Recommended

Indonesia

Benkim 25 Oktober 2014: Patok Batas Negeri

Sudah dua bulan lebih saya melakukan perjalanan yang sangat berat secara mental dan fisik menyusuri perbatasan RI—PNG. Saya bahkan sudah beberapa kali melintasi perbatasan, masuk ke Indonesia dan kembali lagi ke Papua Nugini secara ilegal. Tetapi belum pernah sekali pun saya menyaksikan garis perbatasan itu berwujud gamblang di depan mata saya. Yang saya lihat hanya hutan rimba dan gunung, sungai atau rawa. Keinginan saya begitu menggebu. Saya berteguh hati berkata pada Papa Felix, “Apa pun yang terjadi, saya mau lihat patok perbatasan itu!” Tepat di antara Digo dan Binkawuk terdapat satu desa bernama Benkim. Di sinilah terdapat salah satu dari seratusan patok penanda perbatasan yang berderet sepanjang 740 kilometer perbatasan darat antara RI dan PNG. Perjalanan dari Digo dan Tarakbits sebenarnya bisa lewat Benkim, sedikit lebih jauh dan memutar daripada rute “jalur pintas” yang berupa garis lurus melintasi hutan yang kami ambil waktu datang ke sini. “Perut saya sakit,” kata Papa Felix, “Saya cuma ingin cepat-cepat pulang ke Binkawuk. Kalau lewat Benkim nanti malam baru kita sampai Binkawuk.” “Tetapi melihat patok itu penting bagi saya,” kata saya. Saya menjanjikan sedikit uang kepadanya. Papa Felix bilang pikir-pikir dulu, lihat keadaan nanti. Pagi itu juga, setelah menyantap pisang rebus (semua pisang masih [...]

October 18, 2016 // 15 Comments

Digo 24 Oktober 2014: Sekolah Papua Nugini di Indonesia

Pagi yang dingin, sekujur punggung saya pegal karena semalaman tidur di atas bilah kayu lantai gubuk yang renggang-renggang. Saya terbangun oleh sayup-sayup suara anak-anak menyanyikan lagu kebangsaan Papua Nugini dengan nada sumbang di kejauhan. O arise all you sons of this land,     Let us sing of our joy to be free,     Praising God and rejoicing to be     Papua New Guinea. Saya sedang berada di Digo, sebuah kamp yang dihuni para pengungsi OPM (Organisasi Papua Merdeka) dari wilayah Papua Indonesia yang melarikan diri ke wilayah Papua Nugini pada tahun 1984. Tetapi banyak penduduk sini yang tidak menyadari bahwa Digo sebenarnya berada di wilayah Indonesia, bukan di Papua Nugini. Letak Digo adalah sekitar 5 kilometer di barat garis perbatasan lurus antara kedua negara. Bagaimana lagu kebangsaan Papua Nugini bisa dinyanyikan di wilayah Indonesia? Saya bergegas menuruni tangga rumah panggung, berlari menuju gedung sekolah. Di kamp pengungsi ini, semua dari 40an rumah panggung yang ada terbuat dari bahan-bahan hutan, yaitu kayu, kulit pohon sagu, dan daun sagu, sedangkan sekolah yang terletak di tengah lapangan bertanah merah itu dindingnya terbuat dari seng. Seng—yang bahannya harus dibeli dari pasar di kota, minimal dua hari perjalanan dari sini—sudah terbilang sangat mewah untuk kehidupan [...]

