Recommended

Garis Batas 25: Kota Kuno

Khana Ay (AGUSTINUS WIBOWO)

Khana Ay (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya merasa begitu dimanjakan di Osh. Setelah melewati susahnya kehidupan di GBAO, berhari-hari menunggu kendaraan melintas di bawah terpaan angin dingin, menahan lapar dan dahaga di tempat di mana makanan begitu berharga, kini saya berada di Osh. Kota ini benar-benar surga bagi orang yang gila makan.

Dalam beberapa hari ini tidak banyak yang saya lakukan. Pagi ke warung laghman milik Fakhriddin. Selepas itu kembali ke guesthouse menghafalkan kosa kata dan grammar bahasa Rusia. Siangnya kembali makan laghman, dua mangkok. Sorenya berselancar di internet, membaca buku, dan menghafalkan kosa kata lagi. Malam laghman lagi, ditambah mantu. Dalam tiga hari saja saya bertambah gembul.

Sebenarnya ini bukan kali pertama saya datang ke Osh. Musim panas 2004 saya sudah pernah ke sini. Osh, waktu itu, adalah kota bekas Uni Soviet pertama yang saya kunjungi. Memori saya yang paling nyata mengenang Osh sebagai barisan gedung-gedung apartememen berarsitektur khas Rusia – bangunan kotak-kotak seragam yang membosankan, berjajar di pinggir jalan beraspal yang naik turun menyusuri bukit. Ketika kota-kota lain begitu menggebu melepaskan atribut Rusia, Osh masih memelihara patung Lenin yang melambai penuh semangat di pinggir jalan utama yang sepi. Ketika Jalan Lenin di kota-kota lain sudah diganti namanya dengan pahlawan-pahlawan nasional Asia Tengah, Osh masih mempertahankan Jalan Lenin di pusat kota.

Walaupun Osh tidak berusaha menghapus masa lalunya begitu saja, sejarah kota ini, yang konon lebih tua dari kota Roma, tidak banyak terlihat. Di sini semua nampak baru. Tak ada peninggalan yang benar-benar kuno yang mentahbiskan perayaan ulang tahun kota Osh yang ke-3000. Yang paling nyata adalah bayang-bayang bukit besar memanjang yang disebut Sulaiman Too atau Takhta Sulaiman yang menaungi seluruh kota. Bukit ini merupakan tempat ziarah penting, dan konon Nabi Muhammad pun pernah singgah di sini.

Kesan pertama saya tentang Osh malah tidak begitu baik. Dua tahun lalu saya datang ke sini dengan segala kenaifan dan kepolosan saya sebagai backpacker muda. Di pasar kuno Osh saya ditipu ketika menukar uang. Sebuah “moneychanger” gelap di pinggir jalan sengaja memberi uang recehan, sehingga saya butuh waktu lama untuk menghitung. Ternyata kurang dua lembar. Ketika saya protes, ibu berkerudung itu menghitung lagi, menambahkan dua lembar sambil dengan gesit tanpa sepengetahuan saya mengambil dua puluh lembar dari tumpukan uang. Ia terus mengajak saya ngobrol sampai saya lupa menghitung kembali. Dua puluh dolar hilang begitu saja.

Setelah kejadian itu, saya diajak jalan-jalan oleh seorang pemuda tentara yang memperalat saya sebagai ‘dompet berjalan’. Minta dibelikan ini itu dan dia terus menempel seperti benalu. Di hari yang lain di bazaar kota Osh, saya menjadi bulan-bulanan lima orang polisi yang menyeret saya ke dalam kantor gelap dan memaksa menunjukkan semua isi dompet saya. Tujuannya jelas, mencari mangsa.

Sosok Lenin masih membayangi kota Osh (AGUSTINUS WIBOWO)

Sosok Lenin masih membayangi kota Osh (AGUSTINUS WIBOWO)

Kenangan-kenangan itu, bagaimanapun tak mengenakkannya, adalah nostalgia yang manis. Saya kembali lagi ke bazaar kuno kota Osh, salah satu yang tertua di kota-kota bekas Silk Road. Seorang nenek Kirghiz yang pernah saya potret dua tahun silam ternyata masih ingat saya.

