. Kota ini benar-benar surga bagi orang yang gila makan. Dalam beberapa hari ini tidak banyak yang saya lakukan. Pagi ke warung laghman milik Fakhriddin. Selepas itu kembali ke guesthouse menghafalkan kosa kata dan grammar bahasa Rusia. Siangnya kembali makan laghman, dua mangkok. Sorenya berselancar di internet, membaca buku, dan menghafalkan kosa kata lagi. Malam laghman lagi, ditambah mantu. Dalam tiga hari saja saya bertambah gembul. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya datang ke Osh. Musim panas 2004 saya sudah pernah ke sini. Osh, waktu itu, adalah kota bekas Uni Soviet pertama yang saya kunjungi. Memori saya yang paling nyata mengenang Osh sebagai barisan gedung-gedung apartememen berarsitektur khas Rusia – bangunan kotak-kotak seragam yang membosankan, berjajar di pinggir jalan beraspal yang naik turun menyusuri bukit. Ketika kota-kota lain begitu menggebu melepaskan atribut Rusia, Osh masih memelihara patung Lenin yang melambai penuh semangat di pinggir jalan utama yang sepi. Ketika Jalan Lenin di kota-kota lain sudah diganti namanya dengan pahlawan-pahlawan nasional Asia [...]

July 18, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 23:Perbatasan di Puncak Gunung

  Jalan mendaki menuju Kyrgyzstan (AGUSTINUS WIBOWO) Saya bagun pagi-pagi sekali, sekitar pukul tujuh. Udara masih teramat dingin meski langit baru mulai terang. Rasa cemas karena visa saya bakal berakhir hari ini membuat tidur saya tidak lelap. Setiap detik yang terbayang hanya penjara Tajikistan.  Mungkin memang karena bintang jatuh, di tengah udara pagi yang dingin saya melihat dua truk Kamaz melintas. Saya melompat kegirangan. Sementara anak buah Khurshed memeriksa rombongan kedua truk itu, suami Tildahan membantu saya ber-chakchak, bernegosiasi dengan para supir, yang bersedia mengangkut saya sampai ke Sary Tash di Kyrgyzstan. Sary Tash adalah kota pertama Kyrgyzstan dari perbatasan Tajikistan. Negosiasi berjalan lancar. Deal, 20 Somoni.  Dengan perasaan lega, saya lemparkan backpack ke dalam truk dan melompat naik. Saya duduk dengan manis sambil tersenyum-senyum sendiri mengingat kegelisahan tadi malam. Di kejauhan gunung-gunung raksasa berbaris sepanjang jalan. Kamaz berjalan pelan. Supir-supir tidak berbicara bahasa Tajik sama sekali. Mereka juga bukan orang yang ramah. Saya berusaha memecah kekakuan dengan berbagai gurauan kecil, tetapi mereka hanya memandang saya sinis dari sudut mata mereka yang lancip. Tak apalah. Pemandangan di luar sana begitu agung. Barisan gunung-gunung bersalju sambung-menyambung. Jalan beraspal terkadang merayap mendaki dengan sudut kemiringan yang nyaris tegak. Tak dinyana, kendaraan sebesar [...]

July 16, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 22: Keluarkan Saya dari Sini!!!

  Dusun Karakul di pinggir danau (AGUSTINUS WIBOWO) Terjebak di tempat terpencil ini dengan visa yang sudah hampir habis berarti bencana. Penjara Tajikistan bukan tempat yang asyik bagi wisatawan. Tetapi, saya hampir tak tahu lagi bagaimana caranya keluar dari sini. Sebenarnya, kemarin ada truk yang melintas. Khurshed berteriak-teriak memanggil saya dan menyarankan untuk ikut dengan truk yang akan pergi ke Kyrgyzstan. Namun, karena batas waktu visa saya masih dua hari lagi, saya katakan saya masih ingin menikmati indahnya danau Karakul yang menyimpan kesunyian penuh misteri ini. Hari ini, saya bangun pagi-pagi, menyaksikan cantiknya matahari merekah di atas kesunyian danau dan barisan rumah-rumah balok. Angin dingin bertiup kencang, menerpa wajah, dan membekukan setiap partikel kotoran dalam hidung. Sakit sekali. Di tengah dinginnya angin, di bawah langit biru yang kemudian berubah menjadi gelap berselubung awan, saya menanti kendaraan lewat. Dua jam menunggu, sejauh mata memandang, 25 kilometer ke utara dan 10 kilometer ke selatan, sama sekali tidak ada kendaraan yang tampak. Saya lihat truk Kamaz melintas tepat pukul dua belas siang. Ini adalah kendaraan pertama yang saya lihat sejak pagi tadi. Begitu kecewanya saya mengetahui bahwa penumpang sudah penuh. Saya tahu betapa membosankannya bekerja di sini sebagai tentara perbatasan. Yang ada hanya [...]