October 17, 2016 // 8 Comments

Digo 23 Oktober 2014: Takut Bendera Merah Putih

Saya sebenarnya sudah berada di Indonesia, atau sekitar 5 kilometer di sebelah barat garis lurus yang menjadi perbatasan RI—PNG. Inilah Digo, sebuah kamp yang dihuni para pelarian West Papua, bagian gerakan pengungsian akbar Organisasi Papua Merdeka (OPM) ke Papua Nugini pada tahun 1984. Mereka melarikan diri dari Indonesia, tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka masih berada di Indonesia. Setelah seharian berjalan menembus hutan lebat, naik turun bukit, menyeberangi begitu banyak sungai dan rawa dan lautan lumpur, saya dan Papa Felix tiba di Digo. Kamp ini terletak di atas bukit hijau. Rumah-rumah gubuk berpanggung bertebaran di atas tanah lapang berwarna merah. Semua rumah di sini terbuat dari bahan hutan: kayu pohon yang masih kasar dan atap dari daun sagu. Kejauhan di bawah bukit sana, terlihat Sungai Ok Ma, yang hulunya di wilayah Indonesia, tetapi mengalir ke arah Papua Nugini, dan akan bergabung dengan Sungai Ok Tedi dan Sungai Fly. Anak-anak bertelanjang bulat atau bertelanjang dada berlarian di lapangan, beberapa bermain egrang, dengan tubuh kurus dan perut buncit kekurangan gizi. Beberapa bocah itu juga menderita kurap yang sangat parah, di badan maupun di kepala. Bocah-bocah itu juga mengganggu para babi kurus dan para anjing kerempeng, yang menguik memelas dan menggonggong berlari dikejar-kejar [...]

October 14, 2016 // 4 Comments

Digo 22 Oktober 2014: Menuju Kamp OPM di Wilayah Indonesia

Tujuan saya datang ke sini adalah untuk mengunjungi sebuah kamp pengungsi OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kamp itu terletak di tengah hutan rimba, dan saya akan harus menyeberangi sungai-sungai yang berbahaya. Lebih aneh lagi, kamp itu ternyata terletak di dalam wilayah Indonesia! Hujan yang mengguyur Tarakbits seharian tak kunjung reda, saya mulai gelisah. Saya tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di desa ini. Tetapi dengan cuaca begini, dan tanpa pemandu, saya tak mungkin bisa mencapai tempat itu. Sore sekitar pukul 15, hujan mengecil, lalu berhenti. Kepala sekolah Stanis Angoro berlari tergopoh-gopoh ke rumahnya—tempat saya menginap—untuk menyuruh saya berkemas. “Cepat, ada dua murid dari desa Binkawuk mau pulang ke desa mereka. Kamu ikut mereka. Sampai di sana, kamu cari orang yang bisa antar kamu sampai ke Digo,” katanya. Binkawuk adalah sebuah desa yang jauh lebih kecil daripada Tarakbits, katanya hanya satu jam perjalanan saja. Tetapi sungguh saya tidak menyangka, perjalanan yang bagi orang-orang sini paling mudah, justru telah membuat saya babak belur. Sekitar sepuluh menit kami berjalan meninggalkan Tarakbits, tiba-tiba hujan turun lagi dengan begitu derasnya. Tanpa payung, saya harus menaruh tas punggung saya di balik jaket. Lagi pula, jalanan di daerah ini berbukit-bukit, mendaki sangat curam lalu turun dengan curam, di [...]

October 13, 2016 // 5 Comments

Tarakbits 20 Oktober 2014: Mengungsi demi Merdeka

Meninggalkan Tabubil, saya kembali bergerak ke selatan, menuju sebuah kamp pengungsi OPM yang konon tersembunyi di dalam hutan. Tidak banyak yang saya ketahui tentang kamp terpencil itu, kecuali tentang letaknya yang sangat dekat dengan perbatasan Indonesia. Untuk menuju Digo, saya kembali menyusuri jalan raya Tabubil—Kiunga ke arah selatan. Sekitar separuh perjalanan, saya mesti turun di Ningerum, yang dari sana konon kita bisa berjalan kaki delapan jam termasuk menyeberangi dua sungai untuk sampai desa Tarakbits, dan dari Tarakbits kita bisa berjalan kaki tiga jam untuk sampai ke Digo. Tampaknya tidak terlalu sulit, bukan? Begitu saya sampai di Ningerum, saya mendengar ada perahu yang bisa langsung mencapai Tarakbits melalui jalur sungai. Perahu ini hanya berangkat siang hari, pada Senin, Rabu, dan Jumat, dengan bayaran 30 kina (Rp 150.000) per penumpang. Kebetulan hari ini Senin, dan kalau naik perahu saya bisa menghemat satu hari perjalanan (daripada harus jalan kaki 8 jam ditambah menyeberang dua sungai? No, thanks!). Karena itu, saya langsung menumpang bus lagi, bergerak 2 kilometer ke selatan, menuju tempat berlabuhnya perahu dari Tarakbits. Untunglah perahu itu belum berangkat. Para penumpangnya kebanyakan adalah warga Tarakbits yang datang ke pasar Ningerum untuk berjualan dan berbelanja, lalu pulang pada hari yang sama. Perahu motor [...]