“Saya adalah ibumu dari Kyrgyzstan! Kamu masih ingat?” teriaknya ketika saya melintas di depan kiosnya yang menjual berbagai kerajinan tangan khas Kirghiz. Khana Ay, si nenek, masih sehat dan gemuk. Saya dibanjiri berbagai macam hadiah, yang katanya merupakan bukti keramahtamahan orang Kirghiz.

“Ke mana saja selama ini? Mengapa tidak ada kabar berita? Sudah lupakah engkau dengan ibumu dari Osh ini?”

Perjalanan membawa saya ke ratusan pelosok dunia, menganugerahkan ratusan ibu dan bapak yang menyayangi saya seperti anak mereka sendiri. Saya tidak akan pernah lupa dengan mama Kirghiz yang satu ini, yang senyumnya tetap manis menghiasi giginya yang ompong.

Saya menyusuri Jalan Lenin, mengumpulkan kembali serpihan-serpihan memori saya di kota ini dua tahun silam. Tanpa sengaja saya menemukan rumah Mansur, pemuda Uzbek yang mengundang saya menginap selama beberapa hari bersama keluarganya di sebuah gang kecil di dekat bazaar.

Mansur sebenarnya sudah tidak tinggal lagi di Osh. Dia bekerja di Turki sebagai kuli. Gajinya 500 dolar per bulan, jauh lebih tinggi dari apa yang bisa didapatkan di negara miskin Kyrgyzstan. Kebetulan saja dia pulang karena adiknya menikah.

“Kenapa kamu tidak datang kemarin? Kamu mestinya bisa melihat pernikahan khas orang Uzbek.”

Saya menyesal karena kegembulan saya yang hanya menghabiskan waktu di kamar losmen setelah kekenyangan menyantap laghman membuat saya melupakan Mansur.

Adik perempuan Mansur baru berumur 17 tahun. Ia sudah menikah dalam usia yang begitu muda. Tanpa pacaran. Ia hanya melihat suaminya satu kali sebelum menikah. Urusan perjodohan diatur oleh kedua keluarga mempelai. Perkawinan ala Siti Nurbaya ternyata masih populer juga di sini.

Orang tua Mansur ternyata juga masih ingat saya.

“Ke mana saja kamu dua tahun ini? Waktu kami melihat ada tsunami di Indonesia, kami sangat takut, jangan-jangan kamu jadi korban. Kamu sama sekali tak pernah berkirim kabar, jadi kami khawatir.”

Saya minta maaf, karena alamat email Mansur tak sengaja hilang entah di mana.

Mansur menghidangkan saya piring demi piring nasi plov, makanan khas Uzbek yang menjadi menu wajib acara pernikahan. Sisa kemarin, tetapi masih sangat lezat. Nasi Uzbek ini ukurannya lebih besar daripada bulir nasi Indonesia, tidak menggumpal, dan kulitnya penuh dengan bintik-bintik, seperti gadis Eropa yang menginjak remaja. Dicampur irisan wortel, minyak, dan daging kambing, rasanya sungguh luar biasa.

Di balik tembok rumah Mansur, tersembunyi sebuah taman yang indah. Di taman ini, kami bercengkerama, bersenda gurau tentang hari lalu. Masing-masih bercerita tentang pengalaman selama dua tahun yang terlewatkan begitu saja. Keluarga Mansur dari seluruh penjuru desa masih berdatangan mengucapkan selamat.

Taman mungil ini, dikelilingi tembok padat yang menyembunyikan keindahannya dari luar, memang bagian tak terpisahkan dari arsitektur Persia dan Asia Tengah. Orang-orang Osh hidup dalam dunianya yang makmur. Tidak ada gelandangan. Pengemis pun bisa dihitung jumlahnya. Perdagangan dengan negara-negara tetangga mendatangkan rejeki. Osh, ibu kota selatan Kyrgyzstan, terpisah 800 kilometer jauhnya dari Bishkek, sedang menikmati kemakmurannya di dalam taman pekarangannya yang indah.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 9 April 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*