July 15, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 20: Bagaimana Caranya Keluar dari Sini?

Bazaar Kota Murghab (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimana caranya keluar dari Murghab? Saya sudah tak sabar lagi ingin keluar dari kota yang penuh dengan kemuraman hidup ini. Apalagi, visa Tajikistan saya hanya tersisa empat hari. Saya harus selekasnya masuk ke Kyrgyzstan sebelum visa kadaluwarsa. Murghab memang bukan tempat yang nyaman untuk menunggu kendaraan. Sudah dua hari saya menunggu di pasar Murghab yang sepi dan malas itu. Begitu pula dua orang backpacker bule, orang Israel dan Amerika, yang saya temui di sana. Di sini, tidak seperti di Langar, banyak sekali mobil. Tetapi, tidak ada penumpang. Orang tidak mampu membayar karcis perjalanan yang melambung. Harga bensin di Murghab 3.40 Somoni per liter, lebih murah daripada di Langar yang terpencil. Selain kami bertiga, tidak ada lagi yang berniat pergi ke Kyrgyzstan. Melihat backpacker bule  para supir tidak mau melewatkan kesempatan berharga. Tiga ratus dolar, tidak bisa ditawar, untu menyewa jeep sampai ke kota Osh di Kyrgyzstan sana. Saya tidak tertarik untuk menyewa kendaraan. Angka ratusan dolar jauh sekali di atas kemampuan dompet saya. Tapi, Si Turis Amerika sudah tidak sabar lagi. Visanya berakhir hari ini. Kalau dia tidak berada di Kyrgyzstan malam ini juga, nasibnya akan berakhir di tangan para tentara Tajik yang rakus, atau [...]

June 9, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 17: Padang Gembala

Anak-anak Kirghiz bermain di dekat truk Kamaz. (AGUSTINUS WIBOWO) Semalam di Alichur, tidur di dalam stolovaya, di atas lantai dingin dan dibungkus selimut tebal yang kotor, mungkin bukan idaman semua petualang. Supir-supir truk yang tidak saya kenal dan saya ingat wajahnya, kecuali satu dua orang saja, tidur berjajar seperti ikan yang digelar di pasar. Dalam kegelapan total, suara dengkuran sahut menyahut, seakan bersaing dengan lolongan anjing-anjing gembala di luar sana. Tak bisa tidur, saya membuka mata. Yang terlihat hanya hitam. Tiba-tiba sebuah tangan merangkul saya. Di warung yang sempit ini memang tidak banyak tempat. Saya berbagi tikar dan selimut dengan Dudkhoda, pria Tajik yang menjadi teman bicara saya. Tak tahu apa artinya pelukan ini. Mungkin dia sudah pulas. Tapi, tidak terdengar dengkuran dari mulutnya. Ada hembusan napas yang lebih cepat dari biasanya. Saya diam saja. Tiba-tiba telapak tangan asing itu meraba-raba tubuh saya. Aduh, apa lagi ini? Bau vodka tercium kuat. Dudkhoda tidak sedang tidur lelap. Sepertinya ia butuh sesuatu untuk pelampiasan hasratnya. Suara dengkuran supir-supir Kirghiz masih bersahutan tanpa henti, seperti konser orkestra. Perjuangan Dudkhoda pun tidak pernah berhenti. Berkali-kali saya mengembalikan tangan itu ke tempat yang seharusnya. Berkali-kali pula tangan itu mendarat lagi di atas tubuh saya. Malam [...]

June 9, 2013 // 0 Comments

1 2 3