October 12, 2016 // 0 Comments

Tabubil 19 Oktober 2014: Masa Depan Pertambangan

Tabubil, sebuah kota kecil terpencil di tengah rimba lebat Pegunungan Bintang, adalah salah satu urat nadi perekonomian Papua Nugini. Emas dan tembaga yang diproduksi pertambangan Ok Tedi di dekat Tabubil mencakup seperlima ekspor nasional. Tetapi, itik tidak selamanya bertelur emas, hari-hari kejayaan Tabubil tersisa sudah tidak lama lagi. Sejatinya, kota ini bukan habitat manusia normal. Ini salah satu tempat dengan curah hujan tertinggi di dunia, setidaknya 300 hari dalam setahun diguyur hujan lebat. Penulis sekaligus peneliti kenamaan Australia, Tim Flannery, mendeskripsikan Tabubil, “Kau bahkan bisa merasakan jamur bertumbuh di kulitmu sejak begitu kau turun dari pesawat.” Tetapi Tabubil justru adalah kota paling layak huni yang pernah saya alami di Papua Nugini. Kota ini menggunakan sistem birokrasi dan keamanan ala Australia, dengan peraturan ketat yang diikuti semua penduduk sampai ke detail-detail terkecil. Tabubil memiliki hotel, rumah sakit, kantor polisi, pengadilan, pemadam kebakaran, sekolah internasional, supermarket besar, bank, toko furnitur. Air gratis, listrik gratis, banyak orang menyalakan AC sepanjang hari nonstop. Karena curah hujan yang tinggi, kota ini memiliki fasilitas olahraga dalam ruangan yang memadai: squash, lapangan basket, gym, bahkan kriket indoor.  Semua jalan dilengkapi dengan papan petunjuk nama jalan dan rambu-rambu, sedangkan orang yang berlalu lalang—baik warga Papua Nugini maupun kaum [...]

October 11, 2016 // 8 Comments

Tabubil 17 Oktober 2014: Apakah Saya Masih di Papua Nugini?

Kota ini mengejutkan saya. Bangunan modern berpagar-pagar berbaris rapi sepanjang dua sisi jalan beraspal mulus. Tidak ada sampah berceceran. Tidak ada bercak-bercak merah ludahan pinang di dinding maupun jalanan. Semua orang menyeberang jalan hanya pada jalur penyeberangan. Sungguh saya bertanya: Apakah saya masih di Papua Nugini? Tabubil adalah sebuah kota kecil dan sunyi di kaki Pegunungan Bintang, dikelilingi barisan pegunungan yang diselimuti rimba tropis yang teramat lebat. Sesungguhnya, dengan lokasi yang terpencil ditambah kondisi geografisnya, Tabubil bukanlah material untuk menjadi kota modern. Curah hujan di daerah ini termasuk yang tertinggi di dunia. Lebih dari 300 hari dalam setahun, Tabubil diguyur hujan. Dan hujan di Tabubil itu sungguh bagai air bah yang mencurah dari langit tanpa belas kasihan. Awan gelap bisa menggelayut di langit Tabubil sampai berhari-hari, dan penduduk selalu pergi ke mana-mana dengan membawa payung. Tabubil ada karena tambang. Pada tahun 1976, perusahaan pertambangan Australia, BHP, mulai bernegosiasi dengan pemerintah Papua Nugini untuk memegang kontrol atas tambang emas dan tembaga di daerah ini. Pada tahun 1981, perusahaan tambang Ok Tedi Mining Limited terbentuk dengan BHP sebagai pemegang kepentingan utama. Perusahaan inilah yang membangun Tabubil menjadi kota pertambangan. Tabubil terletak pada sebuah jalan utama yang belum sepenuhnya beraspal, yang berawal dari [...]

October 4, 2016 // 6 Comments

Detik.com: Papua Nugini hingga Singkawang, Ini 5 Titik bagi Buku Baru Agustinus Wibowo

Rabu, 14 Sep 2016 16:16 WIB  ·   Tia Agnes – detikHOT tautan Beijing – Lebih dari satu dekade melakukan perjalanan, Agustinus Wibowo kembali menelaah apa yang terjadi di negaranya. Pria kelahiran Lumajang, Jawa Timur itu berencana untuk bepergian ke lima titik lokasi yang merupakan fragmen-fragmen dari proyek buku baru yang kini sedang digarapnya sejak dua tahun lalu. Fragmen pertama adalah perbatasan Papua dengan Papua Nugini yang sudah ditinggalinya selama tiga bulan di sana. Ada empat titik lokasi atau destinasi lainnya yang akan dikerjakan sebagai proyek baru. “Saya berencana akan ke Toraja untuk memahami bagaimana agama tua bertahan di tengah-tengah agama baru. Ada Aceh untuk mempelajari bagaimana penerapan pasca syariat Islam,” ujarnya ketika berbincang di sela-sela Beijing International Book Fair (BIBF) 2016 di China International Exhibition Center, Beijing, belum lama ini. Baca Juga: Agustinus Wibowo Bicara Soal Proyek Buku Baru Selain itu, Agus akan menjelajahi Pulau Dewata untuk mencari tahu identitas Bali bertahan di tengah perubahan globalisasi. Serta Singkawang tentang etnis Tionghoa sampai pasca Reformasi. “Benang merahnya bisa dibilang tentang identitas, dari sudut pandang orang Indonesia sendiri. Bagaimana suara orang Indonesia, bagaimana orang Indonesia menggali negaranya sendiri, itu yang saya gali,” lanjut Agus. Simak: Agustinus Wibowo Kritisi Orang Asing yang [...]

September 15, 2016 // 0 Comments

Detik.com: Agustinus Wibowo Kritisi Orang Asing yang Tulis Buku Perjalanan Indonesia

Rabu, 14 Sep 2016 15:43 WIB  ·   Tia Agnes – detikHOT tautan Catatan: Saya rasa saya perlu sedikit mengklarifikasi artikel ini. Tampaknya jurnalis yang mewawancara tidak menyampaikan maksud saya secara tepat. Saya BUKAN mengkritisi orang asing yang menulis buku perjalanan Indonesia, melainkan ketiadaan buku perjalanan tentang Indonesia yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri yang mampu menembus pasar internasional. Ini karena tidak banyak penulis perjalanan Indonesia yang menulis tentang Indonesia sendiri, atau masih relatif rendahnya kualitas tulisan perjalanan kita. Beijing – Agustinus Wibowo yang dikenal dengan narasi perjalanan ‘Titik Nol’ tengah menggarap proyek nasionalisme baru tentang Nusantara. Dia pun mengkritisi buku travel writing Indonesia yang ditulis oleh penulis asing. “Kebanyakan buku tentang Indonesia malah ditulis oleh orang asing. Begitu banyak minat orang luar tapi stok buku kita yang sangat terbatas. Itu hal yang sangat miris,” katanya ketika berbincang dengan detikHOT di sela-sela Beijing International Book Fair (BIBF) 2016, belum lama ini. “Bukan masalah siapa yang menulis, tapi perspektif kita yang pasti berbeda. Artinya bangsa kita didefinisikan menurut perspektif orang luar,” lanjutnya lagi. Simak: Agustinus Wibowo Bicara Soal Proyek Buku Baru Atas alasan tersebut, Agus mencoba memahami kembali apa makna nusantara, dan mencoba menelaahnya ke lima titik. Lokasi tersebut yang didatanginya [...]

September 15, 2016 // 14 Comments

Detik.com: Agustinus Wibowo Bicara Soal Proyek Buku Baru

Rabu, 14 Sep 2016 13:46 WIB  ·   Tia Agnes – detikHOT tautan Beijing – Perjalanan Agustinus Wibowo melintasi negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tengah yang terangkum dalam buku trilogi membuat namanya kian dikenal publik. Dari Beijing, sarjana Ilmu Komputer Universitas Tsinghua itu memulai petualangan perjalanan darat keliling Asia. Kini sebelas tahun kemudian, Agus muncul dengan proyek terbaru, semangat serta antusiasme yang tak kalah seru dari buku-buku sebelumnya. Tak lagi menceritakan tentang negara-negara berakhiran ‘tan’ maupun rencana penaklukan ke belahan benua Afrika, namun kali ini Agus kembali melihat ‘ke dalam’. Negara asalnya yang kaya akan budaya dan beragam cerita di dalamnya. Lewat tema ‘Nusantara’, Agus menjelajahi kawasan-kawasan yang berbeda yang bakal menjadi proyek buku berikutnya. Indonesia dipilihnya sebagai fokus pencarian dengan berbagai alasan. Ditemui di sela-sela kemeriahan stand Nasional Indonesia di ajang Beijing International Book Fair (BIBF) 2016, akhir Agustus lalu, Agus menjelaskan tentang rencana proyek terbarunya tersebut. “Indonesia adalah negara yang secara ajaib masih berdiri dengan utuh, ada ratusan etnik dan bahasa yang beragam. Setelah Reformasi pun Indonesia masih berdiri, itu jadi misteri sekaligus pertanyaan, ada kekuatan apa di balik Indonesia. Saya ingin memahami apa itu Indonesia, apa makna menjadi Indonesia, dan apa yang menyatukan Indonesia sampai sekarang [...]

September 15, 2016 // 1 Comment

On Journey and Reconciliation–A Panel with Yu Hua in Beijing International Book Fair

Back in 2011, when the first time I read any of Yu Hua’s work, I would never imagine that one day I would share the same chair with this great man. Yesterday, in Beijing International Book Fair (BIBF)’s Literary Salon, we sit together in front hundreds of audience, discussing about my book, Zero: When the Journey Takes You Home. We shared ideas about the meaning of journey, conflict of identities, search for meaning, and reconciliation. Yu Hua started with a story, quoting a 1001-night story about a boy from Baghdad, who went all the way to Cairo to find a treasure, but then went home to Baghdad to find the real treasure. He mentioned that the boy’s journey is not unlike my journey–that journey is about going out and returning home. We also shared much about Chinese and Indonesian identity. Raised in 1965, when many Chinese-Indonesians were forced to leave and had to return to China because of racial discrimination, he used to hear bad news about Indonesia. The image of Indonesia among Chinese people reach its worst position after the 1998 riots in Jakarta, and it has never fully recovered, until today. In fact, among so many visas in [...]

August 25, 2016 // 0 Comments

[Detik]: Panggung Agustinus Wibowo dan Yu Hua di BIBF 2016

Detik Beijing – Bermula dari Beijing, Agustinus Wibowo bermimpi ingin melakukan perjalanan ke Afrika Selatan. Ia pun melakukan perjalanan dari Tibet, Nepal, India, Pakistan, dan negara-negara lainnya. Di ajang Beijing International Book Fair (BIBF) 2016, Agustinus bersama Yu Hua membicarakan tentang identitas, perjalanannya menulis dan soal budaya dua negara. Penulis ‘Titik Nol’ itu membicarakan tentang identitas ketika dirinya lahir. “Saya dibilang orang Cina dan ketika saya belajar di negara ini, saya dibilang Indonesia. Sebenarnya saya ini dari mana. Karena itu saya mau mencoba menjadi traveler. Selalu ada pikiran yang baru di setiap tempat dan saya mencari Indonesia itu seperti apa,” ucapnya ketika berbicara di sesi Writer’s Stage di BIBF 2016, Rabu (24/8/2016). Dengan berjalan mengunjungi banyak negara, Agustinus keluar dari zona nyamannya. Dia menceritakan ketika turis asing dilarang bepergian ke Tibet, pria asal Lumajang Jawa Timur justru ke sana. Saat dia belajar jurusan komputer, dia juga tak mau hanya menjadi sarjana dengan lulusan tersebut. “Saya mau jadi jurnalis tapi kuliah nggak sesuai yang di mau. Tapi saya bisa motret dan menulis, kenapa nggak jadi jurnalis saja. Kita traveling ke mana saja dan bersama siapa itu nggak penting, yang penting adalah merasakan kehidupan baru dan orang lain. Dan itu yang membuat [...]

August 25, 2016 // 0 Comments

[Detik]: Diskusi Buku Agustinus Wibowo dan Yu Hua Perkuat Hubungan Dua Negara

Detik Beijing – Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok Soegeng Rahardjo hadir dalam sesi diskusi ‘Zero: When The Journey Takes You Home’ yang berlangsung hari ini di Beijing International Book Fair (BIBF) 2016. Sesi kali ini menampilkan dua penulis kenamaan dua negara, Agustinus Wibowo dan Yu Hua. Dalam sambutannya, Soegeng mengatakan hadirnya untuk pertama kali Indonesia di BIBF makin membuka peluang pengenalan sastra Indonesia ke publik dunia. Sekaligus, mempererat hubungan antar dua negara. “Dengan adanya Agustinus dan Yua Hua hadir untuk memberikan cerita-ceritanya tentang dua negara dan pesan yang disampaikan akan menyebar ke masyarakat Indonesia dan Tiongkok,” ujarnya di atas Writer’s Stage di gedung China International Exhibition Center (new venue), distrik Shunyi, Beijing, Rabu (24/8/2016). Di diskusi ‘Zero: When The Journey Takes You Home’ yang terselenggara berkat kerja sama Komite Buku Nasional Indonesia dan Paper Republic ini membicarakan tentang pengalaman mereka tentang Tiongkok, baik personal maupun sejarah. Karya Yu Hua ‘To Live’ telah diterjemahkan oleh Agustinus ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan karya lainnya tengah disiapkan untuk segera diterjemahkan dan diterbitkan di Tanah Air. Seperti apa hasil diskusi keduanya? Simak laporan [...]

August 25, 2016 // 0 Comments

[BIBF]中印对话的桥梁 ——走近印度尼西亚作家、翻译家翁鸿鸣

2016-08-23 纸托邦 零点——走向回归的远行 作为将余华作品翻译引入印度尼西亚的第一人,如同余华成名作《十八岁出门远行》,翁鸿鸣也在十八岁离开家门,踏上中国的土地,开始了他背负祖辈多代人乡愁的寻根之旅。 始于寻根的旅行 翁 鸿鸣的父辈身在印尼,心念故国。由于印尼过去复杂的政治环境,华裔在印尼处境艰难,他们在印尼被当作外人,始终无法融入印尼主流社会,遭受各种形式的歧视 和排挤。对翁鸿鸣的父辈来说,回归故土是一桩萦绕心头的难了心愿。翁鸿鸣生于印尼从未到过中国的外婆,曾看着一幅中国地图流泪伤心,“我们原来中国是一个 很大的海棠叶啊,现在就是一个鸡的形状了。”正是这份叠加几代人的牵念,牵引着翁鸿鸣在十八岁时离开印尼,来到清华读书,由此也开启了他十余年不停歇的旅 程。 来 到中国的翁鸿鸣发现,真正的中国现实和父辈口中传颂的故国形象之间,有着巨大的鸿沟。父辈对中国的“所有记忆也仅停留当初第一批移民华人离开中国时的样 子”,“当初对中国所有印象和概念都是一片片”,“印尼华人当初对于自己的‘根’只是一个国家的概念,没有那个省市村,就是中国,地图上的那个版块”。他 回到的不是祖辈魂牵梦萦的故土,而是一片崭新又陌生的土地。 [...]

August 24, 2016 // 0 Comments

The Weekend West Magazine (Australia): Ground Zero Book Review

Page turners WILLIAM YEOMAN Like so many travellers before him, Agustinus Wibowo left home in search of something intangible —in the case of this young Indonesian of Chinese heritage, who had long felt like a foreigner in his homeland, a place he would feel welcome, a place he could call his own. “In my pocket was an Indonesian passport and two thousand American dollars in cash, and in my heart was the dream of a colossal adventure: to travel overland from Beijing to the furthest destination possible: South Africa. I believed that somewhere out there, when I reached the end of the long and winding road, I would become a completely new man. There would be happiness there.” It was July 2005 and Agustinus had already been away from home for several years, studying computer engineering at university in Beijing, spending his days and nights in pursuit of high marks. This, he decided, was not the life for him. It took him months to wear down his angry father, who had such high hopes for his son in “the land of the ancestors”, but when Agustinus finally received his blessing, he bought a train ticket, loaded his backpack and headed [...]

August 22, 2016 // 0 Comments

“ZERO” in Beijing International Book Fair

ZERO—When The Journey Takes You Home Sponsored by: BIBF Curated by: Paper Republic Co-organized by: Paper Republic, Indonesia National Book Committee Date: Aug 24th, Wednesday, 13:00-15:00 Address: Writers’ Stage, BIBF Venue Guests: Agustinus Wibowo, Yu Hua Join Yu Hua and writer Agustinus Wibowo in conversation about stories of the Chinese experience, both personal and historical. Yu Hua needs no introduction: from early works such as To Live, to the more recent blockbuster Brothers, he is among China’s foremost portraitists of modern Chinese society. Wibowo is an Indonesian translator and author of Chinese descent: his translation of Yu Hua’s To Live is already published in Indonesia, and Brothers and Chronicle of a Blood Merchant are forthcoming. At a young age he ventured to China in search of his roots and, finding China not at all as he’d imagined it, embarked on a ten-year journey through the world, which is the subject of his new book, Zero: When the Journey Takes You Home. Yu Hua and Wibowo discuss their authorial relationship, the similarities between China’s recent history and the history of the Chinese in Indonesia, and the role of the individual in historical narrative. “零点:走向回归的远行”   主办:北京国际图书博览会(BIBF) 策划:纸托邦(Paper Republic) 联合协办:纸托邦(Paper Republic)、印尼国家图书委员会 时间:8月24日星期三13:00-15:00 [...]

August 21, 2016 // 0 Comments

DETIK: Agustinus Wibowo Hadir di Beijing International Book Fair 2016

Detik.com Jakarta – Sukses di Bologna Book Fair dan London Book Fair pada Maret serta April 2016 lalu, Indonesia akan hadir di ajang Beijing International Book Fair (BIBF) pada 24-28 Agustus mendatang. Salah satu penulis kenamaan Tanah Air Agustinus Wibowo untuk pertama kalinya hadir di pameran buku tersebut. Penulis ‘Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan’ merasa terhormat dapat menghadiri BIBF. “Eksibisi buku ini membawa penulis-penulis dunia untuk mengunjungi Tiongkok. Saya akan hadir menjadi penulis Indonesia pertama yang tampil di BIBF, dalam salah satu acara dari rangkaian program Literary Salon bersama penulis kenamaan Tiongkok, Yu Hua,” ucapnya, seperti dikutip dari situs resmi Agustinus, Senin (15/8/2016). General Manager Gramedia Pustaka Utama, Siti Gretiani mengungkapkan rasa bangganya terhadap salah satu penulis yang karyanya diterbitkan oleh Gramedia. “Ini panggung yang tepat bagi Agustinus Wibowo untuk mewakili Indonesia, karena selain fasih berbicara dalam bahasa Mandarin, Agustinus bisa memperkenalkan literatur Indonesia ke pasar Tiongkok,” katanya kepada detikHOT, belum lama ini. Karya-karya Yu Hua juga diterjemahkan oleh Agustinus ke dalam bahasa Indonesia serta diterbitkan Gramedia. “Sehingga ajang ini juga bisa menjadi semacam pertukaran budaya lewat literatur,” tambah Greti lagi. Di ajang BIBF, Indonesia akan menampilkan 200 judul buku pilihan dan memberikan wawasan tentang industri penerbitan di Indonesia. Agustinus [...]

August 21, 2016 // 0 Comments

Beijing International Book Fair 2016 作家来袭,讲述永不完结的故事

It’s a great honour for me to be the first Indonesian author featured in the Beijing International Book Fair (BIBF). The Book Fair also organizes the Literary Salon programs, which are a series of events taking placing during and around the BIBF, bringing authors from around the world into close contact with Chinese audiences. This year’s theme is “Never Ending Stories”, highlighting the continuing and essential importance of literary narrative, even as storytelling branches out into other media. The Salons will be conducted in various venues in Beijing, for the week of August 20 to 28. http://book.sina.com.cn/news/c/2016-08-12/1737815998.shtml 作家来袭,讲述永不完结的故事 2016年08月12日17:37   第23届北京国际图书博览会 再过22天,第23届北京国际图书博览会即将开展,图博会今年30岁了,BIBF文学沙龙系列活动也与读者相伴近7年了。今年,我们如约而至。 与往年一样,来自世界各地的几十位作者将齐聚北京。我们举办“文学沙龙”的目的,就是让北京读者与这些作者亲密接触,促成他们与中国作者对话,让所有来自 不同文化背景却对文学、书籍怀着同样热爱的人走得更近 Never Ending Stories [...]

August 13, 2016 // 0 Comments

Kiunga 14 Oktober 2014: Penyakit OPM Hanya Satu

Sudah dua minggu ini saya berada di Kiunga menggali kisah kehidupan para pengungsi dari West Papua, atau Papua Indonesia yang kini bermukim di Papua Nugini. Tetapi aktivitas saya telah memancing kecurigaan. Saya mendengar dari seorang pastor di Gereja Katolik, sudah ada rumor beredar di kalangan pengungsi bahwa saya adalah mata-mata yang dikirim Indonesia. Harus saya akui, identitas saya sebagai warga Indonesia menyebabkan saya tidak bebas bergerak di sini. Walaupun Kiunga adalah kota yang sangat aman menurut standar Papua Nugini—hampir tidak ada raskol, dan orang asing bebas berjalan sendiri tanpa khawatir dirampok—saya selalu merasakan ada tatapan tidak bersahabat dari orang-orang tertentu, khususnya di daerah sekitar pesisir sungai yang dihuni para pengungsi. Pernah saya dihampiri seorang pemabuk, yang meneriaki saya dalam bahasa Melayu, bahwa saya mata-mata Indonesia. Pastor kawan saya yang berasal dari Flores itu mengatakan, jangankan saya yang baru datang, dirinya yang sudah bekerja bagi mereka bertahun-tahun pun terkadang masih merasakan kecurigaan itu. Pernah ada seorang pastor yang mengunjungi kamp pengungsi West Papua di Iowara untuk melakukan penelitian tentang kehidupan pengungsi, justru kamera dan komputernya dirampas oleh sekelompok oknum pengungsi yang mencurigainya, sehingga semua hasil kerjanya sia-sia. Tetapi bagaimana pun juga, mereka adalah orang-orang yang bekerja demi ketuhanan dan kemanusiaan, sehingga [...]

June 13, 2016 // 22 Comments

Dome 9 Oktober 2014: OPM Juga Manusia(2)

Sudah tiga puluh tahun para pengungsi dari Papua tinggal di desa Dome, Papua Nugini. Seiring waktu, konflik antara para pendatang dengan penduduk setempat semakin meluas. Warga lokal sering menuduh para pengungsi menggunakan perempuan mereka untuk menggoda para lelaki Papua Nugini, dengan tujuan untuk mendapatkan kewarganegaraan Papua Nugini. Kasus itu terjadi pada Jenny Wuring, warga Papua Nugini yang kini sedang mengurus perceraian dengan suaminya. Dia bilang, seorang gadis pengungsi Papua berumur 16 tahun pernah menggoda suaminya yang berumur 40 tahun, sehingga Jenny membawa kasus ini ke pengadilan. Ayah dari gadis itu adalah seorang anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah gerakan separatis yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dari cengkeraman Indonesia. Selain itu, Jenny juga mencurigai para pengungsi itu menguasai ilmu sihir sehingga sering membunuh dengan menyantet warga asli. Dia curiga, ayahnya yang tiba-tiba meninggal sepuluh tahun lalu itu adalah gara-gara sihir dari warga pengungsi. Orang-orang Papua Nugini di Dome memang memanggil para pengungsi dengan istilah bahasa Melayu, sobat. Tetapi itu seperti panggilan tanpa makna. Konflik di antara mereka semakin parah dan belakangan ini sering menjadi kontak fisik. Misalnya, penduduk asli Dome yang marah sering menebangi pohon-pohon pisang yang ditanam para pengungsi. Peristiwa terparah adalah pembakaran sekolah yang dibangun para pengungsi, yang terjadi pada [...]

June 10, 2016 // 5 Comments

1 2 3 4 8